Pertanyaan umat :
1. bagaimana cara mendupai sakramen mahakudus pada saat perarakan sakaramen pada Kamis Putih (sebelum tuguran). Misdinar berjalan mundur sambil mendupai, atau berjalan sperti biasa tapi berjalan didepan sakaramen, pada saat tertentu berlutut dan mendupai sakramen?? di paroki kami biasanya misdinar berjalan mund…ur sambil mendupai, tapi saya membaca di salah satu group katolik di FB juga, yang menjelaskan cara ke-2. mohon pencerahannya…thx
2. Setahu saya (dari Fb Tradisi Katolik) dalam perarakan petugas pembawa dupa berada didepan yang mana dilakukan untuk mendupai (mensucikan) jalan yang akan dilalui oleh perarakan tersebut.
PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :
Hmmmm kalau memang mau mendupai sakramen secara kontinyu, ya mau tidak mau harus berjalan mundur. Ini yang lazim. Memang resikonya perjalanan sakramen keliling atau perarakan sakramen menjadi lambat.
Cara kedua, (tidak dilarang) untuk mengantisipasi kelambatan itu, dan kelelahan kalau harus berarak ke tampat yang jauh.
NB. Di salah satu paroki di Crespina, dekat Pisa (Italia) saya beberapa kali membantu di sana, dan pada Kamis malam sakramen diarak keliling desa bersama dengan patung Yesus dan relikwi dari “tanah suci”. Otomatis misdinar tidak perlu berjalan mundur tetapi berjalan biasa di depan sakramen dengan membawa pedupaan yang mengepul, dan kadang berhenti untuk mendupai .
Jarak tempat sakramen di arak adalah dari gereja Paroki dan dipindahkan ke gereja kapel, jaraknya sekitar 2 km. Perarakan berjalan memutar agar semua jalan desa terberkati oleh sakramen. Semua rumah memasang lilin di pintu dan pagar mereka, walau mereka tadi tidak berangkat ke gereja untuk perayaan Kamis Putih ….. 🙂
PENCERAHAN DARI PASTOR CHRISTIANUS HENDRIK :
Hemm….mengenai cara mendupai kiranya bisa bermacam2 cara tergantung kebiasaan dan situasi setempat di mana perarakan diadakan-seperti sudah dijelaskan oleh rm Samiran SCJ. Tetapi inti dari pendupaan kiranya tetap harus berpusat pada Sakramen Mahakudus yang didupai, bukan pertama2 jalan, atau rumah atau tempat sekitar yang dilewati.
Memang ketika kita menghormati dan terus melakukan puja pengudusan terhadap sakramen Mahakudus, kemudian dampaknya adalah bahwa jalan, tempat2 yang akan dilalui, bahkan orang2 di sekitar juga harus dikuduskan/menguduskan diri supaya pantas bagi kehadiran Allah yang nyata dalam sakramen Mahakudus.
Tradisi yang serupa dengan penghormatan terhadap Sakramen Mahakudus bisa ditemukan dalam banyak peristiwa di Perjanjian Lama, ketika Israel mengarak Tabut Perjanjian (mis.I Tawarikh 15). Ketika tradisi mendupai belum populer, lalu berbagai bentuk penghormatan terhadap setiap tanda Kehadiran Yang Ilahi (Tabut Perjanjian) dilakukan dengan pelbagai cara: nyanyian pujian, sangkakala, terompet, gambus pelbagai macam jenis, pemotongan hewan kurban, kurban bakaran…bahkan tarian (Daud menari2 di depan Tabut Perjanjian).
Jadi inti pendupaan adalah kepada Sakramen Mahakudus-entah dengan cara mundur,atau berjalan maju sambil sesekali berhenti untuk mendupai.
Asap dupa yang membubung melambangkan terhubungnya dunia dan surga tinggi melalui kehadiran Allah dalam rupa Sakramen Mahakudus. Wewangian asap dupa melambangkan kesucian itu sendiri dan sikap hati yang sepantasnya ketika kita berada di dekat Sakramen Ilahi. Maka juga perlu diperhatikan supaya saat pendupaan memang ada asap yang mengepul dan membumbung tinggi, bukan cuma formalitas mengayun2kan wiruk/dupa tapi apinya padam dan tidak ada asapnya…lalu kehilangan maknanya he he…