Seputar Liturgi Ekaristi Gereja Katolik

Seputar Liturgi Ekaristi Gereja Katolik

  • Majalah Liturgi KWI

  • Kalender Liturgi

  • Music Liturgi

  • Visitor

    free counters

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    Free Hit Counters

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    free statistics

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    hit counters



    widget flash

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    web page counter

  • Subscribe

  • Blog Stats

    • 1,255,647 hits
  • Kitab Hukum Kanonik, Katekismus Gereja Katolik, Kitab Suci, Alkitab, Pengantar Kitab Suci, Pendalaman Alkitab, Katekismus, Jadwal Misa, Kanon Alkitab, Deuterokanonika, Alkitab Online, Kitab Suci Katolik, Agamakatolik, Gereja Katolik, Ekaristi, Pantang, Puasa, Devosi, Doa, Novena, Tuhan, Roh Kudus, Yesus, Yesus Kristus, Bunda Maria, Paus, Bapa Suci, Vatikan, Katolik, Ibadah, Audio Kitab Suci, Perjanjian Baru, Perjanjian Lama, Tempat Bersejarah, Peta Kitabsuci, Peta Alkitab, Puji, Syukur, Protestan, Dokumen, Omk, Orang Muda Katolik, Mudika, Kki, Iman, Santo, Santa, Santo Dan Santa, Jadwal Misa, Jadwal Misa Regio Sumatera, Jadwal Misa Regio Jawa, Jadwal Misa Regio Ntt, Jadwal Misa Regio Nusa Tenggara Timur, Jadwal Misa Regio Kalimantan, Jadwal Misa Regio Sulawesi, Jadwal Misa Regio Papua, Jadwal Misa Keuskupan, Jadwal Misa Keuskupan Agung, Jadwal Misa Keuskupan Surfagan, Kaj, Kas, Romo, Uskup, Rosario, Pengalaman Iman, Biarawan, Biarawati, Hari, Minggu Palma, Paskah, Adven, Rabu Abu, Pentekosta, Sabtu Suci, Kamis Putih, Kudus, Malaikat, Natal, Mukjizat, Novena, Hati, Kudus, Api Penyucian, Api, Penyucian, Purgatory, Aplogetik, Apologetik Bunda Maria, Aplogetik Kitab Suci, Aplogetik Api Penyucian, Sakramen, Sakramen Krisma, Sakramen Baptis, Sakramen Perkawinan, Sakramen Imamat, Sakramen Ekaristi, Sakramen Perminyakan, Sakramen Tobat, Liturgy, Kalender Liturgi, Calendar Liturgi, Tpe 2005, Tpe, Tata Perayaan Ekaristi, Dosa, Dosa Ringan, Dosa Berat, Silsilah Yesus, Pengenalan Akan Allah, Allah Tritunggal, Trinitas, Satu, Kudus, Katolik, Apostolik, Artai Kata Liturgi, Tata Kata Liturgi, Busana Liturgi, Piranti Liturgi, Bunga Liturgi, Kristiani, Katekese, Katekese Umat, Katekese Lingkungan, Bina Iman Anak, Bina Iman Remaja, Kwi, Iman, Pengharapan, Kasih, Musik Liturgi, Doktrin, Dogma, Katholik, Ortodoks, Catholic, Christian, Christ, Jesus, Mary, Church, Eucharist, Evangelisasi, Allah, Bapa, Putra, Roh Kudus, Injil, Surga, Tuhan, Yubileum, Misa, Martir, Agama, Roma, Beata, Beato, Sacrament, Music Liturgy, Liturgy, Apology, Liturgical Calendar, Liturgical, Pope, Hierarki, Dasar Iman Katolik, Credo, Syahadat, Syahadat Para Rasul, Syahadat Nicea Konstantinople, Konsili Vatikan II, Konsili Ekumenis, Ensiklik, Esniklik Pope, Latter Pope, Orangkudus, Sadar Lirutgi

Archive for the ‘a. PERAYAAN EKARISTI’ Category

JAWABAN/SERUAN UMAT PADA SAAT DOA UMAT

Posted by liturgiekaristi on January 10, 2014


Pertanyaan umat :

Sy mau tanya ttg doa intensi yg dibacakan Romo saat doa umat… Sy merasakan kejanggalan dlm umat menjawab doa2 intensi dimana doa2 tsb adl Doa ttg mengucap syukur atas sesuatu yg dialami umat,dimana setelah doa tsb dibacakan Romo mengatakan Kami Mohon… Dan umat menjawab Kabulkanlah Doa Kami…
Klu saya nilai jawaban tsb adl untuk Doa yg memang sedang berduka,bermasalah/terkena musibah yg minta penyelesaiannya.
Mohon pencerahaannya…

PENCERAHAN dari PASTOR ADMIN PAGE SEPUTAR LITURGI :

“Oleh karena judulnya doa permohonan, maka doa-doa permohonan lah yang diucapkan/didoakan. jawaban umat juga tidak hanya melulu : “Kabulkanlah doa kami …” tetapi bisa juga diganti dengan aklamasi yang lain, misalnya : “Tuhan, dengarkanlah kami” atau “Tuhan, teguhkanlah iman kami”, dst.
Kalau memang sdh terbiasa dgn jawaban yg baku itu, maka yang membawakan doa menambahkan sebagai doa permohonan; misalnya, ucapan syukur atas kelahiran anak, maka yang membawakan doa apada akhir ucapan syukur hendaknya menambahkan “… mohon rahmat dan perlindungan Tuhan bagi bayi yang baru lahir dan orang tuanya …”

Ada banyak options untuk jawaban/seruan doa umat dalam perayaan Ekaristi, jadi tidak terpaku pada jawaban/seruan yang klasik: “Kabulkanlah doa kami ya Tuhan”

Misalnya ketika seseorang memohon dalam intensi untuk mengucap syukur atas terkabulnya doa Novena Salam Maria…. Tentu saja kurang tepat kalau dijawab dengan seruan “Kabulkanlah doa kami ya Tuhan”…., Lha wong tidak ada permohonan, cuma tulus ingin mengucap syukur….

Kunci jawabannya sederhana, tergantung pada kreativitas petugas pembawa doa atau yang bertugas mempersiapkan teks doa umat. Kalau memang terjadi seperti dalam kasus di atas, di mana kebanyakan doa berupa ucapan syukur dan terimakasih atas terkabulnya doa/atas kebaikan yang diterima dari Tuhan (sesuatu yang sangat baik yang harus dikembangkan dalam doa2 Ekaristi: Mengucap Syukur!); maka dapat dipilih jawaban/seruan umat dalam bentuk2 variasi lainnya, seperti: “Terpujilah Tuhan, karena Ia baik” atau “Dimuliakanlah nama Tuhan”, atau “Syukur kepadaMu, ya Allah”, dsb.

Jadi perlu melihat situasi bentuk doa2 yang dipanjatkan, dan petugas hendaknya memberi arahan singkat sebelum mulai doa/sesudah Imam memimpin seruan pembuka doa, dengan menjelaskan: “Umat mohon menjawab: “Terpujilah Tuhan, pemberi segala kebaikan” atau bentuk lainnya selain jawaban: “Kabulkanlah doa kami ya Tuhan…”

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

JAWABAN UMAT ATAS DOA UMAT (PERMOHONAN & UCAPAN SYUKUR)

Posted by liturgiekaristi on January 10, 2014


PERTANYAAN DARI UMAT :

Salam & Slamat Natal untuk semua umat Kristiani…
Sy mau tanya ttg doa intensi yg dibacakan Romo saat doa umat… Sy merasakan kejanggalan dlm umat menjawab doa2 intensi dimana doa2 tsb adl Doa ttg mengucap syukur atas sesuatu yg dialami umat,dimana setelah doa tsb dibacakan Romo mengatakan Kami Mohon… Dan umat menjawab Kabulkanlah Doa Kami…
Klu saya nilai jawaban tsb adl untuk Doa yg memang sedang berduka,bermasalah/terkena musibah yg minta penyelesaiannya.
Mohon pencerahaannya…

PENCERAHAN DARI ADMIN PASTOR PAGE SEPUTAR LITURGI :

“Oleh karena judulnya doa permohonan, maka doa-doa permohonan lah yang diucapkan/didoakan. jawaban umat juga tidak hanya melulu : “Kabulkanlah doa kami …” tetapi bisa juga diganti dengan aklamasi yang lain, misalnya : “Tuhan, dengarkanlah kami” atau “Tuhan, teguhkanlah iman kami”, dst.
Kalau memang sdh terbiasa dgn jawaban yg baku itu, maka yang membawakan doa menambahkan sebagai doa permohonan; misalnya, ucapan syukur atas kelahiran anak, maka yang membawakan doa apada akhir ucapan syukur hendaknya menambahkan “… mohon rahmat dan perlindungan Tuhan bagi bayi yang baru lahir dan orang tuanya …”

Ada banyak options untuk jawaban/seruan doa umat dalam perayaan Ekaristi, jadi tidak terpaku pada jawaban/seruan yang klasik: “Kabulkanlah doa kami ya Tuhan”

Misalnya ketika seseorang memohon dalam intensi untuk mengucap syukur atas terkabulnya doa Novena Salam Maria…. Tentu saja kurang tepat kalau dijawab dengan seruan “Kabulkanlah doa kami ya Tuhan”…., Lha wong tidak ada permohonan, cuma tulus ingin mengucap syukur….

Kunci jawabannya sederhana, tergantung pada kreativitas petugas pembawa doa atau yang bertugas mempersiapkan teks doa umat. Kalau memang terjadi seperti dalam kasus di atas, di mana kebanyakan doa berupa ucapan syukur dan terimakasih atas terkabulnya doa/atas kebaikan yang diterima dari Tuhan (sesuatu yang sangat baik yang harus dikembangkan dalam doa2 Ekaristi: Mengucap Syukur!); maka dapat dipilih jawaban/seruan umat dalam bentuk2 variasi lainnya, seperti: “Terpujilah Tuhan, karena Ia baik” atau “Dimuliakanlah nama Tuhan”, atau “Syukur kepadaMu, ya Allah”, dsb.

Jadi perlu melihat situasi bentuk doa2 yang dipanjatkan, dan petugas hendaknya memberi arahan singkat sebelum mulai doa/sesudah Imam memimpin seruan pembuka doa, dengan menjelaskan: “Umat mohon menjawab: “Terpujilah Tuhan, pemberi segala kebaikan” atau bentuk lainnya selain jawaban: “Kabulkanlah doa kami ya Tuhan…”

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

doa SAYA MENGAKU dan TUHAN KASIHANILAH apakah salah satunya dapat ditiadakan?

Posted by liturgiekaristi on January 10, 2014


PERTANYAAN UMAT :

Mohon info dari admin yang benarnya bagaimana : doa SAYA MENGAKU dan TUHAN KASIHANILAH apakah salah satunya dapat ditiadakan? Karena ada salah satu Romo yang melakukan begitu baik ekaristi harian maupun ekaristi hari minggu atau hari besar, makasih ya atas infonya.

PENCERAHAN :

Dari PUMR no 52.Pernyataan tobat selalu disambung dengan Tuhan Kasihanilah, kecuali kalau seruan Tuhan Kasihanilah telah tercantum dalam pernyataan tobat. Sifat Tuhan Kasihanilah ialah berseru kepada Tuhan dan memohon belaskasihan-Nya. Oleh karena itu, Tuhan Kasihanilah biasanya dilagukan oleh seluruh umat, artinya : silih- berganti oleh umat dan paduan suara atau solis.

Pada umumnya, masing-masing seruan Tuhan Kasihanilah diulang satu kali. Akan tetapi, berhubung dengan bahasa setempat, dengan lagu ataupun sifat pesta, Tuhan Kasihanilah itu boleh diulang-ulang lebih banyak. Kalau Tuhan Kasihanilah dibawakan sebagai bagian pernyataan tobat, setiap aklamasi didahului ayat yang sesuai.

TPE 2005 menyediakan empat Cara Tobat (1-4).

Bedakan pernyataan/seruan tobat dan Tuhan Kasihanilah kami/kyrie eleison. Pernyataan tobat didahului oleh ajakan imam untuk menyesali dan mengakui dosa; menyusul pengakuan dosa secara umum: biasanya dengan doa “saya mengaku…” atau “Allah yang maharahim….” atau juga dengan cara 2 dalam TPE. Kemudian lagu atau seruan “Kyrie eleison”

Bisa juga penggabungan keduanya : seruan tobat dan kyrie eleison. Itulah cara 3 dalam TPE atau seperti dalam buku misa Hari Minggu dan Hari Raya. Hindari membuatnya secara kreatif dari masing2 tanpa ada persetujuan dari otoritas Gereja (uskup). hal ini untuk menghindari kreasi2 yg tidak perlu bahkan cendrung abuse.

Atau juga dengan cara pemercikan air suci sebagai peringatan pembaptisan. Itulah cara 4 dalam TPE. Namun setelah percikan air suci, boleh menyerukan/menyanyikan “Kyrie eleison” : ini sebagai tanda pujian dan hormat kepada Tuhan, Sang Raja.

Konon di dunia Yunani kuno, dimana ungkapan ‘kyrie eleison’ berasal, seruan yang bukan hanya mohon ampun dan belaskasihan, tetapi juga sebagai ungkapan pujian dan hormat untuk menyambut sang raja atau para pembesar kerajaan, sebagai seruan atau ungkapan penyambutan bagi para pembesar sebagai tanda hormat dan pujian.

Pada Misa khusus utk Perkawinan (Ordo Celebrandi Metrimonium, 1991) Ritus Tobat ini ditiadakan.

Posted in 1. Ritus pembuka | Leave a Comment »

APA YANG DIUCAPKAN DALAM HATI WAKTU IMAM MENGANGKAT HOSTI & PIALA PADA SAAT KONSEKRASI?

Posted by liturgiekaristi on March 11, 2013


PERTANYAAN UMAT :
Pertanyaan umat :

ak seneng bgt ada page ini dan ak jd merasa bertambah paham apa arti2 ekaristi kita dgn baik.tp ak mau tny,selama ini ak msh bingung ucapan apa ya yg kita ungkapkan dlm hati ketika imam mengangkat hosti dan piala saat doa syukur agung?thanx.””

PENCERAHAN DARI Thomas Rudy

hal ini tidak diatur secara resmi dalam aturan2 liturgi, tetapi sebagai devosi, memang banyak yang menganjurkan mengatakan ini dan itu seperti yang teman-teman bilang… tapi kembali kepada yang bersangkutan masing-masing, yang jelas itulah saat yang jelas, bahwa Yesus hadir dan imam menunjukkan itu pada kita (saat hosti itu diangkat dan saat piala diangkat), Pertanyaannya: apa yang kita akan ucapkan saat kita melihat Yesus?

PENCERAHAN DARI Mas Roms

Kl mnurut pedoman umum misale romanum (PUMR) saat itu kita cukup mmandang dgn hormat. Ucapan ya Tuhanku n Allahku baik dlm hati ato brsama (dulu) tdk tepat secara teologis. Bukankan ekaristi untuk mengenang prjamuan terakhir? Kata2 ya Tuhanku….dst adl ucapan Thomas stelah Yesus bangkit.

Nambahi komentarku, dalam PUMR 43 hanya dikatakan pada saat kisah konstitusi / konsekrasi dimana imam memperlihatkan Tubuh dan Darah Kristus, tata gerak umat adalah berlutut. Dalam beberapa buku penjelasan tentang TPE 2002 sambil berlutut saat itu sikap kita adalah menatap-Nya. Memang dalam budaya kita sikap ini seolah-olah “tidak sopan” maka sebagian besar kita justru menundukkan kepala lalu mengatupkan tangan menyembah. Kedua sikap itu baik mau mengungkapkan hal yang sama, yakni: sikap hormat dan sembah bakti kita pada Yesus yang sungguh hadir. Tidak ada petun juk doa apa yang mesti diucapkan baik pribadi maupun bersama. Kata-kata “Ya Tuhanku dan Allahku” memang rasanya cocok namun secara teologis tidak tepat. Logisnya saat konsekrasi (DSA) masih perjamuan terakhir, Yesus belum menderita / wafat apalagi bangkit. Namun apapun tata gerak atau ungkapan kita, intinya kita pada saat ini mau mengungkapkan sikap hormat, sembah-bakti dan keyakinan iman bahwa yang ada dihadapan kita sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus sendiri. Thanks.

PENCERAHAN DARI Daniel Pane:

Beberapa kebiasaan yang populer adalah:

1. Dalam hati mengucapkan “Domine meus et Deus meus” (ya Tuhanku dan Allahku) kita mengambil alih ucapan St. Thomas sebagai ungkapan pengakuan akan kehadiran nyata dari Tuhan kita dalam rupa Ekaristi.

2. Dalam hati mengucapkan “mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa” (saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa) sambil menepuk dada 3 kali. Melalui kebiasaan ini kita mengingat bahwa Kristus menjalani Kurban Salib karena dosa-dosa kita.

Bagaimanapun tidak ada aturan yang baku mengenai hal itu. Satu lagi, kebiasaan ritus Romawi saat Tubuh dan Darah Tuhan diangkat adalah kita menyembah Dia dengan memandang-Nya.

PENCERAHAN DARI PASTOR Christianus Hendrik

Saat Imam mengangkat roti dan anggur yang diubah menjadi Tubuh dan Darah Tuhan ketika konsekrasi, itulah saat ekspresi personal mendapt tempatnya dalam liturgi. Jadi gunakanlah saat2 itu sungguh2 secara pribadi hadir dalam kesadaran penuh syukur dan hormat atas moment paling agung ketika Allah menjadi manusia demi mendekati kita dalam segala keterbatasan kita. Allah yang tak terbatas berinisiatif menjadi ‘terbatas’ supaya keterbatasan kita diangkat dalam keilahianNya.

Jadi pada saat itu, mau teriak, menjerit, menangis bahagia, bernyanyi sukacita, puji hormat dan syukur dalam segala bentuk kata2nya dipersilahkan…sejauh di dalam hati masing2 he he…. Dulu pernah saat personal ini dimasukkan juga dalam ritual bersama dan orang menjawab”Ya Tuhanku dan Allahku”…tapi kiranya ini kurang memadai bagi moment yang sangat penting itu…sekarang syukurlah dikembalikan ke saat pribadi lagi. Jadi tak usah bingung ikutilah kata hati sendiri mau mengatakan apa, yang penting hati, budi, pikiran dan kehendak terarah sepenuhnya dalam kesadaran Allah sungguh hadir dalam tanda dan sarana keselamatanNya.

Soal ekspresi tubuh saat itu, juga tidak ada ketentuan baku karena setiap bangsa punya adat budaya yang berbeda. Untuk orang Eropa dan Amerika misalnya, tanda hormat dan penuh perhatian adalah memandang langsung ke mata lawan bicara atau orang yang kita hormati saat berkontak. Tapi di suku bangsa lain justru itu tanda menantang, tidak hormat kalau memandang langsung kepada yang lebih tinggi, maka sikap yang menunjukkan rasa hormat adalah menundukkan kepala tidak boleh memandang wajah seorang raja, dsb. Jadi tidak ada ketentuan baku, silahkan saat itu juga kehendak masing2 pribadi untuk mengekspresikannya dalam keheningan bersama.

Secara pribadi sebagai imam, saya sungguh menikmati saat agung ini dengan memberi kesempatan cukup untuk memperlihatkan ‘wajah Allah’ kepada umat sambil mengangkat tinggi2 Hosti dan Anggur di hadapan umat, supaya ‘setiap orang yang memandangNya memperoleh kesembuhan dan keselamatan’. Biasanya saya hening sepanjang orang mengucapkan kata2 “Ya Tuhanku dan Allahku” dengan pelan2 dan hikmat….Tapi tidak juga terlalu lama he he…

Posted in 4. Bagian Doa Syukur Agung | 1 Comment »

Apakah seorang Katolik atau sebaliknya seorang protestan bisa diizinkan untuk menerima roti dan anggur dalam gereja lain?

Posted by liturgiekaristi on February 6, 2013


Pertanyaannya:

1) Apakah seorang Katolik atau sebaliknya seorang protestan bisa diizinkan untuk menerima roti dan anggur dalam gereja lain?

2) Apakah penghayatan “roti dan anggur” menjadi Tubuh dan Darah Kristus dalam Gereja Katolik sama dengan gereja/denominasi lain?

PENCERAHAN DARI ROMO CHRISTIANUS HENDRIK SCJ

1) Apakah seorang Katolik atau sebaliknya seorang protestan bisa diizinkan untuk menerima roti dan anggur dalam gereja lain?
Untuk pertanyaan ini jawabnya simple: Pada prinsipnya orang yang non Katolik tidak diperkenankan menerima komuni-entah dalam rupa roti dan/atau anggur. Hal yang sama juga berlaku untuk orang Katolik (sudah baptis) tapi belum menerima komuni pertama-tidak diperkenankan.
Untuk sebaliknya, apakah orang Katolik boleh menerima roti dan anggur dalam gereja2 non katolik, itu bukan kapasitas kita untuk memutuskan boleh atau tidak-tergantung kebijakan dalam gereja2 tersebut. Dasar argumen2 di atas bisa dipahami dalam alur penjelasan pertanyaan kedua.

2) Apakah penghayatan “roti dan anggur” menjadi Tubuh dan Darah Kristus dalam Gereja Katolik sama dengan gereja/denominasi lain?
Jawabnya: Tidak sama. Ekaristi yang sesungguhnya, seperti yang dipahami dalam Gereja Katolik, hanya bisa terjadi/sah/sesuai dengan hakekat Ekaristi sepenuhnya, jika menggunakan materi yang sah, di dalam tindakan dan kata2 ( Forma dan Actuosa) yang dilakukan oleh Imam tertahbis, sesuai dengan ajaran gereja Katolik. Maka, seperti apapun namanya, bentuknya, ritualnya, selama itu tidak dilakukan oleh Imam tertahbis, tidak dapat disebut Ekaristi seperti yang dipahami oleh Gereja Katolik. Dalam hal ini menjadi jelas, Ekaristi hanya ada dan bisa dimungkinkan terjadi dalam gereja Katolik yang memiliki Imam2 tertahbis-kecuali memang ada Imam2 tertahbis seperti kita akui di luar gereja Katolik, apa mungkin??. Di luar itu, sekalipun namanya sama: Ekaristi; tidak bisa dipandang sebagai sama saja dengan Ekaristi yang dipersembahkan oleh Imam tertahbis dalam gereja Katolik.

Hal itu menjadi argumen yang tidak bisa disangkal karena faktanya hanya di dalam Gereja Katolik pemahaman yang sebenarnya dari Ekaristi menyangkut jauh sampai kepada pengetahuan dan pengakuan iman akan perubahan substansial roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Tuhan.
Sejauh saya ketahui dan pahami, hanya Gereja Katolik yang mengamini bahwa Ekaristi bukan hanya sekedar ‘upacara’ atau ‘ritual’ pengenangan masa lalu akan perjamuan malam terakhir Tuhan kita Yesus Kristus – seperti banyak dipahami oleh gereja2 non Katolik. Bagi kita orang Katolik, Ekaristi adalah ‘Perayaan’ (bukan upacara pengenangan saja) yang artinya sungguh menghadirkan kembali Misteri Perjanjian Baru dan Kekal akan perjamuan Tubuh dan Darah Tuhan.
Maka dari itu, hanya dalam gereja Katolik dipahami sepenuhnya arti Anamnese: WafatMu kami kenangkan(aspek pengenangan masa lalu), kebangkitanMu kami muliakan (Aspek kehadiran sekarang, peristiwa penebusan/penyelamatan itu setiap kali dihadirkan kembali dalam tindakan institusional yang dilakukan Imam saat konsekrasi); kedatanganMu kami rindukan (Aspek Parusia, penantian sampai akhir jaman, keselamatan yang sepenuhnya). Adakah gereja2 non Katolik sampai pada pemahaman dan doktrin yang sedemikian lengkap menyangkut tiga masa: dulu, sekarang, dan yang akan datang seperti dalam gereja Katolik? Saya meragukannya.

Jadi kesimpulannya: Orang Katolik, dan hanya orang yang beriman secara Katolik yang bisa memahami makna Ekaristi yang sepenuhnya sebagai Perjamuan yang memberi jaminan keselamatan. Di luar itu, meskipun namanya mungkin sama, tapi maknanya tentu saja berbeda. Yang paling sering dipahami umum, gereja2 non Katolik memandang Ekaristi mereka sebagai pengenangan belaka, sebagai perjamuan belaka, sama seperti makan dan minum sehari2; namun tidak sampai menyentuh aspek ‘menghadirkan kembali’ karya penyelamatan itu setiap kali Ekaristi dipersembahkan, dan tidak sampai menyentuh aspek transformatif-substansial perubahan roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Tuhan. Maka tidak heran, mereka bisa menggunakan materi apa saja yang menyerupai ‘roti dan anggur’, tidak seperti dalam gereja Katolik yang memiliki aturan ketat akan wujud ‘materi’ roti dan anggur yang dipergunakan dalam Ekaristi.

PENCERAHAN DARI ROMO INNO NGUTRA

Dari sisi Hukum Gereja Katolik

Kanon 844 § 1 Para pelayan katolik menerimakan sakramen- sakramen secara licit hanya kepada orang-orang beriman katolik, yang memang juga hanya menerimanya secara licit dari pelayan katolik, dengan tetap berlaku ketentuan § 2, § 3 dan § 4 kanon ini dan Kanon 861 § 2.

§ 2 Setiap kali keadaan mendesak atau manfaat rohani benar-benar menganjurkan, dan asal tercegah bahaya kesesatan atau indiferentisme, orang beriman kristiani yang secara fisik atau moril tidak mungkin menghadap pelayan katolik, diperbolehkan menerima sakramen tobat, Ekaristi serta pengurapan orang sakit dari pelayan-pelayan tidak katolik, jika dalam Gereja mereka sakramen-sakramen tersebut adalah sah.

§ 3 Pelayan-pelayan katolik menerimakan secara licit sakramen- sakramen tobat, Ekaristi dan pengurapan orang sakit kepada anggota- anggota Gereja Timur yang tidak memiliki kesatuan penuh dengan Gereja katolik, jika mereka memintanya dengan sukarela dan berdisposisi baik; hal itu berlaku juga untuk anggota Gereja-gereja lain, yang menurut penilaian Takhta Apostolik, sejauh menyangkut hal sakramen-sakramen, berada dalam kedudukan yang sama dengan Gereja-gereja Timur tersebut di atas.

§ 4 Jika ada bahaya mati atau menurut penilaian Uskup diosesan atau Konferensi para Uskup ada keperluan berat lain yang mendesak, pelayan-pelayan katolik menerimakan secara licit sakramen-sakramen tersebut juga kepada orang-orang kristen lain yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katolik, dan tidak dapat menghadap pelayan jemaatnya sendiri serta secara sukarela memintanya, asalkan mengenai sakramen-sakramen itu mereka memperlihatkan iman katolik dan berdisposisi baik.

§ 5 Untuk kasus-kasus yang disebut dalam § 2, § 3 dan § 4, Uskup diosesan atau Konferensi para Uskup jangan mengeluarkan norma- norma umum, kecuali setelah mengadakan konsultasi dengan otoritas yang berwenang, sekurang-kurangnya otoritas setempat dari Gereja atau jemaat tidak katolik yang bersangkutan.

Penjelasan singkat:

1) Sakramen Ekaristi berkaitan erat dengan tahbisan suci (imamat) yang diterima oleh para imam, yang diberikan oleh uskup. Oleh karena itu, ukurannya adalah umat katolik (Dalam keadaan mendesak) bisa menerima sakramen itu dari imam atau pendeta/pastor dari gereja lain asalkan pastor itu mendapatkan tahbisan uskup. Di sini sangat susah untuk menerima sakramen dari seorang pendeta karena mereka tidak menerima tahbisan imamat dari uskup. Hal ini sangat lain bila kita terapkan pada imam dari Anglikan atau Gereja Ortodox

2) Dalam keadaan bahaya maut atau karena keadaan di mana tidak ada pastor atau pelayan dari gereja lain, maka baik para pastor maupun para pelayan dari gereja lain bisa menerimakan kepada umat ATAS PERMINTAAN SI PENERIMA. Dan, ini berlaku baik bagi umat Katolik maupun umat protestan atau Kristen lainnya.

3) Contoh kasus misalnya: Dalam nikah campur yang diadakan di gereja Katolik, maka pasangan bisa diizinkan untuk menerima sakreman Ekaristi sejauh memenuhi syarat menimal yakni percaya bahwa itu adalah Tubuh dan Darah Kristus. Dan untuk mendapatkan hal ini biasanya diadakan wawancara (tanya jawab) dengan calon selama masa persiapan nikah.

4) Soal apakah dari protestan bisa terima komuni di Gerja Katolik atau tidak sangat tergantung pada keputusan gereja mereka (Kanon 844 & 5 dan penjelasan pastor Hendrik Christianus, namun perlu diperhatikan lagi aturan Gereja Katolik sebagai syarat untuk mengizinkan seseroang menerima komuni di dalam gereja (nomor 4)

PENCERAHAN DARI PASTOR PHILIPUS SERAN

Liturgi kita dalam Gereja Katolik adalah adalah liturgi resmi Gereja yang berlaku universal dalam Gereja Katolik, dengan segala doktrin, ajaran praturannya. Sedangkan ibadat dalam Protestan, sebagaimana penafsiran Kitab Suci sangat menekankan secara pribadi, lebih bersifat pribadi, entah itu secara perorangan atau dalam komunitas gereja tertentu… yah tergantung pendetanya atau pengurus gerejanya. Tentu saja berimplikasi pada penghayatan dan makna dari Perjamuan Tuhan yang dirayakan, yang memang tidak sama dengan kita di Gereja Katolik dalam menghayati makna Ekaristi.

PENCERAHAN DARI BP. ALBERTUS WIBISONO

KGK 1396 – Kesatuan Tubuh Mistik: Ekaristi membangun Gereja. Siapa yang menerima Ekaristi, disatukan lebih erat dengan Kristus. Olehnya Kristus menyatukan dia dengan semua umat beriman yang lain menjadi satu tubuh: Gereja. Komuni membaharui, memperkuat, dan memperdalam penggabungan ke dalam Gereja, yang telah dimulai dengan Pembaptisan. Di dalam Pembaptisan kita dipanggil untuk membentuk satu tubuh Bdk. 1 Kor 12:13.. Ekaristi melaksanakan panggilan ini: “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1 Kor 10:16-17):
“Kalau kamu Tubuh Kristus dan anggota-anggota-Nya, maka Sakramen yang adalah kamu sendiri, diletakkan di atas meja Tuhan; kamu menerima Sakramen, yang adalah kamu sendiri. Kamu menjawab atas apa yang kamu terima, dengan ‘Amin’ [Ya, demikianlah] dan kamu menandatanganinya, dengan memberi jawaban atasnya. Kamu mendengar perkataan ‘Tubuh Kristus’, dan kamu menjawab ‘Amin’. Jadilah anggota Kristus, supaya Aminmu itu benar” (Agustinus, serm. 272).

KGK 1398 – Ekaristi dan kesatuan umat beriman. Karena keagungan misteri ini, santo Augustinus berseru: “0 Sakramen kasih sayang, tanda kesatuan, ikatan cinta” (ev. Jo 26,6,13) Bdk. SC 47.. Dengan demikian orang merasa lebih sedih lagi karena perpecahan Gereja yang memutuskan keikutsertaan bersama pada meja Tuhan; dengan demikian lebih mendesaklah doa-doa kepada Tuhan, supaya saat kesatuan sempurna semua orang yang percaya kepada-Nya, pulih kembali.

KGK 1400 – Persekutuan-persekutuan Gereja yang muncul dari Reformasi, yang terpisah dari Gereja Katolik, “terutama karena tidak memiliki Sakramen Tahbisan, sudah kehilangan hakikat misteri Ekaristi yang otentik dan sepenuhnya” (UR 22). Karena alasan ini, maka bagi Gereja Katolik tidak mungkin ada interkomuni Ekaristi dengan persekutuan-persekutuan ini. “Kendati begitu, bila dalam Perjamuan Kudus mereka mengenangkan wafat dan kebangkitan Tuhan, mereka mengimani, bahwa kehidupan terdapat dalam persekutuan dengan Kristus, dan mereka mendambakan kedatangan-Nya kembali dalam kemuliaan” (UR 22).

KGK 1401 – Jika menurut pandangan Uskup diosesan ada situasi darurat yang mendesak, imam-imam Katolik boleh menerimakan Sakramen-sakramen Pengakuan, Ekaristi, dan Urapan Orang Sakit juga kepada orang-orang Kristen lain yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja Katolik, bila mereka sendiri secara sukarela memintanya, asalkan mengerti Sakramen-sakramen itu mereka memperlihatkan iman Katolik serta berada dah disposisi yang baik Bdk. KHK, Kan. 844, ? 4.

jadi, hanya dalam situasi darurat (mis. dalam sakratul maut, dll.

Posted in 5. Bagian Komuni, Kumpulan Artikel | Leave a Comment »

Ya Tuhan, saya tidak pantas Engkau datang kepada saya, tetapi bersabdalah saja maka saya akan sembuh

Posted by liturgiekaristi on July 20, 2011


Sandy Wijaya

I : Lihat, Inilah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia, berbahagialah kita yang diundang ke perjamuan-Nya
U : ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang kepada saya, tetapi Bersabdalah saja, maka saya akan sembuh.

sering kita mendegar Imam mengucapkan ini, tapi adakah kita menghayati kata2 dari Bapa? Jikalau Bapa menghendaki, janganlah mencari kesembuhan di tempat lain (contoh di meko, no offense)

PENCERAHAN DARI PASTOR PHILIPUS SERAN

Dua hari yang lalu, seorang fans, sdri  Sandy Wijaya mengajak kita untuk lebih memaknai dan menghayati ajakan dan aklamasi yang kita ucapkan sesaat menyambut komuni dalam perayaan Ekaristi :

Imam : « Inilah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia. Berbahagialah kita yang diundang ke perjamuanNya.

Umat : « Ya Tuhan, saya tidak pantas Engkau datang kepada saya, tetapi bersabdalah saja maka saya akan sembuh ».

 

Sdr. Hailey Francis Thomas menanggapi dengan menegaskan bahwa aklamasi yang kita ucapkan, – yang merupakan kata-kata dari perwira Romawi dalam Matius 8, 8 -, bukan hanya harapan kesembuhan jasmani tetapi juga kesembuhan rohani.

Menyambut ajakan dan harapan dari kedua fans tercinta ini, saya mengajak kita semua untuk masuk lebih dalam, merenungkan dan memahami kisah biblis penyembuhan hamba dari perwira Romawi, yang oleh ungkapan imannya yang mendalam, kata-katanya masuk dalam liturgi kita (Katolik) dan menjadikannya sebagai ungkapan ketidakpantasan kita menyambut Tuhan Yesus dalam Roti Ekaristi.

Penginjil Matius dalam Matius 8, 5 – 17, mengisahkan bahwa peristiwa ini terjadi di Kapernaum. Saat itu Yesus masuk ke kota Kapernaum. Seorang perwira Romawi menemuiNya dan memohon kesembuhan hambanya yang terbaring sakit lumpuh di rumahnya dan ia sangat menderita. Yesus menjawabnya : « Aku akan segera datang untuk menyembuhkannya ». Namun perwira Romawi itu berkata kepadaNya : « Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh ».

 

Terkesan ada yang aneh di sini : Yesus mau datang ke rumah perwira Romawi untuk menyembuhkan hambanya yang sedang sakit, karena ia memintaNya, tetapi  « ditolak ». Mengapa perwira Romawi tidak bersedia menerima Yesus di rumahnya ? Mengapa dia meminta dari Yesus « sepatah kata saja » maka hambanya menjadi sembuh ?

Untuk menjawab permasalahan ini, kita terlebih dahulu melihat konteks dan situasi yang ada saat itu. Perwira Romawi merupakan personnel inti dari legium atau pasukan tentara Romawi. Jabatannya adalah komandan sekaligus kepala keamanan di Kapernaum. Pada jaman Yesus Palestina merupakan daerah pendudukan atau jajahan dari kekaiseran Romawi. Kehadiran para tentara Romawi sudah pasti tidak dikehendaki oleh orang-orang Yahudi, bahkan mereka sangat dibenci, dicap kafir atau pagan dan orang asing. Jadi kehadiran para tentara Roamwi itu sendiri menuai kebencian di kalangan Yahudi.

Namun bagi para penginjil, tentara atau perwira Romawi dilihat sebagai hal yang positif. Contohnya, selain kisah penyembuhan hamba dari seorang perwira Romawi Inijl Matius ini dan paralelnya di Injil Lukas 7, 1 – 10, kita juga ingat dalam kisah penyaliban Yesus dalam Injil Markus, ada sebuah  jawaban yang diberikan atas pertanyaan orang di sepanjang Injil Markus : « Siapa orang yang bernama Yesus ini ? »  Seorang perwira Romawi, kepala pasukan memberi jawaban dalam seruannya sesaat Yesus mati di salib : « Sungguh, orang ini adalah Anak Allah! » (Markus 15, 39). (Apakah pengakuan iman dari perwira Romawi ini merupakan pratanda bahwa jumlah besar anggota Gereja adalah bukan orang Yahudi melainkan orang asing ?)

 

Menurut aturan hukum saat itu, seorang tuan memiliki hak penuh atas budak/hambanya dan tidak ada sesuatupun kewajiban terhadap dia. Seorang budak dianggap sebagai barang milik dari tuannya, seperti binatang yang menjadi harta milik.

Namun hal yang sebaliknya dari perwira Romawi ini. Dia memiliki kemurahan hati dan kepeduliannya yang tinggi terhadap orang kecil dan miskin, khususnya hambanya yang terbaring sakit lumpuh dan sangat menderita. Tidak hanya rasa solider dengan kaum kecil dan miskin hina, si komandan tentara ini juga menaruh hormat dan kepercayaannya kepada Yesus. Mulanya beliau hanya memohon kesembuhan hambanya yang menderita sakit lumpuh ; dan Yesus menanggapinya bahwa ia segera datang dan menyembuhkan hambannya itu.

Akan tetapi perwira ini sadar bahwa Yesus tidak bisa datang ke rumahnya, karena agama dan adat-istiadat melarang orang Yahudi datang dan bergaul dengan orang asing « yang kafir » seperti dirinya. Hukumnya adalah najis bila orang Yahudi bergaul dan datang ke rumah orang asing yang kafir. Dan bila itu terjadi harus ada acara pemurnian atau pentahiran selama seminggu. Maka sadar akan aturan hukum seperti ini, si perwira Romawi tidak mau menjadi biang kerok untuk menajiskan orang. Ia sadar bahwa orang Yahudi menganggap dirinya bagaikan penderita kusta yang menular bila kontak dengan dirinya. Maka meskipun dia seorang perwira, kepala keamanan yang memiliki kekuatan militer dan kekuatirannya menjadi penyebab  kenajisan, ia merasa tidak layak Yesus datang ke rumahnya untuk menyembuhkan hambahnya yang sakit. « Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku… » Baginya Yesus memiliki kekuatan, kewibawaan, dan kuasa yang melebihi wibawa dan kuasanya sebagai seorang perwira, sebagaimana yang ia lakukan terhadap para prajurit dan hambanya. Kristus dapat memerintahkan kelumpuhan agar bisa bangun dan berjalan kembali. Kristus Yesus memiliki kuasa yang begitu besar bagi sakit dan penyakit ; kuasa apapun tidak bisa menandingi Firman Tuhan Yesus. Sabda Yesus adalah Sabda kehidupan, terang yang menuntun jalan dan langkah hidup.

Menurut keyakinan umum saat itu, sentuhan atau jamahan mempunyai daya yang efektif untuk menyembuhkan ; seperti kisah sebelumnya penyembuhan seorang lepra di Mat 8, 1 – 4 atau kisah sesudahnya penyembuhan ibu mertua Petrus di Mat 8, 16 – 17 ; atau paling tidak si sakit hadir dan menunjukkan imannya dan Yesus melihatnya dan menyembuhkannya. Namun bagi si perwira Romawi, dengan keyakinan « kafirnya »,  ucapan sepatah kata saja dari Yesus telah menghasilkan efektivitas penyembuhan seperti yang diharapkannya (diimani), walaupun Yesus tidak berjumpa/melihat dan tidak menyentuh/menjamah hambanya yang menderita sakit lumpuh. Baginya, Yesus cukup « katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh ».

 

Kita mengimani bahwa Sabda Yesus dapat menyembuhkan dan menguatkan perjalanan dan langkah hidup kita. Dengan keyakinan iman ini maka dalam perayaan Ekaristi, saat mau menyambut komuni,  imam Kristus memegang roti Ekaristi di atas patena atau piala dan memperlihatkannya kepada kita serta mengundang kita untuk ikut makan dalam perjamuan Tuhan Yesus. Kemudia bersama imam kita menyatakan ketidakpantasan kita (bdk. PUMR no. 84) dengan mengucapkan : « Ya Tuhan, saya tidak pantas Engkau datang kepada saya, tetapi bersabdalah saja maka saya akan sembuh ».

Semoga!

 

-phs-

Posted in 5. Bagian Komuni | Leave a Comment »

EVANGELIARIUM – OLEH RM. JACOBUS TARIGAN PR

Posted by liturgiekaristi on July 20, 2011


Evangeliarium
Senin, 6 Juni 2011 16:11 WIB
Evangeliarium

Jacobus Tarigan Pr

Santo Hieronimus (347-420), seorang rahib dan pujangga Gereja menegaskan, “Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus.” Penegasan ini dikutip lagi oleh Konsili Vatikan II, dalam Konstitusi Dei Verbum No 25. Selanjutnya, Hieronimus mengingatkan bahwa tempat yang paling tepat untuk membaca dan mendengarkan Sabda Allah adalah liturgi. Maka, belum cukup hanya merenungkan sendiri Kitab Suci. Tafsiran ilmiah terhadap Kitab Suci pun hanya bersifat membantu. Karena bagi Hieronimus, penafsiran Kitab Suci yang otentik selalu harus sesuai dengan iman Gereja Katolik.

Kita harus membaca Kitab Suci dalam komunio dengan Gereja yang hidup. Kalau Kitab Suci dibacakan dalam Gereja, terutama dalam Perayaan Ekaristi, maka Allah sendiri berbicara kepada umat-Nya dan Kristus hadir dalam Sabda-Nya. Liturgi Sabda sama penting dengan Liturgi Ekaristi. Hendaknya umat sungguh memahami makna pelbagai simbol dalam Liturgi Sabda. Karena bagaimanapun, liturgi berciri simbolis karena partisipasi kita dalam hidup Allah masih berlangsung “dalam cermin”. Simbol tidak hadir untuk dirinya sendiri, melainkan untuk apa yang disimbolkan.

Evangeliarium adalah buku yang memuat bacaan-bacaan Injil untuk hari Minggu dan hari raya tahun A, B, C, untuk pesta Tuhan, Hari Raya Khusus, Perayaan dan Misa ritual. Evangeliarium yang diterbitkan oleh KWI, 2011 adalah buku liturgis resmi bahasa Indonesia untuk Ritus Latin di wilayah gerejawi Indonesia. Bacaan Injil diambil dari terjemahan Alkitab Lembaga Alkitab Indonesia dan Lembaga Biblika Indonesia. Buku ini mulai diberlakukan pada awal Pekan Suci, Minggu Palma, 17 April 2011.

Dalam Misa, khususnya dalam Liturgi Sabda, kehadiran Evangeliarium itu sendiri melambangkan kehadiran Kristus di tengah umat-Nya. Buku ini diletakkan pada bagian tengah altar sebelum Misa, dalam keadaan tertutup. Ketika perarakan masuk, buku ini dibawa oleh diakon atau lektor dengan cara sedikit diangkat agar terlihat oleh umat dan diletakkan di altar. Sebelum pemakluman Injil, diakon menuju altar, membungkuk memberi hormat, dan membawa Evangeliarium ke mimbar, didahului oleh putra altar yang membawa lilin dan pendupaan.

Sebelum dibacakan, Evangeliarium didupai. Selesai membaca, buku ini dicium dan dibawa ke meja samping, bukan altar. Arakan, mencium, dan mendupai merupakan simbol penghormatan kepada Kristus yang hadir di tengah umat-Nya. Keharuman dari dupa melambangkan pewahyuan Allah dan kehadiran keselamatan. “Dengan perantaraan kami, Ia menyebarkan keharuman pengenalan akan Dia di mana-mana. Sebab, bagi Allah, kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa” (2 Kor. 2:14-15). Demikian pula selain lambang penghormatan, ciuman pun melambangkan keakraban dengan Kitab Suci. Membungkuk di hadapan Kitab Suci melambangkan sikap merendahkan diri di hadapan Tuhan yang Mahaagung.

Evangeliarium dicetak secara istimewa untuk mendukung simbol yang dihadirkannya. Kita menghormati Evangeliarium, BUKAN karena dicetak di surga, BUKAN DITURUNKAN dari atas surga, bukan karena memuat nasihat-nasihat moralistis murahan dan hukum-hukum yang menakutkan, TETAPI, karena Evangeliarium melambangkan kehadiran Kristus di tengah umat-Nya, yang sedang merayakan liturgi.

“Ia hadir dalam sabda-Nya, sebab Ia sendiri bersabda bila Kitab Suci dibacakan dalam Gereja” (SC 7). Dengan membaca Kitab Suci, kita mengenal Kristus, yang menampakkan wajah KASIH Allah.

SUMBER : MAJALAH HIDUP

Edisi No. 16 Tanggal 17 April 2011

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda, 4. Buku Liturgi | Leave a Comment »

KOLEKTE – kenapa selalu ada dalam Perayaan Ekaristi?

Posted by liturgiekaristi on June 22, 2011


“Mengapa di dalam setiap perayaan Ekaristi (hampir selalu) ada bagian pengumpulan Kolekte.. Apa maksud kolekte ini dalam rangkaian tata liturgi, dan mengapa umat ’harus’ sibuk soal uang pada waktu ingin berdoa dengan khusyuk, apakah tidak ada waktu lain di luar Ekaristi untuk urusan mengumpulkan uang kolekte?” Mari sharing…

Agus Syawal Yudhistira

Lebih tepatnya, ini masalah kebiasaan saja. Kolekte bisa dikumpulkan bahkan sebelum Misa mulai. Misal, umat datang langsung masukan uang ke kantong kolekte di pintu Gereja.
Di tempat lain, macam Korea, saat kolekte umat berarak maju memasuk…kan uang ke tempat yang disediakan, mirip komuni. Jadi bukan kantongnya yang diedarkan, umatnya yang berarak seperti komuni memberikan uang.

Kolekte tidak wajib dibawa ke imam untuk diserahterimakan pada saat persembahan.

Perlambangan hasil karya dan seluruh pemberian diri umat adalah roti dan anggur.

Agus Syawal Yudhistira Pertanyaannya, lebih baik diletakkan di mana momen pengumpulannya. Kalau Gerejanya besar, umatnya banyak, kolektenya menyita waktu banyak sehingga seolah ada masa “reses” selama persembahan, maka lebih baik posisi pengumpulannya dipindahkan ke waktu lain: Sebelum atau sesudah Misa. Karena sesuai PUMR, toh membawa kolekte untuk mengiringi roti dan anggur adalah opsional, tidak wajib.

Posted in 3. Bagian Persembahan | Leave a Comment »

Waktu komuni, kenapa umat hanya terima hosti dan tidak dengan anggur?

Posted by liturgiekaristi on June 22, 2011


Pertanyaan umat :

ada 1 pertanyaan dr saya, knapa setiap kali kita menerima hosti sebagai lambng tubuh Kristus tdk di sertakn dgn anggur sebagai lambng darah Kristus? apakah anggur itu hanya khusus di minum olh Pastor? mohon penjelasan!

Agus Syawal Yudhistira

pertama roti yang kita terima dalam Ekaristi adalah Tubuh Kristus, bukan lambang Tubuh Kristus.
kedua, anggur tidak selalu dibagikan karena alasan logistik, dan bahaya profanasi dan sakrilegi, bahwa Darah Kristus dapat tercecer.
ketiga pembagian Tubuh dan Darah Kristus dalam Ekaristi membutuhkan waktu yang lebih lama dan pelayan yang lebih banyak. Satu untuk membawa sibori berisi Tubuh Kristus dan satu membawa piala berisi Darah Kristus, karena menurut aturan yang berlaku, umat tidak boleh mengambil sendiri dan mencelup sendiri.
Ini mengakibatkan perkara logistik ketika pembagian dengan umat yang banyak.

Dikarenakan secara teologis, Kristus yang sama, hadir secara utuh tubuh, darah, jiwa dan keallahan-Nya dalam tiap spesies Ekaristi, maka umat tetap menerima Kristus sepenuhnya dengan menerima hanya Tubuh/Darah Kristus.

betul…hosti yg sudah dikonseklir bukan lagi lambag tubuh kristus, tetapi sudah menjadi Tubuh Kristus yg sebenarnya…Inilah Misteri Ekasristi….sebenarnya tidak ada larangan untuk masalah komuni 2 rupa (roti dan anggur)…pertimbangan menggunakan anggur dalam ekaristi (dgn jmla umat yg bnyak, akan memungkinkan terjadi hal2 spt yg sdh diutarakan ASY…msalah anggaran (jlas mahal), insakrilegi (tercecer dan tumpah2..padahal itu adalah darah kristus) dll…Gampangnya begini saja…kita coba menggunakan penalaran…”Di Dalam Darah Tidak Ada Tubuh”…tetapi denga menerima Tubuh Kristus, secara otomatis di dalam Tubuh Nya sudah pasti ada Darah Nya…

Posted in 5. Bagian Komuni | Leave a Comment »

BOLEHKAH TERIMA KOMUNI DUA KALI DALAM SEHARI?

Posted by liturgiekaristi on June 22, 2011


Salam Damai., sy mau bertanya ; bolehkah umat Katolik menyambut Tubuh Kristus 2x dalam sehari dalam 2 perayaan Misa yg berbeda waktu dan tempat ?

Daniel Pane Hukum Kanon menganjurkan normalnya hanya satu kali menyambut Komuni dalam satu kali. Rakus rohani bukanlah hal yang baik. Minimal adalah satu kali dalam satu tahun dan maksimal 2 kali dalam satu hari.

Daniel Pane

Alasan dibalik aturan itu jelas, hidup kita bukan hanya soal Komuni dan Misa. Dua hal ini adalah puncak kehidupan iman kita, tetapi bukan segala-galanya. Itulah sebabnya di biara-biara yang paling kontemplatif sekalipun setiap orang biasany…a hanya mengikuti Misa satu kali dalam satu hari (mereka tidak mengadakan Misa berkali-kali dalam satu hari walaupun bisa). Waktu mereka diisi dengan bekerja, mendoakan ibadat harian (dan tidak menggantikan doa-doa lain dengan Misa hanya karena itu adalah puncak ibadat). Ini bukan soal kebersihan hati semata, tetapi soal keseimbangan dan prioritas hidup. Seorang Kristen diharapkan mampu menjalani hidup secara seimbang sesuai prioritas yang benar menurut prinsip ajaran Kristen. Keinginan menerima Komuni berkali-kali dalam satu hari tanpa ada alasan kuat (seperti Imam yang terbeban kewajiban mempersembahkan Misa bagi umat, atau bahaya kematian) menunjukkan kekurangan dalam hal itu. 😀

Satu pertanyaan dari umat

“Dulu waktu saya masih anggota mudika, sangat aktif membantu pastor melayani misa ke stasi2. Senang bisa ikut bersama dan melihat langsung capeknya Imam melayani umat. Yang ingin saya tanyakan, kalo saya ikut menghadiri misa ke stasi2 berarti kadang dalam sehari saya ikut menerima komuni dua kali. Apakah itu diperbolehkan untuk umat??”.

PENCERAHAN DARI BAPAK ONGGO LUKITO

KHK 917 Yang telah menyambut Ekaristi mahakudus, dapat menerimanya lagi hari itu hanya dalam perayaan Ekaristi yang ia ikuti, dengan tetap berlaku ketentuan Kanon 921 § 2.

KHK 921 § 2 Meskipun pada hari yang sama telah menerima komu…ni suci, sangat dianjurkan agar mereka yang berada dalam bahaya maut menerima komuni lagi.

Jadi boleh menyambut komuni lebih dari sekali, kalau tetap mengikuti seluruh perayaan yang kedua kali, dan tidak masuk gereja hanya untuk menerima komuni lagi.

Posted in 5. Bagian Komuni, l. SEKITAR LITURGI | Leave a Comment »

INTENSI MISA, BOLEHKAH DIBACAKAN OLEH AWAM SEBELUM MISA MULAI?

Posted by liturgiekaristi on June 22, 2011


Pertanyaan umat :

2, apakah intensi yg d brikn umat kpd imam utk d doakn pd saat misa,,blh di doakn oleh seorg ketua dewan dan d bckn d dpn umat sesaat sblm perayaan ekaristi brlgsung?

Daniel Pane

2) Menurut kebiasaan tradisional intensi Misa didoakan dalam hati oleh Imam pada …saat hening antara “marilah berdoa” dan sebelum ia mulai membaca doa pembukaan dari Missale atau didoakan dalam hati pada saat bagian commemoratio pro vivis (vel pro mortis) dalam Doa Syukur Agung I , jika ada keinginan untuk dibacakan secara terbuka siapapun boleh membacakannya sebelum Misa mulai (tentu saja jangan dibacakan di tengah Misa karena akan sangat merusak suasana).

Posted in 1. Ritus pembuka, 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

KOLEKTE – APA MAKSUDNYA DALAM RANGKAIAN TATA LITURGI?

Posted by liturgiekaristi on May 31, 2011


“Mengapa di dalam setiap perayaan Ekaristi (hampir selalu) ada bagian pengumpulan Kolekte.. Apa maksud kolekte ini dalam rangkaian tata liturgi, dan mengapa umat ’harus’ sibuk soal uang pada waktu ingin berdoa dengan khusyuk, apakah tidak ada waktu lain di luar Ekaristi untuk urusan mengumpulkan uang kolekte?” Mari sharing…

SHARING UMAT :

Benedicta Susy Kolekte adalah bagian dr persembahan yg merupakan ungkapan syukur atas berkat yg sdh kita terima. Sama sekali tdk mengganggu krn dilakukan pd saat jeda ketika imam jg sedang mempersiapkan altar utk masuk ke doa syukur agung dan biasanya hanya diisi dg lagu persembahan. Tidak akan merepotkan bila uang kolekte telah disiapkan dari rmh.

Yudha Adrian KGK 1531: “Sejak awal, umat Kristen membawa, di samping roti dan anggur untuk Ekaristi, juga sumbangan untuk membantu orang yang memerlukannya. Kebiasaan kolekte ini digerakkan oleh contoh Kristus, yang menjadi miskin untuk menjadikan kita kaya.” Kolekte sudah menjadi tradisi sejak jaman jemaat perdana, jadi sudah tugas kita melestarikan tradisi ini.

PENCERAHAN :

Agus Syawal Yudhistira

Lebih tepatnya, ini masalah kebiasaan saja. Kolekte bisa dikumpulkan bahkan sebelum Misa mulai. Misal, umat datang langsung masukan uang ke kantong kolekte di pintu Gereja.
Di tempat lain, macam Korea, saat kolekte umat berarak maju memasuk…kan uang ke tempat yang disediakan, mirip komuni. Jadi bukan kantongnya yang diedarkan, umatnya yang berarak seperti komuni memberikan uang.

Kolekte tidak wajib dibawa ke imam untuk diserahterimakan pada saat persembahan.

Perlambangan hasil karya dan seluruh pemberian diri umat adalah roti dan anggur.

Pertanyaannya, lebih baik diletakkan di mana momen pengumpulannya. Kalau Gerejanya besar, umatnya banyak, kolektenya menyita waktu banyak sehingga seolah ada masa “reses” selama persembahan, maka lebih baik posisi pengumpulannya dipindahkan ke waktu lain: Sebelum atau sesudah Misa. Karena sesuai PUMR, toh membawa kolekte untuk mengiringi roti dan anggur adalah opsional, tidak wajib.

Posted in 3. Bagian Persembahan | Leave a Comment »

INTENSI PRIBADI – KAPAN DIBACAKAN DALAM MISA?

Posted by liturgiekaristi on May 27, 2011


Pertanyaan umat :

Ada seorang umat bertanya begini “Biasanya umat membawa intensi2 pribadi ketika ikut perayaan Ekaristi. Dalam tata liturgi yang benar, di mana atau saat kapan kita menyampaikan ujud2 pribadi kita agar dipersatukan dengan intensi Gereja dan ujud2 bersama sebagai tanda kesatuan dalam iman?”.

Sharing :

  • Sri Budi UtamiPagi juga. intensi pribadi memang perlu….apalagi ketika ikut perayaan Ekaristi. doa tersebut biasanya didoakan oleh Pastor/Romo sebelum doa Syukur Agung.

    Yesterday at 8:15am ·
  • EvieNathalia Pongoh cocoknya saat Doa Umat,
    disitu segala ujud kita bisa di sampaikan…

    Yesterday at 8:16am via Facebook Mobile ·
  • Erfia RiantiniSt.Catalina menuliskan dlm kesaksiannya, pada saat persembahan ia diminta oleh Bunda Maria utk mengajukan permohonan sebanyak mungkin,Malaikat pelindung kita yg akan mempersembahkannya kedepan Altar, krn rahmat Tuhan sedang tercurah secara luar biasa pd saat itu.

    Yesterday at 8:23am · · 3 people3 people like this.
  • Linda Mogasyalom,klo digereja aq di St.Yoseph itensi pribadi didoakan didoa umat

    Yesterday at 8:23am · · 1 personEvieNathalia Pongoh likes this.
  • Fransiska Felicia Selamat pagi, saya mau share. Kalau intensi intensi pribadi d Gereja St. Paschalis biasanya d beri waktu pada saat doa umat, tapi waktunya hanya sebentar sekali.. Tidak sampai 1 menit, romo sudah menutup waktunya..
    Akhirnya saya ucapkan intensi sewaktu doa sesudah komuni..
    Salam sejahtera 🙂

    Yesterday at 8:36am via Facebook Mobile ·
  • SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

    Admin mau sharing nich.
    Kalau di paroki saya. Ujud khusus dari umat didoakan pada waktu DOA UMAT. Banyak deh, ada ucapan syukur (terkabulnya doa novena, dll), ada mohon berkat untuk keluarga atau ujud2 khusus, ada mendoakan arwah…Masing2/…setiap jenis doa itu didoakan khusus oleh pastor…lalu dilanjutkan dengan Kami mohon…dijawab umat Kabulkanlah doa kami ya Tuhan…Jadi biasanya bagian mendoakan ujud misa umat ini..bisa agak lebih lama dari ujud doa UMUM yang dibacakan oleh lektor.

    Selain itu, dalam doa umat itu, ada juga diberikan waktu hening…untuk mendoakan ujud pribadi masing2…See More

    Yesterday at 8:48am · · 5 peopleLoading…
  • Lucia Christiawatislmt pg jg..intensi sgt perlu krn dg bgitu akn byk org yg ikut doakan qt.biasanya dibckan Romo sblm misa& wkt doa umat.

    Yesterday at 8:59am via Facebook Mobile ·
  • Theresa Aprilia CintiaraAdmin, sebelumnya paroki saya di St. Maria A Fatima, sekarang St. Yohanes Don Bosco, keduanya jarang sekali ada permohonan Doa Umat bagi intensi pribadi. Apa seharusnya masuk dlm Tata Perayaan Ekaristi atau tidak ya?

    Yesterday at 9:02am via Facebook Mobile · · 1 personLoading…
  • Lucia Christiawatikhusus utk intensi mendoakan arwah akan didoakan Romo jg ketika doa Syukur Agung.itu yang aq tau di grjku.

    Yesterday at 9:02am via Facebook Mobile ·
  • Josef HarwantoSebaiknya intensi pribadi didoakan setelah doa pembukaan. Tapi ada juga romo yang mengulangi lagi di doa umat.

    Yesterday at 9:39am ·
  • SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

    Selain dalam doa umat dan doa syukur agung, ada tempat yang khas untuk menyampaikan ujub-ujub doa dalam ekaristi, yaitu yang sering dikenal dengan doa pembuka (Oratio Collecta)
    Doa pembuka merupakan doa penutup ritus pembuka, yang mulai digu…nakan sejak abad V (Paus Leo Agung). Doa ini disebut juga oratio collecta karena bersifat mengumpulkan dan meringkas ujub-ujub doa umat yang hadir. Pelaksanaannya : Imam mengajak umat untuk berdoa (marilah berdoa / oremus….). Lalu semua yang hadir bersama dengan imam hening sejenak untuk menyadari kehadiran Tuhan, dan dalam hati mengungkapkan doanya masing-masing. Kemudian, imam membawakan doa pembuka yang lazim disebut “collecta”, yang mengungkapkan inti perayaan liturgi hari yang bersangkutan” (PUMR 54) – diakhiri dengan rumusan trinitaris panjang.
    Dalam pelaksanaannya kerap terjadi jeda hening sangat singkat atau bahkan tidak ada. setelah ajakan marilah berdoa, kerap langsung disambung dengan bacaan doa tersebut. Mari berubah bersama!See More
    Yesterday at 11:26am · · 3 people3 people like this.
  • Renalto Haliman di doakan pada waktu Romo mengatakan Terimalah dan Makanlah Inilah Tubuhku yang di kurbankan bagi Mu

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

LEKTOR – SHARING MENGENAI SIKAP TUBUH PADA SAAT BERTUGAS

Posted by liturgiekaristi on May 21, 2011


Pertanyaan umat :

Misa di hari minggu yang lalu di paroki saya, ada sebuah kejadian yg membuat saya agak gimanaa gitu.

Minggu yang lalu, di gereja paroki saya, saya sempat melihat Lektor II duduk manis dan sangat santai disebelah misdinar pada saat Lektor I membacakan Bacaan I.Sebenarnya, bagaimana seeh sikap dan bahasa tubuh yg harus diketahui, dimiliki, di kuasai, dan yg kemudian dilaksanakan oleh seorang Lektor yg baik dan benar dlm menjalankan tugasnya sbg petugas pelayan Liturgi itu ?Boleh gak ya pada saat Lektor I sdg membacakan Bacaan, Lektor yg lain yg sdh ada dipanti imam utk menunggu giliran mambacakan Bacaan berikutnya, duduk ? Bagaimana seharusnya ?

PENCERAHAN dari Pastor Hans Wijaya

sikap badan lektor selama mendengarkan pembacaan Sabda Tuhan, sama seperti semua yang hadir: Imam, misdinar dan umat. duduk dan menyimak. orang yang memperhatikan, pasti sikap badannya mendukung dia untuk mendengarkan dengan baik. kita tida…k dapat konsentrasi kalau duduk santai, bersandar setengah berbaring dengan kaki menjulur ke depan; misalnya. jadi masalahnya bukan pada sikap badan lektor II, tapi pada bagaimana Bacaan dibacakan, yang bukan sekedar membaca tapi mewartakan. bagaimana bacaan dipergunakan dalam homili. kalau homili hanya mengupas Injil tanpa menyinggung Bacaan I/II, umat juga tidak terbantu untuk ikut menyimak bacaan-bacaan dari Kitab Suci

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

SHARING  ADMIN : Kalau di paroki saya, lektor duduk di bangku terdepan (bangku umat). Lalu pada waktu Ibadat Sabda, kedua lektor maju ke panti imam dan keduanya berdiri di dekat mimbar sabda. Pada saat keduanya sudah selesai menjalankan tugas, , maka kedua lektor itu bersama-sama kembali lagi ke tempat duduknya semula.

Lucia Christiawati biasanya saat lektor I membacakan lektor II duduk dg sopan bersama prodiakon di t4 yg tlh disediakan.bgitupun sbaliknya.
RoYana ELvina SimaLango Klo di greja saya,
lektor duduk di t4 palng dpn di bangku umat kemudian apabila akan membaca sabda Tuhan Lektor I dan lektor II bergantian naik ke mimbar.
Gabriella Rika Swasti Lah anak kecilpun tahu bgt, lau baru tugas di gereja sikapnya harus sopan ; duduk gak bleh seenakknya, hrs tegak tapi jgn kaku, gak bleh tengok kanan atau kiri bahkan belakang, menyimak yg sedang berlangsung…………. lau seenakknya ganti aja lektornya. Laaaaaaaaah apa sebelum jd lektor gak ada prolog, syarat dan lainnya ?Eiiiit satu lagi, kalau di t4 saya, lektor duduke sederet dengan misdinar………
Robert Darisman Petugas lektor n mazmur seharusnya terlantik. Ini menjamin adanuya pembekalan sebelum menjalankan tugas. Karena kurangnya tenaga pelayan sering main tunjuk saja dan sayangnya tidak menjamin adanya pembekalan. Perlu kita perbaiki bersama.
SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

ikut nimbrung sesama admin….
Tergantung tata ruang gereja dan panti imam. Kalau gerejanya kecil maka lektor tetap di tempatnya dan pas gilirannya baru maju… kalau gereja dan panti imamnya besar dan luas…. sebaiknya semua petugas maju, …baik lektor I, pemazmur dan lektor II. Sementara lektor I bertugas, pemazmur dan lektor II berdiri di belakang lektor I dengan sikap sopan, sampai semua selesai bertugas baru sama² kembali ke tempat duduk; ini kalau tempat duduk lektor di bangku umat. Kalau tempat duduk para petugas di panti imam, diusahak untuk lektor tidak jauh dari mimbar Sabda, sehingga pas giliran baru berdiri melaksanakan tugasnya. (terkadang seringnya hilir mudik para petugas di panti imam mengganggu suasan, apalagi ditambah bunyi langkah sepatu yang … gimana gitu… hehehe). Jadi sekali lagi tergantung tata ruang gerja dan panti imam
Soetikno Wendie Razif

Ada lektor/lektris yang dirangkap oleh pro diakon, saat perarakan masuk ke altar, mereka ikut naik ke altar, lalu tetap nangkring di altar … sampai konsekrasi, mereka tetap berdiri di altar, jadi pas kita menyembah Tubuh dan Darah Kristus…, kita menyembah sang pro diakon juga ….kenapa tidak disosialisasikan bahwa pro diakon tetap umat biasa, bukan tertahbis …altar hanya untuk yang tertahbis … Mau contoh : Datanglah ke Misa di Gereja St.Theresia, Jl. H. Agus Salim, Menteng, Jakarta
Yudha Adrian lektor/lektris II biasanya tetap duduk pada tempat yang disediakan pada saat bacaan 1 dan bergantian dengan lektor/lektris I pada saat mazmur antar bacaan dinyanyikan. Yang berdiri pada saat bacaan I dan II selain lektor yang membacakan adalah pemazmur.

Noor Noey Indah

boleh nambah dikit kan ya…Masih sering dijumpai petugas liturgi bingung dg tugas yg diembannya krn kurang persiapan, kurang pembekalan, bahkan gak ngerti dg apa yg dilakukannya.
Hal ini sangat disayangkan krn bisa menghambat kelancaran dar…i Peryaan Ekaristi yg dirayakan.Petugas Liturgi perlu tau, lebih mengerti dan memahami dg sungguh apa yg menjadi tanggungjawabnya sebagai petugas pelayan liturgi. Hal ini bisa dilakukan dg jalan (salah satunya), gereja membuat wadah utk masing² tugas tsb yg dkoordinir olah seksi liturgi dan didampingi oleh Pastor memberikan pembekalan materi secara berkala dan berkesinambungan, dg maksud supaya masing² petugas benar² memahami setiap tugas yg menjadi tanggungjawabnya.
Sehingga Peryaan Ekaristi dpt berjalan anggun, lancar, hikmad, sakral dan semestinya karena semuanya berjalan benar dan seharusnya.

Didit Irianimasalahnya adalah tidaka ada aturan baku / pedoman yang harus diikuti iapa yang lektor dan petugas lain nya itu sepengetahuan saya mohon bagi yang memiliki mar si kita berbagi

Posted in 1. Lektor, 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

PERARAKAN PERSEMBAHAN

Posted by liturgiekaristi on May 12, 2011


Sharing umat :
Rickie Winarta
dibanyak paroki masih mempersoalkan antara lain : dalam persembahan ada lilin yg bernyala, dan persembahan diiringi tari2an balerina, lalu lagu2nya juga diambil dari lagu yg bukan dari puji syukur, sesudah imam terima persemba…han terus imam…nya memberikan berkat dengan tanda salib seperti saat pemberkatan penutup, nah lhooo apalagi nih ??? boleh ga ya ?? kalau ga boleh, terus menerangkannya harus bgmn tuh?? umatnya susahhh banget hehheeheh…. thanks atas pencerahannya

Teresa Subaryani Dhs lagu liturgis bisa saja diambil dari tempat lain, tidak harus mutlak hanya dari buku Puji Syukur. Yang perlu diperhatikan apakah lagu tersebut lagu liturgis atau hanya sekedar lagu rohani.

Johanes Ogenk Jbso

klo untuk musik/lagu, kita hendaknya mengacu pada :

SC art. 112 : “Musik Liturgi semakin suci, bila semakin erat berhubungan dengan upacara ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, …entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak.”

PUMR no. 74 “Nyanyian Perarakan perrsembahan tujuannya untuk mengiringi perarakan persembahan, maka digunakan nyanyian dengan tema persembahan. Kalau tidak ada perarakan persembahan, tidak perlu ada nyanyian

jadi tidak masalah apakah lagi itu diambil dari PS atau tidak selama lagu tersebut memiliki bobot liturgi…PS bukan standar tetap pemilihan lagu dalam Ekaristi, masih ada bnyk sumber lainnya bisa dari Buku Biru, Madah bakti dll, bahkan setiap paroki biasanya memliki buku nyanyian suplemen selain PS

untuk masalah lagu, saya pernah tulis soal ini di http://belajarliturgi.blogspot.com/2011/03/musik-dalam-liturgi.html mungkin bisa memberi gambaran seperti apa lagu dalam ekaristi…
Berkah Shalem

Johanes Ogenk Jbso

Sejauh yg saya tahu, wkt pembekalan awal sosialisasi TPE oleh Rm C. harimanto dan Rm Boli Udjan, Lilin dalam perarakan persembahan tidak ada maknanya sama sekali, karena di altar sudah ada lilin yang dinyalakan sejak misa mulai (lilin yg me…nyala ini sudah terberkati seiring misa berjalan) dan Imam memberi berkat pada petugas perarakan Ini sama sekali tidak perlu.
Berkat untuk public / jemaat hanya diberikan pada akhir Misa. Pemberian berkat pada saat ini dapat disalahartikan sebagai tanda pengistimewaan para peserta perarakan itu. Hal ini justru harus dihindari dalam Misa Kudus.

Posted in 3. Bagian Persembahan | Leave a Comment »

LAGU ANTAR BACAAN MENGGANTIKAN MAZMUR TANGGAPAN?

Posted by liturgiekaristi on May 8, 2011


Pertanyaan umat :

didlm Perayaan Ekaristi  atau ibadat lingk / kring, bolehkan diselipkan lagu antar bacaan stlh petugas membacakan bacaan & sbelum Injil di maklumkan ? Bagaimana sebaiknya ?

Lagu atau nyanyian antar bacaan masih sering dipakai terutama pada saat ibadat atau misa dilingkungan / kring, daripada menggunakan atau menyanyikan Mazmur tanggapan yg sesuai dg bacaan saat itu.

Nah, bagaimana sebaiknya ? dan bagaimanakah c…ara memilih Mazmur Tanggapan utk suatu bacaan ?

kita perlu melihat makna menyanyikan Mazmur yaitu :
Pertama : jawaban atau tanggapan jemaat atas sabda Allah yang telah diwartakan di mana tanggapan tersebut terwakili lewat pengalaman umat Israel yang tercantum dalam kitab Mazmur

Kedua : menjawab dengan pujian atas karya-karya Illahi dari Allah yang terus berlangsung sejak dunia ini diciptakan-Nya hingga sekarang ini

Ketiga : merupakan pewartaan kabar gembira tentang karya keselamatan Allah, di mana karya keselamatan ini memuncak pada diri Yesus Kristus Putra Nya yang tunggal.

ketiga makna tersebut memberi kesimpulan pada kita bahwa teks atau syair yang dinyanyikan atau didaraskan pada Mazmur Tanggapan, bukan bersumber dari SEMBARANG NYAYIAN. Teks atau syair dalam Mazmur Tanggapan harus BIBLIS/ALKITABIAH (bersumber pada Kitab Suci) yang kebanyakan diambil dari Kitab Mazmur, oleh karena itu jangan mudah menggantikan lagu Mazmur Tanggapan dengan lagu lainnya, apalagi lagunya tidak biblis.

Dalam PUMR 61 dikatakan : “Jika sulit untuk dinyanyikan maka Mazmur cukup dibacakan dengan diusahakan refren tetap dinyanyikan. Jika ini masih sulit dilakukan maka Mazmur dan refrennya dapat dibacakan bergantian. Tidak dibenarkan mengganti Mazmur dengan lagu-lagu lain bertema ‘Sabda Allah’.

Nyanyian pengantar injil, Sejak tahun 1970, Bait pengantar Injil mulai diterapkan dalam perayaan ekaristi. Bait Pengantar Injil adalah satu sisipan atau perikop yang berkaitn dengan isi Injil yang dibacakan pada saat itu. Secara Jelas dalam PUMR 62c dikatakan : “bait pengantar injil harus dinyanyikan. Jika tidak mampu menyanyikannya, maka bagian ini sebaiknya tidak didaraskan (dibacakan) dengan kata lain ditiadakan”

kebetulan baru kemarin saya nulis di blog tentang mazmur tanggapan dan Bait Pengantar Injil…lebih rincinya bisa dilihat di http://belajarliturgi.blogspot.com/2011/05/mazmur-tanggapan-bait-pengantar-injil.html

Noor Noey Indah

Dalam rangka pembaruan liturgi, Konsili Vatikan II menaruh perhatian besar thd Kitab Suci yg adlah sabda Tuhan. Dalam setiap kegiatan liturgi, Kitab Suci, termasuk mazmur tanggapan, diberi tempat dan peran yg amat penting, dan keduanya dili…hat sebagai pokok dari Liturgi Sabda.

Tata Bacaan Misa (TBM) menegaskan, “Bacaan-bacaan Kitab Suci tidak boleh diganti dengan bacaan lain; begitu juga mazmur yang diambil dari Kitab Suci. Sebab lewat Sabda Allah yang diwariskan secara tertulis itulah ‘Allah masih terus berbicara kepada umat-Nya’.” (bdk. TBM, 12).

Pencerahan dari SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Sebagaimana dikatakan sdr. Johanes Ogenk Jbso, bahwa Sabda Allah yang telah kita dengarkan, kita menanggapainya dengan bermazmur yang adalah juga Sabda Allah. Artinya Allah menaruh pada mulut (hati) kita SabdaNya, yaitu Mazmur untuk menangg…api SabdaNya. Hal ini merupakan tradisi dalam liturgi Gereja sejak awal, bahkan sejak dari tradisi Yahudi dan berlangsung sepanjang sejarah sampai sekarang.

Maka sebaiknya dalam perayaan Ekaristi di lingkungan/kring atau misa harian digunakan Mazmur Tanggapan, entah dinyanyikan atau didaraskan/dibacakan. Atau refreinnya dinyanyikan, ayat²nya dibacakan.

Lalu bagaimana caranya lagu mazmur yang sesuai dengan Mazmur pada hari yang bersangkutan? atau lagu refrein mazmur sesuai dengan Mazmur pada hari itu? Caranya :

1. Kalau punya buku Mazmur Tanggapan dan Alleluia, di halaman belakang buku itu ada INDEKS ALKITAB yang merujuk halaman buku Mazmur Tanggapan dan Allelui… lalu lihat nomornya yang sesuai dengan nomor lagu dalam buku Puji Syukur.

2. Kalau tidak punya buku Mazmur Tanggapan… untuk mendapatkan lagu refrein Mazmur yang sesuai: lihat di halam belakang buku Puji Sykur di INDEKS ALKITAB, Mazmur apa pada hari bersangkutan… lalu Mazmur tsb atau salah satu ayat yg merupakan refrein dr Mazmur tsb merujuk ke nomor lagu atau refrein mazmur di Puji Syukur.

Contoh, pada hari ini, jumad pekan Paskah II, 6 Mai 2006, Mazmur tanggapan hari ini adalah : Mzr 27: 1,4, 13-14. Untuk mendapatkan lagu refreinnya dalam buku Puji Syukur: di INDEKS ALKITAB menunjukkan bahwa Mazmur 27 ada beberapa pilihan. Saya memilih Mzr 27: 1, yang menunjukkan lagunya di Puji Syukur no. 649 atau refrein lagunya di PS no 847. Saya memilih refrein lagu mazmur PS no 847, sedangkan ayat-ayatnya dibacakan.

3. Cara yang lain, dulu di lembaran kuning buku Puji Syukur pada bagian tentang Tata Perayaan Sabda Hari Minggu, ada dicantumkan nada-nada lagu untuk mendaraskan refrein suatu ayat KS atau Mzr. Atau nada lagu yang menjadi pilihan pada Ibadat Harian. Yang punya PS cetakan lama bisa dilihat di situ atau di Madah Bakti cetakan terbaru.

Mungkin tayangan Kalender Liturgi bisa ditampilkan di page Facebook ini sehingga mudah diakses.

Salam
Philippe

Henricus Haryanto Kenyataan yang ada saat ini : banyak romo yg setuju dan malah ikut menyanyikan lagu antar bacaan(bukan mzmur) sebelum bacaan injil dilakukan. Beberapa romo bahkan membuat pernyataan bahwa bagian dari PE yg tidak boleh diubah2 adalah saat konsekrasi.Bagian lain boleh disesuaikan .

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda, 3. Koor dan Organis | Leave a Comment »

Selama bln Mei dan Oktober apakah kita boleh menyanyikan lagu2 Maria saat komuni ?

Posted by liturgiekaristi on May 5, 2011


Pertanyaan umat :

“Selama bln Mei dan Oktober apakah kita boleh menyanyikan lagu2 Maria saat komuni ?”

PENCERAHAN DARI PASTOR Christianus Hendrik

Kembali, persoalannya bukan sekedar boleh atau tidak. Tetapi perlu melihat waktu, tempat dan maksud sebuah nyanyian dibawakan. Ekaristi adalah Puncak dari seluruh Liturgi kita, bahkan dikatakan Ekaristi adalah puncak hidup iman kita; dan di… dalam Ekaristi yang kita rayakan adalah wafat dan kebangkitan Kristus. Tidak ada litugi lain yang lebih tinggi dari perayaan Ekaristi.

Dalam pelaksanaannya, Ekaristi sendiri kan punya thema2 tersendiri, disesuaikan dengan kalender Liturgi, agar seluruh kenangan akan sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus-di mana seluruh rencana keselamatan Tuhan digenapi- dapat sepenuhnya dirayakan. Di sinilah ada bagian2 di mana penghayatan iman terhadap Maria pun mendapat tempatnya, bahkan mendapat bulan2 khusus untuk menghormati Maria sebagai Bunda penyelamat yang istimewa. Ekaristi sendiri kiranya sudah memuat sendiri doa2, prefasi, lagu2 dan sebagainya untuk menghormati Maria.

Jadi sesuaikanlah lagu2 yang dipilih dengan thema perayaan Ekaristi yang benar. Biasanya di luar perayaan2 khusus, penghormatan kepada Maria dilaksanakan pada Ekaristi hari Sabtu. Maka kiranya untuk lagu komuni Selalu harus melihat apa yang mau dirayakan dalam perayaan Ekaristi saat itu. Lagu2 harus disesuaikan dengan bacaan2 Sabda yang dipakai hari itu, bukan berdasarkan mood dan kesukaan seksi liturgi.

Persisnya lagi, lagu komuni lebih berkaitan dan merujuk pada Ekaristi yang secara konkret kita rayakan, kita sambut. Maka focus perhatian umat saat itu lebih pada komuni daripada devosi2 lainnya. Jadi (selain karena secara khusus sedang merayakan keutamaan Maria) sebaiknya lagu2 komuni lebih berthemakan Ekaristi dan kekhusyukan saat menerima Tubuh dan Darah Tuhan, bukan pada yang lainnya. Toh kiranya masih banyak kesempatan2 sejak lagu pembukaan sampai lagu penutup yang bisa dipersembahkan bagi kemuliaan Maria yang kita hormati.

Salam hangat,
P.Christianus Hendrik SCJ – South Dakota, USASee More

Posted in 3. Koor dan Organis, 5. Bagian Komuni | Leave a Comment »

EVANGELIARIUM – MELAMBANGKAN KRISTUS YANG HADIR DALAM SABDANYA.

Posted by liturgiekaristi on May 4, 2011


Topik :

ada pendapat bahwa Evangeliarium melambangkan Kristus yang hadir dalam sabdaNYa, namun demikian… jika kita melihat PUMR 175 “….Akhirnya, diakon membawa Kitab Injil ke meja samping atau ke tempat lain yang anggun dan serasi.”
mengapa diletakkan di meja samping (alias meja kredens)?

Thomas Rudy

pertanyaan ini saya tanyakan karena admin sempat mengatakan:

++++++++++
Setelah pemakluman Injil, buku Evangeliarum tetap berada di ambo sampai selesai perayaan. Hal ini menunjukkan :

…Kehadiran Allah dalam SabdaNya sampai berakhirnya perayaan. Dan simbol kehadiranNya adalah ambo yang di atasnya ada Evangeliarum….

– Liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi merupakan satu kesatuan, Sabda Allah tetap hadir dalam liturgi Ekaristi; bukan sepert lakon atau adegan bahwa yang satu sudah berperan lalu lanjut adegan berikut… atau kita mau katakan: “Tuhan, kami telah mendengarkan SabdaMu, dan sekarang kami mau lanjut ke Ekaristi, jadi Tuhan pindah ke meja kredens atau pulang ke Sakristi… atau ke laci ambo…”
+++++++++++

sehingga timbul kesan, kalau keluar dari ambo berarti tidak menghargai kehadiran TUhan, apalagi ditaruh di kredens atau laci ambo…

padahal PUMR sendiri mengatakan diletakkan di kredens.. …kalau misa di vatikan, setelah evangeliarium dipakai, maka dicium oleh paus, paus kasih berkat dgn evangeliarium udah itu sayonara evangeliarium….. hilang sudah masuk ke belakang

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

PUMR 175 “….Akhirnya, diakon membawa Kitab Injil ke meja samping atau ke tempat lain yang anggun dan serasi.”
Credence itu meja kecil untuk meletakan perlengkapan² misa. Berarti dalam konteks ini, meja kecil dikhususkan untuk meletakan buk…u Evangeliarum, sama seperti yang biasa kita lakukan di bulan Kitab Suci (bulan september), ada meja yang dikhususkan (kredens) untuk meletakkan buku Sabda Allah setelah selesai dimaklumkan. Apa lagi dikatakan dalam PUMR tempatnya harus anggun dan serasi. Jadi bukan meja kredens biasa kita lihat berada di pojok panti imam tempat diletakkan piala, sibori, dll. Jadi kalau mau buat meja khusus (kredens) untuk meletakan buku Evangeliarum, ya silakan dan tempatnya harus pantas, anggun dan serasi. Kalau tidak ada kredens khusus… Evangeliarum tetap saja berada di ambo…. Dengan demikian makna kehadiran Sabda Allah dalam perayaan tetap ada sampai selesai perayaan.
Exortasi Apostolik VERBUM DOMINI dari Benediktus XVI bisa membantu kita menghayati makna Sabda Allah dalam liturgi khususnya di bagian II tentang VERBUM IN ECCLESIA, bab tentang LITRUGI MERUPAKAN TEMPAT KHUSUS (istimewa) DARI SABDA ALLAH pada no 52 – 55

http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/apost_exhortations/documents/hf_ben-xvi_exh_20100930_verbum-domini_en.html

Thomas Rudy ooooooo tq buat pencerahannya, jadi ini kredens yg berbeda dgn alat2 misa?wah banyak sekali meja2 kalau begitu

Agus Syawal Yudhistira

Tapi bagian II dari Verbum Domini menggarisbawahi apa yang sudah disampaikan oleh Rm. McNamara, bahwa dalam Liturgi Latin, sakramentalitas Kitab Suci hadir ketika dibacakan/diproklamasikan, dan bukan dalam wujud Kitab yang secara khusus dit…ahtakan.

Beliau menuliskan demikian (bagian Sacramentality of the Word [56]): “Christ, truly present under the species of bread and wine, is analogously present in the word proclaimed in the liturgy.”

Jadi analoginya jelas, seperti Kristus hadir dalam wujud roti dan anggur, kehadiran yang sama nyatanya hadir ketika Kitab Suci dimaklumkan. Jadi, tindakan pemaklumannya yang menyebabkan momen itu istimewa.

Verbum Domini no. 67 bicara soal pemakluman secara meriah. Ini sudah sama persis dengan apa yang ada dalam “Ordo Lectionum Missae” dan PUMR. Bahwa untuk menggarisbawahi keistimewaan pewartaan sabda, baik jika pada hari raya, pesta dan hari minggu, diadakan prosesi Evangeliarium/Injil.

Soal tempat peletakan Injil baru disebut pada no. 68, bahwa Kitab Suci selayaknya ditahtakan di tempat terhormat di dalam Gereja, di luar perayaan liturgi.
Sementara artikel yang sama mengatakan bahwa Ambo harus menjadi pusat perhatian pemakluman sabda. Ini sudah sesuai dengan PUMR dan “Ordo Lectionum Missae.”

Dengan demikian Verbum Domini, tidak menjelaskan apa-apa soal tempat peletakan Evangeliarium setelah digunakan.

Saya pikir, masalahnya hanya praktis saja.
1. Tidak masalah Evangeliarium tetap ditinggal di Ambo, selama Ambo cukup besar, tidak mengganggu jalannya upacara ketika harus digunakan untuk homili, atau doa umat.
Tidak baik juga, dari segi praktikal, menumpuk2 Evangeliarium di Ambo, dengan risiko rusak, robek, terlipat.
2. Jika Ambo terlalu kecil, seperti misalnya ambo portabel yang biasa digunakan untuk Misa Kepausan, Evangeliarium disimpan di tempat lain. Praktek paling umum adalah membawanya ke meja Kredens. Tempat ini secara spesifik disebut oleh PUMR sebagai tempat terhormat untuk meletakkan Evangeliarium atau Injil setelah pemakluman.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Konsisten dengan PUMR 175 bahwa yang bertugas membawa dan meletakkan Evangeliarum di kredens adalah diakon. Maka (tidak ada diakon), imam selesai memaklumkan Injil, Evangeliarum tetap berada di ambo. Praktis aja kan mas… tidak repot-repo…t…..
Dan saya pikir sudah sesuai dengan Sakramentalitas Sabda Allah (VD 56) “Sabda telah menjadi daging”, Firman Allah yang dimaklumkan di ambo dan dari Evangeliarum menjadi Tubuh dan Darah Kristus di altar (lit. Ekaristi). Ambo : meja Sabda, altar : meja Ekaristi. Keduanya merupakan satu kesatuan perayaan liturgi. Maka seperti saya katakan sebelumnya, kalau sehabis pemakluman Injil, Evangeliarum dibawa ke kredens yang berada si pojok panti imam, atau ke sakristi, atau ditaruh di laci ambo, itu kesannya bukan satu kesatuan perayaan tetapi semacam adegan dan berganti peran bahwa selesai liturgi Sabda adegan berikut liturgi Ekaristi. Kalimat saya seperti yang dikutip Thomas Rudy di atas, itu berangkat dari sini, soal ganti adegan. Paus Benediktus XVI dalam Verbum Domini menegas : “Christ, truly present under the species of bread and wine, is analogously present in the word proclaimed in the liturgy.” (VD 56, bagian akhir alinea kedua).
SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Point saya adala kesatuan perayaan antara meja Sabda : ambo + Evangeliarium dan meja Ekaristi : altar + tubuh dan darah Kristus. Maka dari Verbum Domini 56 tentang Sakramentalitas Sabda Allah, saya merefleksikan demikian :
Bacaan Injil hari …Minggu Paskah II esok tentang kisah dua murid Emaus. Saya mendengarkan Sabda Tuhan tentang kisah dua murid Emaus ini dalam Evangeliarum dari mimbar Sabda (ambo). Firman Tuhan ini berinkarnasi (Sabda menjadi daging) menjadi tubuh dan darah Kristus dalam Ekaristi (DSA). Saat komuni saya menerima Tubuh Kristus, yang adalah Tuhan Yesus yang bangkit, Dia menampakkan diriNya kepada dua murid Emaus, yang pemakluman kisahnya ini saya telah mendengarkannya dari Evangeliarum dibacakan di ambo.

Maaf kalau saya agak ngotot tetap mempertahankan Evangeliarium tetap berada di ambo, karena mau menunjukkan simbolisasi kehadiran Sabda Allah dalam satu kesatuan perayaan liturgi.

Proposisi no 7 hasil sinode para uskup 2008 tentang Sabda Allah, yang merekomendasikan Paus untuk mengeluarkan Verbum Domini ini, menegaskan kembali Dei Verbum no 21 dan SC no 56. Proposisi itu mengatakan demikian :

Proposition 7:
Unity between Word of God and Eucharist.

“It is important to consider the profound unity between the Word of God and the Eucharist (cf. “Dei Verbum,” 21), as expressed by some particular texts, such as John 6:35-58; Luke 24:13-35, in such a way as to overcome the dichotomy between the two realities, which is often present in theological and pastoral reflection. In this way the connection with the preceding Synod on the Eucharist will become more evident.
The Word of God is made sacramental flesh in the Eucharistic event and leads Sacred Scripture to its fulfillment. The Eucharist is a hermeneutic principle of Sacred Scripture, as Sacred Scripture illumines and explains the Eucharistic mystery. In this sense the Synodal Fathers hope that a theological reflection on the sacramentality of the Word of God might be promoted. Without the recognition of the real presence of the Lord in the Eucharist, the intelligence of Sacred Scripture remains unfulfilled.”

Thomas Rudy

‎@admin dan Agus Syawal: thanks saya dapat pencerahan, memang benar kesatuan antara sabda dan ekaristi tidak terpisahkan

bahwa kehadiranNya itu akan terus konstan, “Sabda telah menjadi daging”, Firman Allah yang dimaklumkan di ambo dan dari …Evangeliarum menjadi Tubuh dan Darah Kristus di altar (lit. Ekaristi). –> pinjam kutipan admin yah……….Maka Verbum Domini sudah menggambarkan dengan jelas betapa eratnya sabda dan ekaristi

maka adalah tepat penempatan di Kredens (kredens yg sama dgn alat-misa). kenapa? karena di kredens itulah peralihan dimana sang sabda (dilambangkan dengan buku) dipersiapkan untuk dikurbankan.

Meja Kredens pada misa Paulus VI lebih memerankan peran penting dimana piala lengkap dgn patena berada disana, ampul dll semua berada disana… penempatan Evangeliarium Kredens mendukung simbolisasi sabda menjadi manusia dan kemudian dikurbankan

sehingga [menurut saya] tidak timbul gagasan salah ada “dua matahari” tapi hanya ada 1 matahari. (Yesus dalam sabda dan YEsus dalam Ekaristi dua-duanya hadir, padahal dalam ekaristi kehadiran itu bersifat kontinuum, berkelanjutan bukan berdua2an bersaing2an).

saya kemudian membaca buku Ceremonies Modern ROman Rite (no. 263), pada misa tanpa diakon disitu dikatakan bahwa Evangeliarium diletakkan dibawa laci ambo atau diberikan pada server (misdinar) untuk diletakkan di kredens (Nah, pernyataan saya ditaruh dilaci ambo, dasarnya dari sini selain ada masukan dari salah satu pastor di KWI)

Saya tergoda untuk membaca buku The Celebration of Mass (rubrik misa tridentine), dimana memang sudah dari jaman dahulu Evangeliarium itu diletakkan di kreden.

jadi memang akhirnya ke-diam-an (dan ambiguitas) rubrik mempersilahkan imam/MC mengatur apakah tetap di Ambo atau dipindah ke kredens no problemo

terima kasih juga link-nya, cukup sangat membantu…saya membaca seperti cara @agus membaca hehehe…

justru diskusi ini memperteguh saya malahan agar evangeliarium itu baik pada misa dengan diakon atau tanpa diakon tetap diletakkan di kredens….(tapi sayang saya bukan imam hahahaha)

nah setelah kita berkomuni menyambut sabda yang menjelma itu… maka itulah kenapa Evangeliarium tidak ikut dalam perarakan pulang karena sudah disantap…

sorry, setelah saya baca kembali, ada kesalahan ketik dalam pernaytaan saya di atas tentang bacaan Injil kisah dua murid Emaus. Yang dimaksud adalah bacaan Injil Hari Minggu Paskah, misa sore, bukan Minggu Paskah II. jadi sekali lagi maaf atas kesalahan ketik ini. semalam ketika menulis ini sduah dini hari jam 2, sdh ngantuk dan tak sepat koreksi lagi….

salam

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda, 4. Buku Liturgi | Leave a Comment »

Dalam perayaan Ekaristi, kapan tepatnya hosti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah KRISTUS

Posted by liturgiekaristi on May 4, 2011


Pertanyaan umat :

shalom!!
numpang nanya, hosti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah KRISTUS pada saat DSA. yg menjadi pertanyaan saya kapan tepatnya hosti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah KRISTUS?apakah pada saat Imam menumpangkan tangan ke atas hosti dan anggur serta membuat tanda salib? atau pada saat hosti/anggur diangkat? atau pada saat DSA berakhir? sekalian dasar Alkitab kita apa ya?
terima kasih
Deo Gratias

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Pada mulanya dalam Liturgi Gereja Barat, istilah pengudusan / konsekrasi (consecratio) hanya dipusatkan pada kata-kata institusi Yesus. Perubahan roti menjadi Tubuh dan anggur menjadi darah Kristus dipahami baru terjadi pada saat kata-kata …institusi diucapkan (Inilah Tubuh-Ku…. Inilah Darah-Ku….), namun dalam pembaharuan Konsili Vatikan II ditegaskan bahwa proses pengudusan itu berlangsung pada seluruh DSA. Kisah dan kata-kata institusi menjadi sangat penting dan esensial karena pada saat itu imam mengulangi secara langsung apa yang dahulu dilakukan dan dikatakan Yesus pada saat perjamuan terakhir. Pada mulanya kisah dan kata-kata institusi dalam DSA-DSA berbeda-beda, namun sejak Paulus VI ditetapkan bahwa setiap kata-kata institusi harus sama pada semua DSA.
Pada saat mengucapkan kata-kata institusi imam membungkuk sedikit dan mengucapkan kata-kata institusi dengan lantang dan jelas. Setelah mengucapkannya, imam mengangkat hosti agar dilihat umat, lalu meletakkannya ke patena dan berlutut. Demikian juga atas piala. Disini terjadi apa yang disebut dengan elevasi. Istilah elevasi menunjuk pada diangkat / diperlihatkannya hosti / piala kepada umat pada saat sesudah kata-kata institusi diucapkan. Peristiwa ini sangat penting secara spiritual. Kita sebaiknya mengangkat kepala dan mata menatap Yesus yang ditinggikan.
Yesus yang ditinggikan di salib secara tipologi telah dihadirkan dalam bentuk ular tembaga Musa di padang gurun yang mampu menghidupkan mereka yang dipagut ular (akibat dosa = kematian ; ular lambang sumber dosa). Karena “sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan” ( Yoh 3:14 – bdk Bil 21:9). “Jika seseorang dipagut ular, dan ia memandang kepada ular tembaga itu, tetaplah ia hidup”. (Bil 21:9). Yesus yang sama itu sekarang ditinggikan dalam rupa hosti suci.
Tradisi umat di Indonesia adalah menyembah, menundukkan kepala dan mengucapkan kata-kata Thomas: “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yoh 20:28). Tindakan menyembah sangat saleh namun sebaiknya kita tetap mengangkat kepala dan memandang dia, agar kita tetap hidup!
Tradisi elevasi hosti suci baru dilakukan abad XIII (elevasi piala baru abad XVI) sebagai devosi terhadap sakramen Mahakudus yang timbul akibat penyangkalan Berengarius akan kehadiran nyata (praesentia realis) Tubuh dan Darah Kristus dalam Ekaristi. Sejak itu muncul keyakinan bahwa dengan memandang hosti dan piala suci yang dielevasi itu, umat akan memperoleh berkat khusus.
(dicuplik dari buku : berhala ini bernama ekaristi, FX. Sutjiharto, lihat di www.parokisalibsuci.org)

Posted in 4. Bagian Doa Syukur Agung | Leave a Comment »

SOSIALISASI BUKU EVANGELIARIUM DI GEREJA PAROKI

Posted by liturgiekaristi on April 29, 2011


Pertanyaan umat:

Seputar Evangeliarium. Dalam Misa dipimpin seorang imam selebran, tanpa diakon, setelah Evangeliarium dibaca, bagaimana kemudian Evangeliarium disimpan?
Dalam skenario adanya diakon atau konselebran, mereka yang akan membawa evangeliarium pergi setelah dibaca dan diletakkan di tempat lain, meja kredens misalnya.
Namun dalam skenario tanpa diakon atau konselebran, apakah Evangeliarium selesai dibaca dibiarkan di ambo sampai misa selesai?
Ataukah imam memberikannya kepada lektor/putera altar untuk membawanya ke meja kredens?
Mengingat ambo akan digunakan untuk homili dan doa umat, sepertinya membiarkan Evangeliarium di meja kredens bukan pilihan yang baik. Secara praktis, memenuhi ambo dan kemungkinan rusak lebih besar.
Di PUMR tidak disebutkan bagaimana Evangeliarium harus disimpan dalam misa tanpa diakon.

Pendapat umat Thomas Rudy

itulah gunanya laci dibawah ambo

Pendapat umat  Agus Syawal Yudhistira

LOL, kepikiran juga.. tapi tetep, sepertinya decorumnya kelihatan lebih elegan jika, setelah Injil dibacakan, seorang lektor atau putera altar sudah menunggu, lalu evangeliarium diserahkan untuk dibawa dengan hormat tanpa prosesi atau upaca…ra ke meja kredens.
Yah mengingat kalau dalam Misa Forma Extraordinaria, adalah pelayan altar juga yang bertugas menukar Injil dari sisi epistola ke sisi injil, sepertinya skenario yang saya sebutkan ‘memungkinkan.’

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Setelah pemakluman Injil, buku Evangeliarum tetap berada di ambo sampai selesai perayaan. Hal ini menunjukkan :
Kehadiran Allah dalam SabdaNya sampai berakhirnya perayaan. Dan simbol kehadiranNya adalah ambo yang di atasnya ada Evangeliarum….- Liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi merupakan satu kesatuan, Sabda Allah tetap hadir dalam liturgi Ekaristi; bukan sepert lakon atau adegan bahwa yang satu sudah berperan lalu lanjut adegan berikut… atau kita mau katakan: “Tuhan, kami telah mendengarkan SabdaMu, dan sekarang kami mau lanjut ke Ekaristi, jadi Tuhan pindah ke meja kredens atau pulang ke Sakristi… atau ke laci ambo…”

Hal ini simbol penting perayaan liturgi, jadi perlu mendapat perhatian serius.

Kalau ambonya dirasa terlalu kecil dan tidak cukup muat buku Evangeliarum, ya ganti ambonya yang lebih layak dan pantas…. bukan Evangeliarumnya yang disingkirkan.

Petugas doa umat bisa mengmbil tempat di ambo, atau mimbar dirijen atau yang memberi pengumuman.

Pada akhir perayaan petugas : diakon/prodiakon/lektor/lektris mengambil buku Evangeliarum di ambo dan bersama imam dan misdinar berarak kembali ke sakristi.

Agus Syawal Yudhistira

Tetapi sebaliknya PUMR menyatakan bahwa doa umat dan homili selayaknya dilakukan dari Ambo, dan kenyataan bahwa dalam Misa dengan Diakon adalah umum untuk menyimpan Evangeliarium setelah Liturgi Sabda – Misa Kepausan misalnya, dan pendapat …pakar liturgi seperti Professor McNamarra dari Regina Apostolorum University menyatakan bahwa tidak selayaknya Injil/Evangeliarium ditahtakan secara sangat istimewa setelah pembacaan.

Juga dalam perarakan keluar, disebutkan dalam tata cara penggunaan bahwa buku Evangeliarium tidak dibawa lagi dalam perarakan keluar.

Dalam Misa Kepausan, sepertinya malah buku Evangeliarium dibawa kembali ke Sakristi setelah Paus menghormati dan memberkati umat dengan menggunakan Evangeliarium dan tidak dibawa kembali pada prosesi keluar.

Apakah decorum membiarkan Evangeliarium di Ambo dalam Misa tanpa Imam adalah pilihan terbaik?

Pendapat Professor McNamara sebagai berikut:
“However, as Pope Paul VI taught, while Christ’s presence in the Word is real, it ceases when the readings are concluded. The Eucharistic presence alone is substantial and real ‘in the fullest sen…se.’

It is therefore quite logical that all liturgical honors paid toward the Book of the Gospels cease once the Liturgy of the Eucharist begins.”

http://www.ewtn.com/library/liturgy/zlitur130.htm

Thomas Rudy karena rubrik diam dalam hal ini, letakkan saja dibawah laci, tetap di ambo tetapi sekaligus perhatian umat tidak teralihkan saat liturgi ekaristi

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Bukan bermaksud untuk mengistimewakan buku Evangeliarum, tetatpi mengatakan simbol kehadiran Allah dalam seluruh satu-kesatuan parayaan liturgi (dari awal sampai akhir perayaan) (bdk. SC. no 7). Maka biarkan simbol-simbol kehadiran Allah i…ni tetap berbicara dalam seluruh perayaan itu. Maka setelah pemakluman Injil Evangeliarum tetap berada di ambo, dan memang di situ tempatnya (entah dalam keadaan terbuka, atau lebih baik tertutup). Toh selama ini buku Bacaan Misa, tetap berada di atas ambo sampai selesai perayaan.Maka menurut saya, dengan adanya buku Evangeliarum pun sama seperti buku bacaan Misa yang sudah dipraktekkan selama ini.

Ada kejadian, setelah pembacaan Injil, imam menyampaikan homili, karena mungkin merasa bahwa buku Evangeliarum “mengganggu” dia dalam menyampaikan homili, buku ini dia serahkan ke misdinar, oleh misdinar diletakkan di meja kredens. Pada saat persiapan persembahan, misdinar yang lain melaksanakan tugasnya dan mungkin dia merasa terganggu, dia ngambil buku ini lalu bingung dia mau taruh dimana karena tak ada tempat, akhirnya dia letakkan di lantai… REAKSI UMAT SUDAH KAYA BUNYI LEBAH….

Pada hal sebelumnya, umat dengan penuh hormat berdiri, menyerukan/menyanyikan Alleluia dengan lantang, Evangeliarum diambil dari altar, diangkat dan ditunjukkan kepada umat, diarak menuju ambo dengan diapiti dua lilin yang menyala, didupai dengan kemenyan yang harum, dimaklumkan dengan penuh hikmat, pada akhir pemakluman Evangeliarum diangkat, ditunjukkan kepada umat beriman sambil menyerukan “VERBUM DOMINI” umat menjawab “LAUS TIBI CHRISTE” atau “Berbahagialahl orang yang mendengarkan Sabda Tuhan dan dengan tekun melaksankanNya” umat menjawab dengan aklamasi yang gembira : “SabdaMu adalah jalan, kebenaran dan hidup kami”, lalu Evangeliarum dikecup dengan penuh hormat. …. tetapi setelah itu….?? kok diletakkan di lantai seperti kejadian di atas… atau diumpetin di laci ambo… dll.

Jadi saya masih tetap berpendapat bahwa biarkan buku Evangeliarum itu tatap berada di ambo, sehingga simbol kehadiran Sabda Allah tetap berbicara sampai akhir perayaan; malahan Sabda Allah yang sama memberi peneguhan pada saat Doa Syukur Agung, mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus… umat beriman yang telah dikuatkan oleh Sabda Allah (dalam lit. sabda) datang menyambut Yesus Kristus Sang SABDA ALLAH itu sendri.

Mengenai perarakan masuk dan perakan pada akhir perayaan, ini soal konsistensi saja :
Kalau perarakan masuk buku Evangeliarum diikutsertakan maka pada akhir perayaan juga diikutsertakan dalam perarakan….
Kalau perarakan masuk Evangeliarum tidak disertakan, berarti buku Evangeliarum sudah diletakkan di altar dalam posisi berdiri…. maka diakhir perarakan buku ini juga tidakdiikutsertakan….

Thomas Rudy

sebenarnya itu dikarenakan rubrik dalam PUMR mendiamkan hal tsb…coba perhatikan pada PUMR 128-137 pada saat misa umat, dimana misa tanpa diakon, imam mengambil buku injil (evangeliarium) dari altar kemudian dst-dst tapi ngak dijelaskan ha…rus bagaimana sesudah dibacakan….

sedangkan kalau kita lihat PUMR 175-177 disana dijelaskan bahwa diakon sesudah memaklumkan injil truss dibawa ke kredens atau tempat yang sesuai.

nah disini rubrik itu diam saat misa tanpa diakon (nah justru karena rubriknya diam maka terbuka pada berbagai interpretasi), itu buku mau dikemanakan….maka tidak salah jika tetap di ambo, tidak salah juga jika diletakkan di dalam laci ambo, tidak salah juga jika dibwa oleh entah siapa ke sakristi….

Karena baik dengan diakon/tanpa diakon, hormat terhadap buku Evangeliarium/Injil tetaplah sama. Tetapi berarti memindahkannya ke meja kredens harusnya bagian dari penghormatan yang layak ini.

Dan mungkin mengejutkan bahwa dalam Liturgi Romawi, “kehadiran Kristus dalam sabda terjadi pada saat dimaklumkan” dan bukan secara sakramental pada buku Evangeliarium/Injil itu sendiri (kata professir McNamara; thanks ke Agus Syawal Yudhistira untuk linknya diatas). karena ada imam penanya dari Skotlandia yang menanyakan hal yang sama, “apakah kelihatannya kurang sopan atau kurang menghargai untuk memindahkan Injil ke laci/kredens setelah dibacakan.”

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Kalau di PUMR tidak menyebutkan atau menjelaskan, ya tetap aja diletakkan di ambo, jangan menginterpretasikan lagi dengan memnaruh di laci ambo, … ke kredens, dsb… kan PUMR tidak menyebutkan…. ya di situ aja ditempatkan, di ambo, dan …memang itu tempatnya….

Oke, saya kutip PUMR no 175 pada akhir alinea : “Akhirnya, diakon membawa Kitab Injil ke meja-samping atau ke tempat lain yang anggun dan serasi.” Dari kalimat ini saya membayangkan tempat yg anggun dan serasi itu seperti yang sering terjadi di bulan Kitab Suci (September) ada tempat khusus untuk meletakan buku Sabda Allah, ya gak apa-apa…. saya setuju. Tetapi diletakkan di meja kredens yang selama ini terletak di pinggir panti imam dekat dinding atau di pojok belakang panti imam…. apa maknanya?

Soal kurang sopan atau tidak menghargai, itu masalah bagaimana orang mengartikannya, apalagi dalam liturgi banyak tanda dan simbol, entah itu tata gerak atau barang/materi yang ada di panti imam.

Mas, saya tidak bilang “kurang sopan” atau “tidak menghargai”, saya yang mencari apa maknanya dengan tindakan meletakkan di meja kredens atau menaruh di laci ambo. kenapa rupanya kalau Evangeliarum tetap berada di atas ambo.? Kalau tetap berada di ambo, saya sudah memaknainya seperti yang sudah saya katakan sebelumnya di atas.

Thomas Rudy

ngak ada yg salah sih kalau dia diletakkan di ambo saja saya setuju saja tapi bukan memuttlakkan krn rubrik diam disini, cuma tadi statement (mas/romo/pak/ibu) menunjukkan bahwa kalau tidak taruh di ambo berarti kurang hormat (coba deh disi…tu admin mengatakan: tuhan udah yah kami mau liturgi ekaristi slahkan pindah ke kredens dst2), padahal pumr sendiri diam dan tdk memberikan clue apapun pada misa tanpa diakon….mungkin juga dlm misa dgn diakon kenapa diletakkan di meja samping aka kredens karena kristus hadir dlm sabdaNya ketika dimaklumkan, ketika pemakluman (pembacaan) selesai, maka simbolisasi ini juga selesai….evangeliarium sayonara………ketika liturgi ekaristi maka semua fokus beralih pada yesus yg hadir scr sakramental, jd ndak ada lagi “pengalih perhatian” pada kehadiran yesus scr sakramental, makanya evangeliarium sayonara n diletakkan di kredens
  • Agus Syawal Yudhistira

    Sepertinya karena Evangeliarium menjadi titik puncak dan pusat dari perayaan Liturgi Sabda. Tetapi bukan titik puncak dari perayaan Liturgi Ekaristi, sedemikian untuk menggariskan bahwa sabda yang tadi dibaca menjelma, “inkarnasi” dalam dag…ing dan darah, penghormatan terhadap Evangeliarium dipindahkan kepada Ekaristi.
    Agaknya ini masuk akal, itu sebabnya Evangeliarium tidak dibawa dalam prosesi keluar. Karena Sabda sudah menjadi Daging dan sudah diterima oleh umat.

    Karena itu dalam “Ordo Lectionum Missae” no 10, dikatakan bahwa pewartaan sabda dan Ekaristi sama-sama dihormati namun tidak disembah secara sama.

    Atas alasan ini PUMR menyebutkan meja Kredens sebagai tempat terhormat meletakkan Evangeliarium. Pastinya ini tempat terhormat, jika tidak kita punya risiko menginterpretasikan bahwa dalam Misa dengan Diakon, dan peletakan di Kredens atau kembali ke sakristi seperti dalam Misa bersama Paus, tingkat hormat yang diberikan kepada Evangeliarium lebih rendah daripada yang dibiarkan tetap berada di Ambo.

    Mohon maaf atas panjangnya thread ini. Ketika saya menanyakan pertanyaan di awal, saya belum mendapat informasi lanjutan. Tapi tidak lama berselang saya menemukan artikel Romo McNamara, yang menjawab apa yang saya tanyakan.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA kenapa repot² harus diletakkan di kredens? atau dipulangkan ke sakristi? apa yang salah kalau Evangeliarum tiu tetap di ambo?

Thomas Rudy

‎@admin dan Agus Syawal: thanks saya dapat pencerahan, memang benar kesatuan antara sabda dan ekaristi tidak terpisahkan

bahwa kehadiranNya itu akan terus konstan, “Sabda telah menjadi daging”, Firman Allah yang dimaklumkan di ambo dan dari …Evangeliarum menjadi Tubuh dan Darah Kristus di altar (lit. Ekaristi). –> pinjam kutipan admin yah……….Maka Verbum Domini sudah menggambarkan dengan jelas betapa eratnya sabda dan ekaristi

maka adalah tepat penempatan di Kredens (kredens yg sama dgn alat-misa). kenapa? karena di kredens itulah peralihan dimana sang sabda (dilambangkan dengan buku) dipersiapkan untuk dikurbankan.

Meja Kredens pada misa Paulus VI lebih memerankan peran penting dimana piala lengkap dgn patena berada disana, ampul dll semua berada disana… penempatan Evangeliarium Kredens mendukung simbolisasi sabda menjadi manusia dan kemudian dikurbankan

sehingga [menurut saya] tidak timbul gagasan salah ada “dua matahari” tapi hanya ada 1 matahari. (Yesus dalam sabda dan YEsus dalam Ekaristi dua-duanya hadir, padahal dalam ekaristi kehadiran itu bersifat kontinuum, berkelanjutan bukan berdua2an bersaing2an).

saya kemudian membaca buku Ceremonies Modern ROman Rite (no. 263), pada misa tanpa diakon disitu dikatakan bahwa Evangeliarium diletakkan dibawa laci ambo atau diberikan pada server (misdinar) untuk diletakkan di kredens (Nah, pernyataan saya ditaruh dilaci ambo, dasarnya dari sini selain ada masukan dari salah satu pastor di KWI)

Saya tergoda untuk membaca buku The Celebration of Mass (rubrik misa tridentine), dimana memang sudah dari jaman dahulu Evangeliarium itu diletakkan di kreden.

jadi memang akhirnya ke-diam-an (dan ambiguitas) rubrik mempersilahkan imam/MC mengatur apakah tetap di Ambo atau dipindah ke kredens no problemo

terima kasih juga link-nya, cukup sangat membantu…saya membaca seperti cara @agus membaca hehehe…

justru diskusi ini memperteguh saya malahan agar evangeliarium itu baik pada misa dengan diakon atau tanpa diakon tetap diletakkan di kredens….(tapi sayang saya bukan imam hahahaha)

nah setelah kita berkomuni menyambut sabda yang menjelma itu… maka itulah kenapa Evangeliarium tidak ikut dalam perarakan pulang karena sudah disantap…

PENCERAHAN dari SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Pada perarakan masuk Evangeliarium dibawa oleh Diakon (atau oleh Lektor bila tidak ada Diakon) dan setibanya di panti imam Diakon/Lektor yang membawa Evangeliarium ini langsung meletakkannya di atas meja altar. Dalam hal ini Diakon/Lektor berjalan di depan atau di samping Imam selebran.Pada saat Bait Pengantar Injil, Evangeliarium yang diletakkan di atas meja altar ini diarak oleh Imam atau Diakon pembaca Injil menuju mimbar sabda.

Setelah pembacaan Injil, Evangeliarium diletakkan di meja kredens atau tempat lain yang anggun dan serasi, dan tidak dikembalikan ke meja altar.

-OL-

Rencananya di kami akan dibawa oleh prodiakon, ketika misa mingguan. Besok sabtu nih perdananya. Pada saat Paskah masih ada frater2. Lektor di tempat kami lebih banyak para remaja putri alias lektris. Mungkin utk alasan kepantasan saja, maka prodiakon yg membawa pada perarakan masuk. Setelah di altar maka Imam yg akan membawanya ke mimbar sabda. Mohon masukan.

PENCERAHAN dari Pastor Albertus Widya Rahmadi Putra

Jika tidak ada diakon … ” lektor DAPAT membawa Evangeliarum ” Cermati saja kata “dapat”… bukan berati “HARUS” khan? 🙂 Dengan kata lain tidak masalah bila dibawa oleh asisten imam atau prodiakon.. toh nantinya yang membaca Injil tetap imam..

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda, 4. Buku Liturgi | Leave a Comment »

ketika salam damai – menyanyikan lagu Dalam Yesus kita bersaudara dan umat bertepuk tepuk tangan

Posted by liturgiekaristi on April 28, 2011


Pertanyaan umat:

Salam Damai Kristus.. Mhn tanya?
Pada wkt missa, ketika salam damai, apakah pantas, layak, diperbolehkan, menyanyikan lagu Dalam Yesus kita bersaudara dan umat bertepuk tepuk tangan dgn meriah?? Sy pribadi kho rasanya kurang sreg.. Mhn pencerahan… Terima kasih Admin… GBU all

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

‎1. Perlu diketahui bahwa ritus salam damai sebenarnya tidak ada nyanyian. Nyanyian yang sah yang dimuat dalam buku liturgi adalah nyanyian “Damai Tuhan bersamamu” yang diucapkan oleh imam dan dijawab oleh umat “dan bersama rohmu”.2. Ada pendapat berdasar prinsip liturgi, bahwa apa yang didaraskan boleh dinyanyikan. Pada saat menyampaikan salam damai, umat seyogyanya sambil mengucapkan “Damai Kristus” (sesuai buku TPE). Maka kalau mau membuat nyanyian untuk dinyanyikan seluruh umat, harus memakai dasar syair itu. Dari sini bisa dilihat bahwa nyanyian yang paling pas untuk mendukung pendapat ini adalah nyanyian “Salam damai… damai Kristus besertamu, salam, salam.”

3. Salam damai sudah termasuk dalam Ritus Komuni. Bila dilihat di susunan misa sesuai buku TPE, Ritus Komuni sudah dimulai sejak Bapa Kami. Bapa kami, embolisme, doa damai, salam damai, pemecahan roti, adalah saat-saat menyiapkan diri dengan lebih intens lagi untuk menyambut komuni. Maka seyogyanya apa yang dilakukan pada saat-saat itu terarah pada komuni yang akan disambut.

4. Buku liturgi sendiri sebenarnya punya aturan ketat untuk salam damai, yakni: imam tidak boleh meninggalkan panti imam untuk menyampaikan salam damai, bagi umat, salam damai hanya diberikan kepada orang2 terdekat, bukan sebagai simbol rekonsiliasi, namun sebagai simbol pendamaian dengan sesama sebelum menyambut komuni.

5. Dari aturan itu saja bisa dilihat bahwa salam damai ini harus dijaga agar tidak mengarah kepada kegaduhan dan ketidakteraturan. Jika demikian, apalagi tepuk tangan yang berpotensi membuat suasana gaduh 🙂

-OL-

Posted in 5. Bagian Komuni | 5 Comments »

PENGGUNAAN BUKU EVANGELIARIUM (DNG VIDEO)

Posted by liturgiekaristi on April 20, 2011


Dikutip dari buku Evangeliarium

PENGGUNAAN BUKU

EVANGELIARIUM

 

 

 

A.        Penggunaan Umum

1.                   Dalam Perayaan Ekaristi kudus Evangeliarium atau Kitab Injil digunakan pada beberapa bagian, dengan berbagai cara:

a.                  Evangeliarium, bukan Buku Bacaan (Lectionarium), sebelum Misa atau Perayaan Ekaristi dimulai dapat diletakkan pada bagian tengah altar dalam keadaan tertutup, kecuali kalau buku itu dibawa dalam perarakan masuk (PUMR 117).

b.                  Dalam perarakan masuk Evangeliarium dibawa oleh Diakon (atau oleh Lektor dalam Misa tanpa Diakon) dengan cara sedikit diangkat dan dalam keadaan tertutup, lalu diletakkan di atas altar (PUMR 119, 120d, 122). Diakon pembawa Evangeliarium berjalan di depan atau di samping Imam Selebran (PUMR 172). Setibanya di altar, Diakon pembawa Evangeliarium tidak ikut memberi penghormatan kepada altar, tetapi langsung menuju altar untuk meletakkan Evangeliarium di atas altar. Sesudah itu, bersama dengan Imam, Diakon mencium altar.

Jika yang bertugas membawa Evangeliarium adalah Lektor karena ketiadaan Diakon, maka ia tidak mencium altar, tetapi langsung meletakkannya di atas altar, dan kemudian menuju ke tempat duduk yang tersedia untuknya. Evangeliarium yang tertutup itu berada pada bagian tengah altar sampai dengan sebelum pemakluman Injil (bdk. PUMR 173, CE 129).

c.                   Sebelum pemakluman Injil, Diakon memohon berkat kepada Imam Selebran dengan cara membungkuk di depannya. Jika tidak ada Diakon petugas pemakluman itu, maka yang bertugas adalah Imam Selebran itu sendiri. Jika tidak ada Diakon petugas dan Imam Selebran yang memimpin adalah seorang Uskup yang didampingi Imam Konselebran, maka salah seorang Imam Konselebran bertugas memaklumkan Injil. Imam petugas itu memohon berkat kepada Uskup yang bertindak sebagai Imam Selebran. Akan tetapi, jika Imam Selebrannya adalah seorang Imam biasa (bukan Uskup), maka Imam Konselebran yang bertugas memaklumkan Injil itu tidak perlu memohon berkat kepada Imam Selebran.

Sesudah diberkati oleh Imam Selebran, Diakon (atau Imam petugas) menuju altar, membungkuk menghormatinya, mengambil Evangeliarium dari altar itu, lalu pergi ke mimbar sambil membawa Evangeliarium yang sedikit diangkat, didahului para putra altar pembawa lilin bernyala dan pedupaan beraroma. Ia mendupai Evangeliarium setelah membuat tanda salib dengan ibu jarinya pada bacaan Injil yang akan dimaklumkan, pada dahi, mulut, dan dadanya. Lalu ia mendupai Evangeliarium itu tiga kali masingmasing dua ayunan: di tengah, di samping kiri, dan di samping kanan (lihat PUMR 175, CE 74). Setelah itu ia membawakan  bacaan Injil dengan cara membacakan atau menyanyikan.

d.                  Di akhir pemakluman Injil, Diakon atau Imam tidak perlu mengangkat Evangeliarium dari mimbar ketika ia menyerukan ”Demikianlah Injil Tuhan” atau seruan serupa.

e.                  Sesudah jawaban Umat ”Terpujilah Kristus”, Diakon mencium Evangeliarium sambil mengucapkan dalam hati ”Semoga karena pewartaan Injil ini dileburlah dosadosa kami”. Kalau yang memimpin Misa adalah seorang Uskup, Diakon membawa Evangeliarium kepada Uskup untuk dicium. Atau Diakon sendiri dapat menciumnya, tanpa membawanya kepada Uskup. Dalam perayaan meriah, kalau dianggap baik, Uskup dapat memberkati Umat dengan Evangeliarium dalam bentuk tanda salib besar.

Sesudah itu Diakon membawa Evangeliarium ke mejasamping (kredens) atau ke tempat lain yang anggun dan serasi, tetapi tidak meletakkannya di atas altar lagi (lihat PUMR 175). Sementara pelayan altar yang mendampingi pemakluman Injil meletakkan perlengkapannya di mejasamping.

f.                    Dalam Ritus Penutup, Evangeliarium tidak perlu dibawa lagi ketika perarakan keluar.

2.                  Dalam Misamisa Ritual atau Misa yang dirayakan dalam kaitan dengan sakramen dan sakramentali (PUMR 372; misalnya: Inisasi, Tahbisan, Pengurapan Orang Sakit, Perkawinan, Pelantikan Pelayan Liturgi, Pemberkatan, Pengikraran Kaul) Evangeliarium ini digunakan sesuai dengan tata cara di atas, kecuali jika ditunjukkan juga penggunaannya yang secara khusus diperlukan dalam Misa Ritual yang bersangkutan, seperti yang beberapa akan disebutkan di bawah ini.

VIDEO INI MEMPERLIHATKAN BUKU EVANGELIARIUM DIBAWA DALAM PERARAKAN, LALU DITARUH DI ATAS MEJA ALTAR (BUKAN DI MIMBAR SABDA  ATAU MEJA LAIN)  :

VIDEO INI MEMPERLIHATKAN PASTOR MENGAMBIL BUKU EVANGELIARIUM DARI ATAS MEJA ALTAR (BUKAN DARI MEJA LAIN), LALU MEMBAWANYA KE MIMBAR SABDA

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda, 4. Buku Liturgi | Leave a Comment »

Tentang ajakan “MARILAH KITA BERDOA” dan DOA PERSIAPAN PERSEMBAHAN.

Posted by liturgiekaristi on April 7, 2011


Tentang ajakan “MARILAH KITA BERDOA” dan DOA PERSIAPAN PERSEMBAHAN.

 

‎1) Seturut TPE 2005, lebih tepat menyebut DOA PERSIAPAN PERSEMBAHAN bukan Doa Persembahan. Mengapa? Karena persembahan yang sesungguhnya BELUM TERJADI ketia doa tersebut dibawakan. Tetapi, baru terjadi ketika keseluruhan rangkaian Doa Syukur Agung diserukan.

(Catatan tambahan: seturut TPE 2005, penggunaan istilah-istilah teknis sebaiknya diperhatikan: DOA PEMBUKA bukan ‘Doa Pembukaan’; DOA SESUDAH KOMUNI bukan ‘Doa Penutup’; MARILAH KITA BERDOA bukan ‘Marilah Berdoa’).

 

2) Seturut TPE 2005, pada ”Doa Persiapan Persembahan” imam TIDAK PERLU LAGI MENGAJAK umat dengan ‘Marilah KITA Berdoa’ sebagaimana halnya pada Doa Pembuka dan Doa Sesudah Komuni.

(Catatan: Dalam Perayaan Ekaristi tidak dikenal Doa Penutup, tetapi ‘Doa Sesudah Komuni’. Karena doa tsb ada dalam kesatuan dengan Liturgi Ekaristi bagian Komuni, bukan dengan Ritus Penutup).

 

3) Doa Persiapan Persembahan: TIDAK ADA-nya ajakan ‘Marilah Kita Berdoa’ tersebut terjadi karena sudah ada AJAKAN YANG LEBIH MERIAH oleh imam: ‘Berdoalah, Saudara-saudari, supaya persembahan-KU dan persembahan-MU BERKENAN kepada Allah, Bapa yang maha kuasa.’

Lalu SAMBIL BERDIRI umat menanggapinya dengan: ‘Semoga persembahan ini diterima demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan kita serta seluruh umat Allah yang kudus’.

 

4) Seturut ‘rubrik’ dalam TPE 2005, SESUDAH tanggapan umat tersebut, imam LANGSUNG mengucapkan/menyanyikan Doa Persiapan Persembahan.

(Catatan: khusus pada Doa Pembuka dan Doa Sesudah Komuni, imam HARUS mengucapkan ‘Marilah Kita Berdoa’).

 

5) Jangan lupa. UMAT BERDIRI ketika menyerukan: SEMOGA PERSEMBAHAN INI DITERIMA DEMI KEMULIAAN TUHAN DAN KESELAMATAN KITA SERTA SELURUH UMAT ALLAH YANG KUDUS.

 

6) Jadi, ajakan ‘Marilah Kita Berdoa’ pada Doa Persiapan Persembahan menjadi TIDAK RELEVAN lagi. Kalaupun dibuat, maka ajakan itu menjadi overlapping yang memang TIDAK PERLU.

(Meskipun demikian, bila ada imam yang masih tetap memakai ‘marilah kita berdoa’ Perayaan Ekaristi tersebut tetap sah.

Umat tidak serta-merta masuk neraka hanya karena selebran utama menggunakan ajakan tersebut. Hehehe).

 

7) PUMR 146: ”Kemudian imam kembali ke tengah, dan menghadap ke arah umat. Sambil membuka tangan ia mengajak umat berdoa: ‘Berdoalah, Saudara-saudari,…’ Umat berdiri dan menanggapi ajakan imam dengan berdoa: ‘Semoga persembahan ini…’ Sesudah itu, sambil merentangkan tangan imam membawakan Doa Persiapan Persembahan yang ditutup oleh umat dengan seruan: ‘Amin’.”

 

 

Semoga bermanfaat

Salam, Zepto-Triffon

Sorong

Posted in 3. Bagian Persembahan | Leave a Comment »

Tentang ANAMNESIS dalam Doa Syukur Agung.

Posted by liturgiekaristi on April 7, 2011


Tentang ANAMNESIS dalam Doa Syukur Agung.

 

1) Bahasa Yunani ‘anamnese‘ berarti ‘PENGENANGAN’. (Bahasa Latin: memoria; Bahasa Ibrani: zikkaron). Adapun, secara historis, ‘pengenangan’ dalam liturgi ini memiliki asal-usulnya dalam tradisi liturgi Agama/Budaya Yahudi. Upacara-upacara liturgis keyahudian sangat ditandai dengan pengenangan-pengenangan akan karya Agung Allah pada masa lampau.

 

2) PENGENANGAN dalam Doa Syukur Agung bukanlah sekedar usaha mengingat-ingat secara subektif dan rasional, melainkan PENGHADIRAN SELURUH RANGKAIAN KARYA KESELAMATAN ALLAH SECARA OBYEKTIF DAN NYATA.

 

3) Dalam paham POPULER-PROFAN, pengenangan selalu berdimensi masa lampau dan masa kini. Bandingkan dengan anamnese riwayat penyakit dan segala indikasinya yang selalu di-‘gali’ oleh perawat/dokter setiap kali pemeriksaan kesehatan.

 

4) Dalam LITURGI, pengenangan berdimensi tiga: karya keselamatan Allah yang TELAH berlangsung sejak masa lampau dan yang AKAN mencapai kepenuhannya pada masa yang akan datang (=akhir zaman), kini SEDANG dihadirkan secara obyektif dan nyata dalam upacara liturgis ini.

Oleh karena itu, teks anamnesis selalu ditandai dengan tiga dimensi waktu tsb: LAMPAU, KINI, DEPAN.

 

5) PUMR 151: ”Sesudah konsekrasi, setelah IMAM BERKATA ‘Agunglah misteri iman kita’, umat melagukan atau melambungkan salah satu aklamasi anamnesis yang dipilih dari rumus-rumus yang tersedia. ….”

 

6) Istilah ‘KATA-KATA INSTITUSI’. Bagi yang baru dengar istilah ini, istilah teknis tersebut menunjuk pada kata-kata imam:

”Terimalah dan makanlah, inilah TUBUHKU yang …. dst” dan

”Terimalah dan minumlah, inilah PIALA DARAHKU, …. dst”.

 

7) Anamnesis bukan sekedar bagian dari tata liturgis Doa Syukur Agung, melainkan sungguh merupakan ungkapan IMAN GEREJA dari masa ke masa, yang secara liturgis dirayakan secara simbolis.

 

 

Semoga bermanfaat.

Salam, Zepto-Triffon

Sorong.

Posted in 4. Bagian Doa Syukur Agung | Leave a Comment »

Tentang EPIKLESIS dalam Doa Syukur Agung

Posted by liturgiekaristi on April 7, 2011


Tentang EPIKLESIS dalam Doa Syukur Agung

 

‎1) Bahasa Yunani, epiklesis berarti memanggil sesuatu atau seruan atas sesuatu.

 

2) Dengan Doa Epiklesis/epiklese dalam Doa Syukur Agung, Gereja berdoa memohon agar Allah berkenan mengutus Roh Kudus-Nya untuk MENYUCIKAN ATAU MENGUDUSKAN roti-anggur sebagai persembahan resmi Gereja menjadi Tubuh-Darah Kristus.

 

3) Doa Epiklesis/epiklese untuk pengudusan roti-anggur terjadi ketika imam MENUMPANGKAN TANGAN atas roti-anggur lalu membuat tanda salib berkat atasnya.

 

4) Doa Epiklesis memberikan jaminan iman dari kemungkinan pandangan magis atas roti-anggur sebagai barang/benda. Why? Karena, dalam iman Gereja, bukan roti-anggur itu pada dirinya sendiri (as such), melainkan ALLAH SENDIRI-LAH YANG MENJADI SUMBER PENGUDUSAN.

 

5) Doa Epiklesis menunjukkan keyakinan iman kristiani bahwa HANYA Allah yang sanggup mengubah sesuatu dan menguduskan seseorang/sesuatu dalam Roh Kudus-Nya, lewat kepemimpinan imam-Nya.

 

6) Unsur epiklesis bukan hanya berlaku untuk konsekrasi roti-anggur tetapi juga pada setiap sakramen. Secara sangat nyata itu nampak pada Sakramen Tahbisan, ketika si tertahbis ditumpangkan tangan oleh uskup (dan para imam) dalam keadaan SEMUA HENING, tak ada doa, tak ada nyanyian yang mengiringinya.

 

7) Unsur Epiklese merupakan salah satu UNSUR KONSTITUTIF LITURGI GEREJA selain (a) unsur dialogis [anabatis-katabatis], (b) unsur anamnesis/pengenangan, dan (c) unsur simbolis.

 

 

Semoga bermanfaat

Salam, Zepto-Triffon

Sorong.

Posted in 4. Bagian Doa Syukur Agung | Leave a Comment »

Tentang CREDO (atau SYAHADAT, atau AKU PERCAYA). Beberapa pencerahan.

Posted by liturgiekaristi on April 7, 2011


Tentang CREDO (atau SYAHADAT, atau AKU PERCAYA). Beberapa pencerahan.

 

1) Kata CREDO (dari bahasa Latin credere = percaya) dipahami secara luas sebagai SYAHADAT. Maka untuk mudahnya dua istilah ini dipandang sinonim. Kedua-duanya itu sama artinya dengan AKU PERCAYA.

 

2) Secara esensial, CREDO itu hanya SATU, yaitu pengakuan iman akan Allah Tritunggal dan akan Gereja serta pokok-pokok ajaran Gereja. Namun, untuk penggunaan dalam liturgi resmi, dikenal DUA macam RUMUSAN/FORMULA yang berlaku resmi sejak abad ke-2 (Credo Apostolorum [=Kredo Para Rasul]) dan sejak abad ke-4 (Credo Nicea-Konstantinopel).

 

3) KREDO PARA RASUL (Credo Apostolorum) sudah mulai dipakai dalam ibadat Gereja, meski masih secara terbatas, sejak abad ke-2. Sedangkan, Rumusan CREDO NICEA-KONSTANTINOPEL dipakai sejak abad ke-4. Persisnya, sejak rumusan ini dihasilkan pada Konsili Nicea I (Mei-Juni 325), dan yang kemudian disempurnakan dalam Konsili Konstantinopel I (Mei-Juni 381).

 

4) CREDO pertama-tama bukanlah NYANYIAN, melainkan FORMULA/RUMUSAN pengakuan iman. Maka seturut ketentuan PUMR 67 (tentang rumusan yang disahkan untuk penggunaan liturgis), HARUS dihindarkan penggunaan rumusan-rumusan lain yang menggantikan RUMUSAN-RESMI CREDO dalam liturgi resmi Gereja.

 

5) Ternyata, norma resmi tersebut mewajibkan umat Katolik mengungkapkan Credo, BUKAN dengan pelbagai rumusan yang bercorak sangat longgar dan terbuka pada interprestasi masing-masing orang, TETAPI dengan FORMULA/RUMUSAN RESMI dari buku liturgi resmi Gereja pula. (Yaaa…. kecuali kalau ada orang yang semaunya berjalan di luar rel). Dan, terkait dengan Perayaan Ekaristi, maka buku liturgis yang resmi yang dimaksud adalah Missale Romanum. Dalam Buku Misale Romanum terbaru (2002) itu terdapat hanya DUA RUMUSAN/FORMULA Credo, yaitu Credo Nicea-Konstantinopel dan Credo Apostolorum. Tidak ada rumusan ketiga, keempat, kelima, dst.

 

6) Maka, harus dibedakan dengan sungguh jelas antara:

[a]        RUMUSAN ‘AKU PERCAYA’ (yang tentu saja boleh juga diberi solmisasinya).

Yang dimaksud pada poin ini misalnya: TPE-Umat hlm. 34-36; PS 374.

[b]        NYANYIAN (yang kebetulan diberi judul) ‘AKU PERCAYA’.

Yang dimaksud dengan poin ini misalnya: MB 226, 227.

Artinya, untuk keperluan liturgi resmi harus dipakai opsi [a]; sedangkan untuk keperluan di luar liturgi resmi, silahkan gunakan opsi [b].

Dengan kata lain, nyanyian yang berjudul “Aku Percaya” tentu baik dan bermutu. Namun, secara normatif-liturgis, nyanyian itu TIDAK BOLEH dibawakan ketika “sesudah-Homili-dan-sebelum-doa-umat” dalam Perayaan Ekaristi. Nyanyian itu TIDAK BOLEH MENGGANTIKAN salah satu dari dua rumusan Credo yang berlaku resmi.

 

7) Penggunaan RUMUSAN CREDO YANG TIDAK RESMI (yaitu rumusan yang BUKAN Credo Nicea-Konstantinopel, juga BUKAN Credo Apostolorum) bisa MENGABURKAN kekayaan iman Gereja. Bukankah lex credendi, lex orandi (arti bebas: apa yang diucapkan dengan mulut harus se-sesuai mungkin dengan apa yang dihayati dalam iman)? Bahkan, penggunaan rumusan-rumusan tak resmi itu dalam Perayaan Ekaristi menghalangi Umat Allah untuk menghayati iman otentik sebagaimana diwariskan Yesus lewat para Rasul.

 

8) Credo merupakan tanggapan yang ditujukan KEPADA SESAMA hadirin. Jadi, coraknya HORISONTAL. Itulah sebabnya Syahadat harus dibawakan dengan SUARA LANTANG DAN PENUH SEMANGAT, seperti orang mengucapkan sumpah. Karena sifat yang demikian, maka terjemahan Indonesia secara tepat memakai kata ‘AKU’ (bukan ‘saya’ [dari kata: sahaya]) PERCAYA.

Agak berbeda dengan DOA. Doa bercorak vertikal, pengucapannya pun tak harus selalu lantang.

Maka, lebih tepat bila setiap ajakan untuk Syahadat disampaikan:’MARILAH KITA MENGUNGKAPKAN SYAHADAT IMAN KITA’.

Rumusan itu, atau yang sejenis itu, kiranya <span>lebih tepat daripada</span>:’marilah kita mendoakan syahadat iman’.

 

9) Dalam Tata Perayaan Ekaristi baru, syahadat iman Rumusan CREDO NICEA-KONSTANTINOPEL (nama lama versi Madah Bakti lama: Syahadat Panjang) ditempatkan pada urutan pertama sebagai PRIORITAS PERTAMA untuk dipakai.

 

10) Apa yang BIASA, belum tentu Benar. Apa yang BENAR, harus dibiasakan.

 

 

 

Semoga bermanfaat

Salam, Zepto-Triffon

Sorong

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

Tentang IBADAH SABDA dan PENGGUNAAN ‘MIMBAR-MINI’.

Posted by liturgiekaristi on April 7, 2011


Tentang IBADAH SABDA dan PENGGUNAAN ‘MIMBAR-MINI’.

 

1) Entah disadari entah tidak disadari, di beberapa tempat cukup sering terjadi KERANCUAN dalam PERAYAAN SABDA dalam lingkup ‘KOMUNITAS BASIS’ tingkat lingkungan, wilayah-rohani, kring atau apapun namanya. Malahan, barangkali kerancuan serupa masih terjadi juga pada tataran ‘STASI’ atau yang sejenisnya. Kerancuan apa? MEMAKAI MEJA (SEMACAM) ALTAR KETIKA MELAKSANAKAN PERAYAAN SABDA.

 

2) Nampaknya ini hanyalah masalah LITURGIS-PRAKTIS: Umat terbiasa menyiapkan meja supaya bisa ditempatkan segala perlengkapan terkait peribadatan itu (antara lain: lilin, salib, kolekte, pengeras suara, buku-buku). Alasan praktis lain: sarana yang tersedia di situ hanya meja yang seperti itu, tidak ada yang lain.

 

3) Namun, sepertinya ada juga hal lain yang cukup mendasar, yaitu DOMINASI-PAHAM.

[a] Perayaan Ekaristi selalu dipandang sebagai ibadah yang paling utama, sedangkan Perayaan Sabda dipahami sebagai ‘minus-malum’ dari Perayaan Ekaristi (Terjemahan bebas pribadi untuk ‘minus-malum’ : tiada rotan akarpun jadi).

[b] Seiring dengan itu, paham klerikalisme juga sedemikian kuat: peribadatan merupakan tugas klerus, ketidakhadiran mereka dilengkapi oleh para awam yang dipandang cakap, pantas dan terpilih.

Kedua paham tersebut [a] dan [b], secara begitu kuat menjiwai Dokumen Directorium de Celebrationibus Dominicalibus Absente Presbytero (Roma, 1988).

[c] Menjadi lebih ‘celaka’ lagi, bahwa ada beberapa awam yang mau-maunya tampil/bertindak seperti atau menyerupai klerus, bahkan ada AWAM WANITA yang berani menyebut diri SUDAH DITAHBISKAN oleh uskup.

 

4) Dalam keseluruhan Perayaan Ekaristi, ALTAR menjadi ‘pusat’. Sedangkan dalam Perayaan Sabda, MIMBAR menjadi ‘pusat’.Dalam Perayaan Sabda, altar hanya boleh digunakan untuk menempatkan sibori, jika otoritas gerejawi setempat mengijinkan penerimaan komuni dalam perayaan tersebut.

 

5) Seturut petunjuk Tata Ruang dalam Ibadah Sabda oleh Komlit KWI, ketika Ibadah Sabda, MIMBAR BOLEH DITEMPATKAN DI TENGAH, DI DEPAN ALTAR (lih. Komlit KWI, ”Perayaan Sabda Hari Minggu dan Hari Raya”, Yogyakarta:Kanisius, 1994, hlm. 422).

 

6) Maka, dalam ibadah sabda di rumah-rumah pada pertemuan kring, lingkungan atau wilayah rohani, apalagi tanpa penerimaan komuni, lebih tepat menggunakan ‘MIMBAR-MINI’, bukan altar-mini.Sedangkan, LILIN dan SALIB ditempatkan pada sebuah tempat lain di depan atau di dekat mimbar-mini tsb sepantasnya sesuai kondisi dan posisi yang tersedia di rumah tersebut.

 

7) Prinsip yang perlu dipegang yaitu: pemimpin ibadah menempati tempat yang harus BISA DIJANGKAU OLEH PANDANGAN SEBAGIAN BESAR hadirin, bila tak memungkinkan SEMUA UMAT.

 

 

Semoga bermanfaat

Salam, Zepto-Triffon

Sorong

Posted in 1. Panti Imam - Altar, 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

UPACARA SALAM DAMAI & SALAM-SALAMAN

Posted by liturgiekaristi on March 18, 2011


Pertanyaan :

Fransiskus Zaverius Sutjiharto

Terima kasih atas link sikap liturgi menurut TPE 2005. Sedikit sharing bahwa kerap kali “ritus” salam damai kerap “menganggu” (jika tidak boleh dibilang “merusak”) suasana khitmat yang terbangun setelah Doa Syukur Agung dan Bapa Kami. Terlebih jika acaranya sampai konselebran turun altar dan umat tersebar ke sana ke mari untuk saling memberikan salam damai. Situasi tersebut seolah menjadi anti klimaks – sementara setelahnya adalah Agnus Dei.
Saya pribadi mensiasati dengan cara langsung berlutut setelah bersalaman dengan kanan dan kiri. Sikap ini memang sesuai dengan TPE – namun di beberapa Gereja lagu / seruan Anak Domba Allah dilakukan dengan berdiri. Mohon pencerahan apakah upacara damai ini memang terletak (baku) di sana – atau bisa digeser ke tempat lain (misal sebelum persembahan sehingga lebih biblis Mat 5:23) ? Syaloom Lex Orandi – Lex Credendi!

PENCERAHAN DARI BP. Daniel Pane

‎@Fransiskus Zaverius: Upacara salam damai tidak boleh digeser tetapi acara salam-salamnnya bisa ditiadakan. Jika ini dilakukan maka Imam akan mengucapkan doa damai, dan kemudian memberi salam “Pax Domini sit semper vobiscum” lalu umat menjawab “et cum spiritu tuo”. Kemudian langsung lanjut ke pemecahan roti, tanpa ada salam-salaman. Ini adalah cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi kekacauan saat salam-salaman, cara lainnnya adalah salam-salaman dilakukan sebentar saja dan jangan menyanyikan lagu salam damai yang amat sangat merusak suasana

Posted in 4. Bagian Doa Syukur Agung | Leave a Comment »

KOMUNI – BOLEHKAH MENERIMA KOMUNI DUA KALI DALAM SEHARI?

Posted by liturgiekaristi on March 16, 2011


Satu pertanyaan dari umat

“Dulu waktu saya masih anggota mudika, sangat aktif membantu pastor melayani misa ke stasi2. Senang bisa ikut bersama dan melihat langsung capeknya Imam melayani umat. Yang ingin saya tanyakan, kalo saya ikut menghadiri misa ke stasi2 berarti kadang dalam sehari saya ikut menerima komuni dua kali. Apakah itu diperbolehkan untuk umat??”.

PENCERAHAN DARI BAPAK ONGGO LUKITO


KHK 917 Yang telah menyambut Ekaristi mahakudus, dapat menerimanya lagi hari itu hanya dalam perayaan Ekaristi yang ia ikuti, dengan tetap berlaku ketentuan Kanon 921 § 2. 

KHK 921 § 2 Meskipun pada hari yang sama telah menerima komu…ni suci, sangat dianjurkan agar mereka yang berada dalam bahaya maut menerima komuni lagi.

Jadi boleh menyambut komuni lebih dari sekali, kalau tetap mengikuti seluruh perayaan yang kedua kali, dan tidak masuk gereja hanya untuk menerima komuni lagi.

Posted in 5. Bagian Komuni | Leave a Comment »

PUMR 51 – KAITANNYA DENGAN PERECIKAN DENGAN AIR SUCI (SEBAGAI PENGGANTI PERNYATAAN TOBAT)

Posted by liturgiekaristi on March 16, 2011


‎”Pada hari Minggu, khususnya selama Masa Paskah, Pernyataan Tobat dapat diganti dengan pemberkatan dan perecikan dengan air suci untuk mengenang pembaptisan.” (PUMR art. 51)

Di luar masa Paskah, perecikan air suci dilakukan sambil menyanyikan Asperges Me, seperti yang diperlihatkan video ini.

PERTANYAAN UMAT :

Dlm perayaan Ekaristi dulu pernah dipakai ritus perecikan air (Asperges me) sbg tanda tobat pd awal perayaan sblm doa pembuka. Skrng ritus ini ditiadakan. Bolehkah kita menjalankan ritus ini lagi dlm liturgi Ekaristi kita?? Lalu apa maksud dan bedanya dng perecikan saat kita… membaharui syahadat iman pd
waktu malam Paskah, misalnya?

PENCERAHAN DARI BP. Agus Syawal Yudhistira:

karena ritus tobat di dalam misa terdiri dari beberapa opsi.
Jika ritus tobat bisa selalu digantikan dengan pemercikan air. Namun biasanya karena merepotkan sering kali imam melakukan ini hanya pada perayaan-perayaan utama.

sementara ritus tobat yang biasa bisa terdiri dari beberapa pilihan.
misalnya, pilihan A, terdiri dari “saya mengaku” diikuti Kyrie Eleison..
Banyak juga yang menggunakan pilihan C, yang berupa Kyrie Eleison yang tiap baitnya didahului sebuah tropar/ayat yang dibacakan imam.

Memang ada baiknya bahwa umat lebih diperkenalkan dengan berbagai opsi yang ada, sehingga mengenal dengan baik perbedaan masing-masing.

Posted in 1. Ritus pembuka, 5. Vigili - HR Paskah, q. Video terpilih | Leave a Comment »