KOMENTAR/TANGGAPAN PASTOR ALO LAMERE MSC (DIKUTIP VIA SEBUAH MILIS):
Investasi rasa besalah atau guilty feeling selalu dibuat oleh Gereja sepanjang zaman. Dalam kasus tepuk tanganpun saya merasa Gereja turut menginvestasi rasa bersalah itu. Saya sependapat dgn von Magnis tentang perlunya rasa hormat terhadap Tuhan yang hadir dalam ekaristi. Namun apakah orang atau umat berniat untuk menghina Tuhan dgn tepuk tangan? Mereka pasti tdk bermaksud demikian. Dengan mengatakan bahwa tepuk tangan pada saat org selesai menyanyikan lagu tertentu sbg penghinaan maka sekarang org mulai merasa bersalah. Tanpa sadar von Magnis mengivestasi rasa bersalah dalam diri umat yang tadinya tidak bermaksud menghina Tuhan. Sekarang kalau org mau tepuk tangan lalu pikiranya ke “penghinaan pd Tuhan”, sebuah pikiran yang tak pernah terlintas dalam benaknya sebelum membaca komentar von Magnis. Sekali lagi melalui para pelayannya Gereja menginvestasi rasa bersalah dalam diri umat. Salam, alo lamere msc
PENJELASAN DARI ROMO MAGNIZ SUSENO SJ, ATAS TANGGAPAN PASTOR ALO LAMERE
—– Original Message —–
From: F. Magnis-Suseno, SJ
Sent: Monday, March 15, 2010 10:29 PM
Subject: Re: Tepuk tangan waktu komuni
Salam,
Pertama, saya minta maaf, baru sekarang sempat menjawab beberapa pertanyaan berkaitan dengan surat pembaca saya di Hidup. Tetapi saya terlalu penuh dengan pekerjaan yang tidak dapat saya kesampingkan. Sekarang pun saya hanya dapat menjawab dengan singkat.
1. Jang saya sesalkan hanyalah tepuk tangan sebagai applaus di tengah misa, apalagi di saat komuni dibagi. Tidak ada alasan untuk keberatan dengan tepuk tangan yang mau memuji Tuhan, seperti lazim di kalangan karismatik. Seperti ada tarian liturgis, begitu bisa saja umat memuji Tuhan dengan bertepuk tangan.
2. Yang saya sesalkan adalah aplaus bagi koor (tentu juga: bagi khotbah imam, bagi tarian persembahan dll.) di tengah misa. Misa adalah peristiwa paling suci dan paling inti dalam Gereja, ekspresi iman paling dalam. Dalam misa Allah yang Mahasuci hadir. Seluruh ritus misa diarahkan untuk memuji Allah dan dalam pujian bersama umat dipersatukan. Semua nyanyian umat dan kor dan segala keindahan adalah untuk memuji Tuhan dan membuka hati kita, umat. Dan bukan untuk memamerkan diri. Maka aplaus dalam misa sangat tidak tepat.
3. Itu khusus berlaku di saat menerima komuni. Tak ada saat lebih sakral dalam iman kita dan barangkali di dunia. Tuhan Yesus Putera Allah sendiri datang kepada kita masing-masing, seluruh perhatian harus diarahkan kepadaNya. Ini saat paling khusuk bagi umat, ia dipersatukan dengan kurban Yesus di salib dan dengan kebangkitanNya. Maka dalam tradisi Gereja komuni selalu dirayakan dengan khusuk, dalam bentuk yang memperlihatkan hormat yang kita tunjukkan kepada Tuhan kita, dengan sikap konsentrasi pada Tuhan (dulu orang, sesudah menerima komuni, menutup muka waktu berdoa). Maka saya – saya, bukan uskup – andaikata ada applaus, akan menghentikan kelanjutan komuni karena saya menganggap aplaus itu sebagai desakralisasi. Tentu maksud umat tidak sebagai itu, tetapi, dengan pinjam dari Paulus, kalau kita tidak bisa membedakan makanan itu dari makanan biasa, ya kita berhenti saja. Saya juga akan melakukannya untuk menshok umat. Misa bukan konser.
4. Tetapi berterimakasih pada akhir misa adalah sangat tepat, juga tergantung kekhususan pelayanan masing-masing pihak (misalnya di masa Natal dan Paskahan). Di situ koor pantasan diterimakasihi dan tentu juga boleh, dan sebaiknya, ditepuki tangan. Kemampuan untuk berterimakasih adalah tanda keluhuran jiwa dan kita boleh berterimakasih untuk apa saja. Kalau pun koor dan imam melakukan pelayanan mereka murni bagi Tuhan, kita tetap boleh menyatakan terimakasih. Akhir misa adalah saat yang tepat.
5. Suatu catatan tambahan: Barangkali kita perlu belajar lagi bahwa Allah, ya Allah Bapak kita, perlu selalu kita dekati dengan sikap hormat setinggi-tingginya. Barangkali kita terlalu enak bicara tentang dan dengan Allah Bapak. Dalam Perjanjian Lama, tetapi juga Perjanjian Baru (“mereka ketakutan” di gunung Tabor) theophania , penampakan diri Allah, selalu amat mengejutkan dan orang merasa akan mati. Syukur, Yesus mengajar kita bahwa Allah itu Bapak kita dan kita tidak perlu takut. Tetapi dalam doaNya, doa pertama adalah “dikuduskanlah namaMu” (sebenarnya bukan: “dimuliakanlah”; teks Yunani, baik pada Mattheus maupun Lukas adalah ” hagiasteto to onoma sou” , hagios adalah kudus dalam arti kesucian mulak murni Allah yang tidak ada kekotoran sedikit pun; “dimuliakannya termasuk dalam “dikuduskanlah”, tetapi kurang lengkap, karena tidak mengungkapkan bahwa permohonan pertama ini membawa implikasi bahwa kita harus juga kudus (tentu tak tercapai), “sempurna seperti BapakMu di surga sempurna”). Lelucon tentang Allah: boleh saja, tetapi dalam lelucon yang menyangkut Allah kita sebenarnya selalu tertawa tentang manusia yang berhadapan dengan Allah, bukan tentang Allah (biasanya isi lelucon baik tentang Allah – Gus Dur tahu banyak – kalau dilihat persis, yang ditegaskan adalah kebesaran hati Allah dan kepicikan manusia). Karena itu dalam Gereja yang ada sakramennya kita tidak akan omong seenaknya, melainkan kalau perlu omong, dengan suara kecil dan hormat, juga kalau kita membawa tamu bukan Katolik yang tidak tahu siapa yang ada di tabernakel.
6. Ada tanggapan seorang Romo bahwa Gereja suka menyebabkan umat guilt feeling (merasa bersalah) dan jangan sampai “larangan” tepuk tangan juga menambah guilt feeling yang tak perlu. Tentu jawaban saya yang pertama adalah bahwa kalau kita berbuat salah, kita seharusnya merasa bersalah, dan kalau kita tidak merasa bersalah, kita memang bersalah. Menurut saya, kalau kita berlaku seakan-akan tidak tahu apa yang terjadi pada saat kita komuni, kita seharusnya merasa bersalah. Paulus pun mempersalahkan umat di Korintus. Tetapi Romo tentu juga benar. Khususnya tidak perlu selalu takut dalam hal ritus, atau kalau misalnya karena lupa kita di hari Jumat di masa puasa tidak pantang, tak perlu merasa salah berlebihan. Kita hendaknya merasa bersalah kalau membuat orang sakit hati, kalau kita keras hati, kalau kita menipu orang, kalau kita mencuri “domba milik orang kecil” (Daud), dlsb. Hal bagaimana membawa diri di gereja, dan waktu misa, lebih menyangkut semacam sopan-santun keKatolikan yang seharusnya sudah berdarah daging di hati kita, di mana, kalau kita tidak membawa diri dengan hormat, kita tidak perlu merasa bersalah berat (Tuhan tidak picik), tetapi merasa malu terhadap Tuhan, itu boleh saja.