Pak Agus Syawal mengatakan :
“Kalau mau, harus dimulai dengan definisi: “Partisipasi aktif umat itu” seperti apa? Sebagai pengantar saya beri bocoran dulu, bahwa yang dimaksud “partisipasi aktif” oleh Gereja umumnya di lapangan tidak sejalan dengan interpretasi umat atau bahkan hirarki nasional…. ”
PENCERAHAN DARI BP. AGUS SYAWAL :
Apa yang terbersit di benak orang banyak ketika mereka diminta untuk berpartisipasi aktif dalam Liturgi?..
Umumnya mungkin orang berpikir bahwa harus memegang jabatan atau melakukan sesuatu. Jadi lektor, komentator, koor, putera altar, pelayan ekaristi tidak lazim, menata bunga, dsb…
Ini baik dan bagus sekali kalau memang banyak umat terpanggil untuk menempati posisi seperti ini.
Tapi bukan ini pertama-tama yang dimaksud ‘aktif’.
Pemikiran umum kedua, umat harus banyak ambil bagian dalam kata-kata. Doa-doa imam jadi didoakan bersama umat (pembukaan, penutup, persembahan, doa damai, dsb dsb dsb), bacaan Kitab Sabda dibaca bergantian.
Pake tarian dan drama kalau perlu.
Diam saja berarti mengurangi partisipasi aktif.
Namun bukan ini juga yang pertama-tama dimaksud partisipasi aktif.
Apakah yang saya tuliskan mencerminkan pemikiran saudara-saudara pembaca wall ini?
Paus Yohanes Paulus II menuliskan apa yang dimaksud dengan partisipasi aktif, teks lengkapnya bisa dibaca di sini:
http://www.adoremus.org/JPIIadlim1198.html
Paparan panjang lebar diberikan oleh Paus Benediktus XVI dalam suratnya Sacramentum Caritatis (utamanya nomor 52-63).
http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/apost_exhortations/documents/hf_ben-xvi_exh_20070222_sacramentum-caritatis_en.html#Actuosa_participatio
Terjemahan bagian yang penting akan saya kerjakan dalam waktu dekat.
Banyak yang bisa direnungkan dan di diskusikan dari apa yang dibawakan oleh Paus Yohanes Paulus II:
“Partisipasi penuh tentu berarti bahwa setiap anggota komunitas memiliki peran untuk dilaksanakan dalam liturgi… Namun partisipasi penuh tidak berarti semua orang melakukan segalanya, karena ini akan menjurus kepada klerifikasi/mengkleruskan umat awam, dan mengawamkan imamat… Liturgi, seperti juga Gereja, dimaksudkan sebagai entitas hirarkis dan polifonis, menghormati berbagai peran berbeda yang dianugerahkan Kristus dan membiarkan berbagai suara yang berbeda menyatu membentuk satu madah pujian agung.
Partisipasi aktif tentu berarti bahwa dalam gerakan, kata-kata, lagu dan ibadah, semua anggota komunitas ambil bagian dalam tindakan menyembah. Tindakan ini bukanlah sebuah tindakan pasif. Namun partisipasi aktif tidak meniadakan keheningan pasif yang aktif, berdiam diri dan mendengarkan. Malahan sebaliknya, partisipasi aktif menuntut hal itu. Mereka yang menyembah tidaklah pasif, sebagai contoh, ketika mendengarkan bacaan atau homili, atau ketika mengikuti doa-doa yang diucapkan selebran, dan pelantunan mazmur dan musik dalam liturgi. Ini adalah pengalaman akan keheningan dan diam, namun dengan cara itu sangatlah aktif.
Partisipasi yang disadari memanggil seluruh komunitas agar secara baik diajar tentang misteri dalam liturgi, alih-alih pengalaman ibadah turun derajat menjadi sebuah bentuk ritualisme. Namun, hal ini tidak berarti mengusahakan secara konstan agar apa yang implisit dalam liturgi menjadi eksplisit, karena ini sering menjurus kepada penumpukan kata-kata dan informalitas yang asing bagi Ritus Romawi dan berakhir dengan trivialisasi (menjadikan biasa, kurang penting) ibadah.
Partisipasi yang disadari juga tidak berarti menekan semua pengalaman bawah sadar, yang sebenarnya sangat vital dalam liturgi yang penuh akan simbol yang berbicara pada alam bawah sadar maupun alam sadar kita.
Penggunaan bahasa setempat tentunya membuka harta liturgi bagi semua yang ambil bagian, namun ini bukan berarti bahasa Latin, terutama nyanyian yang secara jenius amat sesuai dengan Ritus Romawi, harus ditinggalkan sama sekali.
Jika pengalaman bawah sadar ditinggalkan dalam ibadah, kekosongan afeksi dan devosi akan tercipta dan liturgi bisa menjadi tidak hanya terlalu verbal, tapi juga terlalu selebral (hanya diterima otak)…
Ada alasan yang baik dalam sejarah Gereja bahwa semua pembaruan sejati senantiasa dikaitkan dengan membaca ulang tulisan-tulisan Bapa-bapa Gereja. Termasuk pembaruan di bidang liturgi. Para Bapa Gereja adalah gembala dengan semangat yang bernyala-nyala untuk mengabarkan Injil, dan karenanya mereka sangat tertarik akan semua dimensi ibadah, mewariskan bagi kita beberapa teks tradisi Kristen yang sangat penting… Para Bapa Gereja adalah pengkotbah ulung, dan sangat sulit dibayangkan akan terjadinya pembaruan kotbah Katolik yang efektif, tanpa kedekatan yang cukup dengan tradisi Patristik. Konsili mempromosikan kotbah yang seperti para Bapa Gereja, membuka kekayaan Kitab Suci yang tak pernah habis kepada umat beriman… Ini berarti para imam dan diakon harus dilatih untuk menggunakan Kitab Suci secara baik. Namun ini juga melibatkan kedekatan/pengenalan yang baik akan tradisi Bapa Gereja, tradisi teologis dan moral, dan juga mendalami pengetahuan akan komunitas dan masyarakat umum. Jika tidak demikian akan ada impresi bahwa pengajaran yang diberikan tidak berakar dan tanpa aplikasi yang bersumber dari Injil. Sintesa terbaik dari kekayaan doktrinal Gereja yang terkandung dalam Katekismus Gereja Katolik masih harus lebih diusahakan dalam kotbah Katolik.
Adalah esensial untuk senantiasa sadar bahwa liturgi tidak dapat dipisahkan dari misi Gereja untuk menginjili (evangelisasi). Jika keduanya tidak jalan bergandengan, keduanya akan runtuh. Jika perkembangan pembaruan liturgi hanya tampak luar atau tak seimbang, energi kita untuk penginjilan akan melemah. Dan jika kita hanya memperhatikan cara-cara baru penginjilan, pembaruan liturgis kita hanya eksternal dan mungkin melibatkan adaptasi yang tidak benar.”
Terjemahan bagian yang saya rasa penting dari himbauan Paus Yohanes Paulus II sudah di thread sebelumnya, sekarang baiknya saya buat ringkasannya saja.
Masing-masing pokok bisa jadi bahan diskusi sendiri-sendiri yang lebih panjang.
1. Partisipasi penuh, berarti setiap anggota komunitas memiliki peran untuk dilaksanakan dalam perayaan liturgi. Namun ini harus dilakukan sesusai dengan posisi hirarkisnya masing-masing dalam Gereja…. See More
Perlu dihindari bahwa awam mengambil alih tugas imam atau imam diawamkan.
2. Partisipasi aktif, berarti dalam ibadah seluruh umat ambil bagian dalam gerakan, kata-kata, lagu. Namun ini harus dilakukan sesuai bagian masing-masing.
Keheningan, diam mendengarkan dan merenungkan juga merupakan pelaksanaan partisipasi aktif.
3. Partisipasi yang disadari/dimengerti, menuntut seluruh umat belajar, diajar dan memahami dengan benar makna liturgi dan bagian-bagiannya.
Ini tidak berarti setiap bagian harus diimprovisasi atau apa yang implisit dibuat eksplisit selama liturgi berlangsung.
Jika itu dilakukan, liturgi akan menjadi verbal, kesannya informal dan trivial. Ini merusak dan berlawanan dengan Ritus Romawi yang singkat, padat dan formal dan simbolik.
4. Bahasa lokal telah membuka kekayaan liturgi dan membuat liturgi lebih dipahami. Namun ini tidak berarti bahasa Latin, terutama nyanyian, harus ditinggalkan sama sekali (alergi Latin).
5. Pembaruan di bidang kotbah/homili menuntut kedekatan dan pemahaman imam/diakon dengan Kitab Suci. Namun ini harus didukung juga dengan kedekatan terhadap tradisi Patristik (para Bapa Gereja) jika ingin menghasilkan kotbah yang efektif.
6. Liturgi dan evangelisasi (penginjilan) berjalan bergandengan berbarengan. Jika dipisah, keduanya akan jatuh.
Pembaruan liturgis yang superficial, serampangan dan tidak seimbang akan melemahkan kekuatan evangelisasi.
Sebaliknya fokus pada penginjilan jangka pendek akan membuat liturgi berantakan, eksternal dan penuh adaptasi yang tidak benar.
Karena tiap butir ringkasan bisa kita perluas sendiri-sendiri, maka kita beri contoh satu atau dua.
1. Partisipasi penuh. Benar setiap umat diminta untuk berpartisipasi secara penuh dalam Liturgi (Ekaristi utamanya).
Tapi harus memperhatikan hirarkinya masing-masing.
Umat berpartisipasi sebagai umat, melakukan tugas umat…. See More
Imam berpartisipasi sebagai imam, melakukan tugas imam.
Maka hal-hal yang mengaburkan hal-hal di atas perlu dihindari.
Misalnya, penggunaan pro-diakon.
Pro-diakon (umat awam yang diperbantukan membagi komuni dalam keadaan kurangnya klerus), adalah solusi sementara.
Diperlukan jika umat terlalu banyak dan klerus sedikit sehingga logistik pembagian komuni akan terganggu.
Karena itu, jika ada imam yang cukup, dan prodiakon tidak diperlukan/tidak diberi kesempatan bertugas, ini namanya menghormati partisipasi penuh masing-masing. Bukannya Romo kolot menutup pintu partisipasi awam dalam Liturgi.
Juga menyangkut, kapan mereka harus berada di panti imam dan dekat Altar pada momen-momen khusus sehingga tidak tampak mereka seolah imam-awam atau konselebran. Juga postur tubuh, tidak ada pengecualian bahwa karena mereka pro-diakon maka tidak perlu mengambil postur tubuh yang sama dengan umat lain.
Tentu saja ini bukan hanya sekedar pro-diakon, tapi lektor, komentator dan petugas liturgi lainnya juga perlu memperhatikan posisi mereka sebagai awam. Di salah satu paroki, para Lektor/Lektris-nya mengenakan alba (ini tidak masalah), dengan sampiran selendang dari bahu kiri ke pinggang kanan dengan warna liturgis yang sesuai.
Ini contoh pengaburan, karena pengenaan selendang secara demikian sangat mirip dengan pengenaan stola seorang Diakon.
Umat awam yang tidak ambil bagian dalam tugas khusus selama Ekaristi berlangsung pun, bukan seorang penonton.
Mereka bagian penting dari perayaan Ekaristi. Kita bukan sekedar menanti, menonton, menunggu, melihat atau sekedar hadir.
Seorang Awam yang duduk dan ambil bagian dalam perayaan Ekaristi dan Liturgi apapun sedang melaksanakan tugasnya sebagai imam yang dianugerahkan dalam Imamat umum yang diberikan lewat baptisan. Ketika kita hadir dalam Ekaristi, kita turut mempersembahkan Ekaristi bersama Imam, kita seperti para Lewi yang ambil bagian dalam tugas seorang Imam di Bait Suci.
Partisipasi penuh awam dalam hal ini, diwujudkan dalam berbagai dialog, nyanyian, mendengarkan, merenungkan, menjaga keheningan dan bersikap layaknya umat yang mengerti dan memahami kedalaman Ekaristi.
Jika hal ini dimengerti, contoh partisipasi penuh umat awam misalnya:
1. datang sebelum Ekaristi dimulai untuk mempersiapkan diri,
2. menyambut Sakramen Tobat dahlulu sebelum Ekaristi jika disadari ada dosa berat,
3. berpakaian sopan dan layak,
4. tidak tidur pas homili,
5. tidak ngobrol sendiri seolah ikut seminar,
6. tidak pulang sebelum dibubarkan,
7. menyadari kewajiban untuk ambil bagian dalam Misa hari Minggu dan hari Raya wajib,
8. dsb dsb..
Tentunya masih banyak yang bisa disampaikan, seputar topik ini, biarlah diskusi mulai bergulir.