Pertanyaan umat :
Kenapa ya, katanya Paskah itu puncak kekuatan dan dasar iman Kristiani;perayaan yang paling penting dalam hidup iman kita. Tapi dalam prakteknya perayaan natal itu lebih meriah kesannya daripada Paskah. Apakah penghayatansikap iman kita kurang tepat, bagaimana yang seharusnya?”.
PENCERAHAN dari Pastor Yohanes Samiran SCJ :
Padanannya adalah saat pengalaman hidup kita:
a. Natal memang benar – mengenangkan saat kelahiran.
b. Paskah – bukan kematian, tetapi KEBANGKITAN. Kematiannya pada Hari Jumat Agung, memang tidak banyak perayaan meriah.Tapi Kebangkitan, saya kira normalnya jauh lebih menghebohkan daripada kelahiran. Coba saja kalau di antara keluarga atau kerabat kita ada yang BANGKIT dari kuburnya secara nyata, pasti itu lebih menghebohkan dan menarik perhatian daripada kelahiran biasa itu.
Hayooooo …… terusin komentarnya ….. 🙂
PENCERAHAN dari Bp. Onggo Lukito
yang salah pada tempat pertama adalah romo paroki karena tidak memberikan pengajaran yang baik tentang iman katolik yang bersumber pada wafat dan kebangkitan Yesus dan bukan pada kelahiran-Nya. romo paroki mesti mengajarkan umatnya tentang pentingnya Hari Raya Paskah. buktinya masih banyak umat yang menganggap perayaan paskah adalah mengenang kematian dan bukan kebangkitan.
yang kedua adalah seksi liturgi paroki dan para petugas liturgi yang tidak menjadikan hari raya Paskah sebagai “HARI RAYA DARI SEGALA HARI RAYA”. contoh kongkritnya adalah peringatan hari raya Paskah yang sering diadakan seadanya, dengan petugas seadanya pula. terkadang malah perayaan Hari Raya Paskah dianggap sebagai sisa2 Malam Paskah.
yang ketiga adalah orang tua yang membiasakan anak2nya memeriahkan natal dan ketika paskah seadanya saja. kalau natal beli baju baru yang bagus, kalau paskah pakai yang sudah ada saja. kalau natal masak makanan yang enak2 dan mewah, kalau Paskah masak indomi saja. kenapa tidak dibalik?
bagaimana bisa menghayati Paskah sebagai puncak perayaan iman apabila yang kelihatan (katekese, liturgi, pernak-pernik)? yang kelihatan ini malah diperlihatkan lebih meriah justru pada Natal yang bukanlah puncak perayaan iman.
PENCERAHAN dari PASTOR Yohanes Samiran
…..@Pak Onggo L: betul sekali. Marilah kita perhatikan dari tata liturginya, bandingkan liturgi Natal dan Paskah. – Paskah disiapkan secara panjang, jelas, intensif dan istimewa. Lihat Liturgi mulai Hari Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung dan terutama Malam Paskah. Hitung dan perhatikan berapa Bacaan KS, di samping beberapa simbol liturgis yang dihadirkan, mulai dari- perarakan daun palma, passio,- pencucian kaki, perarakan Sakramen Mahakudus, tuguran,- passio Jumat Agung (Injil Yohanes), penghormatan Salib,- Upacara cahaya, Maklumat Paskah (Excultet), pembaharuan janji baptis,dll …….
Bacaan dan Liturgi Natal sebenarnya aslinya (yang baku) amat sederhana seperti liturgi Minggu Biasa, baik jumlah bacaan mau pun jumlah lagu dlsb. Jadi meriah seperti sekarang karena orang tidak puas atau tidak merasa cukup Natal kok cuma gitu-gitu aja, lalu ditambahkan simbol-simbol extra ordinaria.
Jadi secara liturgis, sebenarnya kita telah dibantu untuk merasakan, dan harapannya menghayatinya demikian yakni secara berbeda, bahwa HR Paskah adalah hari LUAR BIASA …. Maka orang seharusnya terpancing untuk bertanya: mengapa sih, atau ada apa sih kok malam paskah itu liturginya atau perayaan gerejawinya luar biasa? ………………….Nah, sekarang marilah kita kupas …..
KOMENTAR dari Bp. Onggo Lukito
simbol extra yang lazim diadakan saat (malam) natal adalah lilin, yang lama kelamaan setelah jadi biasa seakan misa malam natal tanpa lilin terasa hambar. makin lama simbol lilin bernyala saat natal malah mengaburkan makna lilin bernyala saat malam paskah.
untuk natal tahun ini, paroki saya mengambil kebijakan tidak ada lilin yg dibagikan ke umat dan tidak ada pula acara mematikan lampu gereja. perarakan patung bayi Yesus tetap diadakan. semuanya ini bukan untuk mengurangi kemeriahan liturgi natal, tapi untuk mengembalikan perayaan natal sesuai kadarnya, tidak dilebih-lebihkan.
lebih baik melakukan apa yang dikehendaki TPE, yakni berlutut saat Syahadat pada bagian “yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria.” bagian ini adalah ciri khas misa Hari Raya Natal. ya itu saja yang mendapat tekanan, tidak perlu menyibukkan diri dengan simbol2 extra yang tidak perlu. maka katekese ke umat juga ditekankan ke arah itu, kenapa pada bagian itu saat misa kita membungkuk dan khusus pada hari raya Natal berlutut? apa maknanya?
PENCERAHAN dari PASTOR Yohanes Samiran
…. @Pak Onggo L: Betul sekali. Di kapel kami (walau kapel yang misa mingguan lebih dari 500 umat, dan Natal dan Paskah bisa lebih banyak lagi) – tahun lalu kebetulan Malam Natal saya memimpin ekaristinya, sudah kami lakukan seperti renca…na paroki pak Onggo. Lilin ditiadakan, karena di samping mengaburkan makna, juga mengotori kapel, membuat gaduh anak-anak, dll. Perarakan bayi masih, dibuat di awal perayaan bersama imam yang masuk …. dan sebelum Syahadat saya umumkan, bahwa khusus untuk HR Natal, jadi malam Natal dan Natal pagi (pagi hanya misa sekali saja) pada bagian “Yang dikandung dst – yang dicetak miring-” kita berlutut dan mendoakan dengan khidmat.
Perayaan tetap berjalan bagus, meriah, khidmat …. dan OK. Hehheeheee …..
PENCERAHAN dari PASTOR Liberius Sihombing
Ini sudah menyangkut animo masyarakat, baik yg kristen maupun yg non kristen. Semakin lama natal sudah mengarah ke bisnis/komersil. Pangsa pasar melihat animo masyarakat cukup menguntungkan bagi bisnis, maka tak mengherankan jika sejak akhir november semua toko-toko penuh dengan assesoris natal dan lagu-lagu natal.
Tahukah kita bahwa kebanyakan pemilik toko2 itu bukanlah kristen? Mereka bukan merayakan natal tetapi menjual produk yg ‘berbau’ natal. Akan beda misalnya jika masa paskah. Tak akan ada toko menjual assesoris paskah atau kaset paskah krn animo masyarakat rendah. Ini pertanda apa?
Perayaan yg sejatinya sederhana (krn Yesus lahir di kandang hina) justru disulap menjadi meriah dan hingar bingar.
Saya setuju dgn pernyataan di atas bahwa memang kenyataannya secara kasat mata peryaan natal kayaknya lebih wahh lebih meriah dari paskah. Tp bukan berarti itu menjadi inti perayaan. Yg utama adalah apa yg mau disampaikan kedua perayaan itu bagi kita. Semoga semangat kita menjalani 4 minggu advent tdk berkurang krn melirik tetangga kita sudah bernatal ria sejak dini. Pace e Bene
PENCERAHAN dari Pastor Christianus Hendrik
Dear friends,Pertanyaannya itu menyangkut dua hal yang memang berkaitan tapi tidak begitu saja bisa disamakan, yakni soal: PENGHAYATAN IMAN dan PRAKTEK HIDUP SEHARI2 DALAM MASYARAKAT.
PENGHAYATAN IMAN: saya kira apa yang diajarkan dan suasana yang diciptakan dalam gereja Katholik sudah benar. Tata liturgi sendiri, aturan2 yang dibuat, bacaan2, suasana yang dibangun dalam perayaan Natal dan Paskah sudah dengan sendirinya mengindikasikan bahwa Paskah itu adalah puncak hidup iman kristiani dan jauh lebih penting daripada Natal. Masalahnya kemudian:
Dalam PRAKTEK HIDUP SEHARI2 DI MASYARAKAT: Nampaknya terjadi pergeseran nilai simbol2 religius yang awalnya berpusat di Gereja2 dan di rumah2 keluarga sebagai basis gereja yang terkecil, ke simbol2 humanis industrialis yang lebih berpusat di mall, supermarket, restaurant, tempat rekreasi, dll. Contoh konkret aja, betapa kebanyakan umat Katholik yang merasa hidupnya sudah modern dan harus ikut gaya hidup modern; inginnya kalo misa itu singkat dan cepat selesai dan ingin cepat2 bisa pergi makan bareng keluarga di restaurant, pergi ke mall, stores, belanja, rekreasi, dan macem2 alasan lainnya – bahkan soal parkir pun menjadi alasan ingin cepat selesai.
Contoh2 dari teman Adiet Wibowo, Liberius Sihombing, dll di atas itu sungguh benar sebagai contoh betapa nilai2 religius-agamis dari perayaan Natal sudah beralih ke nilai2 bisnis dan industri. Saya bisanya memberi contoh di sini di tempat saya kerja-di Amrik. Jauh sebelum natal, para pemain bisnis dan industri pasar dengan jeli dan rakus cepat mengadopsi nilai2 religius dari natal seperti: cintakasih, perhatian, kepedulian, kehangatan, kekeluargaan, tindakan kasih dll sebagai alasan orang harus membeli produk mereka. Maka jangan heran bahwa kehangatan natal dan gemerlapnya akan jauh lebih mudah ditemukan di mall, store, supermarket, rastaurant, dll….sementara di gereja….masih dingin dan beku he he…
Naluri bisnis pintar memanfaatkan nilai2 keilahian dan kerohanian dari natal yang sebenarnya menjadi kerinduan semua orang, dijadikan umpan bisnis mereka, dan mereka berhasil nampaknya. Sementara Gereja yang sudah biasa dengan nilai2 tersebut lalu terlena dan kurang kreatif dalam menciptakan suasana ilahi kerohanian dari natal itu dalam gerejanya.Peralihan nilai2 simbolis natal ini nampaknya belum terlalu menjamah Paskah, tapi kalau kita tidak mensiasatinya, nantinya pelan2 naluri bisnis akan sampai ke sana juga dan berakibat sama. Setidaknya itulah sebabnya mengapa dalam dunia sehari2 Natal lebih mewarnai dunia daripada Paskah; selain tentu saja masyarakat non Kristiani lebih familiar dengan natal daripada paskah, bukan?.
Ini bukan hal yang baru. Tata kota sendiri sejak dulu sudah mengalami pergeseran yang mempengaruhi nilai2 keagamaan ke nilai2 bisnis. Sejak jaman Perjanjian Lama, tata kota selalu berpusat pada Bait Allah. Sampai jaman perkembangan Mesopotamia, kemajuan peradaban romawi, yang disebut dengan Metropolis, pusat kota, kota besar adalah Bait Allah, Basilica, Ka’bah, Masjid, Synagoge, Pura, Candi, dll… Di mana ada tempat peribadatan, di situ masyarakat berkumpul dan membangun rumahnya.Tapi sejak jaman revolusi industri, yang disebut metropolis kemudian beralih menjadi Pabrik, pasar, supermarket, dll…..sampai sekarang bukan?? Kalau anda ingin tahu mana pusat kota, ya selalu…Supermarket, stores, pasar, restaurant, hotel dll. Iklan2 rumah hunian yang baru selalu mempromosikan sebagai tempat yang nyaman karena dekat dengan pusat perbelanjaan, tempat rekreasi, rumah sakit, dan tidak ada yang mempromosikan dekat gereja dan tempat ibadat he he. Maksudnya jelas, supaya kalo habis belanja lalu shock karena uangnya habis, atau habis makan kolestrolnya mendadak tinggi, jantungnya kumat….bisa cepat2 ke rumah sakit ha ha…..Tapi syukurlah saya masih cukup sering mendengar orang Katholik kalo cari rumah, soal akses ke Gereja yang terjangkau masih menjadi pertimbangan.
So, bagaimana kita mengubah situasi yang kurang ideal itu?? Marilah umat bersama para Imamnya menciptakan dan membangun kembali nilai2 religius dan simbol2 keagamaan dari Natal dan Paskah itu ke tempat aslinya: di Gereja dan di Rumah2 anda sendiri sebagai basis gereja yang paling inti – dan bukan di mall atau di restaurant..
warm regards,P. Christianus Hendrik SCJ – South Dakota – USA
PENCERAHAN dari Pastor Yohanes Samiran:
…. Natal menjadi ramai karena beberapa hal: a. HR Natal berdekatan dengan HR Tahun Baru. Tahun baru dirayakan oleh semua lapisan masyarakat tanpa pandang agama. Semangat menyambut Tahun Baru – itu ikut mempengaruhi usaha komersial (toko,… dll) untuk juga menjual daya tarik pasar tersendiri, entah mulai dari discount, obral, promosi, kartu sampai ke penawaran lain.Maka orang yang tidak merayakan Natal pun merayakan Tahun Baru – dan itu ikut memberi warna dan kesan bahwa perayaannya merata dan menyentuh banyak orang. Paskah hanya dirayakan oleh kelompok kristiani saja. Di Indonesia akan amat terasa bedanya.
b. Lagu-lagu Natal yang digabungkan dengan TahunBaru juga lebih menarik daripada lagu Paskah yang diawali suasana matiraga, dan dukacita pekan suci.
c. Natal bisa jatuh di hari biasa, dan dengan demikian di kalender pun mudah dilihat ada hari raya, tanggal merah … dlsb. Paskah selalu jatuh hari Minggu, sehingga pemerintah dan pembuat Kalender umum pun banyak yang lupa mencantumkan HR Paskah itu, karena tanggalnya sama sudah merah. Coba perhatikan koleksi penanggalan umum kita: Jumat Agung – ada data Wafat Isa Almasih atau Wafat Tuhan Yesus. Tetapi Paskah tidak ada datanya (sebagian besar penanggalan umum).
…. Nah silahkan teruskan dan menambahkan ….. sehingga kita saling melengkapi.
PENCERAHAN DARI BAPAK AGUS SYAWAL YUDHISTIRA
Ya, pada dasarnya kita harus menemukan kembali inti perayaan Natal.
Pada awalnya, Natal bukan sekedar merayakan kelahiran Yesus, melainkan merayakan Teofani Allah (Penampakan Allah), dimana kelahiran Yesus hanyalah salah satunya.
Awalnya perayaan Teofani ini adalah gabungan dari misteri Kelahiran Yesus, Penyembahan Para Majus, Pembaptisan Yesus dan Mukjizat Pertama di Kana.
Seturut berjalannya waktu, perayaan Natal diperpanjang menjadi satu masa, dan peristiwa-peristiwa ini dipisah-pisah, dengan puncak perayaan ada pada Epifani.
Dalam Liturgi Romawi Gereja Latin, sisa-sisa penggabungan misteri-misteri ini masih terjejak pada Ibadat Harian.
Misalnya antifon Kidung Zakharia pada Ibadat Pagi perayan Epifani sebagai berikut:
“Hari ini Pengantin Surgawi disatukan dengan Gereja, sebab di Yordan Kristus membasuh dosa umatNya, para sarjana bergegas membawa persembahan untuk pernikahan raja, dan para tamu bergembira atas air yang diubah menjadi anggur, alleluya.”
Antifon Kidung Maria pada Ibadat Sore II perayaan epifani sebagai beriut:
“Hari ini kita merayakan tiga peristiwa suci. Hari ini para sarjana dibimbing bintang ke palungan. Hari ini air diubah menjadi anggur pada pesta perkawinan. Hari ini Kristus dibaptis oleh Yohanes di sungai Yordan untuk menyelamatkan kita, alleluya.”
Namun, Natal lama kelamaan memperoleh nuansa sekuler. Kemeriahan Natal yang kita kenal sebagian besarnya dibayangi industri komersial. Seluruh misteri perayaan pada masa Natal menjadi hambar karena seluruh daya usaha upaya dan fokus dicurahkan pada satu momen Kelahiran Yesus. Ini tampak jelas dalam usaha mempersiapkan liturgi, koor dan nyanyian yang “sloppy” atau serampangan selama masa Natal yang kurang memperhatikan bergulirnya pewahyuan diri Allah dalam diri Yesus kepada dunia.
Bagi Gereja Katolik Timur, peristiwa Yesus dibaptis di Yordan merupakan puncak liturgis masa Natal. Bagi mereka, Epifani ada bukan di penyembahan para Majus, tapi di pembaptisan Yesus. Karena pada peristiwa inilah, Teofani (penampakan diri Allah) memuncak dalam sejarah keselamatan ketika diri Tritunggal Mahakudus, seluruh keAllahan terungkap: Bapa yang menyatakan AnakNya, Roh yang mengurapi Anak, dan Anak yang lewat pembaptisanNya mengungkapkan Bapa dan Roh kepada dunia untuk pertama kalinya.
SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA
Ini sharing dari seorang pastor, lewat link WordPress Liturgi Ekaristi.
djer paul, CMF Dec 17, 5:14 am
Tak dapat disangkal bahwa praksisnya perayaan Natal lebih meriah, lebih di tunggu2 oleh umat ketimbang Paskah, seakan2 Natal yang menjadi pusat dan puncak perayaan Gereja. Keprihatinan ini sudah saatnya menjadi keprihatinan bersama, yang kemudian melahirkan suatu tuntutan katakese yang benar. Keprihatinan ini juga yang melandasi lahirnya devosi JALAN KEMULIAAN/ Via Lucis, yang sangat menggema di Seminari Claret (CMF) di Kupang-NTT.
Pastor Jose Celma, CMF , sebagai pelopor devosi ini di kupang menjelaskan bahwa, Masa Paskah tidak hanya sampai pada Perayaan Minggu Paskah, tetapi berlangsung selama 50 hari. kalau selama masa pra paskah, kita menjalankan devosi jalan salib, maka mulai paskah kita melakukan devosi jalan kemuliaan, sebagai ungkapan kegembiraan karena Kristus Bangkit. Devosi ini di buat dalam bentuk stasi2 (seperti stasi jalan salib), yang diarak adalah Lilin Paskah. pada masa paskah, Para seminaris Claretian, juga para OMK dari paroki-paroki terdekat, setiap hari minggu sore berkumpul untuk melaksanakan devosi ini. Peserta bernyanyi, menari di sekitar lilin paskah.
Mari kita mengisi masa paskah dengan kegiatan2 yang mencerminkan bahwa Paskah adalah Puncak dari semua perayaan Gereja.
Gereja Latin harus mulai memperhatikan lagi seluruh konsistensi Liturgi masa Natal sebagai koreksi bersama.