Seputar Liturgi Ekaristi Gereja Katolik

Seputar Liturgi Ekaristi Gereja Katolik

  • Majalah Liturgi KWI

  • Kalender Liturgi

  • Music Liturgi

  • Visitor

    free counters

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    Free Hit Counters

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    free statistics

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    hit counters



    widget flash

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    web page counter

  • Subscribe

  • Blog Stats

    • 1,255,500 hits
  • Kitab Hukum Kanonik, Katekismus Gereja Katolik, Kitab Suci, Alkitab, Pengantar Kitab Suci, Pendalaman Alkitab, Katekismus, Jadwal Misa, Kanon Alkitab, Deuterokanonika, Alkitab Online, Kitab Suci Katolik, Agamakatolik, Gereja Katolik, Ekaristi, Pantang, Puasa, Devosi, Doa, Novena, Tuhan, Roh Kudus, Yesus, Yesus Kristus, Bunda Maria, Paus, Bapa Suci, Vatikan, Katolik, Ibadah, Audio Kitab Suci, Perjanjian Baru, Perjanjian Lama, Tempat Bersejarah, Peta Kitabsuci, Peta Alkitab, Puji, Syukur, Protestan, Dokumen, Omk, Orang Muda Katolik, Mudika, Kki, Iman, Santo, Santa, Santo Dan Santa, Jadwal Misa, Jadwal Misa Regio Sumatera, Jadwal Misa Regio Jawa, Jadwal Misa Regio Ntt, Jadwal Misa Regio Nusa Tenggara Timur, Jadwal Misa Regio Kalimantan, Jadwal Misa Regio Sulawesi, Jadwal Misa Regio Papua, Jadwal Misa Keuskupan, Jadwal Misa Keuskupan Agung, Jadwal Misa Keuskupan Surfagan, Kaj, Kas, Romo, Uskup, Rosario, Pengalaman Iman, Biarawan, Biarawati, Hari, Minggu Palma, Paskah, Adven, Rabu Abu, Pentekosta, Sabtu Suci, Kamis Putih, Kudus, Malaikat, Natal, Mukjizat, Novena, Hati, Kudus, Api Penyucian, Api, Penyucian, Purgatory, Aplogetik, Apologetik Bunda Maria, Aplogetik Kitab Suci, Aplogetik Api Penyucian, Sakramen, Sakramen Krisma, Sakramen Baptis, Sakramen Perkawinan, Sakramen Imamat, Sakramen Ekaristi, Sakramen Perminyakan, Sakramen Tobat, Liturgy, Kalender Liturgi, Calendar Liturgi, Tpe 2005, Tpe, Tata Perayaan Ekaristi, Dosa, Dosa Ringan, Dosa Berat, Silsilah Yesus, Pengenalan Akan Allah, Allah Tritunggal, Trinitas, Satu, Kudus, Katolik, Apostolik, Artai Kata Liturgi, Tata Kata Liturgi, Busana Liturgi, Piranti Liturgi, Bunga Liturgi, Kristiani, Katekese, Katekese Umat, Katekese Lingkungan, Bina Iman Anak, Bina Iman Remaja, Kwi, Iman, Pengharapan, Kasih, Musik Liturgi, Doktrin, Dogma, Katholik, Ortodoks, Catholic, Christian, Christ, Jesus, Mary, Church, Eucharist, Evangelisasi, Allah, Bapa, Putra, Roh Kudus, Injil, Surga, Tuhan, Yubileum, Misa, Martir, Agama, Roma, Beata, Beato, Sacrament, Music Liturgy, Liturgy, Apology, Liturgical Calendar, Liturgical, Pope, Hierarki, Dasar Iman Katolik, Credo, Syahadat, Syahadat Para Rasul, Syahadat Nicea Konstantinople, Konsili Vatikan II, Konsili Ekumenis, Ensiklik, Esniklik Pope, Latter Pope, Orangkudus, Sadar Lirutgi

Archive for the ‘f. TATA GERAK LITURGI’ Category

MENGAPA ORANG KATOLIK MELAKUKAN GERAKAN BERLUTUT DALAM PERAYAAN EKARISTI/DI DALAM GEREJA?

Posted by liturgiekaristi on March 14, 2013


BERTUMBUH DALAM IMAN(sisipan):

MENGAPA ORANG KATOLIK MELAKUKAN GERAKAN BERLUTUT DALAM PERAYAAN EKARISTI/DI DALAM GEREJA?

Kita berlutut karena menyadari kehadiran kita di hadapan Allah yang Maha Tinggi. Gerakan berlutut mempunya arti yang sangat dalam dan penuh keintiman dalam hubungan antara manusia ciptaan dan sang Penciptanya; dan sekaligus mengekspresikan sikap sembah sujud dan rasa hormat kita kepada Tuhan.

Kita hidup di jaman modern, di mana dalam banyak hal kita telah banyak kehilangan sikap dan rasa hormat kepada Sesuatu yang Ilahi, yang Kudus, yang Mulia. Kita semakin cenderung menghadap Tuhan secara biasa2 saja, hampir seakan2 Dia yang Maha Tinggi dianggap sama saja levelnya seperti diri kita manusia. Hilangnya rasa hormat dan mengganggap kehadiran sang Ilahi sebagai hal yang biasa2 saja, dapat diartikan sebagai hilangnya sikap rendah hati di hadapan Allah.

Ketika kita sungguh menyadari makna simbolis dari gerakan berlutut ini, setiap kali kita diingatkan bahwa kita ini bukanlah Tuhan, bukan sang pencipta. Kita hanyalah ciptaan di hadapan Dia sang Maha Pencipta. Berlutut di hadirat Allah yang Maha Tinggi dalam bagian2 yang diusulkan dalam tata liturgi kita, membantu memberi penekanan pada kehadiran Kristus yang sesungguhnya di dalam Ekaristi; dan sekaligus ingin menunjukkan betapa dalam rasa hormat, cinta, dan sembah bakti kita pada Allah yang telah mencintai kita sampai menyerahkan PuteraNya yang tunggal.

Terlebih dalam Tahun Iman ini, dengan membangun rasa hormat sambil berlutut, kita disadarkan kembali akan pengalaman nabi Musa yang ditegur (diingatkan) Yahwe untuk membangun sikap hormat yang mendalam atas setiap kehadiran yang Ilahi di bumi ini: “Janganlah datang dekat-dekat; tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus..” (Keluaran 3:5). Menanggalkan kasut, seperti halnya sikap berlutut, adalah simbol kerendahan hati, di mana orang tahu menghargai setiap bentuk kehadiran yang Suci di bumi ini, di dalam gerejaNya yang kudus, dan pada setiap kehadiran Kristus dalam kurban Ekaristi.

Juga dalam masa2 mendekati Pekan Suci ini, usahakanlah untuk sungguh menghayati makna gerakan berlutut ini; dalam rangka kita menghargai sepenuh2nya kurban kasih Kristus yang paling dalam-sampai wafat di salib. Selamat mengekspresikan diri dalam membangun sikap hormat yang mendalam dan tahu menghargai setiap bentuk kehadiran yang Ilahi di sekitar kita. “Supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah….” (Filipi 2:10-11)
(Translated with adaptation, By P. Christianus Hendrik SCJ, South Dakota-USA)

Pertanyaan umat:

Radito Thomas A kondisi saya tidak memungkinkan untuk berlutut. Apakah kemudian ketika waktunya umat berlutut sy sebaiknya berdiri atau duduk saja?

PENCERAHAN DARI PASTOR C. HENDRIK

Radito Thomas A: Trims atas pertanyaannya. Memang saya tidak berbicara dari sisi hukum, lebih pada bagaimana menghayati hukum; jadi tidak secara langsung membahas hal2 tentang pengecualian.

Memang dalam Liturgi kita, pada bagian2 tertentu, tetap terbuka kekecualian2 bagi yang sakit, yang sudah lanjut usia, atau yang sedang menggendong anak yang praktis kesulitan untuk berlutut, atau di kapel2 kecil yang tidak tersedia tempat berlutut.

Namun tetap ‘sikap berlutut’ itu kita hayati dalam hati dengan menaruh rasa hormat dan sembah bakti yang mendalam. Sebaiknya selama waktu2 berlutut, bagi yang berhalangan bisa melakukannya dengan duduk saja. Thanks.
P.Hendrik SCJ, South Dakota-USA

Posted in f. TATA GERAK LITURGI, r. BERTUMBUH DALAM IMAN (BY P. CHRISTIANUS HENDRIK SCJ)) | Leave a Comment »

Berapa kali kita harus membuat tanda salib dalam Misa?

Posted by liturgiekaristi on August 6, 2011


Sumber :

http://www.hidupkatolik.com/2011/07/25/berapa-kali-kita-harus-membuat-tanda-salib-dalam-misa

Berapa kali kita harus membuat tanda salib dalam Misa?

Senin, 25 Juli 2011 18:44 WIB
Berapa kali kita harus membuat tanda salib dalam Misa?

[HIDUP/A. Nendro Saputro]

HIDUPKATOLIK.com – Di depan kursinya, imam selebran membuat tanda salib bersama umat. Dengan lantang ia lagukan: ”Dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.” Umat menyahut: ”Amin!” Inilah tanda salib pertama dalam Misa. Ritual Misa pun maju lagi selangkah. Berapa kali sebenarnya kita harus membuat tanda salib dalam Misa?

Salib, nama Allah

Dalam alfabet Ibrani kuno huruf Tau (T) berbentuk salib, maka huruf yang mengacu pada Kitab Yehezkiel 9:4 itu dianggap Origenes sebagai prediksi untuk tanda salib yang diterakan pada dahi orang Kristen. Tertulianus mengajarkan bahwa orang Kristen hendaknya membuat tanda salib pada dahi setiap kali hendak melakukan kegiatan. Dalam perkembangan selanjutnya, perayaan liturgi sakramental dan non-sakramental lainnya juga menggunakan tanda salib.

Ritual ini sebenarnya mengungkapkan peristiwa penting dari iman kristiani dalam satu rangkuman gerak. Tanda salib pada bagian tubuh memberi daya bagi seluruh tubuh. Tubuh Kristus yang tersalibkan menyentuh tubuh kita dan menyiapkan tubuh kita untuk mengalami hal yang sama dengan Tubuh Kristus. Nama Allah Bapa, Putra, Roh Kudus disebutkan untuk menyatakan bahwa misteri Allah Tritunggal telah diwahyukan melalui kematian Yesus di kayu salib. Selama Misa berlangsung akan terlihat lebih rinci lagi bagaimana kurban salib itu dihadirkan kembali. Tubuh kita pun akan didekatkan dan dipersatukan dengan Tubuh Sang Tersalib itu.

Frase ”dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus” dari Yesus sendiri, Ia ucapkan sebelum naik ke surga, ketika mengutus para Rasul. Allah yang Esa itu mempunyai satu nama: ”Bapa, Putra, Kudus.” Itulah nama utuh Allah. Terjemahan ”dalam nama” dapat dipahami sebagai ”ke dalam nama”, sehingga mengingatkan kita pada ritus baptis. Kita dimasukkan ”ke dalam nama Bapa, Putra, Roh Kudus” ke dalam kehidupan Ilahi. Setiap kali membuat tanda salib dan sekaligus mewartakan nama Allah Trinitas, kita sedang mengenangkan pembaptisan dan mau selalu kembali untuk hidup bersama Allah.

Jumlah dan jenis

Dalam Misa yang lazim terdapat tujuh kali tanda salib, baik yang dilakukan oleh umat bersama imam maupun oleh imamnya sendiri. Di samping tanda Salib Trinitaris (menyebut nama Allah Tritunggal), masih ada juga jenis yang lain.

Kapan sajakah ketujuh tanda salib itu dilakukan dalam Misa? Rinciannya: Membuat tanda salib besar oleh imam bersama dengan umat pada Ritus Pembuka untuk diri masing-masing, tiga kali tanda salib kecil pada dahi-mulut-dada sebelum mendengarkan Injil, dan berkat oleh imam dengan tanda salib besar untuk umat dan umat membuat pada dirinya sendiri pada Ritus Penutup.

Imam sendirian juga melakukan tanda salib kecil untuk Kitab Injil dan berkat dengan tanda salib untuk roti-anggur pada waktu konsekrasi. Jadi, ada dua jenis tanda salib: [1] lima kali oleh imam bersama umat dengan rumus khusus: dua yang Trinitaris (pada Ritus Pembuka dan Penutup); dan tiga yang bukan (sebelum mendengarkan Injil); serta [2] dua kali oleh imam saja tanpa rumus khusus (pada bagian Injil yang akan dimaklumkan dan berkat untuk roti-anggur).

Misa adalah suatu bentuk doa bersama, yang merangkai beberapa ritus, yang menyatukan simbol, kata, gerak, dan lagu. Karena Misa adalah doa yang paling istimewa, wajarlah jika diperindah dengan banyak unsur yang tak ditemukan dalam bentuk doa lainnya. Sebagai doa, kita pun mengawali dan mengakhiri Misa dengan membuat tanda Salib Trinitaris. Imam mewartakan ucapan Tuhan Yesus. Umat pun menyetujuinya. Tanggapan AMIN adalah ”hak suara” umat. Juga pada bagian-bagian lain dalam Misa. Jangan biarkan imam menyambarnya karena umat tak bergairah menanggapi ucapan Tuhan itu. Maka, jangan ragu; serukan AMIN itu dengan mantap dan gembira.

Christophorus H. Suryanugraha OSC

Posted in f. TATA GERAK LITURGI | Leave a Comment »

TPE 2005 – KURANG SOSIALISASI?

Posted by liturgiekaristi on May 4, 2011


Mariana Djayapranata yang terasa masih kurang sosialisasi, krn masih banyak umat yg tdk mengikuti aturan TPE 2005, contohnya saat konsekrasi, waktu Hosti / Piala Anggur diangkat, umat seharusnya memandangNya dan ketika Imam meletakkan Hosti dan berlutut, umat menundukkan kepala dgn hormat dan khidmat….sering kali tidak demikian kenyataannya…

Alex P Murdoko juga tergantung gembalanya di tiap paroki..mau patuh ga..:-) ada TePas ada Kolasi dll, utk para pastor, lebih dari cukup.

Larry Leonardo Pertanyaan untuk awam dan imam juga. Biasanya umat terserah imam, imam juga terserah umat.
Peraturan dijadikan bola pimpong.. Ayo berjuang..!

Bonar Pintor H Siahaan Setuju dgn LARRY. Seringkal4 imam kalau diingatkan keluarlah alasan bhw KITA HIDUP TDK MELULU PERATURAN DAN JG BGMN IMAN UMAT BERKEMBANG DAN HIDUP DLM PESAYAAN. Jd kalau tdk sesuai dgn aturan atau norma ya tdk menjadi dosa. enak kan ….

Mariana Djayapranata yang terasa masih kurang sosialisasi, krn masih banyak umat yg tdk mengikuti aturan TPE 2005, contohnya saat konsekrasi, waktu Hosti / Piala Anggur diangkat, umat seharusnya memandangNya dan ketika Imam meletakkan Hosti dan berlutut, umat menundukkan kepala dgn hormat dan khidmat….sering kali tidak demikian kenyataannya…

Fransiskus Zaverius Sutjiharto

‎@ Pak Mariana Djayapranata: saya sangat setuju – namun umat yang terlanjur “bertradisi” menyembah jadi bertanya : mengapa harus demikian? Jika boleh saya kutibkan dari buku saya : berhala itu bernama Ekaristi? sebagai berikut : Pada saat m…engucapkan kata-kata institusi imam membungkuk sedikit dan mengucapkan kata-kata institusi dengan lantang dan jelas. Setelah mengucapkannya, imam mengangkat hosti agar dilihat umat, lalu meletakkannya ke patena dan berlutut. Demikian juga atas piala. Disini terjadi apa yang disebut dengan elevasi. Istilah elevasi menunjuk pada diangkat / diperlihatkannya hosti / piala kepada umat pada saat sesudah kata-kata institusi diucapkan. Peristiwa ini sangat penting secara spiritual. Kita sebaiknya mengangkat kepala dan mata menatap Yesus yang ditinggikan.
Yesus yang ditinggikan di salib secara tipologi telah dihadirkan dalam bentuk ular tembaga Musa di padang gurun yang mampu menghidupkan mereka yang dipagut ular (akibat dosa = kematian ; ular lambang sumber dosa). Karena “sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan” ( Yoh 3:14 – bdk Bil 21:9). “Jika seseorang dipagut ular, dan ia memandang kepada ular tembaga itu, tetaplah ia hidup”. (Bil 21:9). Yesus yang sama itu sekarang ditinggikan dalam rupa hosti suci.
Tradisi umat di Indonesia adalah menyembah, menundukkan kepala dan mengucapkan kata-kata Thomas: “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yoh 20:28). Tindakan menyembah sangat saleh namun sebaiknya kita tetap mengangkat kepala dan memandang dia, agar kita tetap hidup!
Tradisi elevasi hosti suci baru dilakukan abad XIII (elevasi piala baru abad XVI) sebagai devosi terhadap sakramen Mahakudus yang timbul akibat penyangkalan Berengarius akan kehadiran nyata (praesentia realis) Tubuh dan Darah Kristus dalam Ekaristi. Sejak itu muncul keyakinan bahwa dengan memandang hosti dan piala suci yang dielevasi itu, umat akan memperoleh berkat khusus.

Soetikno Wendie Razif

Banyak frater2 (calon Romo) yang pintar2 dikirim studi lanjut Filsafat/Theologi/Paedagogi … sisanya jadi Romo Paroki, jadi yang belajar liturgi siapa ??? ….Liturgi perlu penguasaan Kitab Suci dan Missiologi …dan jangan lupa Antropolog…i juga …sehingga dapat memahami mana adat istiadat yang dapat diterima dalam Gereja dan mana adat yang tidak boleh masuk dalam liturgi ….Mau bukti, bukan hanya masalah sembah sjud yang beragam, tapi coba lihat yang lebih fundamental : Pertunangan,Malam Midodareni dan Ngruwat … kacau tata caranya ….

Posted in f. TATA GERAK LITURGI, g. PARTISIPASI UMAT, p. Kumpulan sharing | Leave a Comment »

PADA PERAYAAN EKARISTI – APA MAKNA DARI TATA GERAK BERDIRI?

Posted by liturgiekaristi on May 4, 2011


TOPIK :

Masih berkaitan dengan TPE 2005.
Tata gerak atau sikap tubuh seluruh jemaat dan para pelayannya menjadi bagian terpenting dalam simbolisasi kebersamaan dan kesatuan Gereja yang sedang berdoa.

……Nah, kapan sajakah kita harus berdiri dan apa makna dari tata gerak “berdiri” ini pada saat kita mengikuti Perayaan Ekaristi ?

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Sebenarnya topik ini sdh pernah dipost beberapa wkt lalu.. karena beberapa umat ada yg masih merasa bingung dengan tata gerak pada saat perayaan Ekaristi.. mari kita re-fresh sidikit..

Sikap tubuh yang seragam menandakan kesatuan seluruh jem…aat yang berhimpun untuk merayakan Liturgi Kudus. Sebab sikap tubuh yg sama mencerminkan dan membangun sikap batin yang sama pula.

Jemaat berdiri untuk menghormati Allah yg Maha tinggi, juga mengungkapkan persaudaraan yg hidup, yang dipersatukan bagi dan oleh Allah.

“Umat hendaknya berdiri pada saat:
a. dari awal nyanyian pembuka, atau selama perarakan masuk menuju atar sampai dg doa pembuka selesai;
b. pd waktu melagukan bait pengantar Injil (dg atau tanpa alleluya);
c. pd waktu Injil dimaklumkan;
d. selama syahadat;
e. selama doa umat;
f. dari ajakan “Berdoalah, saudara..” sebelum doa persiapan persembahan sampai akhir perayaan Ekaristi.” (PUMR 43)

@Erni Susana.. untuk tata gerak pd saat doa umat.. coba klik link dibawah ini,
https://liturgiekaristi.wordpress.com/category/f-tata-gerak-liturgi/

semoga dpt membantu dan gak bingung lagi yaa..

*mari terus barbagi.. untuk hal yang benar.. 🙂

Soetikno Wendie Razif

Tata gerak dalam TPE ini rupanya : (1) mengakomodasi banyak gereja yang hanya mempunyai kursi duduk dan tidak mempunyai tempat berlutut … jadi berlututnya sedikit sekali . (2) mengakomodasi banyaknya umat yang tidak kebagian tempat duduk… (harus berdiri) selama Misa, sehingga frekuensi berlututnya berkurang jauh dari DSA (Doa Syukur Agung) lama. (3) mengakomodasi Misa di tempat terbuka (gereja tenda) dimana tidak ada sama sekali tempat berlutut …asalkan tidak terpengaruh gereja Protestan yang memang tidak mengenal iba
sikonnya seperti di gereja paroki saya sekarang, sebagian bangku dilengkapi tempat berlutut.. sebagian lagi masih menggunakan tempat duduk plastik, shg pada saat DSA umat yg duduk di bangku (yg ada tempat berlututnya) bs langsung berlutut, sementara yg kebagian tempat duduk kursi plastik tetap berdiri, klo gak kuat.. duduk. hehe.. 🙂

PENCERAHAN DARI BP. Fransiskus Zaverius Sutjiharto

Beberapa dasar biblis gerakan dalam Ekaristi :
Tanda salib : Why 7:3; 14:1 ; Yeh 9:4
Selama doa syukur Agung tangan imam terentang bagai tangan Yesus yang terentang antara langit dan bumi (DSA). Bagai tangan Musa yang harus terentang dalam p…ertempuaran Israel melawan Amalek (Kel 17:12)
Sikap berlutut adalah sikap biblis perempuan Kanaan yang anak perempuannya kerasukan setan (Mat 15:25), penderita kusta (Mat 8:2) dan sikap Yesus sendiri saat berdoa di taman Getsmani (Luk 22:41)
Imam memberkati dengan mengangkat dan mengulurkan tangannya mengingatkan imam Harun yang mengangkat kedua tangannya atas bangsa Israel dan memberkati mereka (Im 9:22)
Silakan ditambah yang lain…..

Posted in f. TATA GERAK LITURGI | Leave a Comment »

TANDA SALIB – CARA MEMBUAT TANDA SALIB YANG BENAR.

Posted by liturgiekaristi on April 11, 2011


Pertanyaan umat:

Mau tanya nih, sebenarnya cara Tanda Salib yang benar itu kaya gimana sih???

PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :

Hehehe … coba perhatikan bagaimana Anda semua membuat tanda salib waktu menerima berkat dari romo atau Uskup, misalnya saat Misa.

NB. Perdebatan soal di mana tangan kita menyentuh, seperti dada atau perut atau pusar ….. lalu Amin-nya di mana … adalah perdebatan ‘abadi’ – dan tidak ada solusi final.
🙂

PENCERAHAN DARI BP. AGUS SYAWAL

Lebih umum menyentuh dada daripada perut/pusar. Secara historis memang demikian, dibuat dengan 3 jari dan menyentuh perut/pusar.

Namun rubik (tata-cara liturgis) yang setidaknya diadaptasi dalam dokumen resmi Gereja sebelum Konsili Vatikan II, dan tetap umum sekarang adalah dengan menyentuh dada.

Dalam Missale Romanum (TPE) 1962, diberikan rubik demikian untuk membuat tanda salib:…
“Seipsum benedicens, vertit ad se palmam manus dexterae, et omnibus illius digitis iunctis et extensis, a fronte ad pectus, et ab humero sinistro ad dexterum, signum crucis format.”

Dikatakan “…dahi, kemudian ‘pectus’, dan bahu kiri kemudian kanan.”
“pectus” adalah bahasa latin dari “dada”.

Posted in f. TATA GERAK LITURGI | Leave a Comment »

PETUGAS LITURGI – DALAM MISA , LEWAT DI DEPAN TABERNAKEL HARUS BAGAIMANA

Posted by liturgiekaristi on March 21, 2011


SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Dari link http://twitter.com/LiturgiKatolik, ada dikatakan “Selama misa berlangsung, para petugas tidak wajib berlutut bila lewat di depan Tabernakel dan cukup membungkuk hormat”. 

Sementara di Page ini (lihat rangkuman http://liturgiekarist…i.wordpress.com/category/h-petugas-liturgi/1-lektor/ ) , pernah ada umat yang mengatakan ” Bila di belakang altar ada tabernakel, lektor berlutut sambil menundukkan badan …… Ini yang sering diabaikan.

Kalau mengikuti penjelasan di TWITTER itu, Berarti pada saat maju ke panti imam , dari tempat duduk di bangku umat, LEKTOR dan PRODIAKON TIDAK PERLU BERLUTUT? . Tetapi cukup membungkukan badan? Sementara kalau menurut fans di Page ini, HARUS BERLUTUT DAN MEMBUNGKUKKAN BADAN. Bagaimana yang seharusnya?

SHARING UMAT :
Gregorius Tasti Virdiawan 

Intinya, itu adalah salah satu cara menghormati…….
tergantung cara kita/mereka yang menjalankan, biasanya kita menjalankan tradisi yang ada dan saya pribadi belum mendengar ketentuan khusus mengenai hal tersebut……
ini sich bukan pencerahan, tapi pendapat saya
Yohanes Bosco sbg lektor kalo mau naik, berlutut dulu lalu langsung ke ambo, kembalinya membungkukan badan lalu turun.
Sbg umat selalu bila lewat di depan tabernakel, berlutut.
Franciska Irene R K benar, lama2 saya dan teman2 seiman Katolik menjadi bingung… bukan hanya gerak liturgi para petugas ttp juga para umat di tiap2 gereja yang juga masih berbeda2. sbnrnya mau dibwa kemana kami? kepada kesatuan iman Kristiani atau pada keseragaman tata liturgi/ibadat? tk.
Sy ambil cntoh: pd saat acara resmi trtntu yg dhdiri ptinggi (formal or non-formal),seorg ptugas yg akn mnyampaikn smbutan ato paparannya, akn mnghormati ptinggi tsb seblumnya dg menundukkan kpala. Dmk pula halnya pd PE, “petinggi” pd saat …PE adalh Tuhan sndri yg brsemayam di tabernakel. Olh krn itu setiap org, siapapun (imam,lektor, prodiakon,misdinar,pmbawa prsembhan ato jg umat awam) yg mlewati altar sehrsnya n sebaiknya memberi hormat kpd Tuhan yg brada di tabernakel. Cara mnghormat bisa macam2, bs membungkuk, menundukkan kpala ato brjongkok, mana yg convenient.. Dmk pndpt sy prib
Marshall Aditya Tata cara ekaristi yang untuk petugas liturgi adalah berlutut Sebelum naik ke mimbar… Setelah itu, bisa nunduk dulu untuk menghormati pemimpin umat atau pastor baik sebelum dan sesudah lalu turun dari mimbar… Setelah turun, maka berlutut untuk menghormati Nya yang di kayu salib…
Peraturan itu pada dasarnya hanya ingin mengatakan “tidak perlu berlutut/membungkuk berkali-kali tiap kali lewat di tabernakel atau Altar”. Misalnya para misdinar seringkali harus mondar-mandir melewati Altar/Tabernakel untuk tugasnya, mereka tidak perlu tiap kali lewat bungkuk/berlutut karena ini menganggu pemandangan. Begitu juga Imam dan petugas lain. Kalau seperti dalam kasus petugas pembaca, dua kali berlutut (saat hendak membaca dan sesudahnya) rasanya ini belum sampai pada tahap menganggu, jadi tidak perlu dipaksakan menuruti rubrik. Harap diperhatikan bahwa dalam penataan ruang Gereja di Roma (terutama yang berasal dari abad pertengahan, biasanya ambo (mimbar) berada di luar panti imam sehingga petugas pembaca tidak perlu lewat altar/tabernakel saat hendak membaca, penataan di Indonesia agak berbeda jadi aturan juga perlu menyesuaikan diri). Kalau liat Misa di Basilika St. Petrus, karena tidak ada tabernakel di panti imam, biasanya pembaca hanya membungkuk sedikit.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

PUMR 274. Berlutut, yakni tata gerak yang dilakukan dengan menekuk lutut kanan sampai menyentuh lantai, merupakan tanda sembah sujud. Oleh karena itu, berlutut dikhususkan untuk menghormati Sakramen Mahakudus dan Salib Suci yang digunakan d…alam Liturgi Jumat Agung sampai sebelum memasuki Misa Malam Paskah. 

Dalam Misa, hanya tiga kali imam berlutut, yaitu pada saat konsekrasi sesudah memperlihatkan hosti dan sesudah menunjukkan piala, dan sebelum imam menyanbut Tubuh Kristus. Ketentuan-ketentuan khusus untuk Misa konselebrasi dipaparkan pada tempat yang bersangkutan (bdk.no.210-251).

Kalau di panti imam ada tabernakel dengan Sakramen Mahakudus di dalamnya, maka imam, diakon dan pelayan-pelayan lain selalu berlutut pada saat mereka tiba di depan altar dan pada saat akan meninggalkan panti imam. Tetapi dalam Misa sendiri mereka tidak perlu berlutut.

Di luar perayaan Ekaristi, setiap kali lewat di depan Sakramen Mahakudus, orang berlutut, kecuali kalau mereka sedang dalam perarakan.

Para pelayan yang membawa salib perarakan atau lilin menundukkan kepala sebagai ganti berlutut.

Eddy Rianto Menurut pastor gereja saya, para petugas (bahkan imam) seharusnya menghormat ke arah Tabernakel, entah membungkuk atau genufleksi (setengah berlutut). Sudah sering kita lihat yg dihormati petugas adalah imam-nya (!) dan petugas ybs tidak menghormat ke arah Tabernakel. Soal membungkuk atau genufleksi mungkin ada yg lebih berkompeten mengulasnya? Terimakasih. GBU all!
SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA Penjelasan lebih lanjut sependapat dgn Bapak Daniel Pane 🙂

-OL-

Posted in f. TATA GERAK LITURGI | Leave a Comment »

PRODIAKON : APAKAH BOLEH MERENTANGKAN TANGAN PADA SAAT MEMIMPIN PERAYAAN SABDA?

Posted by liturgiekaristi on March 15, 2011


Pertanyaan umat :

Santiago Canizares Yang ingin saya tanyakan dalam perayaan sabda adalah Apakah dalam memimpin perayaan sabda pada hari minggu tanpa Imam, apakah seorang prodiakon Paroki dapat merentangkan tangan seperti yang dilakukan Imam pada saat Doa Pembukaan, Doa Umat, Doa Sesudah Komuni dan Mohon Berkat Tuhan.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Sikap merentangkan tangan berkaitan dengan imamat, jadi sebaiknya pemimpin awam tidak melakukan itu. Namun demikian, KWI sedang menggodok buku pedoman Perayaan Sabda Hari Minggu tanpa Imam, mudah-mudahan cepat selesai. Mungkin nanti di buku… itu akan ada penjelasan lebih terperinci, atau yang menganulir pendapat saya ini. 

-OL-

Posted in f. TATA GERAK LITURGI | Leave a Comment »

DOA UMAT – Berlutut atau berdiri ?

Posted by liturgiekaristi on March 15, 2011


 

Post 15 Maret 2011

Pertanyaan umat :

Slmt sore, mau tnya : bagaimana sikap tubuh saat doa umat ? dulu semua umat di gerejaku rapi berlutut…skrg ada yg berdiri (terutama pengurus gereja), dan ada yg berlutut..aq sndiri sering ragu, mau diri apa brlutut. thx buat jwbnnya. Salam damai.

PENCERAHAN DARI SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

‎@Tina:
Menurut Tata Perayaan Ekaristi, pada saat Doa Umat, seluruh umat berdiri sebagai tanda hormat kepada Allah yang setia mendengarkan dan mengabulkan doa-doa umat. 

Sebelum TPE yang baru ini berlaku, memang banyak juga paroki yang umatnya  berlutut saat Doa Umat. Namun mengingat TPE sudah diberlakukan, sebaiknya mengikuti pedoman yang ada di TPE tersebut.

Sebaiknya Tina sampaikan hal ini kepada Romo Paroki atau Seksi Liturgi, sambil membawa buku TPE.

Tanggapan penanya :

Tina Will Be Survive Terimakasih buat jawabannya, saya jadi pasti untuk berdiri saat doa umat nanti…tdk ragu2 lg. Pengurus gereja sepertinya sdh tau, cm kurang sosialisasi… 

Posted in f. TATA GERAK LITURGI | Leave a Comment »

SELAMA MISA – BERAPA KALI BUAT TANDA SALIB ?

Posted by liturgiekaristi on March 8, 2011


Pertanyaan umat :

Romo. sebenarnya berapa kalikah tanda salib boleh dilakukan pada saat misa? ada yang bilang hanya 2x, yaitu pada saat berkat pembuka dan penutup misa? mohon penjelasan..terima kasih

PENCERAHAN DARI BP. DANIEL PANE :

Pada umumnya tanda salib hanya 2 kali dalam Misa yaitu saat Tanda Salib di awal Misa dan berkat penutup. Ditambah dengan 3 tanda salib kecil dalam dialog yang mengawali bacaan Injil, serta jika pemercikan air suci diadakan. Di luar itu tidak perlu ada tanda salib.

Sesudah menerima Hosti, dan selama berdoa pribadi di Misa tidak perlu membuat Tanda Salib, karena seluruh Misa dari awal sampai akhir itu adalah satu rangkaian doa yang panjang. Doa dimulai saat Tanda Salib di awal dan diakhiri dengan berkat. Mungkin perlu diberi keterangan bahwa tidak perlu tidak sama artinya dengan tidak boleh.

Kebiasaan para Imam yang membuat tanda salib dalam khotbah, adalah kebiasaan warisan zaman dulu, ketika biasanya khotbah diletakkan sebelum atau sesudah Misa dimulai (kebiasaan yang cukup umum sebelum Vatikan II dan diadakan dengan alasan praktis misalnya lebih bebas memilih tema-tema khotbah). Karena khotbah diletakkan di luar Misa maka biasanya diawali dan diakhiri dengan tanda salib bahkan juga dengan doa pembukaan dan penutup sendiri. Kebiasaan ini terbawa-bawa sampai sekarang dan seringkali diikuti begitu saja oleh Imam-imam yang lebih muda (yang tidak pernah mengalami masa-masa itu).

PENCERAHAN DARI PASTOR ZEPTO PR :

Tentang TANDA SALIB dlm Perayaan Ekaristi.

Tanda salib PUBLIK yg dibuat oleh pemimpin (disertai ajakan publik) hanya DUA kali. Inilah tanda yg membuka dan mngakhiri ibadah.

Selain itu, pemimpin PE juga membuat tanda salib berkat (pada diakon sebelum mbacakan Injil), pada Evangeliarum, dan ketika Epiklesis dalam DSA. Khusus dlm DSA I, pada bagian tertentu imam membuat tanda salib pada dirinya sendiri (ketika mendoakan kata2: …dipenuhi dengan segala berkat dan rahmat….).

Ada juga Tanda salib yg mrupakan SALAH KAPRAH. Artinya, tanda salib yg dipakai sdemikian meluas dari masa2 lampau padahal sebetulnya KURANG SESUAI dgn rubrik2 dlm buku liturgi resmi, lalu oleh sebagian besar umat dianggap ‘itulah yg benar’.

Beberapa di antaranya:

A. Imam membuat ‘tanda salib absolusi’ pd bagian akhir ritus tobat (padahal pd bagian tsb TIDAK terjadi absolusi sakramental). Umat ikut2an men’jawab’nya dgn tanda salib juga. Bahkan ketika imam tidak lagi menyertakan ‘berkat absolusi’ tsb pd formula doa, toh (ada) umat buat tanda salib juga. “Sudah biasa, terasa puas lagi,” kata mereka. Hehehe

B. Tanda salib mengawali dan menutup homili. Baik dengan maupun tanpa ajakan imam, toh umat tetap membuat tanda salib. Dalam buku Tata Perayaan Sabda, jelas2 ditulis pd rubrik: ‘homili tidak dibuka dan ditutup dgn tanda salib’. Why? WKarena tanda salib tsb membentuk nivo bhw seolah-olah ada ibadah dalam ibadah.

C. Ketika air akan dicampurkan pd anggur, ada imam/diakon yg membuat berjat pd air. Pd konsekrasi roti, juga anggur, umat sering mbuat tanda salib yg tak ada dlm ritus resmi.

PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :

Agar tidak melahirkan “perasaan berdosa” karena pengertian benar dan salah yang berlebihan, bisa kita rumuskan begini:

Dalam satu kali Misa Kudus diawali dan diakhiri dengan “tanda salib”. Artinya di tengah itu sebenarnya masih dalam suasana Misa kudus, dan dengan demikian sebenarnya tidak diperlukan tanda salib baru, karena misanya tidak ada pause.

Nah, dari rumusan tidak perlu – maka artinya kalau dibuat itu tidak menambah apa-apa, malahan salah-salah membuat kita salah mengerti dan menghayati misa kudus sebagai kesatuan utuh.

Nah, apakah dilarang membuat tanda salib di luar yang dua itu? Yah dilarang sih tidak, berdosa juga tidak …. tapi tidak perlu. Maka karena tidak perlu … ya sebenarnya tidak perlu ditiru dan dianjurkan

(walau tidak sama, tetapi mungkin bisa kita bandingkan apakah saat sedang makan dilarang makan snack? atau dilarang pakai garpu dua?

Dilarang ya tidak, apalagi berdosa ya gak seberat itulah tapi kan ya gak perlu dan tidak banyak guna dan manfaatnya.

Kalau mau lihat buah negatifnya ya ANEH saja. 🙂

Posted in f. TATA GERAK LITURGI | Leave a Comment »

SEBELUM DUDUK, UMAT BERLUTUT KE ARAH ALTAR ATAU TABERNAKEL?

Posted by liturgiekaristi on March 8, 2011


Pertanyaan umat :

Ada umat bertanya ” Pada saat masuk ke gereja dan sebelum duduk, umat berlutut. Kemana arahnya, apakah ke Altar atau Tabelnakel. Mohon pencerahan. Salam

PENCERAHAN DARI BP. AGUS SYAWAL YUDHISTIRA :

Jika di panti imam ada Altar dan Tabernakel yang didalamnya disemayamkan Sakramen Mahakudus, atau jika di dekat Altar ada Tabernakel yang kelihatan dengan Sakramen Mahakudus di dalamnya: Umat berlutut dengan satu kaki (kaki kanan menyentuh tanah) ketika melewati Altar/Tabernakel. Tidak perlu dua kali jika Altar/Tabernakel agak terpisah.

Juga ketika hendak duduk, ini kebiasaan yang baik.

Jika tidak ada Tabernakel di panti imam (hanya ada Altar), umat membungkuk dalam ke arah Altar ketika melewati Altar, juga ketika hendak duduk.

Jika hanya ada Tabernakel, umat berlutut satu kaki.

Jika Sakramen ditahtakan dalam Monstrans atau Pixis, umat berlutut. Aturan pasca Konsili Vatikan II tidak secara spesifik memberi perbedaan dengan dua lutut menyentuh tanah atau satu lutut kanan saja. Keduanya boleh dilakukan. Aturan sebelum Konsili Vatikan II mewajibkan berlutut dengan kedua lutut menyentuh tanah (double genuflection).

Petugas Liturgi yang melayani dalam Misa diwajibkan untuk berlutut ke arah Altar jika ada Tabernakel dengan Sakramen di dalamnya, hanya pada dua kesempatan: sebelum naik ke panti imam dan setelah perayan selesai. Tidak perlu berlutut setiap kali lewat. Jika tidak ada Sakramen, membungkuk yang dalam ke arah Altar.

Pada Jumat Agung ada kekhususan, selain terhadap Sakramen Mahakudus, umat juga berlutut ke arah Salib. Umumnya Salib utama pada perayaan Jumat Agung.

PENCERAHAN DARI BP. VINCENT PAMUNGKAS :

Setuju dengan Pak Agus. Tambahan sedikit, ada gereja yang tabernakelnya di luar gereja. Kalau kita tidak melihat tabernakel di dalam gereja, kita hanya perlu membungkuk ke arah altar, karena altar itu sudah disucikan dan disimbolkan sebagai tubuh Yesus.

PENCERAHAN DARI BP. AGUS SYAWAL (ATAS MASUKAN DARI BP. VINCENT PAMUNGKAS):

Tabernakel di luar Gereja bukan artinya di halaman bukan?

Saya rasa yang dimaksud pak Vincent adalah Tabernakel tidak berada di panti imam atau dekat Altar, melainkan berada di kapel terpisah (bisa berupa altar samping yang tidak secara langsung terlihat, atau ruangan yang sama sekali terpisah).

Jika demikian benar seperti yang di katakan Pak Vincent bahwa kita membungkuk menghormati Altar.

PENCERAHAN dari Pastor Liberius Sihombing

Bagaimana pun kita mesti tahu apa yg menjadi central (pusat) dari sebuah bangunan gereja. Yang menjadi pusat dalam gereja adalah Altar (bukan tabernakel). Dalam gereja bisa tdk ada tabernakal tetapi mesti ada Altar. Itu mesti dipahami. Maka menurut paham liturgi, kita memberi hormat entah berlutut entah membungkuk di dalam gereja bukan terutama karena ada tabernakel yang adalah tempat penyimpanan hosti kudus. Tetapi karena adanya Altar tempat dimana Yesus Kristus hadir secara riil. Jadi bukan berarti kalau tidak ada tabernakel, maka cara penghormatan kita di dalam gereja mnjadi berkurang. Di banyak tempat (stasi) tdk tersedia tabernakel, jd bukan berarti kita tidak perlu berlutut di sana. Memperlakukan gereja mesti sama entah tanpa tabernakel atau dengan tabernakel. Pernah sy agak tersinggung melihat umat menghias gereja (kebetulan tdk ada tabernakel) untuk memasang hiasan natal di plafon mereka menggeser altar dan menginjaknya. Mereka memperlakukan altar seperti meja biasa dan dipakai jdi pijakan pengganti tangga. Bukankah altar itu ‘piring’ kita yg dari dalamnya kita langsung menerima Kristus? Maka untuk saya (bukan menyangkal pendapat teman yg pertama) altar itu menjadi lebih tinggi dari tabernakel. trims. slamat natal utk besok



Posted in f. TATA GERAK LITURGI | Leave a Comment »

PADA SAAT KONSEKRASI – BAGAIMANA SIKAP TUBUH?

Posted by liturgiekaristi on March 8, 2011


Pertanyaan umat :

sy mau bertanya, pada saat konsekrasi sikap badan umat yg benar bagaimana, apakah mengatupkan tangan dan menyembah atau tidak, lalu saat imam mengatakan Trimalah n makanlah… kita menundukan kepala, mohon pencerahannya

PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :

Kalau kita lihat petunjuk dalam PUMR:

43. Umat berlutut pada saat konsekrasi, kecuali kalau ada masalah kesehatan atau tempat ibadat tidak mengijinkan, entah karena banyaknya umat yang hadir, entah karena sebab-sebab lain. Mereka yang tidak berlutut pada saat konsekrasi hendaknya membungkuk khidmat pada saat imam berlutut sesudah konsekrasi.

150…. Bila dianggap perlu, sesaat sebelum konsekrasi, putra altar dapat membunyikan bel sebagai tanda bagi umat. Demikian pula sesuai dengan kebiasaan setempat, pelayan dapat membunyikan bel pada saat hosti dan piala diperlihatkan kepada umat sesudah konsekrasi masing-masing. Kalau dipakai pedupaan seorang pelayan mendupai roti/piala pada saat diperlihatkan kepada umat sesudah konsekrasi masing-masing.

222. c. Bila dianggap baik, waktu mengucapkan kata-kata Tuhan {Inilah Tubuh-Ku …/ Inilah Darah-Ku }, para konselebran mengulurkan tangan kanan (dengan telapak ke atas) ke arah roti dan piala. Waktu hosti dan piala diperlihatkan, mereka memandangnya, kemudian menghormatinya dengan membungkuk khidmat.

—————-

Jadi sikap umat saat konsekrasi adalah:

a. (Sedapat mungkin) Berlutut. (43)

b. Saat roti dan anggur diangkat, umat memandangnya, kemudian membungkuk khidmat (222.c).

Sikap lain, seperti menyembah dll – adalah berasal dari sikap penghormatan dari budaya setempat.

Apakah salah? Tidak ada jawaban resmi dari dan atas nama Gereja, kecuali menurut petunjuk umum, kini acuannya ya salah satunya PUMR di atas.

PENCERAHAN DARI PASTOR ZEPTO PR:

Tentang ini setahu saya sdh pernah dibahas. Mohon admin tunjukkan rangkuman pencerahannya.

Pada intinya, selama DSA umat berlutut/berdiri (=berlutut, jika tidak, berdiri). Tata gerak umat yg di-rubrik-kan dlm DSA pada TPE 2005: berupa ‘memandang’ ke arah hosti/piala kudus lalu ‘membungkuk hikmat’ ketika imam berlutut.

Namun demikian, tetap terbuka kemungkinan pada gerak devosional pribadi untuk MENUNJANG penghayatan pribadi atas peristiwa konsekrasi. Tentu ini dpt dibuat asal TIDAK menjadi SANDUNGAN dlm perayaan bersama. Karena itu, dapat dimaklumi bila ketika konsekrasi, ada orang yg MISALNYA mengangkat tangan terkatup ke depan/atas dahi. Atau cara lain yg sesuai dan mengungkapkan penghormatan luhur kpd Yesus.

Dengan demikian PE dialami sbg perayaan BERSAMA yg dialami juga secara PERSONAL. Tata gerak dan penghayatan berjalan seiring.

Posted in f. TATA GERAK LITURGI | Leave a Comment »

SIKAP MENEPUK DADA ADALAH SIKAP LITURGI YANG RESMI ?

Posted by liturgiekaristi on March 8, 2011


Pertanyaan umat :

saya mau sedikit bertanya juga.. apakah menepuk dada saat Tuhan

kasihanilah kami dan Agnus Dei adalah suatu sikap liturgi yg resmi??

apakah hal tsb adalah wajib?? mohon pendapatnya… thx”

PENCERAHAN DARI PASTOR ZEPTO PR :

@ all: Dalam 3 bulan terakhir byk kali muncul pertanyaan seputar ‘SIKAP/GERAK TUBUH DALAM PERAYAAN EKARISTI’, bahkan bbrp pertanyaan yg sama bbrp kali muncul di Page ini.

Berikut ini ada bbrp pokok pencerahan, maaf bila pencerahan berikut ini terlalu meluas. Saya hanya sekedar memberi BINGKAI PEMBICARAAN karena pokok ini byk kali muncul.

Pertama… RUPA-RUPANYA, telah terjadi pencampuradukan antara “SIKAP-TUBUH YG DIBAKUKAN DAN YG BERLAKU UNIVERSAL” di satu pihak, dan “TINDAKAN DEVOSIONAL PRIBADI/KELOMPOK YG BERLAKU LOKAL-TEMPORAL” di lain pihak.

Kedua. Karena LATAR BELAKANG DAN PROSES PERKEMBANGAN UMAT di tiap-tiap tempat (di Indonesia) berBEDA-BEDA, tentu dgn pelbagai alasan yg masuk akal, maka ada bbrp gerak/sikap liturgis yg sebenarnya bersifat devosional-personal-temporal perlahan-lahan seiring perjalanan waktu MULAI DIANGGAP sbg ‘yang baku’ dan sbg ‘yang wajib’ bagi semua.

Ketiga. Keanekaragaman tsb menjadi lebih subur apalagi krn DITUNJANG OLEH pelbagai kemajuan, a.l. dlm hal :

A). OTONOMI DIRI. Orang merasa semakin mndapat tempat untuk berekspresi dan menentukan diri, lepas dari dikte dan dari aturan2 (yang sering dipandang kurang mengakomodir kompleksitas suasana batin personal).

B). KETENAGAAN. Semakin banyak guru/katekis/pastor yg dihasilkan dari sekolah2 keagamaan katolik yg sedemikian menjamur

C) TRANSPORTASI, MOBILISASI DAN PEMBAURAN. Kemajuan di bidang transportasi darat/laut/udara dan tuntutan hidup semakin mendorong pesatnya perjumpaan/pembauran antar kelompok umat katolik dari daerah2 yg memiliki latar belakang sejarah yg tak sama.

D). TEKNOLOGI CETAK DAN DIGITAL. Percetakan smakin maju dan distribusi majalah/buku makin lancar. Apalagi, ditunjang dgn pelbagai fasilitas digital yg semakin memudahkan tersosialisasinya suatu paham dan kebiasaan.

AKIBATNYA, banyak orang mengalami kebingungan antara sikap/gerak ‘yang baku-normatif’ dan ‘yang TIDAK baku-normatif’; atau, mana yg otentik dan mana yg tidak.

Tentu, sekali lagi harus diakui bahwa ada BANYAK SEKALI sikap/gerak (yang kini belum-baku dan belum-normatif) tersebut yg SANGAT BAIK dan MENDUKUNG PENGHAYATAN PERAYAAN.

Pencerahan ini tentu masih harus disempurnakan lagi oleh teman2. Semoga, input di atas membantu kita untuk lebih mengetahui hal2 yg turut melatarbelakangi keanekaan gerak/sikap tubuh yg kita pertanyakan.

Salam. Zepto-Triffon Polii, Papua

Posted in f. TATA GERAK LITURGI | Leave a Comment »

BERKAT PENUTUP – berdiri atau berlutut?

Posted by liturgiekaristi on March 8, 2011


Pertanyaan umat :

Pada saat berkat penutup, umat selalu kikuk ada yg berdiri dan ada yg berlutut, sebagian tengok kanan-kiri krn tidak pede. Ini hampir selalu terjadi di tiap gereja. Manakah yg benar, menerima berkat perutusan dgn berlutut atau berdiri?

INFORMASI DARI AWAM BP. ANDREAS ADIANA :

kalo melihat ordo missae/buku misa romawi, saat ritus penutup tertulis genuflexi/stantes, artinya berlutut/berdiri.

berarti, kalo memungkinkan, dengan berlutut. tapi apabila tidak dimungkinkan berlutu, maka harus berdiri. cmiiw… selama ini selalu berdiri 🙂

PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :

Hehehee ….. memang dalam pedoman dimungkinkan kedua sikap itu dipakai.

Namun tentu ada hal praktis juga yang harus dilihat atau dipertimbangkan: yakni posisi umat pada saat Doa Penutup didoakan. Umumnya posisinya tetap sama, supaya tidak ribet, karena toh dua-dua sikap dimungkinkan.

Maksud saya praktisnya begini:

Doa Penutup berdiri – Berkat berlutut – Imam dan misdinar kembali ke sakristi berdiri lagi. Nah kan ribet dan malah tidak hening. Masih lumayan kalau sesudah Doa Penutup ada pengumuman, maka masih ada tenggang waktu dan perubahan karena pasti saat pengumuman umat duduk.

Sebaliknya kalau saat berkat berdiri, lalu imam kembali ke sakristi juga berdiri …. lebih nyaman, dan tidak ribet.

Soal menerima berkat sebaiknya berdiri atau berlutut, ini juga tergantung keadaan dan kebiasaan pribadi. Untuk berkat pribadi misalnya orang minta berkat khusus kepada pastor misalnya mau membacakan pasio, atau mau pergi jauh, umumnya orang itu berlutut.

Sebaliknya berkat bersama, sebaiknya ikuti kebiasaan gereja setempat, artinya kalau kita tamu ya jangan membuat gerakan mendahului orang setempat agar tidak terganggu hati kita. Ikuti saja kebiasaan setempat.

Kalau ditempat itu umat berdiri, atau apalagi imamnya atau lektor mengajak berdiri, misalnya: “Dan kini marilah kita berdiri untuk menerima Berkat Tuhan …..” – ya berdirilah.

Demikian juga kalau lektor mengajak marilah kita berlutut, ya berlututlah.

Berdiri adalah juga sikap hormat yang tidak kalah sopannya dibandingkan dengan berlutut. Coba perhatikan kalau kita menyanyikan lagu Kebangsaan atau memberikan penghormatan saat Bendera kita dinaikkan, atau hormat resmi protokoler upacara kepada komandan, inspektur, …. dan sampai kepada imam yang atas nama Tuhan lewat saat awal dan akhir Misa kudus, kita berdiri. Sikap ini bukan menantang, tetapi hormat. Karena menantang tidak bisa ditentukan dari satu sikap saja, tetapi oleh banyak faktor. Orangnya berlutut tapi matanya mendelik – bisa menantang.

Jadi kembali lagi sebaiknya kita mengikuti adat setempat.

Nah, kalau kita rajin ke gereja pasti soal sikap ini tidak jadi masalah, karena semua umat di situ memang seragam dengan sikap yang sama.

INFORMASI DARI AWAM :

1. BP. IRWAN WIDI DI JOGJAKARTA – sekedar info, di jogja, di gereja manapun, klo romo memberikan berkat penutup, umat selalu berlutut……

2. BP. PASCHALIS DI JOGJAKARTA – Di paroki saya, di Jogja dan beberapa paroki saat berkat penutup umat berdiri…

TANGGAPAN PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :

@ Irwan: baguuus, berarti kebiasaan di Yogya (mungkin juga di seluruh KAS) jelas: saat berkat umat berlutut. Jadi kalau ada orang luar Yogya ikutan misa di Yogya, walau di parokinya biasanya berdiri …. ya kalau ikut misa di Yogya berlututlah. ….. 🙂

@ Haaaaa???

Lha ini gimana pyantun Ngayogjakarta ini? Pak Irwan bilang di gereja manapun …. sekarang Pascalis di parokinya yang di Jogja juga ….. gak sama ….. 🙂

Sekarang makin jelas, satu kevikepan saja bisa beda-beda, apalagi mau se Indonesia atau sedunia ….

Akhirnya kembali kepada point awal …. marilah kita perhatikan kebiasaan setempat dan kita menyesuaikan diri dengan kebiasaan setempat itu, sejauh itu direkomendasikan oleh TPE kita.

PENCERAHAN DARI PASTOR ZEPTO PR :

Setuju dgn pemdapat Andreas A pada postingan pertama, juga dgn beberapa temans yg lain.

Tambahan input:

Pertama, dalam bahasa Latin, kata ‘atau’ bisa dimengerti ‘sejajar’ (=pilihan setingkat), tapi bisa juga dimengerti ‘bertingkat’ (=pilihan A harus diambil, namun bila tak memungkinkan maka tersedia alternatif lain).

Kedua, dalam rubrik2 Ordo Missae, kata ‘atau’ dimengerti dlm arti yg kedua.

Ketiga, Perayaan Ekaristi sbg perayaan komunal ‘menuntut’ kesatuan aklamasi, gerak, nivo, dst.

Karena itu, bila pd TPE dituliskan ‘berlutut/berdiri’, itu berarti bukan ‘saya mau berlutut, maka saya berlutut’. Bukan juga, ‘ah, enaknya berdiri, maka saya berdiri’.

Keempat, menurut saya, seraya mendalami jiwa rubrik Ordo Missae, seharusnya tata gerak yg dibuat bersama adalah ‘berlutut’; sekiranya kondisi untk berlutut tak memungkinkan (mis: gereja hy menyediakan kursi plastik tanpa tempat berlutut, misa di lapangan terbuka, misa lingkungan di rumah kediaman, dst), maka berlutut boleh diganti dgn berdiri.

Salam, Zepto-Triffon Polii, Sorong.

PENCERAHAN DARI PASTOR CHRISTIANUS HENDRIK SCJ :

Kedua sikap, baik berdiri atau berlutut adalah pantas untuk menerima berkat. Soal pilihan, sudah dijelaskan banyak, intinya Situasional, lihat situasi dan kebiasaan Gereja setempat. Di US, misalnya, Imam atau Deacon akan mengatakan:”Tundukkanlah kepalamu untuk menerima berkat Tuhan melalui Imam” – Yang diperhatikan sikap kepala (entah berlutut atau… See More berdiri-tidak masalah). Menundukkan kepala sikap hormat yang sepantasnya untuk siap menerima berkat Tuhan.

Makna berlutut: Sikap hati lebih pada kepasrahan, menyerah (bertekuk lutut dalam perang), siap menerima apapun juga. Berlutut berarti merendahkan diri dan hati di hadapan Tuhan, menjadi NOTHING di hadapanNya dan membiarkan Allah menjadi EVERYTHING, menjadi berkat kekuatan bagi kita…Maka diikuti juga dengan sikap kepala menunduk. Orang yang mampu menjadi Nothing, siap untuk diisi (berkat) oleh Tuhan.

Sikap berdiri: Juga merupakan ekspresi kesiapan hati yang sopan MENERIMA tugas dan SIAP MENJALANKAN. Jangan lupa, berkat penutup dalam Ekaristi merupakan berkat PERUTUSAN, artinya, setelah menyantap sabda serta Tubuh (dan Darah) Tuhan, kita mendapat tugas untuk mewartakan dan melaksanakannya dalam hidup sehari2, meneruskan Ekaristi itu menjadi Ekaristi yang hidup dalam situasi konkret kita. Untuk itu kita butuh kekuatan Berkat dari Tuhan untuk siap dan mampu melaksanakannya. Maka sikap badan berdiri lebih menunjukkan kesiapan hati untuk menjalankan tugas perutusan sebagai orang beriman yang mau menimba berkat dari Tuhan pada akhir misa. Tetap menundukkan kepala (dan percaya saja bahwa Imam pasti sungguh memberkati – jadi ngga perlu sambil melirik imamnya udah memberkati apa belum…wkwkwk) sebagai ekspresi sikap hormat dan percaya kita akan Berkat istimewa yang Tuhan berikan untuk kita.

Catatan tambahan:

Melihat pentingnya berkat ini, sayang bukan bahwa sering banyak umat, yang karena seribu satu macam alasan, dengan mudah meninggalkan Gereja sesudah komuni tanpa mendapat berkat. Dia sudah kehilangan berkat Tuhan yang sangat dibutuhkan dalam hidup kita. Waktu kecil, ibu saya malah selalu mengajarkan untuk selalu pulang ke rumah dulu sesudah dari misa kudus. Supaya berkat yang diterima itu tercurah juga ke rumah dan seluruh anggota keluarga kita. Bukan malah berkat itu dihambur2kan untuk pemilik restaurant, atau di mall, atau malah di kebun binatang karena habis misa langsung mau rekreasi…sayang kan berkat Tuhan malah diberikan kepada monyet, badak, atau gajah di Bonbin…wkwkwkwk….

Posted in f. TATA GERAK LITURGI | 1 Comment »

DOA BAPA KAMI – SIKAP TANGAN HARUS BAGAIMANA?

Posted by liturgiekaristi on March 8, 2011


Pertanyaan :

Pada saat lagu Bapa Kami, apakah sikap/tangan umat harus menengadah.

PENCERAHAN PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ:

Pedoman umum TPE untuk untuk umat yang diatur sikap badannya adalah hanya gerak besar seperti berdiri, duduk, (berlutut).

Tetapi detail lain seperti “sikap tangan” tidak diatur.

Untuk imam ada aturan tersendiri.

Maka yang perlu diperhatikan adalah agar sikap badan tambahan atas inisiatif sendiri atau lokal (paroki tertentu) tidak mengganggu umat yang lain yang hadir.

Itu untuk Ekaristi pada umumnya. …

Menjawab apakah umat dilarang mengangkat tangan. Larangan tegas tidak disebutkan. Tetapi tidak bisa ditafsirkan bahwa itu diperbolehkan atau malah dianjurkan.

Tetap harus dijaga keagungan, kesakralan, dan kekhidmatan Perayaan Ekaristi, dan hormat kepada Tuhan yang hadir secara istimewa.

PENCERAHAN DARI PASTOR ZEPTO PR.

Tatagerak ketika ‘Bapa Kami’ tsb yg diatur hanyalah untuk imam selebran-utama dan konselebran yaitu merentangkan tangan (lih. PUMR 152-153, 237). Umat boleh juga membuka/mrentangkan tangan? Menurut sy, boleh juga, tapi tak wajib, juga tak boleh diwajibkan sec massal utk smua hadirin. Terkait dgn tatagerak ini, hendaknya tak mengganggu kenyamanan sesama umat di samping kiri-kanan.

Pendapat pribadi sy: tata gerak umat tsb (membuka tangan) tak lebih dari gerak devosional pribadi, sama seperti tatagerak mengatupkan tangan di depan/atas dahi sambil membungkuk/ menyembah ketika konsekrasi dlm Doa Sykr Ag.

Ttg aktivitas devosional pribadi dlm PE.

Perayaan Ekaristi mrupakan prayaan komunal, namun serentak juga bersifat personal. Bila aspek komunal saja yg ditekankn mk PE mjd prayaan yg kaku, alien, tak membumi, &cenderung formalistis. Sebaliknya, bila titik berat hy pd aspek personal sj, mk hakikat ‘Gereja adalah communio’ mjd kabur.

Perlu keseimbangan. Maka, TIDAK dapat dinajiskan sgala aktivitas devosional pribadi (berupa gerak, suara, dll) dlm misa, sejauh itu TIDAK brtentangn dgn norma2 Liturgi Suci (aspek teologis-liturgis) dan TIDAK mengganggu dimensi komunal (aspek sosial-kultural) dr PE. Sebaliknya, itu smakin mperkaya penghayatan pribadi akan PE sbg prayaan bersama. Dgn memberi ruang pd aktivitas devotional pribadi, PE tak hy dihayati sbg prayaan ‘milik KITA’ melainkan akan smakin dialami sbg perayaan ‘milikKU juga’. Sekali lg, asalkan aktivits devosional pribdi tsb tetap dpt dipertanggungjawbkan sec teologis-liturgis dan sec sosial-kultural. Pendek kata, itu OK sejauh tak mjd sandungan, scandalum.

Pertanyaan umat 2 :

Menurut TPE 2005 “Menyikapi soal tata gerak dan sikap tubuh umat saat berdoa Bapa Kami, umat berdiri dan posisi tangan seharusnya pada posisi berdoa (menempelkan/mengatupkan kedua telapak tangan)”. Kenyataan yg ada posisi tangan umat hampir mayoritas yg ada dlm posis…i merentangkan tangan/posisi menyembah, mengikuti romo/imam yg memimpin PE. ini salah siapa?

Pencerahan dari Pastor Christianus Hendrik :

Dari segi praktis, kiranya Liturgi resmi Gereja selalu memberi ruang untuk ekspresi pribadi sejauh tidak mengganggu kebersamaan. Merentangkan tangan atau mengatupkan tangan selama doa Bapa Kami rasanya bagian dari ekspresi pribadi yang sah-sah saja (sejauh tidak berlebihan dan lalu mangganggu yang lain).

Yang penting orang tahu maknanya:

– Merentangkan tangan/menengadah/mengangkat tangan ke atas itu seperti dalam perang, tanda orang menyerah kalah. Kita menyerahkan diri di hadapan Allah sambil berdoa Bapa Kami.

– Membuka tangan mengarah ke atas (bukan mengepal/menggenggam) itu tanda pengharapan, kita memanjatkan doa Bapa Kami penuh harapan memohon segala kebutuhan dan keluhan kita sambil membuka diri dan kesadaran yang dirangkum dalam doa yang amat agung ini. GBU all.

 

Posted in f. TATA GERAK LITURGI | Leave a Comment »

DOA “AKU PERCAYA” – MEMBUNGKUKKAN BADAN PADA KATA-KATA ” YANG DIKANDUNG….”

Posted by liturgiekaristi on March 8, 2011


Topik :

Pada saat Syahadat, AKU PERCAYA. Kan pada kata2 “YANG DIKANDUNG DARI ROH KUDUS. DILAHIRKAN OLEH SANTA PERAWAN MARIA” Umat harus membungkukkan badan. Kalau yang satu ini….semoga tidak ada yang lupa. Semua pasti sudah menerapkan… 🙂

KENYATAAN :

Dari 26 komentar yang masuk, kebanyakan bilang tidak diterapkan. Kenapa?

Dan kenapa baru pada TPE baru diusulkan demikian, sementara sebelumnya sikap membungkuk tidak diberlakukan?

PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :

Sikap membungkuk di Indonesia memang baru diperkenalkan dalam TPE baru (2005) dan sebenarnya telah jelas dicetak miring dan diberi penjelasan.

Sikap membungkuk adalah untuk memberikan penghormatan kepada ‘penjelmaan Putra yang dikandung dari Roh Kudus – melalui (oleh) perawan Maria’.

Maka sikap hormat dan terimakasih atas karya agung Allah itu, pada Hari Raya Natal diungkapkan bukan hanya dengan membungkuk tetapi dengan berlutut. …

Dengan sikap berlutut jelas sekali bahwa maksud tindakan hormat bukan pertama-tama kepada Maria, tetapi kepada Allah sendiri yang melakukan Karya Agung dalam diri Bunda Maria.

Mau perbandingan praktis, bisa kita lihat dalam praktik berlutut ke arah tabernakel, bukan untuk menghormati tabernakel sebagai tabernakel, tetapi hormat kepada DIA yang berdiam di dalam tabernakel itu.

Nah, (rahim) Maria adalah “tabernakel” pertama bagi Putra di dunia ini.

PENCERAHAN DARI PASTOR ZEPTO PR :

Saya pikir ada persoalan yang lebih krusial dari pada sekedar gerak tubuh “membungkuk”. Tentang TERJEMAHAN INDONESIA pada bagian tersebut. Terjemahan yang ada pada Madah Bakti (Lama) kiranya masih lebih dekat dengan teks aslinya dibanding terjemahan pada TPE (2005) dan Puji Syukur.

Teks asli:

” Et incarnatus est

de Spiritu Sancto…

ex Maria Virgine.”

Terjemahan:

MADAH BAKTI (lama):

“Dan Ia menjadi daging

oleh Roh Kudus

dari Perawan Maria”

TPE 2005 dan Puji Syukur:

“YANG DIKANDUNG DARI ROH KUDUS.

DILAHIRKAN OLEH SANTA PERAWAN MARIA”

Siapa yang bertanggung jawab? Apakah ini sebuah slip of typing yang terlanjut disahkan? Mungkin ada pihak yang lebih berkompeten bisa menanggapinya.

Thanx.

PENCERAHAN DARI PASTOR BERNARD RAHAWARIN PR:

Sekedar analisa gramatikal (sbg selingan):

ET (conjungsi) = DAN.

INCARNATUS EST(k.kerja koniugasi 1, waktu lampau/ perfectus, bentuk pasif) = TELAH DIKANDUNG.

DE (k.depan yg diikuti k.benda dg kasus ablativus)= DARI/OLEH… See More

SPIRITO (k.benda dgn kasus ablativus singularis) = ROH

SANCTO (k.sifat kelas 1 dgn kasus ablativus singularis, yg menerangkan k.benda Spirito) = KUDUS.

EX (k.depan yg diikuti k.benda dg kasus ablativus) = DARI

MARIA (k.benda dg kasus ablatifus singularis) = MARIA

VIRGINE (k.sifat kelas 1 dgn kasus ablativus singularis, yg menerangkan k.benda Maria) = PERAWAN

disusun menjadi (terj. lurus): DAN TELAH DIKANDUNG DARI/OLEH ROH KUDUS DARI PERAWAN MARIA.

catatan:

teks bahasa Latin di atas adalah teks dari Syahadat Nicea-Konstantinopel (Syahadat panjang).

Teks indonesia (versi Madah Bakti) adalah terjemahan dari Syahadat panjang.

Tetapi teks iindonesia (versi TPE 2005 & PS) bukanlah terjemahan dari Syahadat panjang… yang dikutip justru Syahadat singkat. jadi perbandingan blm bisa dibuat

Septo…ngana talalu buru-buru kwa…hehehehe

Posted in f. TATA GERAK LITURGI | Leave a Comment »

PADA SAAT ANAK DOMBA ALLAH – BAGAIMANA SIKAP TUBUH?

Posted by liturgiekaristi on March 8, 2011


Pertanyaan umat :

Pernah saya bergereja katolik d brbagai t4 grj katolik dan pd saat anak domba allah ada yg brlutut dan ada jg yg brdiri./ jd kitakn hrs mengikuti sesuai dgn kptsan KWI.

PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ:

Dalam Misa kudus, walau ada bagian-bagian yang boleh berdiri atau berlutut, tetapi tetap ada bagian yang memang seharusnya sama dan tetap di mana-mana sama – jadi bukan atau atau, misalnya:

a. Lagu Pembuka dan menyambut imam yang masuk: BERDIRI.

b. Mendengarkan Bacaan non Injil: DUDUK.

c. Saat Bai Pengantar Injil sampai Bacaan Injil selesai: BERDIRI.

d. Saat Prefasi : BERDIRI

e. DSA : BERLUTUT (jika tidak memungkinkan posisinya, misalnya ada bangku campuran – yang lain berlutut tetapi tempatnya tidak memungkinkan karena kursi tambahan atau kursi darurat, boleh duduk asal sikap khidmat)

f. Saat Doa Bapa Kami: BERDIRI

g. Saat “Inilah Anak Domba Allah” : BERLUTUT

h. Saat Lagu Penutup sambil mengiringi imam kembali ke sakristi: BERDIRI.

NB:

Kalau Kemuliaan (Gloria) dan Aku Percaya (Credo) didoakan atau dinyanyikan: BERDIRI.

@ And Adiana: Dalam kondisi campuran, contoh di gereja atau di kapel ada dapat bangku dengan tempat berlutut dan ada yang tidak, maka sebaiknya yang tidak berlutut duduk. Ini ada alasan praktis bahwa kalau nekat berdiri maka posisi hormat kita akan mengganggu konsentrasi dan kenyamanan hati mereka yang berlutut.

Ini persoalannya akhirnya mirip dengan pendatang yang merasa bahwa kebiasaan di gerejanya saat Doa Panutup berdiri, sementara dia menghadiri Misa di gereja yang saat Doa Penutup atau berkat itu berlutut. Maka kalau dia nekad berdiri, ini bukan soal salah dan benar, tetapi soal mengganggu atau membantu kekhidmatan perayaan kebersamaan kita.

Tetapi kalau mau berdiri juga, ya tidak salah maka silahkan cari tempat yang aman dan nyaman untuk orang lain, tetapi juga yakinkan diri dan hati bahwa hati Anda pun nyaman dan fokus kepada peristiwa agung di altar. 🙂

Posted in f. TATA GERAK LITURGI | Leave a Comment »

PERLUKAH MEMBUAT TANDA SALIB DENGAN AIR SUCI PADA SAAT KELUAR GEREJA?

Posted by liturgiekaristi on March 8, 2011


Pertanyaan umat :

Beberapa waktu yang lalu saya membaca buku saku dengan judul “umat mencintai Ekaristi” karangan Rm. L. Prasetya PR. pada salah satu hal tertulis bahwa pada saat umat meninggalkan gereja setelah misa, tidak perlu mengambil air suci lagi. Apakah benar? mohon pencerahan…

PENCERAHAN DARI PASTOR ZEPTO PR:

Tentang MENGAMBIL AIR KUDUS di dekat pintu gereja pada sebelum/sesudah perayaan.

Pertama. Mengambil air kudus bukan unsur konstitutif, tetapi lebih devosional (populer) dan fakultatif.

Karena itu, ketika MASUK ke gereja, TAK WAJIB ambil air kudus. KALAU MAU ambil, boleh juga; tentu ini lebih baik lagi dan sangat DIANJURKAN. Demikian juga ketika KELUAR gereja.

Kedua. Mengambil air kudus atau tidak ketika masuk dan keluar gereja SAMA SEKALI TIDAK MEMPENGARUHI sah-tidaknya atau halal-tidaknya perayaan yg diikutinya.

Lagipula banyak umat di pedalamn yg tak/belum pernah mengenal bejana air kudus di pintu gereja tapi rajin beribadat dan hidup rukun penuh sukacita sehari2; ibadah mereka tetap berbuah, berbuah dan berbuah….

Demikian juga dgn umat yg ikut misa di lapangan terbuka tidak pernah ambil air kudus terlebih dahulu ketika masuk/keluar….

Ketiga. Namun demikian, kalau orang mau mengambil air kudus SEBELUM dan SESUDAH perayaan, tentu sah-sah saja. Silahkan, itu gak salah, malah, sekali lagi, SANGAT DIANJURKAN. Namun, yg terpenting BUKAN AKTIVITAS “membuat tanda salib dgn jari2 basah dgn air kudus”, TETAPI PENGHAYATAN/PEMAKNAAN atasnya.

Keempat. Pemaknaannya selalu terkait dgn AIR BAPTIS. Adapun pembaptisan selalu mengandung dua dimensi yg bagaikan dua sisi pd uang logam yaitu pembersihan diri dan pengutusan.

Kelima. Mengambil air kudus ketika MASUK mengingatkan bhw saya telah diBERSIHkan dan diSUCIkan dari dosa berkat air baptis, semoga saya menjadi SEMAKIN PANTAS utk mendengarkn firman Allah dan ambil bagian dlm perjamuan ilahi.

Keenam. Mengambil air kudus ketika KELUAR gereja mengingatkan bhw saya di-UTUS untuk berbuah, berbuah dan berbuah dalam hidup sehari2; saya diutus untk hidup seturut firman yg didengarkan dan berkorban seturut teladan Yesus yg tubuhNYA dipecah-pecahkan dan dibagi-bagikan.

Ketujuh. Pencerahan tentang hal ini setahu saya sudah pernah dibahas panjang-lebar di page ini.

(Mohon admin menunjukkan Notes-nya. Tks)

Salam, Zepto-Triffon Polii

PENCERAHAN DARI BP. SONNY ARENDS.

Dari Romo C.Harimanto OSC.

Seingat saya maknanya adalah memohon berkat dan perlindungan dari Tritunggal Maha Kudus dan bukan yang lain lain, karena maknanya berkat maka sebaiknya cukup dilakukan sekali saja saat memasuki gereja. Pada saat pulang tidak lagi disarankan untuk melakukannya lagi atas dua pertimbangan:

1. Berkat saat masuk sama dengan berkat saat pulang, jadi gak perlu diulang ulang.

2. menghindari kemacetan dan tabrakan di mulut / pintu Gereja.

Posted in f. TATA GERAK LITURGI | Leave a Comment »

MEMBUAT TANDA SALIB DENGAN AIR SUCI PADA SAAT MASUK GEREJA

Posted by liturgiekaristi on March 8, 2011


Pertanyaan umat :

Pada saat awal memasuki gereja untuk merayakan Ekaristi biasanya kita membuat tanda salib dengan air suci. Namun pada saat keluar setelah selesai perayaan Ekaristi sebagian umat tidak membuat lagi tanda salib dengan air suci tersebut. Argumennya begini : Sebelum memasuki gereja itu kita perlu mohon dikuduskan dengan membuat tanda salib agar layak merayakan Ekaristi, tapi saat keluar tidak perlu dikudusksn lagi karena kita sudah dikuduskan oleh Sabda dan Korban Kristus. Bagaimana seharusnya yang dibenarkan secara liturgi?

PENCERAHAN DARI BP. AGUS SYAWAL YUDHISTIRA:

Secara spesifik, ini adalah devosi yang bermakna, namun bukan bagian dari liturgi itu sendiri.

Karenanya tidak ada aturan yang membatasi ataupun yang mengharuskan seseorang untuk menggunakan air suci ketika masuk atau meninggalkan Gereja.

PENCERAHAN DARI PASTOR ZEPTO PR :

Tentang TANDA SALIB DENGAN AIR KUDUS DI (DEKAT) PINTU GEREJA SEBELUM/SESUDAH PERAYAAN EKARISTI.

Beberapa input saya:

Pertama. Saya setuju dgn Agus Syawal pd postingan pertama. Membuat tanda salib dgn air suci di (dekat) pintu gereja BUKAN-lah bagian INTEGRAL dari Liturgi. Itu hanyalah praktek2 DEVOSIONAL-POPULER yg bercorak mendukung penghayatan hidup beriman. Namun tetap saja itu ‘bukan wajib’.

Kedua. SAKRAMEN PEMBAPTISAN SBG KONTEKS. Tanda salib dgn air kudus itu hanyalah sarana bantu untuk mengenangkan pembaptisan (dalam nama Bapa & Putra & Roh Kudus) yg dulu sudah pernah diterima. Di byk ‘gereja tua’ bejana baptis masih ditempatkan di dekat pintu masuk gereja. Bahkan, di tempat2 tertentu, kapel-pembaptisan dibangun di depan/luar gereja utama.

Ketiga. PEMAKNAAN-1: PENGUDUSAN. Sakramen baptis bermakna membersihkan manusia dari dosa, mengangkat seseorang mjd putra/i Bapa, mjd anggota keluarga Bapa.

Pembaptisan mengangkat dan menguduskan manusia.

Mengingat akan pemaknaan ini maka tanda salib dgn air kudus ini dibuat ketika me-MASUK-i gedung gereja.

Keempat. PEMAKNAAN-2: PENGUTUSAN. Dgn menerima baptis, seseorang diteguhkan dan diutus untuk mewartakan pengampunan dan kebaikan2 Allah. Orang diutus utk menjadi penghadir terang Kristus bg dunia, dan menjadi pewarta kabar sukacita, kabar pembebasan.

Mengingat akan pemaknaan ini maka org membuat tanda salib dgn air kudus ketika hendak KELUAR/PULANG.

Kelima. Inilah yg jauh lebih penting: penyadaran. TANDA SALIB dgn air kudus KETIKA MASUK ke dan KELUAR dari gereja bukan sekedar memenuhi kebiasaan, BUKAN OTOMATISME. Itu merupakan tindakan devosional yg kaya makna. Sayang sekali kalau orang yang membuat tanda salib tsb kurang (bahkan, tidak) menyadari: karena apa dan untuk apa tanda salib dgn air kudus itu dibuatnya sebelum dan sesudah Ekaristi.

Semoga bermanfaat. Salam, Zepto-Triffon Polii.

Posted in f. TATA GERAK LITURGI | Leave a Comment »

MENEPUK DADA PADA SAAT DOA TOBAT – ARTINYA?

Posted by liturgiekaristi on March 8, 2011


PERTANYAAN UMAT :

Saya suka melihat pd waktu doa tobat banyak umat yg suka menepuk dadanya waktu berkata:”Sy berdosa2x, saya sungguh berdosa…” Jg waktu doa Anak Domba Allah-ketika tdk dinyanyikan, umat suka menepuk dadanya setiap kali mengatakan ”kasihanilah kami….berilah kami damai…” Apakah menepuk dada ini juga… gerakan resmi dlm liturgi Ekaristi?? Sebenarnya apa sih artinya bagi kt? Mohon penjelasan ..”

PENCERAHAN DARI Meidy Joulanda:

Menepuk Dada adalah salah satu Simbol Liturgi merupakan sejenis ungkapan akan penyesalan diri dan pengakuan bhwa diri kita bersalah dan berdosa. Sebagaimana si pemungut cukai yg mengakui dosanya smbil memukul diri (Luk.18:13), liturgi Kristiani memandang gerakan “menepuk dada atau memukul diri” sbgai ungkapan dan pengakuan akan ketidak pantasan dan kesalahan-dosa diri kita di hadapan Allah. Dalam Perayaan Ekaristi, simbol menepuk dada digunakan pada saat pengakuan dosa pada liturgi pembukaan (Confiteor) dan juga pada saat jawaban bagi penerimaan komuni: “Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang kepada saya….” Demikian sedikit penjelasan dari saya yg saya kutip dari buku MEMAHAMI SIMBOL2 DALAM LITURGI O/ ROMO EMANUEL MARTASUDJITA, Pr. Semoga berguna untuk kita lebih memahami pendalaman Liturgi kita.. GBU n Happy Sunday..

PENCERAHAN DARI Teresa Subaryani Dhs

Sikap tubuh jemaat saat perayaan Ekaristi merupakan simbol dari kebersamaan dan kesatuan gereja yang sedang berdoa. Kalau gerakannya sama, berarti memiliki niat yang sama juga, yaitu untuk berdoa dan memuliakan Tuhan. Mengenai gerakan menepuk dada yang dilakukan saat Ritus Tobat memang mengacu pada kisah pemungut cukai, seperti tertulis pada Lukas 18:13, “Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.”
Kalau melihat bahwa liturgi merupakan tindakan simbolis, dada disini juga hanyalah simbol yang bermaksud untuk menunjukkan “hati”. Hati biasanya dianggap sebagai biang dari segala dosa manusia (Markus 7:21). Sumber retaknya hubungan antar manusia dan antara manusia dengan Allah adalah hati manusia. Gerakan tangan ini mau mnunjukkan sang biang dosa itu, sekaligus mengungkapkan rasa sesal dan tobat, ada kehendak untuk membuat hati itu menjadi baru. Sebenarnya tidak wajib menepuk dada, dapat juga dengan meletakkan telapak tangan pada dada selama doa “Saya mengaku” atau dengna cara lain yang lebih sesuai dengan kebiasaan atau budaya setempat.

Seringkali dalam Ritus Pemecahan Roti (atau juga dikenal sebagai ritus Anakdomba Allah) umat juga menepuk dada. Dalam Ritus Pemecahan Roti, yang seharusnya menjadi perhatian adalah tindakan imam selebran yang memecahkan roti. Karena sibuk menyanyi atau menyimak teks lagu, jemaat menjadi tidak tahu kapan roti itu dipecahkan. Kata-kata Anakdomba Allah dalam ritus ini hanya berfungsi sekunder.
Kata beberapa ahli liturgi, sebenarnya teks lagu Anakdomba Allah sebenarnya masih kurang memadai untuk dipakai sebagai pengiring ritus Pemecahan Roti. Ungkapan “kasihanilah kami” malah memberi nuansa pertobatan lagi, seperti halnya “Tuhan, kasihanilah kami” dalam Ritus Tobat. Apalagi ditambah dengan gerakan menepuk dada. Padahal pada bagian ini mau ditekankan suasana persekutuan, persaudaraan, dan perdamaian. Nuansa yang dibentuk pada bagian ini harusnya rasa gembira, bangga, bahwa Kristus telah menebus kita, bukan kembali lagi pada pertobatan dan penyesalan.

referensi:
Suryanugraha, C.Harimanto, 2003. Lakukanlah Ini: Sekitar Misa Kita. Bandung: SangKris.

PENCERAHAN DARI BP. Albert Wibisono

@All, saya sarankan untuk membaca penjelasan Ibu Meidy Joulanda dan Ibu Teresa Subaryani Dhs.
@Bapa Leo Agung Christanto, dasar hukum untuk tata gerak ini dapat ditemukan di rubrik Missale Romanum 2002 yang dikeluarkan Vatikan. Tepatnya begini bunyinya:

“Saya mengaku kepada Allah yang mahakuasa dan kepada saudara sekalian, bahwa saya telah berdosa dengan pikiran dan perkataan, dengan perbuatan dan kelalaian, dan, baris berikut dicucapkan sambil menebah dada:

saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa.

Dan selanjutnya:

Oleh sebab itu saya mohon kepada Santa Perawan Maria, kepada para malaikat dan orang kudus, dan kepada Saudara sekalian, supaya mendoakan saya pada Allah, Tuhan kita.”

Kutipan di atas adalah terjemahan dari teks asli Missale Romanum 2002 dalam Bahasa Latin. Di situ ditulis dengan jelas bahwa kita diminta menebah (memukul) dada. (Catatan: TPE 2005 yang saat ini kita pakai adalah terjemahan resmi dari Missale Romanum 2002).

PENCERAHAN DARI BP. Sonny Arends
Laku dan gerak menebah dada tercantum dalam buku TPE warna merah bata hal.7 mengenai hal menebah dada. Gerak dan laku tersebut diadopsi dari Ritus Misa sebelumnya seperti Ritus Misa Latin Tridentina 1962 tetapi gerak / laku tersebut hanya dilakukan oleh Imam saat Confiteor yaitu saat (Imam) mengucapkan Mea Culpa, Mea Culpa Mea maxima culpa. Ini dikarenakan apabila pada Ritus Tridentina yang mengucapkan Confiteor hanyalah Imam dan Umat hanya mengikutinya di dalam hati sehingga Umat tidak ikut menebah dada.

Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.”….ayat ini kayanya lebih cocok ke: Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia, Kasihanilah kami … dimana dalam Ritus (Latin) Tridentina 1962 gerak menebah dada juga dilakukan, sehingga semestinya apabila saat Confiteor Kita dianjurkan untuk menebah dada maka seharusnya saat Anak Domba juga kita menebah dada, jadi bukan atas inisiatif satu atau sekelompok orang maka yang satu dibilang cocok dan yang lain dibilang tidak cocok.

PENCERAHAN DARI PASTOR Christianus Hendrik:

NB: Baik memperhatikan cacatan sdr Sonny Arends dan ibu Teresa Subaryani Dhs (Thank penjelasannya he he)…

Bicara soal gerakan menepuk/menebah/memukul dada sebagai ungkapan tobat dan sesal (Ritus tobat), atau juga ungkapan rasa syukur sebagai orang berdosa yang beruntung mendapat kunjungan Tuhan (Anak Domba Allah), kiranya mengandung makna yang mendalam. Konteksnya adalah kita bicara soal tata liturgi dan gerakan2 liturgi dalam ritual gereja Katholik; jadi ini bukan soalnya siapa yang benar siapa yang salah, atau soal perlu atau tidak, sah atau tidak secara hukum gereja.

Yang penting disadari, dalam konteks liturgi kita ada gerakan umum yang mengacu pada tata liturgis yang baku, dan ada gerakan personal yang (seharusnya) mendukung dan membantu penghayatan liturgi yang benar. De facto gerakan personal menepuk dada itu ada dan sering dilakukan. Bahwa imam melakukannya, itu sudah jelas seperti yang disampaikan oleh teman Sonny Arends di atas beserta sumbernya. Bagi umat kiranya perlu menyadari makna tobat yang mendalam ini ketika melakukannya, supaya bukan sekedar ritual tanpa disadari. Dalam tradisi bangsa2 manapun juga, kalau orang menyesal, merasa bersalah, merasa tak pantas…yang ditepuk ya dadanya – simbol yang paling dekat dengan hati, sumber segala rasa salah dan dosa…Jadi orang tidak akan menepuk pantatnya atau lututnya untuk ekspresi yang satu itu he he… Ekspresi inilah yang mau diangkat dalam ritual liturgi gereja. Pengalaman sesal atas dosa yang harus dibangun sewaktu ritus tobat di awal, dan rasa syukur sebagai orang berdosa yang mendapat kemurahan kasih Allah pada waktu anak domba Allah, lebih manusiawi dan mendalam maknanya dalam gerakan menepuk dada (sambil sedikit membungkukkan badan) tanda kesadaran diri dan dosa. Jadi gereja tidak mengadopsi atau mengambil gerakan2 yang asing dan lain dari pada yang lain; tapi mengangkat dari kekayaan khazanah kehidupan sehari2 dan memberi makna ilahi di dalamnya sehingga membantu penghayatan kita lebih dalam.

Maka sebagai gerakan personal silahkan saja mengekspresikan diri dengan cara dan penghayatan yang sebenarnya seperti sudah banyak dijelaskan di atas, dan semoga semakin membantu pemahaman kita akan arti gerakan2 ritual dalam gereja kita.GBU

Posted in f. TATA GERAK LITURGI | Leave a Comment »

MEMBUAT TANDA SALIB DIAKHIRI DENGAN MENGECUP JARI

Posted by liturgiekaristi on March 8, 2011


Pertanyaan umat :

“Nampaknya ada trend baru di kalangan anak muda terutama, ketika membuat tanda salib ditambah dengan gerakan mengecup jari atau liontin salib pada akhir tanda salib. Nampaknya seperti meniru gaya para pemain sepak bola dunia/artis. Apakah ada perbedaan gerakan tanda salib dalam Gereja Katolik? Dan apa maksud tindakan mencium jari tangan tersebut??”

PENCERAHAN DARI Teresa Subaryani Dhs

Sepertinya mengenai tanda salib telah dibahas pada threat sebelumnya. Menurut norma yang berlaku untuk ritus Katolik Roma, jemari menyentuh dahi pada waktu menyatakan “Bapa”, dada atau pusar (di perut) untuk “Putera”, pangkal lengan kiri untuk “Roh Kudus”, dan pangkal lengan kanan untuk “Amin”.
Tindakan mengecup jari tangan tersebut merupakan tradisi dari negara tetangga yang mungkin diadopsi oleh mereka yg sering melihat pemain sepakbola atau menonton telenovela (perhatikan kl film telenovela setelah membuat tanda salib pasti mengecup jari tangan kanannya). Dalam beberapa tradisi, pada jempol tangan kanan itu semacam ditatoo atau diukir tanda salib. Jadi mengecup tangan kanan itu bagi mereka adalah mengecup salib yang terukir di kuku tsb.

Saya kira tidak masalah asal mereka memang menghayati setiap kata yang diucapkan dan gerakannya. Karena ada juga yang gerakannya benar tetapi tidak menghayati, melakukan gerakan karena otomatis. Pernah suatu ketika sekumpulan anak muda yang rupanya datang terlambat berusaha mencari tempat duduk di dalam kapel. Sambi membuat tanda salib, mereka tidak mengatakan Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus; tetapi “Kita duduk di mana ya?”. Dan temannya, sambil membuat tanda salib juga, menjawab “Wah, kayaknya dah penuh ya?”. Dan seorang temannya lagi menjawab sambil membuat tanda salib, “Tuh di sebelah si pastor masih ada tempat mau ga lu?”. Jadi selain gerakan yang sesuai, juga harus sungguh-sungguh menghayati apa makna gerakan itu.

Dalam Gereja Katolik, ritus Roma dan ritus Timur memiliki perbedaan dalam gerakan tanda salib. Karena di Indonesia mengikuti Ritus Roma (atau juga disebut dengan ritus Barat), maka norma yang berlaku adalah jemari menyentuh dahi pada waktu menyatakan “Bapa”, dada atau pusar (di perut) untuk “Putera”, pangkal lengan kiri untuk “Roh Kudus”, dan pangkal lengan kanan untuk “Amin”.
Mengenai tindakan mencium jari tangan, tidak ada aturan yang mengatakan bahwa itu hal yang salah.
untuk jelasnya bisa dilihat di PUMR (pedoman umum misa romawi).

PENCERAHAN DARI PASTOR Christianus Hendrik

He he…yang penting tahu mana gerakan yang baku dalam tanda salib yang kita buat, dan mana yang tambahan. Gerakan mencium tangan, atau maksudnya mencium salib, rosario, atau liontin atau ada juga yang mengusap tanah dan mencium tangannya sesudah tanda salib – seperti para pemain sepak bola….Semua mau mengungkapkan kecintaan akan Yesus yang tersalib dan membawa keselamatan. Kadang gerakan tambahan ini secara refleks dilakukan ketika orang sedang gugup, atau grogi, tegang, butuh konsentrasi biar lebih focus, dll. Yang penting lihatlah maksudnya bahwa orang merasa diteguhkan dan dikuatkan oleh daya salib keselamatan tersebut, dan dengan caranya sendiri mencoba mengekspresikannya sebagai bagian dari iman keyakinannya yang tak tergoyahkan. Satu hal yang patut dipuji adalah, bahwa orang tidak takut dan malu untuk membuat tanda salib sebagai bagian integral dari imannya! Maka semoga gerakan itu dilakukan bukan hanya karena ikut2an tanpa tahu untuk apa maksudnya.

Membuat tanda salib, yang baku adalah menyentuh dahi (dalam nama Bapa), menyentuh dada (dan Putera), menyentuh bahu kiri (dan Roh Kudus), dan menyentuh bahu kanan (Amin)…dan biasanya setelah kata amin inilah lalu ada tambahan2 berupa mencium jari, atau mencium cincin, atau leontin, atau rosario, atau salib kecil dsb. Jadi tahu bahwa ada yang baku ada yang tambahan. Yang jelas membaut tanda salib adalah ekspresi iman kita, ungkapan keyakinan dalam salib yang menyelamatkan. Kemudian hal ini juga baik sebagai bentuk kesaksian iman kita di depan publik.
Sekedar tambahan, di luar konteks liturgi:
Membuat tanda salib menantang iman kita juga untuk berusaha menjadi orang yang sungguh berkualitas. Para olahragawan, orang2 yang terkenal,tanpa ragu membuat tanda salib di depan publik dan tidak ada yang protes atau mengancam….karena mereka berkualitas…dan gerakan tanda salib itu menjadi bentuk kesaksian yang paling kuat, tidak ada keraguan dan ketakutan di dalamNya. Tetapi kalau hidup kita kosong, atau malah menjadi sandungan bagi orang lain…maka biasanya juga ragu dan bahkan takut membuat tanda salib he he..

Posted in f. TATA GERAK LITURGI | Leave a Comment »

TANDA SALIB KECIL DI DAHI , MULUT DAN DADA PADA SAAT BACAAN INJIL

Posted by liturgiekaristi on March 8, 2011


PERTANYAAN UMAT :

“”Pada waktu menjelang bacaan Injil, umat menjawab Imam: ’Terpujilah Kristus’…sambil membuat tanda salib kecil di dahi, di mulut dan di dada. Apa makna simbolis gerakan ini dan apa bedanya dengan tanda salib yang biasa kita lakukan?? Ada yang bisa membantu menjelaskan?””

PENCERAHAN DARI Teresa Subaryani Dhs:

Kurang tepat sebenarnya kalau membuat tiga tanda salib kecil tersebut ketika mengucapkan “Dimuliakanlah Tuhan”. Karena seperti yang telah juga disampaikan dalam postingan sebelum ini, arti dari tiga tanda salib ini yaitu kita harus menghayati Injil secara utuh, yakni lewat pikiran (dahi/ kepala), lewat kata (bibir/ mulut), dan dalam tindakan nyata berdasarkan dorongan hati (dada). Dalam pengertian lain dapat juga diartikan bahwa kita bersedia untuk membuka budi terhadap Sang Sabda, mau mengakuinya dengan mulit, dan menyimpannya dalam hati.

Gerakan ini terkait dengan artinya, sedangkan mengucapkan “Dimuliakanlah Tuhan” merupakan jawaban atas ajakan Imam.

Dari sejarahnya, tata gerak ini baru muncul pada abad pertengahan.

PENCERAHAN DARI Mas Roms :

Dalam Misa, tanda Salib “hanya” dibuat 3 kali: Pembuka dan Penutup, serta saat Liturgi Sabda (sebelum Injil). Tiga tanda salib yang kita buat lebih tepatnya dibuat setelah menjawab “Dimuliakanlah Tuhan.” Imam saat itu membuat tanda salib pada Buku Injil (Evangelarium/Lectionarium) yang bermakna bahwa “Dalam Injil ini Salib Kristus diwartakan.”

Tiga. tanda salib yang kita buat bermakna: [1] Supaya pewartaan Injil suci menyucikan pikiran, mulut/perkataan, dan hati kita. [2] Suatu doa: Semoga Tuhan membuka pikiran saya untuk menangkap warta injil; Semoga Tuhan menyucikan mulut saya untuk mewartakan Injil; dan, semoga Tuhan membuka hati saya untuk menghayati pesan Injil.

Kebiasan ini sudah lama ada dalam Gereja Katolik. Pada Abad XII, seorang teolog memandang hal itu sebagai nasihat untuk bersaksi akan Sabda Allah dengan gagah berani, tanpa menyembunyikan wajah kita, untuk mengakui Injil ini dengan mulut dan memeliharanya dengan setia di dalam hati kita.

PENCERAHAN DARI PASTOR Martin Nule:

Ketika orang menandai dirinya dengan tanda salib di dahi, mulut dan hati ketika bacaan Injil, orang menyebut kalimat “Di muliakanlah Tuhan” bukan terpujilah Kristus sesuai dengan TPE yang baru. Maksudnya adalah Firman itu adalah Sabda Tuhan, maka harus diterima dengan pikiran yang jernih (sucikanlah pikiranku), diwartakan dengan kata-kata yang sesuai dengan keinginan Tuhan (bukan asal omong) dan disimpan serta dihayati benar dalam hati sesuai kehendak Tuhan (bukan buat sesuka hati).

PENCERAHAN DARI PASTOR Christianus Hendrik

Kiranya ada dua bagian yang ‘berbeda’..(atau mau dikatakan agak ‘terpisah’) antara mengucapkan:”Dimuliakanlah Tuhan” dan gerakan simbolis membuat tiga tanda salib kecil di dahi, di mulut dan di dada. Pada hematnya, ucapan ‘dimuliakanlah Tuhan adalah jawaban/tanggapan umat atas seruan Imam: “Inilah Injil (suci) Yesus Kristus menurut….” Lalu umat menanggapinya dengan sadar dengan mengucapkan “dimuliakanlah Tuhan”. Jadi seruan umat itu bukan mengiringi gerakan tanda salib! Inilah saat kesadaran penuh kita diarahkan pada Tuhan yang telah memberikan WahyuNya melalui sabda Kristus yang tertuang dalam kabar baik/Injil yang dibacakan. Kesadaran ini kiranya disertai pula rasa syukur dan kesiapan pikiran, hati, dan mulut kita untuk merangkum sabda suci yang akan diterima dengan membuka diri sepenuhnya.

Oleh karena itu, sesudah mengucapkan “dimuliakanlah Tuhan” kemudian langsung DIIKUTI/DISUSUL dengan gerakan membuat tanda salib kecil di dahi, di mulut, dan di dada. Masalahnya, kedua gerakan ini sering menjadi hal yang ‘automatis’ dalam sikap liturgis kita sehingga tanpa sadar menggabungkannya; lalu seakan gerakan tanda salib (materia) itu dibarengi dengan ucapan ‘dimuliakanlah Tuhan (forma). Ini sepertinya agak kurang tepat, selain-kalau anda jeli memperhatikan-juga bisa bertabrakan. Kalau serempak mengucapkan kata ‘dimuliakanlah Tuhan’ sambil membuat tanda salib, sering2 mulutnya lalu terganggu pas membuat tanda salib di mulut (kecuali yang bibirnya pake lipstik tebal lalu gerakannya tidak menyentuh bibir karena takut luntur lipstiknya he he..)

Maka, sepantasnya ucapan ‘dimuliakanlah Tuhan’ itu merupakan ucapan tanggapan atas seruan Imam (ditujukan pada Imam yang berseru memperkenalkan Injil yang akan dibaca) dan bukan mengiringi gerakan membuat tiga tanda salib. Bukankah kurang sopan kalau ada orang memperkenalkan sesuatu yang penting, kita malah sibuk dengan aktivitas sendiri (membuat tanda salib)?? Jadi setelah kita menjawab seruan Imam, barulah berikutnya membuat tanda salib di dahi, mulut, dan dada sambil hening. Pada saat itu baik membangun kesadaran seperti kebanyakan teman2 di atas menjelaskan.

Intinya, karena ini di awal/sebelum Injil dibacakan, maka kesadaran yang dibangun adalah memohon kepada Tuhan untuk membuka dan menerangi pikiranku dengan terang Roh Kudus (tanda salib di dahi); lalu juga menjadikan mulutku pantas untuk mewartakan Sabda suci dan hanya akan mewartakan/mengucapkan yang baik2 saja seturut Sabda Suci (tanda salib di mulut); dan semoga Sabda itu sungguh meresap dan menjadi sumber kekuatan di dalam hati (tanda salib di dada).

Jangan khawatir akan menambah waktu lebih panjang saat melakukan dua hal ini berurutan/tidak berbarengan sekaligus. Mengucapkan kata ‘dimuliakanlah Tuhan’ lalu berikutnya membuat tanda salib, tidak akan menghabiskan waktu lebih dari lima detik…Thus sekalian itu memberi kesempatan cukup bagi Imam/Diakon untuk mempersiapkan diri tenang sebelum mulai membaca Injil suci. Thanks…

Posted in f. TATA GERAK LITURGI | Leave a Comment »

SIKAP TUBUH UMAT PADA SAAT RITUS PEMBUKA

Posted by liturgiekaristi on March 6, 2011


PERTANYAAN:

1. Kenapa pastor membungkuk pada saat mencium altar? Dan bagaimana sikap tubuh umat pada saat Pastor mencium altar?
2. Juga pada waktu misa sudah selesai, pastor turun dari altar, biasanya pastor, putra altar , lektor, prodiakon semuanya berlutut. Saya melihat banyak juga umat yang ikut membungkukkan badan. 🙂

PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ

Romo harus membungkuk ketika mencium altar, karena memang altarnya lebih rendah daripada mukanya, ya otomatis membungkuk, tetapi intensinya adalah mencium altar dan bukan membungkuknya.

Maka di sini umat tidak perlu membungkuk.

Umat hanya ikut membungkuk romo adalah pada saat mengucapkan Credo pada bagian “Ia mengandung oleh Roh Kudus, dilahirkan oleh perawan Maria – dan menjadi manusia” (Lihat dalam TPE dicetak ‘miring’ (italic).

a. Pastor mencium altar termasuk ritus, bahwa kita merayakan Ekaristi saat itu bersama dengan “Gereja semesta” dan sepanjang jaman.

b. Tentang umat ikut membungkuk silahkan saja, asal tidak diwajibkan semua ikut membungkuk. Membungkuk, menyembah, adalah ekspresi pribadi dan bukan komunal. Jadi tidak dilarang. Asal diwaspadai bahwa ukuran kesalehan tidak pada hal-hal lahiriah belaka, tetapi keterbukaan dan kekhusyukan, kekhidmatan hati saat ‘menghadap Tuhan’ dan penghayatan dalam keseharian.

c. Berlutut di depan altar dilakukan kalau di altar disimpan Sakramen Mahakudus. Itu berlaku untuk semua umat beriman yang tidak ‘berhalangan’ atau terhambat karena hal praktis, contoh karena harus memegang tongkat atau salib. Atau tidak sedang membawa sakramen mahakudus, misalnya imam, atau pelayan pembantu pembagi komuni saat berangkat atau kembali tidak perlu berlutut di depan altar.

Memang pastor setelah berlutut langsung menuju altar – untuk mencium altar ….. lalu (seharusnya) menuju “sedelia” dan (pada saatnya) membuka perayaan Ekaristi dari sana.

Pertanyaan umat :

kan di tlisan di atas di jelaskan, umat wajib berlutut jika ada hosti di altar..

bukankah jika di suatu gereja ada tabernakelnya, umat jg di wajibkan untuk berlutut?

mohon penjelasannya.

trmaksh rm.

PENCERAHAN DARI PASTOR Yohanes Samiran

Jawaban sudah ada di atas, tinggal baca lagi secara teliti.

NB: Tradisi berlutut adalah tradisi resmi Gereja Katolik.

Saat kita melewati altar atau mengunjungi Gereja atau kapel di mana sakramen mahakudus disimpan (dalam tabernakel) maka kita berlutut.

Saat sakramen Mahakudus ditahtakan pada monstrans, misalnya dalam ibadat adorasi – maka kita berlutut dengan kedua lutut ke lantai.

Posted in 1. Ritus pembuka, f. TATA GERAK LITURGI | Leave a Comment »