Pertanyaan umat :
Pada saat berkat penutup, umat selalu kikuk ada yg berdiri dan ada yg berlutut, sebagian tengok kanan-kiri krn tidak pede. Ini hampir selalu terjadi di tiap gereja. Manakah yg benar, menerima berkat perutusan dgn berlutut atau berdiri?
INFORMASI DARI AWAM BP. ANDREAS ADIANA :
kalo melihat ordo missae/buku misa romawi, saat ritus penutup tertulis genuflexi/stantes, artinya berlutut/berdiri.
berarti, kalo memungkinkan, dengan berlutut. tapi apabila tidak dimungkinkan berlutu, maka harus berdiri. cmiiw… selama ini selalu berdiri 🙂
PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :
Hehehee ….. memang dalam pedoman dimungkinkan kedua sikap itu dipakai.
Namun tentu ada hal praktis juga yang harus dilihat atau dipertimbangkan: yakni posisi umat pada saat Doa Penutup didoakan. Umumnya posisinya tetap sama, supaya tidak ribet, karena toh dua-dua sikap dimungkinkan.
Maksud saya praktisnya begini:
Doa Penutup berdiri – Berkat berlutut – Imam dan misdinar kembali ke sakristi berdiri lagi. Nah kan ribet dan malah tidak hening. Masih lumayan kalau sesudah Doa Penutup ada pengumuman, maka masih ada tenggang waktu dan perubahan karena pasti saat pengumuman umat duduk.
Sebaliknya kalau saat berkat berdiri, lalu imam kembali ke sakristi juga berdiri …. lebih nyaman, dan tidak ribet.
Soal menerima berkat sebaiknya berdiri atau berlutut, ini juga tergantung keadaan dan kebiasaan pribadi. Untuk berkat pribadi misalnya orang minta berkat khusus kepada pastor misalnya mau membacakan pasio, atau mau pergi jauh, umumnya orang itu berlutut.
Sebaliknya berkat bersama, sebaiknya ikuti kebiasaan gereja setempat, artinya kalau kita tamu ya jangan membuat gerakan mendahului orang setempat agar tidak terganggu hati kita. Ikuti saja kebiasaan setempat.
Kalau ditempat itu umat berdiri, atau apalagi imamnya atau lektor mengajak berdiri, misalnya: “Dan kini marilah kita berdiri untuk menerima Berkat Tuhan …..” – ya berdirilah.
Demikian juga kalau lektor mengajak marilah kita berlutut, ya berlututlah.
Berdiri adalah juga sikap hormat yang tidak kalah sopannya dibandingkan dengan berlutut. Coba perhatikan kalau kita menyanyikan lagu Kebangsaan atau memberikan penghormatan saat Bendera kita dinaikkan, atau hormat resmi protokoler upacara kepada komandan, inspektur, …. dan sampai kepada imam yang atas nama Tuhan lewat saat awal dan akhir Misa kudus, kita berdiri. Sikap ini bukan menantang, tetapi hormat. Karena menantang tidak bisa ditentukan dari satu sikap saja, tetapi oleh banyak faktor. Orangnya berlutut tapi matanya mendelik – bisa menantang.
Jadi kembali lagi sebaiknya kita mengikuti adat setempat.
Nah, kalau kita rajin ke gereja pasti soal sikap ini tidak jadi masalah, karena semua umat di situ memang seragam dengan sikap yang sama.
INFORMASI DARI AWAM :
1. BP. IRWAN WIDI DI JOGJAKARTA – sekedar info, di jogja, di gereja manapun, klo romo memberikan berkat penutup, umat selalu berlutut……
2. BP. PASCHALIS DI JOGJAKARTA – Di paroki saya, di Jogja dan beberapa paroki saat berkat penutup umat berdiri…
TANGGAPAN PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :
@ Irwan: baguuus, berarti kebiasaan di Yogya (mungkin juga di seluruh KAS) jelas: saat berkat umat berlutut. Jadi kalau ada orang luar Yogya ikutan misa di Yogya, walau di parokinya biasanya berdiri …. ya kalau ikut misa di Yogya berlututlah. ….. 🙂
@ Haaaaa???
Lha ini gimana pyantun Ngayogjakarta ini? Pak Irwan bilang di gereja manapun …. sekarang Pascalis di parokinya yang di Jogja juga ….. gak sama ….. 🙂
Sekarang makin jelas, satu kevikepan saja bisa beda-beda, apalagi mau se Indonesia atau sedunia ….
Akhirnya kembali kepada point awal …. marilah kita perhatikan kebiasaan setempat dan kita menyesuaikan diri dengan kebiasaan setempat itu, sejauh itu direkomendasikan oleh TPE kita.
PENCERAHAN DARI PASTOR ZEPTO PR :
Setuju dgn pemdapat Andreas A pada postingan pertama, juga dgn beberapa temans yg lain.
Tambahan input:
Pertama, dalam bahasa Latin, kata ‘atau’ bisa dimengerti ‘sejajar’ (=pilihan setingkat), tapi bisa juga dimengerti ‘bertingkat’ (=pilihan A harus diambil, namun bila tak memungkinkan maka tersedia alternatif lain).
Kedua, dalam rubrik2 Ordo Missae, kata ‘atau’ dimengerti dlm arti yg kedua.
Ketiga, Perayaan Ekaristi sbg perayaan komunal ‘menuntut’ kesatuan aklamasi, gerak, nivo, dst.
Karena itu, bila pd TPE dituliskan ‘berlutut/berdiri’, itu berarti bukan ‘saya mau berlutut, maka saya berlutut’. Bukan juga, ‘ah, enaknya berdiri, maka saya berdiri’.
Keempat, menurut saya, seraya mendalami jiwa rubrik Ordo Missae, seharusnya tata gerak yg dibuat bersama adalah ‘berlutut’; sekiranya kondisi untk berlutut tak memungkinkan (mis: gereja hy menyediakan kursi plastik tanpa tempat berlutut, misa di lapangan terbuka, misa lingkungan di rumah kediaman, dst), maka berlutut boleh diganti dgn berdiri.
Salam, Zepto-Triffon Polii, Sorong.
PENCERAHAN DARI PASTOR CHRISTIANUS HENDRIK SCJ :
Kedua sikap, baik berdiri atau berlutut adalah pantas untuk menerima berkat. Soal pilihan, sudah dijelaskan banyak, intinya Situasional, lihat situasi dan kebiasaan Gereja setempat. Di US, misalnya, Imam atau Deacon akan mengatakan:”Tundukkanlah kepalamu untuk menerima berkat Tuhan melalui Imam” – Yang diperhatikan sikap kepala (entah berlutut atau… See More berdiri-tidak masalah). Menundukkan kepala sikap hormat yang sepantasnya untuk siap menerima berkat Tuhan.
Makna berlutut: Sikap hati lebih pada kepasrahan, menyerah (bertekuk lutut dalam perang), siap menerima apapun juga. Berlutut berarti merendahkan diri dan hati di hadapan Tuhan, menjadi NOTHING di hadapanNya dan membiarkan Allah menjadi EVERYTHING, menjadi berkat kekuatan bagi kita…Maka diikuti juga dengan sikap kepala menunduk. Orang yang mampu menjadi Nothing, siap untuk diisi (berkat) oleh Tuhan.
Sikap berdiri: Juga merupakan ekspresi kesiapan hati yang sopan MENERIMA tugas dan SIAP MENJALANKAN. Jangan lupa, berkat penutup dalam Ekaristi merupakan berkat PERUTUSAN, artinya, setelah menyantap sabda serta Tubuh (dan Darah) Tuhan, kita mendapat tugas untuk mewartakan dan melaksanakannya dalam hidup sehari2, meneruskan Ekaristi itu menjadi Ekaristi yang hidup dalam situasi konkret kita. Untuk itu kita butuh kekuatan Berkat dari Tuhan untuk siap dan mampu melaksanakannya. Maka sikap badan berdiri lebih menunjukkan kesiapan hati untuk menjalankan tugas perutusan sebagai orang beriman yang mau menimba berkat dari Tuhan pada akhir misa. Tetap menundukkan kepala (dan percaya saja bahwa Imam pasti sungguh memberkati – jadi ngga perlu sambil melirik imamnya udah memberkati apa belum…wkwkwk) sebagai ekspresi sikap hormat dan percaya kita akan Berkat istimewa yang Tuhan berikan untuk kita.
Catatan tambahan:
Melihat pentingnya berkat ini, sayang bukan bahwa sering banyak umat, yang karena seribu satu macam alasan, dengan mudah meninggalkan Gereja sesudah komuni tanpa mendapat berkat. Dia sudah kehilangan berkat Tuhan yang sangat dibutuhkan dalam hidup kita. Waktu kecil, ibu saya malah selalu mengajarkan untuk selalu pulang ke rumah dulu sesudah dari misa kudus. Supaya berkat yang diterima itu tercurah juga ke rumah dan seluruh anggota keluarga kita. Bukan malah berkat itu dihambur2kan untuk pemilik restaurant, atau di mall, atau malah di kebun binatang karena habis misa langsung mau rekreasi…sayang kan berkat Tuhan malah diberikan kepada monyet, badak, atau gajah di Bonbin…wkwkwkwk….