Seputar Liturgi Ekaristi Gereja Katolik

Seputar Liturgi Ekaristi Gereja Katolik

  • Majalah Liturgi KWI

  • Kalender Liturgi

  • Music Liturgi

  • Visitor

    free counters

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    Free Hit Counters

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    free statistics

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    hit counters



    widget flash

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    web page counter

  • Subscribe

  • Blog Stats

    • 1,255,595 hits
  • Kitab Hukum Kanonik, Katekismus Gereja Katolik, Kitab Suci, Alkitab, Pengantar Kitab Suci, Pendalaman Alkitab, Katekismus, Jadwal Misa, Kanon Alkitab, Deuterokanonika, Alkitab Online, Kitab Suci Katolik, Agamakatolik, Gereja Katolik, Ekaristi, Pantang, Puasa, Devosi, Doa, Novena, Tuhan, Roh Kudus, Yesus, Yesus Kristus, Bunda Maria, Paus, Bapa Suci, Vatikan, Katolik, Ibadah, Audio Kitab Suci, Perjanjian Baru, Perjanjian Lama, Tempat Bersejarah, Peta Kitabsuci, Peta Alkitab, Puji, Syukur, Protestan, Dokumen, Omk, Orang Muda Katolik, Mudika, Kki, Iman, Santo, Santa, Santo Dan Santa, Jadwal Misa, Jadwal Misa Regio Sumatera, Jadwal Misa Regio Jawa, Jadwal Misa Regio Ntt, Jadwal Misa Regio Nusa Tenggara Timur, Jadwal Misa Regio Kalimantan, Jadwal Misa Regio Sulawesi, Jadwal Misa Regio Papua, Jadwal Misa Keuskupan, Jadwal Misa Keuskupan Agung, Jadwal Misa Keuskupan Surfagan, Kaj, Kas, Romo, Uskup, Rosario, Pengalaman Iman, Biarawan, Biarawati, Hari, Minggu Palma, Paskah, Adven, Rabu Abu, Pentekosta, Sabtu Suci, Kamis Putih, Kudus, Malaikat, Natal, Mukjizat, Novena, Hati, Kudus, Api Penyucian, Api, Penyucian, Purgatory, Aplogetik, Apologetik Bunda Maria, Aplogetik Kitab Suci, Aplogetik Api Penyucian, Sakramen, Sakramen Krisma, Sakramen Baptis, Sakramen Perkawinan, Sakramen Imamat, Sakramen Ekaristi, Sakramen Perminyakan, Sakramen Tobat, Liturgy, Kalender Liturgi, Calendar Liturgi, Tpe 2005, Tpe, Tata Perayaan Ekaristi, Dosa, Dosa Ringan, Dosa Berat, Silsilah Yesus, Pengenalan Akan Allah, Allah Tritunggal, Trinitas, Satu, Kudus, Katolik, Apostolik, Artai Kata Liturgi, Tata Kata Liturgi, Busana Liturgi, Piranti Liturgi, Bunga Liturgi, Kristiani, Katekese, Katekese Umat, Katekese Lingkungan, Bina Iman Anak, Bina Iman Remaja, Kwi, Iman, Pengharapan, Kasih, Musik Liturgi, Doktrin, Dogma, Katholik, Ortodoks, Catholic, Christian, Christ, Jesus, Mary, Church, Eucharist, Evangelisasi, Allah, Bapa, Putra, Roh Kudus, Injil, Surga, Tuhan, Yubileum, Misa, Martir, Agama, Roma, Beata, Beato, Sacrament, Music Liturgy, Liturgy, Apology, Liturgical Calendar, Liturgical, Pope, Hierarki, Dasar Iman Katolik, Credo, Syahadat, Syahadat Para Rasul, Syahadat Nicea Konstantinople, Konsili Vatikan II, Konsili Ekumenis, Ensiklik, Esniklik Pope, Latter Pope, Orangkudus, Sadar Lirutgi

Archive for the ‘2. Bagian Liturgi Sabda’ Category

JAWABAN/SERUAN UMAT PADA SAAT DOA UMAT

Posted by liturgiekaristi on January 10, 2014


Pertanyaan umat :

Sy mau tanya ttg doa intensi yg dibacakan Romo saat doa umat… Sy merasakan kejanggalan dlm umat menjawab doa2 intensi dimana doa2 tsb adl Doa ttg mengucap syukur atas sesuatu yg dialami umat,dimana setelah doa tsb dibacakan Romo mengatakan Kami Mohon… Dan umat menjawab Kabulkanlah Doa Kami…
Klu saya nilai jawaban tsb adl untuk Doa yg memang sedang berduka,bermasalah/terkena musibah yg minta penyelesaiannya.
Mohon pencerahaannya…

PENCERAHAN dari PASTOR ADMIN PAGE SEPUTAR LITURGI :

“Oleh karena judulnya doa permohonan, maka doa-doa permohonan lah yang diucapkan/didoakan. jawaban umat juga tidak hanya melulu : “Kabulkanlah doa kami …” tetapi bisa juga diganti dengan aklamasi yang lain, misalnya : “Tuhan, dengarkanlah kami” atau “Tuhan, teguhkanlah iman kami”, dst.
Kalau memang sdh terbiasa dgn jawaban yg baku itu, maka yang membawakan doa menambahkan sebagai doa permohonan; misalnya, ucapan syukur atas kelahiran anak, maka yang membawakan doa apada akhir ucapan syukur hendaknya menambahkan “… mohon rahmat dan perlindungan Tuhan bagi bayi yang baru lahir dan orang tuanya …”

Ada banyak options untuk jawaban/seruan doa umat dalam perayaan Ekaristi, jadi tidak terpaku pada jawaban/seruan yang klasik: “Kabulkanlah doa kami ya Tuhan”

Misalnya ketika seseorang memohon dalam intensi untuk mengucap syukur atas terkabulnya doa Novena Salam Maria…. Tentu saja kurang tepat kalau dijawab dengan seruan “Kabulkanlah doa kami ya Tuhan”…., Lha wong tidak ada permohonan, cuma tulus ingin mengucap syukur….

Kunci jawabannya sederhana, tergantung pada kreativitas petugas pembawa doa atau yang bertugas mempersiapkan teks doa umat. Kalau memang terjadi seperti dalam kasus di atas, di mana kebanyakan doa berupa ucapan syukur dan terimakasih atas terkabulnya doa/atas kebaikan yang diterima dari Tuhan (sesuatu yang sangat baik yang harus dikembangkan dalam doa2 Ekaristi: Mengucap Syukur!); maka dapat dipilih jawaban/seruan umat dalam bentuk2 variasi lainnya, seperti: “Terpujilah Tuhan, karena Ia baik” atau “Dimuliakanlah nama Tuhan”, atau “Syukur kepadaMu, ya Allah”, dsb.

Jadi perlu melihat situasi bentuk doa2 yang dipanjatkan, dan petugas hendaknya memberi arahan singkat sebelum mulai doa/sesudah Imam memimpin seruan pembuka doa, dengan menjelaskan: “Umat mohon menjawab: “Terpujilah Tuhan, pemberi segala kebaikan” atau bentuk lainnya selain jawaban: “Kabulkanlah doa kami ya Tuhan…”

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

JAWABAN UMAT ATAS DOA UMAT (PERMOHONAN & UCAPAN SYUKUR)

Posted by liturgiekaristi on January 10, 2014


PERTANYAAN DARI UMAT :

Salam & Slamat Natal untuk semua umat Kristiani…
Sy mau tanya ttg doa intensi yg dibacakan Romo saat doa umat… Sy merasakan kejanggalan dlm umat menjawab doa2 intensi dimana doa2 tsb adl Doa ttg mengucap syukur atas sesuatu yg dialami umat,dimana setelah doa tsb dibacakan Romo mengatakan Kami Mohon… Dan umat menjawab Kabulkanlah Doa Kami…
Klu saya nilai jawaban tsb adl untuk Doa yg memang sedang berduka,bermasalah/terkena musibah yg minta penyelesaiannya.
Mohon pencerahaannya…

PENCERAHAN DARI ADMIN PASTOR PAGE SEPUTAR LITURGI :

“Oleh karena judulnya doa permohonan, maka doa-doa permohonan lah yang diucapkan/didoakan. jawaban umat juga tidak hanya melulu : “Kabulkanlah doa kami …” tetapi bisa juga diganti dengan aklamasi yang lain, misalnya : “Tuhan, dengarkanlah kami” atau “Tuhan, teguhkanlah iman kami”, dst.
Kalau memang sdh terbiasa dgn jawaban yg baku itu, maka yang membawakan doa menambahkan sebagai doa permohonan; misalnya, ucapan syukur atas kelahiran anak, maka yang membawakan doa apada akhir ucapan syukur hendaknya menambahkan “… mohon rahmat dan perlindungan Tuhan bagi bayi yang baru lahir dan orang tuanya …”

Ada banyak options untuk jawaban/seruan doa umat dalam perayaan Ekaristi, jadi tidak terpaku pada jawaban/seruan yang klasik: “Kabulkanlah doa kami ya Tuhan”

Misalnya ketika seseorang memohon dalam intensi untuk mengucap syukur atas terkabulnya doa Novena Salam Maria…. Tentu saja kurang tepat kalau dijawab dengan seruan “Kabulkanlah doa kami ya Tuhan”…., Lha wong tidak ada permohonan, cuma tulus ingin mengucap syukur….

Kunci jawabannya sederhana, tergantung pada kreativitas petugas pembawa doa atau yang bertugas mempersiapkan teks doa umat. Kalau memang terjadi seperti dalam kasus di atas, di mana kebanyakan doa berupa ucapan syukur dan terimakasih atas terkabulnya doa/atas kebaikan yang diterima dari Tuhan (sesuatu yang sangat baik yang harus dikembangkan dalam doa2 Ekaristi: Mengucap Syukur!); maka dapat dipilih jawaban/seruan umat dalam bentuk2 variasi lainnya, seperti: “Terpujilah Tuhan, karena Ia baik” atau “Dimuliakanlah nama Tuhan”, atau “Syukur kepadaMu, ya Allah”, dsb.

Jadi perlu melihat situasi bentuk doa2 yang dipanjatkan, dan petugas hendaknya memberi arahan singkat sebelum mulai doa/sesudah Imam memimpin seruan pembuka doa, dengan menjelaskan: “Umat mohon menjawab: “Terpujilah Tuhan, pemberi segala kebaikan” atau bentuk lainnya selain jawaban: “Kabulkanlah doa kami ya Tuhan…”

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

EVANGELIARIUM – OLEH RM. JACOBUS TARIGAN PR

Posted by liturgiekaristi on July 20, 2011


Evangeliarium
Senin, 6 Juni 2011 16:11 WIB
Evangeliarium

Jacobus Tarigan Pr

Santo Hieronimus (347-420), seorang rahib dan pujangga Gereja menegaskan, “Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus.” Penegasan ini dikutip lagi oleh Konsili Vatikan II, dalam Konstitusi Dei Verbum No 25. Selanjutnya, Hieronimus mengingatkan bahwa tempat yang paling tepat untuk membaca dan mendengarkan Sabda Allah adalah liturgi. Maka, belum cukup hanya merenungkan sendiri Kitab Suci. Tafsiran ilmiah terhadap Kitab Suci pun hanya bersifat membantu. Karena bagi Hieronimus, penafsiran Kitab Suci yang otentik selalu harus sesuai dengan iman Gereja Katolik.

Kita harus membaca Kitab Suci dalam komunio dengan Gereja yang hidup. Kalau Kitab Suci dibacakan dalam Gereja, terutama dalam Perayaan Ekaristi, maka Allah sendiri berbicara kepada umat-Nya dan Kristus hadir dalam Sabda-Nya. Liturgi Sabda sama penting dengan Liturgi Ekaristi. Hendaknya umat sungguh memahami makna pelbagai simbol dalam Liturgi Sabda. Karena bagaimanapun, liturgi berciri simbolis karena partisipasi kita dalam hidup Allah masih berlangsung “dalam cermin”. Simbol tidak hadir untuk dirinya sendiri, melainkan untuk apa yang disimbolkan.

Evangeliarium adalah buku yang memuat bacaan-bacaan Injil untuk hari Minggu dan hari raya tahun A, B, C, untuk pesta Tuhan, Hari Raya Khusus, Perayaan dan Misa ritual. Evangeliarium yang diterbitkan oleh KWI, 2011 adalah buku liturgis resmi bahasa Indonesia untuk Ritus Latin di wilayah gerejawi Indonesia. Bacaan Injil diambil dari terjemahan Alkitab Lembaga Alkitab Indonesia dan Lembaga Biblika Indonesia. Buku ini mulai diberlakukan pada awal Pekan Suci, Minggu Palma, 17 April 2011.

Dalam Misa, khususnya dalam Liturgi Sabda, kehadiran Evangeliarium itu sendiri melambangkan kehadiran Kristus di tengah umat-Nya. Buku ini diletakkan pada bagian tengah altar sebelum Misa, dalam keadaan tertutup. Ketika perarakan masuk, buku ini dibawa oleh diakon atau lektor dengan cara sedikit diangkat agar terlihat oleh umat dan diletakkan di altar. Sebelum pemakluman Injil, diakon menuju altar, membungkuk memberi hormat, dan membawa Evangeliarium ke mimbar, didahului oleh putra altar yang membawa lilin dan pendupaan.

Sebelum dibacakan, Evangeliarium didupai. Selesai membaca, buku ini dicium dan dibawa ke meja samping, bukan altar. Arakan, mencium, dan mendupai merupakan simbol penghormatan kepada Kristus yang hadir di tengah umat-Nya. Keharuman dari dupa melambangkan pewahyuan Allah dan kehadiran keselamatan. “Dengan perantaraan kami, Ia menyebarkan keharuman pengenalan akan Dia di mana-mana. Sebab, bagi Allah, kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa” (2 Kor. 2:14-15). Demikian pula selain lambang penghormatan, ciuman pun melambangkan keakraban dengan Kitab Suci. Membungkuk di hadapan Kitab Suci melambangkan sikap merendahkan diri di hadapan Tuhan yang Mahaagung.

Evangeliarium dicetak secara istimewa untuk mendukung simbol yang dihadirkannya. Kita menghormati Evangeliarium, BUKAN karena dicetak di surga, BUKAN DITURUNKAN dari atas surga, bukan karena memuat nasihat-nasihat moralistis murahan dan hukum-hukum yang menakutkan, TETAPI, karena Evangeliarium melambangkan kehadiran Kristus di tengah umat-Nya, yang sedang merayakan liturgi.

“Ia hadir dalam sabda-Nya, sebab Ia sendiri bersabda bila Kitab Suci dibacakan dalam Gereja” (SC 7). Dengan membaca Kitab Suci, kita mengenal Kristus, yang menampakkan wajah KASIH Allah.

SUMBER : MAJALAH HIDUP

Edisi No. 16 Tanggal 17 April 2011

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda, 4. Buku Liturgi | Leave a Comment »

INTENSI MISA, BOLEHKAH DIBACAKAN OLEH AWAM SEBELUM MISA MULAI?

Posted by liturgiekaristi on June 22, 2011


Pertanyaan umat :

2, apakah intensi yg d brikn umat kpd imam utk d doakn pd saat misa,,blh di doakn oleh seorg ketua dewan dan d bckn d dpn umat sesaat sblm perayaan ekaristi brlgsung?

Daniel Pane

2) Menurut kebiasaan tradisional intensi Misa didoakan dalam hati oleh Imam pada …saat hening antara “marilah berdoa” dan sebelum ia mulai membaca doa pembukaan dari Missale atau didoakan dalam hati pada saat bagian commemoratio pro vivis (vel pro mortis) dalam Doa Syukur Agung I , jika ada keinginan untuk dibacakan secara terbuka siapapun boleh membacakannya sebelum Misa mulai (tentu saja jangan dibacakan di tengah Misa karena akan sangat merusak suasana).

Posted in 1. Ritus pembuka, 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

INTENSI PRIBADI – KAPAN DIBACAKAN DALAM MISA?

Posted by liturgiekaristi on May 27, 2011


Pertanyaan umat :

Ada seorang umat bertanya begini “Biasanya umat membawa intensi2 pribadi ketika ikut perayaan Ekaristi. Dalam tata liturgi yang benar, di mana atau saat kapan kita menyampaikan ujud2 pribadi kita agar dipersatukan dengan intensi Gereja dan ujud2 bersama sebagai tanda kesatuan dalam iman?”.

Sharing :

  • Sri Budi UtamiPagi juga. intensi pribadi memang perlu….apalagi ketika ikut perayaan Ekaristi. doa tersebut biasanya didoakan oleh Pastor/Romo sebelum doa Syukur Agung.

    Yesterday at 8:15am ·
  • EvieNathalia Pongoh cocoknya saat Doa Umat,
    disitu segala ujud kita bisa di sampaikan…

    Yesterday at 8:16am via Facebook Mobile ·
  • Erfia RiantiniSt.Catalina menuliskan dlm kesaksiannya, pada saat persembahan ia diminta oleh Bunda Maria utk mengajukan permohonan sebanyak mungkin,Malaikat pelindung kita yg akan mempersembahkannya kedepan Altar, krn rahmat Tuhan sedang tercurah secara luar biasa pd saat itu.

    Yesterday at 8:23am · · 3 people3 people like this.
  • Linda Mogasyalom,klo digereja aq di St.Yoseph itensi pribadi didoakan didoa umat

    Yesterday at 8:23am · · 1 personEvieNathalia Pongoh likes this.
  • Fransiska Felicia Selamat pagi, saya mau share. Kalau intensi intensi pribadi d Gereja St. Paschalis biasanya d beri waktu pada saat doa umat, tapi waktunya hanya sebentar sekali.. Tidak sampai 1 menit, romo sudah menutup waktunya..
    Akhirnya saya ucapkan intensi sewaktu doa sesudah komuni..
    Salam sejahtera 🙂

    Yesterday at 8:36am via Facebook Mobile ·
  • SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

    Admin mau sharing nich.
    Kalau di paroki saya. Ujud khusus dari umat didoakan pada waktu DOA UMAT. Banyak deh, ada ucapan syukur (terkabulnya doa novena, dll), ada mohon berkat untuk keluarga atau ujud2 khusus, ada mendoakan arwah…Masing2/…setiap jenis doa itu didoakan khusus oleh pastor…lalu dilanjutkan dengan Kami mohon…dijawab umat Kabulkanlah doa kami ya Tuhan…Jadi biasanya bagian mendoakan ujud misa umat ini..bisa agak lebih lama dari ujud doa UMUM yang dibacakan oleh lektor.

    Selain itu, dalam doa umat itu, ada juga diberikan waktu hening…untuk mendoakan ujud pribadi masing2…See More

    Yesterday at 8:48am · · 5 peopleLoading…
  • Lucia Christiawatislmt pg jg..intensi sgt perlu krn dg bgitu akn byk org yg ikut doakan qt.biasanya dibckan Romo sblm misa& wkt doa umat.

    Yesterday at 8:59am via Facebook Mobile ·
  • Theresa Aprilia CintiaraAdmin, sebelumnya paroki saya di St. Maria A Fatima, sekarang St. Yohanes Don Bosco, keduanya jarang sekali ada permohonan Doa Umat bagi intensi pribadi. Apa seharusnya masuk dlm Tata Perayaan Ekaristi atau tidak ya?

    Yesterday at 9:02am via Facebook Mobile · · 1 personLoading…
  • Lucia Christiawatikhusus utk intensi mendoakan arwah akan didoakan Romo jg ketika doa Syukur Agung.itu yang aq tau di grjku.

    Yesterday at 9:02am via Facebook Mobile ·
  • Josef HarwantoSebaiknya intensi pribadi didoakan setelah doa pembukaan. Tapi ada juga romo yang mengulangi lagi di doa umat.

    Yesterday at 9:39am ·
  • SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

    Selain dalam doa umat dan doa syukur agung, ada tempat yang khas untuk menyampaikan ujub-ujub doa dalam ekaristi, yaitu yang sering dikenal dengan doa pembuka (Oratio Collecta)
    Doa pembuka merupakan doa penutup ritus pembuka, yang mulai digu…nakan sejak abad V (Paus Leo Agung). Doa ini disebut juga oratio collecta karena bersifat mengumpulkan dan meringkas ujub-ujub doa umat yang hadir. Pelaksanaannya : Imam mengajak umat untuk berdoa (marilah berdoa / oremus….). Lalu semua yang hadir bersama dengan imam hening sejenak untuk menyadari kehadiran Tuhan, dan dalam hati mengungkapkan doanya masing-masing. Kemudian, imam membawakan doa pembuka yang lazim disebut “collecta”, yang mengungkapkan inti perayaan liturgi hari yang bersangkutan” (PUMR 54) – diakhiri dengan rumusan trinitaris panjang.
    Dalam pelaksanaannya kerap terjadi jeda hening sangat singkat atau bahkan tidak ada. setelah ajakan marilah berdoa, kerap langsung disambung dengan bacaan doa tersebut. Mari berubah bersama!See More
    Yesterday at 11:26am · · 3 people3 people like this.
  • Renalto Haliman di doakan pada waktu Romo mengatakan Terimalah dan Makanlah Inilah Tubuhku yang di kurbankan bagi Mu

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

LEKTOR – SHARING MENGENAI SIKAP TUBUH PADA SAAT BERTUGAS

Posted by liturgiekaristi on May 21, 2011


Pertanyaan umat :

Misa di hari minggu yang lalu di paroki saya, ada sebuah kejadian yg membuat saya agak gimanaa gitu.

Minggu yang lalu, di gereja paroki saya, saya sempat melihat Lektor II duduk manis dan sangat santai disebelah misdinar pada saat Lektor I membacakan Bacaan I.Sebenarnya, bagaimana seeh sikap dan bahasa tubuh yg harus diketahui, dimiliki, di kuasai, dan yg kemudian dilaksanakan oleh seorang Lektor yg baik dan benar dlm menjalankan tugasnya sbg petugas pelayan Liturgi itu ?Boleh gak ya pada saat Lektor I sdg membacakan Bacaan, Lektor yg lain yg sdh ada dipanti imam utk menunggu giliran mambacakan Bacaan berikutnya, duduk ? Bagaimana seharusnya ?

PENCERAHAN dari Pastor Hans Wijaya

sikap badan lektor selama mendengarkan pembacaan Sabda Tuhan, sama seperti semua yang hadir: Imam, misdinar dan umat. duduk dan menyimak. orang yang memperhatikan, pasti sikap badannya mendukung dia untuk mendengarkan dengan baik. kita tida…k dapat konsentrasi kalau duduk santai, bersandar setengah berbaring dengan kaki menjulur ke depan; misalnya. jadi masalahnya bukan pada sikap badan lektor II, tapi pada bagaimana Bacaan dibacakan, yang bukan sekedar membaca tapi mewartakan. bagaimana bacaan dipergunakan dalam homili. kalau homili hanya mengupas Injil tanpa menyinggung Bacaan I/II, umat juga tidak terbantu untuk ikut menyimak bacaan-bacaan dari Kitab Suci

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

SHARING  ADMIN : Kalau di paroki saya, lektor duduk di bangku terdepan (bangku umat). Lalu pada waktu Ibadat Sabda, kedua lektor maju ke panti imam dan keduanya berdiri di dekat mimbar sabda. Pada saat keduanya sudah selesai menjalankan tugas, , maka kedua lektor itu bersama-sama kembali lagi ke tempat duduknya semula.

Lucia Christiawati biasanya saat lektor I membacakan lektor II duduk dg sopan bersama prodiakon di t4 yg tlh disediakan.bgitupun sbaliknya.
RoYana ELvina SimaLango Klo di greja saya,
lektor duduk di t4 palng dpn di bangku umat kemudian apabila akan membaca sabda Tuhan Lektor I dan lektor II bergantian naik ke mimbar.
Gabriella Rika Swasti Lah anak kecilpun tahu bgt, lau baru tugas di gereja sikapnya harus sopan ; duduk gak bleh seenakknya, hrs tegak tapi jgn kaku, gak bleh tengok kanan atau kiri bahkan belakang, menyimak yg sedang berlangsung…………. lau seenakknya ganti aja lektornya. Laaaaaaaaah apa sebelum jd lektor gak ada prolog, syarat dan lainnya ?Eiiiit satu lagi, kalau di t4 saya, lektor duduke sederet dengan misdinar………
Robert Darisman Petugas lektor n mazmur seharusnya terlantik. Ini menjamin adanuya pembekalan sebelum menjalankan tugas. Karena kurangnya tenaga pelayan sering main tunjuk saja dan sayangnya tidak menjamin adanya pembekalan. Perlu kita perbaiki bersama.
SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

ikut nimbrung sesama admin….
Tergantung tata ruang gereja dan panti imam. Kalau gerejanya kecil maka lektor tetap di tempatnya dan pas gilirannya baru maju… kalau gereja dan panti imamnya besar dan luas…. sebaiknya semua petugas maju, …baik lektor I, pemazmur dan lektor II. Sementara lektor I bertugas, pemazmur dan lektor II berdiri di belakang lektor I dengan sikap sopan, sampai semua selesai bertugas baru sama² kembali ke tempat duduk; ini kalau tempat duduk lektor di bangku umat. Kalau tempat duduk para petugas di panti imam, diusahak untuk lektor tidak jauh dari mimbar Sabda, sehingga pas giliran baru berdiri melaksanakan tugasnya. (terkadang seringnya hilir mudik para petugas di panti imam mengganggu suasan, apalagi ditambah bunyi langkah sepatu yang … gimana gitu… hehehe). Jadi sekali lagi tergantung tata ruang gerja dan panti imam
Soetikno Wendie Razif

Ada lektor/lektris yang dirangkap oleh pro diakon, saat perarakan masuk ke altar, mereka ikut naik ke altar, lalu tetap nangkring di altar … sampai konsekrasi, mereka tetap berdiri di altar, jadi pas kita menyembah Tubuh dan Darah Kristus…, kita menyembah sang pro diakon juga ….kenapa tidak disosialisasikan bahwa pro diakon tetap umat biasa, bukan tertahbis …altar hanya untuk yang tertahbis … Mau contoh : Datanglah ke Misa di Gereja St.Theresia, Jl. H. Agus Salim, Menteng, Jakarta
Yudha Adrian lektor/lektris II biasanya tetap duduk pada tempat yang disediakan pada saat bacaan 1 dan bergantian dengan lektor/lektris I pada saat mazmur antar bacaan dinyanyikan. Yang berdiri pada saat bacaan I dan II selain lektor yang membacakan adalah pemazmur.

Noor Noey Indah

boleh nambah dikit kan ya…Masih sering dijumpai petugas liturgi bingung dg tugas yg diembannya krn kurang persiapan, kurang pembekalan, bahkan gak ngerti dg apa yg dilakukannya.
Hal ini sangat disayangkan krn bisa menghambat kelancaran dar…i Peryaan Ekaristi yg dirayakan.Petugas Liturgi perlu tau, lebih mengerti dan memahami dg sungguh apa yg menjadi tanggungjawabnya sebagai petugas pelayan liturgi. Hal ini bisa dilakukan dg jalan (salah satunya), gereja membuat wadah utk masing² tugas tsb yg dkoordinir olah seksi liturgi dan didampingi oleh Pastor memberikan pembekalan materi secara berkala dan berkesinambungan, dg maksud supaya masing² petugas benar² memahami setiap tugas yg menjadi tanggungjawabnya.
Sehingga Peryaan Ekaristi dpt berjalan anggun, lancar, hikmad, sakral dan semestinya karena semuanya berjalan benar dan seharusnya.

Didit Irianimasalahnya adalah tidaka ada aturan baku / pedoman yang harus diikuti iapa yang lektor dan petugas lain nya itu sepengetahuan saya mohon bagi yang memiliki mar si kita berbagi

Posted in 1. Lektor, 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

LAGU ANTAR BACAAN MENGGANTIKAN MAZMUR TANGGAPAN?

Posted by liturgiekaristi on May 8, 2011


Pertanyaan umat :

didlm Perayaan Ekaristi  atau ibadat lingk / kring, bolehkan diselipkan lagu antar bacaan stlh petugas membacakan bacaan & sbelum Injil di maklumkan ? Bagaimana sebaiknya ?

Lagu atau nyanyian antar bacaan masih sering dipakai terutama pada saat ibadat atau misa dilingkungan / kring, daripada menggunakan atau menyanyikan Mazmur tanggapan yg sesuai dg bacaan saat itu.

Nah, bagaimana sebaiknya ? dan bagaimanakah c…ara memilih Mazmur Tanggapan utk suatu bacaan ?

kita perlu melihat makna menyanyikan Mazmur yaitu :
Pertama : jawaban atau tanggapan jemaat atas sabda Allah yang telah diwartakan di mana tanggapan tersebut terwakili lewat pengalaman umat Israel yang tercantum dalam kitab Mazmur

Kedua : menjawab dengan pujian atas karya-karya Illahi dari Allah yang terus berlangsung sejak dunia ini diciptakan-Nya hingga sekarang ini

Ketiga : merupakan pewartaan kabar gembira tentang karya keselamatan Allah, di mana karya keselamatan ini memuncak pada diri Yesus Kristus Putra Nya yang tunggal.

ketiga makna tersebut memberi kesimpulan pada kita bahwa teks atau syair yang dinyanyikan atau didaraskan pada Mazmur Tanggapan, bukan bersumber dari SEMBARANG NYAYIAN. Teks atau syair dalam Mazmur Tanggapan harus BIBLIS/ALKITABIAH (bersumber pada Kitab Suci) yang kebanyakan diambil dari Kitab Mazmur, oleh karena itu jangan mudah menggantikan lagu Mazmur Tanggapan dengan lagu lainnya, apalagi lagunya tidak biblis.

Dalam PUMR 61 dikatakan : “Jika sulit untuk dinyanyikan maka Mazmur cukup dibacakan dengan diusahakan refren tetap dinyanyikan. Jika ini masih sulit dilakukan maka Mazmur dan refrennya dapat dibacakan bergantian. Tidak dibenarkan mengganti Mazmur dengan lagu-lagu lain bertema ‘Sabda Allah’.

Nyanyian pengantar injil, Sejak tahun 1970, Bait pengantar Injil mulai diterapkan dalam perayaan ekaristi. Bait Pengantar Injil adalah satu sisipan atau perikop yang berkaitn dengan isi Injil yang dibacakan pada saat itu. Secara Jelas dalam PUMR 62c dikatakan : “bait pengantar injil harus dinyanyikan. Jika tidak mampu menyanyikannya, maka bagian ini sebaiknya tidak didaraskan (dibacakan) dengan kata lain ditiadakan”

kebetulan baru kemarin saya nulis di blog tentang mazmur tanggapan dan Bait Pengantar Injil…lebih rincinya bisa dilihat di http://belajarliturgi.blogspot.com/2011/05/mazmur-tanggapan-bait-pengantar-injil.html

Noor Noey Indah

Dalam rangka pembaruan liturgi, Konsili Vatikan II menaruh perhatian besar thd Kitab Suci yg adlah sabda Tuhan. Dalam setiap kegiatan liturgi, Kitab Suci, termasuk mazmur tanggapan, diberi tempat dan peran yg amat penting, dan keduanya dili…hat sebagai pokok dari Liturgi Sabda.

Tata Bacaan Misa (TBM) menegaskan, “Bacaan-bacaan Kitab Suci tidak boleh diganti dengan bacaan lain; begitu juga mazmur yang diambil dari Kitab Suci. Sebab lewat Sabda Allah yang diwariskan secara tertulis itulah ‘Allah masih terus berbicara kepada umat-Nya’.” (bdk. TBM, 12).

Pencerahan dari SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Sebagaimana dikatakan sdr. Johanes Ogenk Jbso, bahwa Sabda Allah yang telah kita dengarkan, kita menanggapainya dengan bermazmur yang adalah juga Sabda Allah. Artinya Allah menaruh pada mulut (hati) kita SabdaNya, yaitu Mazmur untuk menangg…api SabdaNya. Hal ini merupakan tradisi dalam liturgi Gereja sejak awal, bahkan sejak dari tradisi Yahudi dan berlangsung sepanjang sejarah sampai sekarang.

Maka sebaiknya dalam perayaan Ekaristi di lingkungan/kring atau misa harian digunakan Mazmur Tanggapan, entah dinyanyikan atau didaraskan/dibacakan. Atau refreinnya dinyanyikan, ayat²nya dibacakan.

Lalu bagaimana caranya lagu mazmur yang sesuai dengan Mazmur pada hari yang bersangkutan? atau lagu refrein mazmur sesuai dengan Mazmur pada hari itu? Caranya :

1. Kalau punya buku Mazmur Tanggapan dan Alleluia, di halaman belakang buku itu ada INDEKS ALKITAB yang merujuk halaman buku Mazmur Tanggapan dan Allelui… lalu lihat nomornya yang sesuai dengan nomor lagu dalam buku Puji Syukur.

2. Kalau tidak punya buku Mazmur Tanggapan… untuk mendapatkan lagu refrein Mazmur yang sesuai: lihat di halam belakang buku Puji Sykur di INDEKS ALKITAB, Mazmur apa pada hari bersangkutan… lalu Mazmur tsb atau salah satu ayat yg merupakan refrein dr Mazmur tsb merujuk ke nomor lagu atau refrein mazmur di Puji Syukur.

Contoh, pada hari ini, jumad pekan Paskah II, 6 Mai 2006, Mazmur tanggapan hari ini adalah : Mzr 27: 1,4, 13-14. Untuk mendapatkan lagu refreinnya dalam buku Puji Syukur: di INDEKS ALKITAB menunjukkan bahwa Mazmur 27 ada beberapa pilihan. Saya memilih Mzr 27: 1, yang menunjukkan lagunya di Puji Syukur no. 649 atau refrein lagunya di PS no 847. Saya memilih refrein lagu mazmur PS no 847, sedangkan ayat-ayatnya dibacakan.

3. Cara yang lain, dulu di lembaran kuning buku Puji Syukur pada bagian tentang Tata Perayaan Sabda Hari Minggu, ada dicantumkan nada-nada lagu untuk mendaraskan refrein suatu ayat KS atau Mzr. Atau nada lagu yang menjadi pilihan pada Ibadat Harian. Yang punya PS cetakan lama bisa dilihat di situ atau di Madah Bakti cetakan terbaru.

Mungkin tayangan Kalender Liturgi bisa ditampilkan di page Facebook ini sehingga mudah diakses.

Salam
Philippe

Henricus Haryanto Kenyataan yang ada saat ini : banyak romo yg setuju dan malah ikut menyanyikan lagu antar bacaan(bukan mzmur) sebelum bacaan injil dilakukan. Beberapa romo bahkan membuat pernyataan bahwa bagian dari PE yg tidak boleh diubah2 adalah saat konsekrasi.Bagian lain boleh disesuaikan .

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda, 3. Koor dan Organis | Leave a Comment »

EVANGELIARIUM – MELAMBANGKAN KRISTUS YANG HADIR DALAM SABDANYA.

Posted by liturgiekaristi on May 4, 2011


Topik :

ada pendapat bahwa Evangeliarium melambangkan Kristus yang hadir dalam sabdaNYa, namun demikian… jika kita melihat PUMR 175 “….Akhirnya, diakon membawa Kitab Injil ke meja samping atau ke tempat lain yang anggun dan serasi.”
mengapa diletakkan di meja samping (alias meja kredens)?

Thomas Rudy

pertanyaan ini saya tanyakan karena admin sempat mengatakan:

++++++++++
Setelah pemakluman Injil, buku Evangeliarum tetap berada di ambo sampai selesai perayaan. Hal ini menunjukkan :

…Kehadiran Allah dalam SabdaNya sampai berakhirnya perayaan. Dan simbol kehadiranNya adalah ambo yang di atasnya ada Evangeliarum….

– Liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi merupakan satu kesatuan, Sabda Allah tetap hadir dalam liturgi Ekaristi; bukan sepert lakon atau adegan bahwa yang satu sudah berperan lalu lanjut adegan berikut… atau kita mau katakan: “Tuhan, kami telah mendengarkan SabdaMu, dan sekarang kami mau lanjut ke Ekaristi, jadi Tuhan pindah ke meja kredens atau pulang ke Sakristi… atau ke laci ambo…”
+++++++++++

sehingga timbul kesan, kalau keluar dari ambo berarti tidak menghargai kehadiran TUhan, apalagi ditaruh di kredens atau laci ambo…

padahal PUMR sendiri mengatakan diletakkan di kredens.. …kalau misa di vatikan, setelah evangeliarium dipakai, maka dicium oleh paus, paus kasih berkat dgn evangeliarium udah itu sayonara evangeliarium….. hilang sudah masuk ke belakang

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

PUMR 175 “….Akhirnya, diakon membawa Kitab Injil ke meja samping atau ke tempat lain yang anggun dan serasi.”
Credence itu meja kecil untuk meletakan perlengkapan² misa. Berarti dalam konteks ini, meja kecil dikhususkan untuk meletakan buk…u Evangeliarum, sama seperti yang biasa kita lakukan di bulan Kitab Suci (bulan september), ada meja yang dikhususkan (kredens) untuk meletakkan buku Sabda Allah setelah selesai dimaklumkan. Apa lagi dikatakan dalam PUMR tempatnya harus anggun dan serasi. Jadi bukan meja kredens biasa kita lihat berada di pojok panti imam tempat diletakkan piala, sibori, dll. Jadi kalau mau buat meja khusus (kredens) untuk meletakan buku Evangeliarum, ya silakan dan tempatnya harus pantas, anggun dan serasi. Kalau tidak ada kredens khusus… Evangeliarum tetap saja berada di ambo…. Dengan demikian makna kehadiran Sabda Allah dalam perayaan tetap ada sampai selesai perayaan.
Exortasi Apostolik VERBUM DOMINI dari Benediktus XVI bisa membantu kita menghayati makna Sabda Allah dalam liturgi khususnya di bagian II tentang VERBUM IN ECCLESIA, bab tentang LITRUGI MERUPAKAN TEMPAT KHUSUS (istimewa) DARI SABDA ALLAH pada no 52 – 55

http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/apost_exhortations/documents/hf_ben-xvi_exh_20100930_verbum-domini_en.html

Thomas Rudy ooooooo tq buat pencerahannya, jadi ini kredens yg berbeda dgn alat2 misa?wah banyak sekali meja2 kalau begitu

Agus Syawal Yudhistira

Tapi bagian II dari Verbum Domini menggarisbawahi apa yang sudah disampaikan oleh Rm. McNamara, bahwa dalam Liturgi Latin, sakramentalitas Kitab Suci hadir ketika dibacakan/diproklamasikan, dan bukan dalam wujud Kitab yang secara khusus dit…ahtakan.

Beliau menuliskan demikian (bagian Sacramentality of the Word [56]): “Christ, truly present under the species of bread and wine, is analogously present in the word proclaimed in the liturgy.”

Jadi analoginya jelas, seperti Kristus hadir dalam wujud roti dan anggur, kehadiran yang sama nyatanya hadir ketika Kitab Suci dimaklumkan. Jadi, tindakan pemaklumannya yang menyebabkan momen itu istimewa.

Verbum Domini no. 67 bicara soal pemakluman secara meriah. Ini sudah sama persis dengan apa yang ada dalam “Ordo Lectionum Missae” dan PUMR. Bahwa untuk menggarisbawahi keistimewaan pewartaan sabda, baik jika pada hari raya, pesta dan hari minggu, diadakan prosesi Evangeliarium/Injil.

Soal tempat peletakan Injil baru disebut pada no. 68, bahwa Kitab Suci selayaknya ditahtakan di tempat terhormat di dalam Gereja, di luar perayaan liturgi.
Sementara artikel yang sama mengatakan bahwa Ambo harus menjadi pusat perhatian pemakluman sabda. Ini sudah sesuai dengan PUMR dan “Ordo Lectionum Missae.”

Dengan demikian Verbum Domini, tidak menjelaskan apa-apa soal tempat peletakan Evangeliarium setelah digunakan.

Saya pikir, masalahnya hanya praktis saja.
1. Tidak masalah Evangeliarium tetap ditinggal di Ambo, selama Ambo cukup besar, tidak mengganggu jalannya upacara ketika harus digunakan untuk homili, atau doa umat.
Tidak baik juga, dari segi praktikal, menumpuk2 Evangeliarium di Ambo, dengan risiko rusak, robek, terlipat.
2. Jika Ambo terlalu kecil, seperti misalnya ambo portabel yang biasa digunakan untuk Misa Kepausan, Evangeliarium disimpan di tempat lain. Praktek paling umum adalah membawanya ke meja Kredens. Tempat ini secara spesifik disebut oleh PUMR sebagai tempat terhormat untuk meletakkan Evangeliarium atau Injil setelah pemakluman.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Konsisten dengan PUMR 175 bahwa yang bertugas membawa dan meletakkan Evangeliarum di kredens adalah diakon. Maka (tidak ada diakon), imam selesai memaklumkan Injil, Evangeliarum tetap berada di ambo. Praktis aja kan mas… tidak repot-repo…t…..
Dan saya pikir sudah sesuai dengan Sakramentalitas Sabda Allah (VD 56) “Sabda telah menjadi daging”, Firman Allah yang dimaklumkan di ambo dan dari Evangeliarum menjadi Tubuh dan Darah Kristus di altar (lit. Ekaristi). Ambo : meja Sabda, altar : meja Ekaristi. Keduanya merupakan satu kesatuan perayaan liturgi. Maka seperti saya katakan sebelumnya, kalau sehabis pemakluman Injil, Evangeliarum dibawa ke kredens yang berada si pojok panti imam, atau ke sakristi, atau ditaruh di laci ambo, itu kesannya bukan satu kesatuan perayaan tetapi semacam adegan dan berganti peran bahwa selesai liturgi Sabda adegan berikut liturgi Ekaristi. Kalimat saya seperti yang dikutip Thomas Rudy di atas, itu berangkat dari sini, soal ganti adegan. Paus Benediktus XVI dalam Verbum Domini menegas : “Christ, truly present under the species of bread and wine, is analogously present in the word proclaimed in the liturgy.” (VD 56, bagian akhir alinea kedua).
SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Point saya adala kesatuan perayaan antara meja Sabda : ambo + Evangeliarium dan meja Ekaristi : altar + tubuh dan darah Kristus. Maka dari Verbum Domini 56 tentang Sakramentalitas Sabda Allah, saya merefleksikan demikian :
Bacaan Injil hari …Minggu Paskah II esok tentang kisah dua murid Emaus. Saya mendengarkan Sabda Tuhan tentang kisah dua murid Emaus ini dalam Evangeliarum dari mimbar Sabda (ambo). Firman Tuhan ini berinkarnasi (Sabda menjadi daging) menjadi tubuh dan darah Kristus dalam Ekaristi (DSA). Saat komuni saya menerima Tubuh Kristus, yang adalah Tuhan Yesus yang bangkit, Dia menampakkan diriNya kepada dua murid Emaus, yang pemakluman kisahnya ini saya telah mendengarkannya dari Evangeliarum dibacakan di ambo.

Maaf kalau saya agak ngotot tetap mempertahankan Evangeliarium tetap berada di ambo, karena mau menunjukkan simbolisasi kehadiran Sabda Allah dalam satu kesatuan perayaan liturgi.

Proposisi no 7 hasil sinode para uskup 2008 tentang Sabda Allah, yang merekomendasikan Paus untuk mengeluarkan Verbum Domini ini, menegaskan kembali Dei Verbum no 21 dan SC no 56. Proposisi itu mengatakan demikian :

Proposition 7:
Unity between Word of God and Eucharist.

“It is important to consider the profound unity between the Word of God and the Eucharist (cf. “Dei Verbum,” 21), as expressed by some particular texts, such as John 6:35-58; Luke 24:13-35, in such a way as to overcome the dichotomy between the two realities, which is often present in theological and pastoral reflection. In this way the connection with the preceding Synod on the Eucharist will become more evident.
The Word of God is made sacramental flesh in the Eucharistic event and leads Sacred Scripture to its fulfillment. The Eucharist is a hermeneutic principle of Sacred Scripture, as Sacred Scripture illumines and explains the Eucharistic mystery. In this sense the Synodal Fathers hope that a theological reflection on the sacramentality of the Word of God might be promoted. Without the recognition of the real presence of the Lord in the Eucharist, the intelligence of Sacred Scripture remains unfulfilled.”

Thomas Rudy

‎@admin dan Agus Syawal: thanks saya dapat pencerahan, memang benar kesatuan antara sabda dan ekaristi tidak terpisahkan

bahwa kehadiranNya itu akan terus konstan, “Sabda telah menjadi daging”, Firman Allah yang dimaklumkan di ambo dan dari …Evangeliarum menjadi Tubuh dan Darah Kristus di altar (lit. Ekaristi). –> pinjam kutipan admin yah……….Maka Verbum Domini sudah menggambarkan dengan jelas betapa eratnya sabda dan ekaristi

maka adalah tepat penempatan di Kredens (kredens yg sama dgn alat-misa). kenapa? karena di kredens itulah peralihan dimana sang sabda (dilambangkan dengan buku) dipersiapkan untuk dikurbankan.

Meja Kredens pada misa Paulus VI lebih memerankan peran penting dimana piala lengkap dgn patena berada disana, ampul dll semua berada disana… penempatan Evangeliarium Kredens mendukung simbolisasi sabda menjadi manusia dan kemudian dikurbankan

sehingga [menurut saya] tidak timbul gagasan salah ada “dua matahari” tapi hanya ada 1 matahari. (Yesus dalam sabda dan YEsus dalam Ekaristi dua-duanya hadir, padahal dalam ekaristi kehadiran itu bersifat kontinuum, berkelanjutan bukan berdua2an bersaing2an).

saya kemudian membaca buku Ceremonies Modern ROman Rite (no. 263), pada misa tanpa diakon disitu dikatakan bahwa Evangeliarium diletakkan dibawa laci ambo atau diberikan pada server (misdinar) untuk diletakkan di kredens (Nah, pernyataan saya ditaruh dilaci ambo, dasarnya dari sini selain ada masukan dari salah satu pastor di KWI)

Saya tergoda untuk membaca buku The Celebration of Mass (rubrik misa tridentine), dimana memang sudah dari jaman dahulu Evangeliarium itu diletakkan di kreden.

jadi memang akhirnya ke-diam-an (dan ambiguitas) rubrik mempersilahkan imam/MC mengatur apakah tetap di Ambo atau dipindah ke kredens no problemo

terima kasih juga link-nya, cukup sangat membantu…saya membaca seperti cara @agus membaca hehehe…

justru diskusi ini memperteguh saya malahan agar evangeliarium itu baik pada misa dengan diakon atau tanpa diakon tetap diletakkan di kredens….(tapi sayang saya bukan imam hahahaha)

nah setelah kita berkomuni menyambut sabda yang menjelma itu… maka itulah kenapa Evangeliarium tidak ikut dalam perarakan pulang karena sudah disantap…

sorry, setelah saya baca kembali, ada kesalahan ketik dalam pernaytaan saya di atas tentang bacaan Injil kisah dua murid Emaus. Yang dimaksud adalah bacaan Injil Hari Minggu Paskah, misa sore, bukan Minggu Paskah II. jadi sekali lagi maaf atas kesalahan ketik ini. semalam ketika menulis ini sduah dini hari jam 2, sdh ngantuk dan tak sepat koreksi lagi….

salam

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda, 4. Buku Liturgi | Leave a Comment »

SOSIALISASI BUKU EVANGELIARIUM DI GEREJA PAROKI

Posted by liturgiekaristi on April 29, 2011


Pertanyaan umat:

Seputar Evangeliarium. Dalam Misa dipimpin seorang imam selebran, tanpa diakon, setelah Evangeliarium dibaca, bagaimana kemudian Evangeliarium disimpan?
Dalam skenario adanya diakon atau konselebran, mereka yang akan membawa evangeliarium pergi setelah dibaca dan diletakkan di tempat lain, meja kredens misalnya.
Namun dalam skenario tanpa diakon atau konselebran, apakah Evangeliarium selesai dibaca dibiarkan di ambo sampai misa selesai?
Ataukah imam memberikannya kepada lektor/putera altar untuk membawanya ke meja kredens?
Mengingat ambo akan digunakan untuk homili dan doa umat, sepertinya membiarkan Evangeliarium di meja kredens bukan pilihan yang baik. Secara praktis, memenuhi ambo dan kemungkinan rusak lebih besar.
Di PUMR tidak disebutkan bagaimana Evangeliarium harus disimpan dalam misa tanpa diakon.

Pendapat umat Thomas Rudy

itulah gunanya laci dibawah ambo

Pendapat umat  Agus Syawal Yudhistira

LOL, kepikiran juga.. tapi tetep, sepertinya decorumnya kelihatan lebih elegan jika, setelah Injil dibacakan, seorang lektor atau putera altar sudah menunggu, lalu evangeliarium diserahkan untuk dibawa dengan hormat tanpa prosesi atau upaca…ra ke meja kredens.
Yah mengingat kalau dalam Misa Forma Extraordinaria, adalah pelayan altar juga yang bertugas menukar Injil dari sisi epistola ke sisi injil, sepertinya skenario yang saya sebutkan ‘memungkinkan.’

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Setelah pemakluman Injil, buku Evangeliarum tetap berada di ambo sampai selesai perayaan. Hal ini menunjukkan :
Kehadiran Allah dalam SabdaNya sampai berakhirnya perayaan. Dan simbol kehadiranNya adalah ambo yang di atasnya ada Evangeliarum….- Liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi merupakan satu kesatuan, Sabda Allah tetap hadir dalam liturgi Ekaristi; bukan sepert lakon atau adegan bahwa yang satu sudah berperan lalu lanjut adegan berikut… atau kita mau katakan: “Tuhan, kami telah mendengarkan SabdaMu, dan sekarang kami mau lanjut ke Ekaristi, jadi Tuhan pindah ke meja kredens atau pulang ke Sakristi… atau ke laci ambo…”

Hal ini simbol penting perayaan liturgi, jadi perlu mendapat perhatian serius.

Kalau ambonya dirasa terlalu kecil dan tidak cukup muat buku Evangeliarum, ya ganti ambonya yang lebih layak dan pantas…. bukan Evangeliarumnya yang disingkirkan.

Petugas doa umat bisa mengmbil tempat di ambo, atau mimbar dirijen atau yang memberi pengumuman.

Pada akhir perayaan petugas : diakon/prodiakon/lektor/lektris mengambil buku Evangeliarum di ambo dan bersama imam dan misdinar berarak kembali ke sakristi.

Agus Syawal Yudhistira

Tetapi sebaliknya PUMR menyatakan bahwa doa umat dan homili selayaknya dilakukan dari Ambo, dan kenyataan bahwa dalam Misa dengan Diakon adalah umum untuk menyimpan Evangeliarium setelah Liturgi Sabda – Misa Kepausan misalnya, dan pendapat …pakar liturgi seperti Professor McNamarra dari Regina Apostolorum University menyatakan bahwa tidak selayaknya Injil/Evangeliarium ditahtakan secara sangat istimewa setelah pembacaan.

Juga dalam perarakan keluar, disebutkan dalam tata cara penggunaan bahwa buku Evangeliarium tidak dibawa lagi dalam perarakan keluar.

Dalam Misa Kepausan, sepertinya malah buku Evangeliarium dibawa kembali ke Sakristi setelah Paus menghormati dan memberkati umat dengan menggunakan Evangeliarium dan tidak dibawa kembali pada prosesi keluar.

Apakah decorum membiarkan Evangeliarium di Ambo dalam Misa tanpa Imam adalah pilihan terbaik?

Pendapat Professor McNamara sebagai berikut:
“However, as Pope Paul VI taught, while Christ’s presence in the Word is real, it ceases when the readings are concluded. The Eucharistic presence alone is substantial and real ‘in the fullest sen…se.’

It is therefore quite logical that all liturgical honors paid toward the Book of the Gospels cease once the Liturgy of the Eucharist begins.”

http://www.ewtn.com/library/liturgy/zlitur130.htm

Thomas Rudy karena rubrik diam dalam hal ini, letakkan saja dibawah laci, tetap di ambo tetapi sekaligus perhatian umat tidak teralihkan saat liturgi ekaristi

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Bukan bermaksud untuk mengistimewakan buku Evangeliarum, tetatpi mengatakan simbol kehadiran Allah dalam seluruh satu-kesatuan parayaan liturgi (dari awal sampai akhir perayaan) (bdk. SC. no 7). Maka biarkan simbol-simbol kehadiran Allah i…ni tetap berbicara dalam seluruh perayaan itu. Maka setelah pemakluman Injil Evangeliarum tetap berada di ambo, dan memang di situ tempatnya (entah dalam keadaan terbuka, atau lebih baik tertutup). Toh selama ini buku Bacaan Misa, tetap berada di atas ambo sampai selesai perayaan.Maka menurut saya, dengan adanya buku Evangeliarum pun sama seperti buku bacaan Misa yang sudah dipraktekkan selama ini.

Ada kejadian, setelah pembacaan Injil, imam menyampaikan homili, karena mungkin merasa bahwa buku Evangeliarum “mengganggu” dia dalam menyampaikan homili, buku ini dia serahkan ke misdinar, oleh misdinar diletakkan di meja kredens. Pada saat persiapan persembahan, misdinar yang lain melaksanakan tugasnya dan mungkin dia merasa terganggu, dia ngambil buku ini lalu bingung dia mau taruh dimana karena tak ada tempat, akhirnya dia letakkan di lantai… REAKSI UMAT SUDAH KAYA BUNYI LEBAH….

Pada hal sebelumnya, umat dengan penuh hormat berdiri, menyerukan/menyanyikan Alleluia dengan lantang, Evangeliarum diambil dari altar, diangkat dan ditunjukkan kepada umat, diarak menuju ambo dengan diapiti dua lilin yang menyala, didupai dengan kemenyan yang harum, dimaklumkan dengan penuh hikmat, pada akhir pemakluman Evangeliarum diangkat, ditunjukkan kepada umat beriman sambil menyerukan “VERBUM DOMINI” umat menjawab “LAUS TIBI CHRISTE” atau “Berbahagialahl orang yang mendengarkan Sabda Tuhan dan dengan tekun melaksankanNya” umat menjawab dengan aklamasi yang gembira : “SabdaMu adalah jalan, kebenaran dan hidup kami”, lalu Evangeliarum dikecup dengan penuh hormat. …. tetapi setelah itu….?? kok diletakkan di lantai seperti kejadian di atas… atau diumpetin di laci ambo… dll.

Jadi saya masih tetap berpendapat bahwa biarkan buku Evangeliarum itu tatap berada di ambo, sehingga simbol kehadiran Sabda Allah tetap berbicara sampai akhir perayaan; malahan Sabda Allah yang sama memberi peneguhan pada saat Doa Syukur Agung, mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus… umat beriman yang telah dikuatkan oleh Sabda Allah (dalam lit. sabda) datang menyambut Yesus Kristus Sang SABDA ALLAH itu sendri.

Mengenai perarakan masuk dan perakan pada akhir perayaan, ini soal konsistensi saja :
Kalau perarakan masuk buku Evangeliarum diikutsertakan maka pada akhir perayaan juga diikutsertakan dalam perarakan….
Kalau perarakan masuk Evangeliarum tidak disertakan, berarti buku Evangeliarum sudah diletakkan di altar dalam posisi berdiri…. maka diakhir perarakan buku ini juga tidakdiikutsertakan….

Thomas Rudy

sebenarnya itu dikarenakan rubrik dalam PUMR mendiamkan hal tsb…coba perhatikan pada PUMR 128-137 pada saat misa umat, dimana misa tanpa diakon, imam mengambil buku injil (evangeliarium) dari altar kemudian dst-dst tapi ngak dijelaskan ha…rus bagaimana sesudah dibacakan….

sedangkan kalau kita lihat PUMR 175-177 disana dijelaskan bahwa diakon sesudah memaklumkan injil truss dibawa ke kredens atau tempat yang sesuai.

nah disini rubrik itu diam saat misa tanpa diakon (nah justru karena rubriknya diam maka terbuka pada berbagai interpretasi), itu buku mau dikemanakan….maka tidak salah jika tetap di ambo, tidak salah juga jika diletakkan di dalam laci ambo, tidak salah juga jika dibwa oleh entah siapa ke sakristi….

Karena baik dengan diakon/tanpa diakon, hormat terhadap buku Evangeliarium/Injil tetaplah sama. Tetapi berarti memindahkannya ke meja kredens harusnya bagian dari penghormatan yang layak ini.

Dan mungkin mengejutkan bahwa dalam Liturgi Romawi, “kehadiran Kristus dalam sabda terjadi pada saat dimaklumkan” dan bukan secara sakramental pada buku Evangeliarium/Injil itu sendiri (kata professir McNamara; thanks ke Agus Syawal Yudhistira untuk linknya diatas). karena ada imam penanya dari Skotlandia yang menanyakan hal yang sama, “apakah kelihatannya kurang sopan atau kurang menghargai untuk memindahkan Injil ke laci/kredens setelah dibacakan.”

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Kalau di PUMR tidak menyebutkan atau menjelaskan, ya tetap aja diletakkan di ambo, jangan menginterpretasikan lagi dengan memnaruh di laci ambo, … ke kredens, dsb… kan PUMR tidak menyebutkan…. ya di situ aja ditempatkan, di ambo, dan …memang itu tempatnya….

Oke, saya kutip PUMR no 175 pada akhir alinea : “Akhirnya, diakon membawa Kitab Injil ke meja-samping atau ke tempat lain yang anggun dan serasi.” Dari kalimat ini saya membayangkan tempat yg anggun dan serasi itu seperti yang sering terjadi di bulan Kitab Suci (September) ada tempat khusus untuk meletakan buku Sabda Allah, ya gak apa-apa…. saya setuju. Tetapi diletakkan di meja kredens yang selama ini terletak di pinggir panti imam dekat dinding atau di pojok belakang panti imam…. apa maknanya?

Soal kurang sopan atau tidak menghargai, itu masalah bagaimana orang mengartikannya, apalagi dalam liturgi banyak tanda dan simbol, entah itu tata gerak atau barang/materi yang ada di panti imam.

Mas, saya tidak bilang “kurang sopan” atau “tidak menghargai”, saya yang mencari apa maknanya dengan tindakan meletakkan di meja kredens atau menaruh di laci ambo. kenapa rupanya kalau Evangeliarum tetap berada di atas ambo.? Kalau tetap berada di ambo, saya sudah memaknainya seperti yang sudah saya katakan sebelumnya di atas.

Thomas Rudy

ngak ada yg salah sih kalau dia diletakkan di ambo saja saya setuju saja tapi bukan memuttlakkan krn rubrik diam disini, cuma tadi statement (mas/romo/pak/ibu) menunjukkan bahwa kalau tidak taruh di ambo berarti kurang hormat (coba deh disi…tu admin mengatakan: tuhan udah yah kami mau liturgi ekaristi slahkan pindah ke kredens dst2), padahal pumr sendiri diam dan tdk memberikan clue apapun pada misa tanpa diakon….mungkin juga dlm misa dgn diakon kenapa diletakkan di meja samping aka kredens karena kristus hadir dlm sabdaNya ketika dimaklumkan, ketika pemakluman (pembacaan) selesai, maka simbolisasi ini juga selesai….evangeliarium sayonara………ketika liturgi ekaristi maka semua fokus beralih pada yesus yg hadir scr sakramental, jd ndak ada lagi “pengalih perhatian” pada kehadiran yesus scr sakramental, makanya evangeliarium sayonara n diletakkan di kredens
  • Agus Syawal Yudhistira

    Sepertinya karena Evangeliarium menjadi titik puncak dan pusat dari perayaan Liturgi Sabda. Tetapi bukan titik puncak dari perayaan Liturgi Ekaristi, sedemikian untuk menggariskan bahwa sabda yang tadi dibaca menjelma, “inkarnasi” dalam dag…ing dan darah, penghormatan terhadap Evangeliarium dipindahkan kepada Ekaristi.
    Agaknya ini masuk akal, itu sebabnya Evangeliarium tidak dibawa dalam prosesi keluar. Karena Sabda sudah menjadi Daging dan sudah diterima oleh umat.

    Karena itu dalam “Ordo Lectionum Missae” no 10, dikatakan bahwa pewartaan sabda dan Ekaristi sama-sama dihormati namun tidak disembah secara sama.

    Atas alasan ini PUMR menyebutkan meja Kredens sebagai tempat terhormat meletakkan Evangeliarium. Pastinya ini tempat terhormat, jika tidak kita punya risiko menginterpretasikan bahwa dalam Misa dengan Diakon, dan peletakan di Kredens atau kembali ke sakristi seperti dalam Misa bersama Paus, tingkat hormat yang diberikan kepada Evangeliarium lebih rendah daripada yang dibiarkan tetap berada di Ambo.

    Mohon maaf atas panjangnya thread ini. Ketika saya menanyakan pertanyaan di awal, saya belum mendapat informasi lanjutan. Tapi tidak lama berselang saya menemukan artikel Romo McNamara, yang menjawab apa yang saya tanyakan.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA kenapa repot² harus diletakkan di kredens? atau dipulangkan ke sakristi? apa yang salah kalau Evangeliarum tiu tetap di ambo?

Thomas Rudy

‎@admin dan Agus Syawal: thanks saya dapat pencerahan, memang benar kesatuan antara sabda dan ekaristi tidak terpisahkan

bahwa kehadiranNya itu akan terus konstan, “Sabda telah menjadi daging”, Firman Allah yang dimaklumkan di ambo dan dari …Evangeliarum menjadi Tubuh dan Darah Kristus di altar (lit. Ekaristi). –> pinjam kutipan admin yah……….Maka Verbum Domini sudah menggambarkan dengan jelas betapa eratnya sabda dan ekaristi

maka adalah tepat penempatan di Kredens (kredens yg sama dgn alat-misa). kenapa? karena di kredens itulah peralihan dimana sang sabda (dilambangkan dengan buku) dipersiapkan untuk dikurbankan.

Meja Kredens pada misa Paulus VI lebih memerankan peran penting dimana piala lengkap dgn patena berada disana, ampul dll semua berada disana… penempatan Evangeliarium Kredens mendukung simbolisasi sabda menjadi manusia dan kemudian dikurbankan

sehingga [menurut saya] tidak timbul gagasan salah ada “dua matahari” tapi hanya ada 1 matahari. (Yesus dalam sabda dan YEsus dalam Ekaristi dua-duanya hadir, padahal dalam ekaristi kehadiran itu bersifat kontinuum, berkelanjutan bukan berdua2an bersaing2an).

saya kemudian membaca buku Ceremonies Modern ROman Rite (no. 263), pada misa tanpa diakon disitu dikatakan bahwa Evangeliarium diletakkan dibawa laci ambo atau diberikan pada server (misdinar) untuk diletakkan di kredens (Nah, pernyataan saya ditaruh dilaci ambo, dasarnya dari sini selain ada masukan dari salah satu pastor di KWI)

Saya tergoda untuk membaca buku The Celebration of Mass (rubrik misa tridentine), dimana memang sudah dari jaman dahulu Evangeliarium itu diletakkan di kreden.

jadi memang akhirnya ke-diam-an (dan ambiguitas) rubrik mempersilahkan imam/MC mengatur apakah tetap di Ambo atau dipindah ke kredens no problemo

terima kasih juga link-nya, cukup sangat membantu…saya membaca seperti cara @agus membaca hehehe…

justru diskusi ini memperteguh saya malahan agar evangeliarium itu baik pada misa dengan diakon atau tanpa diakon tetap diletakkan di kredens….(tapi sayang saya bukan imam hahahaha)

nah setelah kita berkomuni menyambut sabda yang menjelma itu… maka itulah kenapa Evangeliarium tidak ikut dalam perarakan pulang karena sudah disantap…

PENCERAHAN dari SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Pada perarakan masuk Evangeliarium dibawa oleh Diakon (atau oleh Lektor bila tidak ada Diakon) dan setibanya di panti imam Diakon/Lektor yang membawa Evangeliarium ini langsung meletakkannya di atas meja altar. Dalam hal ini Diakon/Lektor berjalan di depan atau di samping Imam selebran.Pada saat Bait Pengantar Injil, Evangeliarium yang diletakkan di atas meja altar ini diarak oleh Imam atau Diakon pembaca Injil menuju mimbar sabda.

Setelah pembacaan Injil, Evangeliarium diletakkan di meja kredens atau tempat lain yang anggun dan serasi, dan tidak dikembalikan ke meja altar.

-OL-

Rencananya di kami akan dibawa oleh prodiakon, ketika misa mingguan. Besok sabtu nih perdananya. Pada saat Paskah masih ada frater2. Lektor di tempat kami lebih banyak para remaja putri alias lektris. Mungkin utk alasan kepantasan saja, maka prodiakon yg membawa pada perarakan masuk. Setelah di altar maka Imam yg akan membawanya ke mimbar sabda. Mohon masukan.

PENCERAHAN dari Pastor Albertus Widya Rahmadi Putra

Jika tidak ada diakon … ” lektor DAPAT membawa Evangeliarum ” Cermati saja kata “dapat”… bukan berati “HARUS” khan? 🙂 Dengan kata lain tidak masalah bila dibawa oleh asisten imam atau prodiakon.. toh nantinya yang membaca Injil tetap imam..

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda, 4. Buku Liturgi | Leave a Comment »

PENGGUNAAN BUKU EVANGELIARIUM (DNG VIDEO)

Posted by liturgiekaristi on April 20, 2011


Dikutip dari buku Evangeliarium

PENGGUNAAN BUKU

EVANGELIARIUM

 

 

 

A.        Penggunaan Umum

1.                   Dalam Perayaan Ekaristi kudus Evangeliarium atau Kitab Injil digunakan pada beberapa bagian, dengan berbagai cara:

a.                  Evangeliarium, bukan Buku Bacaan (Lectionarium), sebelum Misa atau Perayaan Ekaristi dimulai dapat diletakkan pada bagian tengah altar dalam keadaan tertutup, kecuali kalau buku itu dibawa dalam perarakan masuk (PUMR 117).

b.                  Dalam perarakan masuk Evangeliarium dibawa oleh Diakon (atau oleh Lektor dalam Misa tanpa Diakon) dengan cara sedikit diangkat dan dalam keadaan tertutup, lalu diletakkan di atas altar (PUMR 119, 120d, 122). Diakon pembawa Evangeliarium berjalan di depan atau di samping Imam Selebran (PUMR 172). Setibanya di altar, Diakon pembawa Evangeliarium tidak ikut memberi penghormatan kepada altar, tetapi langsung menuju altar untuk meletakkan Evangeliarium di atas altar. Sesudah itu, bersama dengan Imam, Diakon mencium altar.

Jika yang bertugas membawa Evangeliarium adalah Lektor karena ketiadaan Diakon, maka ia tidak mencium altar, tetapi langsung meletakkannya di atas altar, dan kemudian menuju ke tempat duduk yang tersedia untuknya. Evangeliarium yang tertutup itu berada pada bagian tengah altar sampai dengan sebelum pemakluman Injil (bdk. PUMR 173, CE 129).

c.                   Sebelum pemakluman Injil, Diakon memohon berkat kepada Imam Selebran dengan cara membungkuk di depannya. Jika tidak ada Diakon petugas pemakluman itu, maka yang bertugas adalah Imam Selebran itu sendiri. Jika tidak ada Diakon petugas dan Imam Selebran yang memimpin adalah seorang Uskup yang didampingi Imam Konselebran, maka salah seorang Imam Konselebran bertugas memaklumkan Injil. Imam petugas itu memohon berkat kepada Uskup yang bertindak sebagai Imam Selebran. Akan tetapi, jika Imam Selebrannya adalah seorang Imam biasa (bukan Uskup), maka Imam Konselebran yang bertugas memaklumkan Injil itu tidak perlu memohon berkat kepada Imam Selebran.

Sesudah diberkati oleh Imam Selebran, Diakon (atau Imam petugas) menuju altar, membungkuk menghormatinya, mengambil Evangeliarium dari altar itu, lalu pergi ke mimbar sambil membawa Evangeliarium yang sedikit diangkat, didahului para putra altar pembawa lilin bernyala dan pedupaan beraroma. Ia mendupai Evangeliarium setelah membuat tanda salib dengan ibu jarinya pada bacaan Injil yang akan dimaklumkan, pada dahi, mulut, dan dadanya. Lalu ia mendupai Evangeliarium itu tiga kali masingmasing dua ayunan: di tengah, di samping kiri, dan di samping kanan (lihat PUMR 175, CE 74). Setelah itu ia membawakan  bacaan Injil dengan cara membacakan atau menyanyikan.

d.                  Di akhir pemakluman Injil, Diakon atau Imam tidak perlu mengangkat Evangeliarium dari mimbar ketika ia menyerukan ”Demikianlah Injil Tuhan” atau seruan serupa.

e.                  Sesudah jawaban Umat ”Terpujilah Kristus”, Diakon mencium Evangeliarium sambil mengucapkan dalam hati ”Semoga karena pewartaan Injil ini dileburlah dosadosa kami”. Kalau yang memimpin Misa adalah seorang Uskup, Diakon membawa Evangeliarium kepada Uskup untuk dicium. Atau Diakon sendiri dapat menciumnya, tanpa membawanya kepada Uskup. Dalam perayaan meriah, kalau dianggap baik, Uskup dapat memberkati Umat dengan Evangeliarium dalam bentuk tanda salib besar.

Sesudah itu Diakon membawa Evangeliarium ke mejasamping (kredens) atau ke tempat lain yang anggun dan serasi, tetapi tidak meletakkannya di atas altar lagi (lihat PUMR 175). Sementara pelayan altar yang mendampingi pemakluman Injil meletakkan perlengkapannya di mejasamping.

f.                    Dalam Ritus Penutup, Evangeliarium tidak perlu dibawa lagi ketika perarakan keluar.

2.                  Dalam Misamisa Ritual atau Misa yang dirayakan dalam kaitan dengan sakramen dan sakramentali (PUMR 372; misalnya: Inisasi, Tahbisan, Pengurapan Orang Sakit, Perkawinan, Pelantikan Pelayan Liturgi, Pemberkatan, Pengikraran Kaul) Evangeliarium ini digunakan sesuai dengan tata cara di atas, kecuali jika ditunjukkan juga penggunaannya yang secara khusus diperlukan dalam Misa Ritual yang bersangkutan, seperti yang beberapa akan disebutkan di bawah ini.

VIDEO INI MEMPERLIHATKAN BUKU EVANGELIARIUM DIBAWA DALAM PERARAKAN, LALU DITARUH DI ATAS MEJA ALTAR (BUKAN DI MIMBAR SABDA  ATAU MEJA LAIN)  :

VIDEO INI MEMPERLIHATKAN PASTOR MENGAMBIL BUKU EVANGELIARIUM DARI ATAS MEJA ALTAR (BUKAN DARI MEJA LAIN), LALU MEMBAWANYA KE MIMBAR SABDA

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda, 4. Buku Liturgi | Leave a Comment »

Tentang CREDO (atau SYAHADAT, atau AKU PERCAYA). Beberapa pencerahan.

Posted by liturgiekaristi on April 7, 2011


Tentang CREDO (atau SYAHADAT, atau AKU PERCAYA). Beberapa pencerahan.

 

1) Kata CREDO (dari bahasa Latin credere = percaya) dipahami secara luas sebagai SYAHADAT. Maka untuk mudahnya dua istilah ini dipandang sinonim. Kedua-duanya itu sama artinya dengan AKU PERCAYA.

 

2) Secara esensial, CREDO itu hanya SATU, yaitu pengakuan iman akan Allah Tritunggal dan akan Gereja serta pokok-pokok ajaran Gereja. Namun, untuk penggunaan dalam liturgi resmi, dikenal DUA macam RUMUSAN/FORMULA yang berlaku resmi sejak abad ke-2 (Credo Apostolorum [=Kredo Para Rasul]) dan sejak abad ke-4 (Credo Nicea-Konstantinopel).

 

3) KREDO PARA RASUL (Credo Apostolorum) sudah mulai dipakai dalam ibadat Gereja, meski masih secara terbatas, sejak abad ke-2. Sedangkan, Rumusan CREDO NICEA-KONSTANTINOPEL dipakai sejak abad ke-4. Persisnya, sejak rumusan ini dihasilkan pada Konsili Nicea I (Mei-Juni 325), dan yang kemudian disempurnakan dalam Konsili Konstantinopel I (Mei-Juni 381).

 

4) CREDO pertama-tama bukanlah NYANYIAN, melainkan FORMULA/RUMUSAN pengakuan iman. Maka seturut ketentuan PUMR 67 (tentang rumusan yang disahkan untuk penggunaan liturgis), HARUS dihindarkan penggunaan rumusan-rumusan lain yang menggantikan RUMUSAN-RESMI CREDO dalam liturgi resmi Gereja.

 

5) Ternyata, norma resmi tersebut mewajibkan umat Katolik mengungkapkan Credo, BUKAN dengan pelbagai rumusan yang bercorak sangat longgar dan terbuka pada interprestasi masing-masing orang, TETAPI dengan FORMULA/RUMUSAN RESMI dari buku liturgi resmi Gereja pula. (Yaaa…. kecuali kalau ada orang yang semaunya berjalan di luar rel). Dan, terkait dengan Perayaan Ekaristi, maka buku liturgis yang resmi yang dimaksud adalah Missale Romanum. Dalam Buku Misale Romanum terbaru (2002) itu terdapat hanya DUA RUMUSAN/FORMULA Credo, yaitu Credo Nicea-Konstantinopel dan Credo Apostolorum. Tidak ada rumusan ketiga, keempat, kelima, dst.

 

6) Maka, harus dibedakan dengan sungguh jelas antara:

[a]        RUMUSAN ‘AKU PERCAYA’ (yang tentu saja boleh juga diberi solmisasinya).

Yang dimaksud pada poin ini misalnya: TPE-Umat hlm. 34-36; PS 374.

[b]        NYANYIAN (yang kebetulan diberi judul) ‘AKU PERCAYA’.

Yang dimaksud dengan poin ini misalnya: MB 226, 227.

Artinya, untuk keperluan liturgi resmi harus dipakai opsi [a]; sedangkan untuk keperluan di luar liturgi resmi, silahkan gunakan opsi [b].

Dengan kata lain, nyanyian yang berjudul “Aku Percaya” tentu baik dan bermutu. Namun, secara normatif-liturgis, nyanyian itu TIDAK BOLEH dibawakan ketika “sesudah-Homili-dan-sebelum-doa-umat” dalam Perayaan Ekaristi. Nyanyian itu TIDAK BOLEH MENGGANTIKAN salah satu dari dua rumusan Credo yang berlaku resmi.

 

7) Penggunaan RUMUSAN CREDO YANG TIDAK RESMI (yaitu rumusan yang BUKAN Credo Nicea-Konstantinopel, juga BUKAN Credo Apostolorum) bisa MENGABURKAN kekayaan iman Gereja. Bukankah lex credendi, lex orandi (arti bebas: apa yang diucapkan dengan mulut harus se-sesuai mungkin dengan apa yang dihayati dalam iman)? Bahkan, penggunaan rumusan-rumusan tak resmi itu dalam Perayaan Ekaristi menghalangi Umat Allah untuk menghayati iman otentik sebagaimana diwariskan Yesus lewat para Rasul.

 

8) Credo merupakan tanggapan yang ditujukan KEPADA SESAMA hadirin. Jadi, coraknya HORISONTAL. Itulah sebabnya Syahadat harus dibawakan dengan SUARA LANTANG DAN PENUH SEMANGAT, seperti orang mengucapkan sumpah. Karena sifat yang demikian, maka terjemahan Indonesia secara tepat memakai kata ‘AKU’ (bukan ‘saya’ [dari kata: sahaya]) PERCAYA.

Agak berbeda dengan DOA. Doa bercorak vertikal, pengucapannya pun tak harus selalu lantang.

Maka, lebih tepat bila setiap ajakan untuk Syahadat disampaikan:’MARILAH KITA MENGUNGKAPKAN SYAHADAT IMAN KITA’.

Rumusan itu, atau yang sejenis itu, kiranya <span>lebih tepat daripada</span>:’marilah kita mendoakan syahadat iman’.

 

9) Dalam Tata Perayaan Ekaristi baru, syahadat iman Rumusan CREDO NICEA-KONSTANTINOPEL (nama lama versi Madah Bakti lama: Syahadat Panjang) ditempatkan pada urutan pertama sebagai PRIORITAS PERTAMA untuk dipakai.

 

10) Apa yang BIASA, belum tentu Benar. Apa yang BENAR, harus dibiasakan.

 

 

 

Semoga bermanfaat

Salam, Zepto-Triffon

Sorong

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

Tentang IBADAH SABDA dan PENGGUNAAN ‘MIMBAR-MINI’.

Posted by liturgiekaristi on April 7, 2011


Tentang IBADAH SABDA dan PENGGUNAAN ‘MIMBAR-MINI’.

 

1) Entah disadari entah tidak disadari, di beberapa tempat cukup sering terjadi KERANCUAN dalam PERAYAAN SABDA dalam lingkup ‘KOMUNITAS BASIS’ tingkat lingkungan, wilayah-rohani, kring atau apapun namanya. Malahan, barangkali kerancuan serupa masih terjadi juga pada tataran ‘STASI’ atau yang sejenisnya. Kerancuan apa? MEMAKAI MEJA (SEMACAM) ALTAR KETIKA MELAKSANAKAN PERAYAAN SABDA.

 

2) Nampaknya ini hanyalah masalah LITURGIS-PRAKTIS: Umat terbiasa menyiapkan meja supaya bisa ditempatkan segala perlengkapan terkait peribadatan itu (antara lain: lilin, salib, kolekte, pengeras suara, buku-buku). Alasan praktis lain: sarana yang tersedia di situ hanya meja yang seperti itu, tidak ada yang lain.

 

3) Namun, sepertinya ada juga hal lain yang cukup mendasar, yaitu DOMINASI-PAHAM.

[a] Perayaan Ekaristi selalu dipandang sebagai ibadah yang paling utama, sedangkan Perayaan Sabda dipahami sebagai ‘minus-malum’ dari Perayaan Ekaristi (Terjemahan bebas pribadi untuk ‘minus-malum’ : tiada rotan akarpun jadi).

[b] Seiring dengan itu, paham klerikalisme juga sedemikian kuat: peribadatan merupakan tugas klerus, ketidakhadiran mereka dilengkapi oleh para awam yang dipandang cakap, pantas dan terpilih.

Kedua paham tersebut [a] dan [b], secara begitu kuat menjiwai Dokumen Directorium de Celebrationibus Dominicalibus Absente Presbytero (Roma, 1988).

[c] Menjadi lebih ‘celaka’ lagi, bahwa ada beberapa awam yang mau-maunya tampil/bertindak seperti atau menyerupai klerus, bahkan ada AWAM WANITA yang berani menyebut diri SUDAH DITAHBISKAN oleh uskup.

 

4) Dalam keseluruhan Perayaan Ekaristi, ALTAR menjadi ‘pusat’. Sedangkan dalam Perayaan Sabda, MIMBAR menjadi ‘pusat’.Dalam Perayaan Sabda, altar hanya boleh digunakan untuk menempatkan sibori, jika otoritas gerejawi setempat mengijinkan penerimaan komuni dalam perayaan tersebut.

 

5) Seturut petunjuk Tata Ruang dalam Ibadah Sabda oleh Komlit KWI, ketika Ibadah Sabda, MIMBAR BOLEH DITEMPATKAN DI TENGAH, DI DEPAN ALTAR (lih. Komlit KWI, ”Perayaan Sabda Hari Minggu dan Hari Raya”, Yogyakarta:Kanisius, 1994, hlm. 422).

 

6) Maka, dalam ibadah sabda di rumah-rumah pada pertemuan kring, lingkungan atau wilayah rohani, apalagi tanpa penerimaan komuni, lebih tepat menggunakan ‘MIMBAR-MINI’, bukan altar-mini.Sedangkan, LILIN dan SALIB ditempatkan pada sebuah tempat lain di depan atau di dekat mimbar-mini tsb sepantasnya sesuai kondisi dan posisi yang tersedia di rumah tersebut.

 

7) Prinsip yang perlu dipegang yaitu: pemimpin ibadah menempati tempat yang harus BISA DIJANGKAU OLEH PANDANGAN SEBAGIAN BESAR hadirin, bila tak memungkinkan SEMUA UMAT.

 

 

Semoga bermanfaat

Salam, Zepto-Triffon

Sorong

Posted in 1. Panti Imam - Altar, 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

PUMR 275A : KAITANNYA DENGAN MENUNDUKKAN KEPALA PADA SAAT DOA “AKU PERCAYA”

Posted by liturgiekaristi on March 16, 2011


‎”Menundukkan kepala dilakukan waktu mengucapkan nama Tritunggal Mahakudus, nama Yesus, nama Santa Perawan Maria, dan nama santo / santa yang diperingati dalam Misa yang bersangkutan.” (PUMR 275a) 

Tata gerak sederhana ini tampaknya tidak banyak dilakukan oleh imam dan umat, padahal dimuat dalam Pedoman Umum Misale Romawi. Tidak ada salahnya kita mulai melakukan sebagai penghormatan pada nama-nama kudus itu.

Sesuai TPE, umat wajib membungkuk khidmat pada kata-kata “yang dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria”.

Lanjutan dari status tentang menundukkan kepala, bisa dilihat di video ini, Bapa Suci menundukkan kepala pada saat mengucapkan nama Iesu Christe. Lihat sekitar menit 2:56 dan 5:43.

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda, q. Video terpilih | Leave a Comment »

PUMR 55 : KAITANNYA DENGAN LITURGI SABDA

Posted by liturgiekaristi on March 16, 2011


“Bacaan-bacaan dari Alkitab dan nyanyian-nyanyian tanggapannya merupakan bagian pokok dari Liturgi Sabda, sedangkan homili, syahadat, dan doa umat memperdalam Liturgi Sabda dan menutupnya. Sebab dalam bacaan, yang diuraikan dalam homili, Allah sendiri bersabda kepada umat-Nya.” (PUMR 55)

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Selengkapnya PUMR 55: 

Bacaan-bacaan dari Alkitab dan nyanyian-nyanyian tanggapannya merupakan bagian pokok dari Liturgi Sabda, sedangkan homili, syahadat, dan doa umat memperdalam Liturgi Sabda dan menutupnya. Sebab dalam bacaan, yang diuraikan dalam homili, Allah sendiri bersabda kepada umat-Nya. Di situ Allah menyingkapkan misteri penebusan dan keselamatan serta memberikan makna rohani. Lewat sabda-Nya, Kristus sendiri hadir di tengah-tengah umat beriman. Sabda Allah itu diresapkan oleh umat dalam keheningan dan nyanyian, dan diimani dalam syahadat. Setelah dikuatkan dengan sabda, umat memanjatkan permohonan-permohonan dalam doa umat untuk keperluan seluruh Gereja dan keselamatan seluruh dunia.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Gereja mengajarkan bahwa dalam Liturgi Sabda, Allah sendiri yang bersabda kepada umat-Nya. Gereja tidak mengatakan “dalam Liturgi Sabda Lektor, Diakon atau Imam membacakan Sabda Allah” melainkan “dalam bacaan, yang diuraikan dalam homili, Allah sendiri bersabda kepada umat-Nya.” 

Maka penting bagi umat untuk MENDENGARKAN Allah yang bersabda, dan tidak memalingkan muka dan pikiran ke teks misa dan lain hal ketika Ia sendiri bersabda

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

PUMR 56 : KAITANNYA DENGAN SAAT HENING SELAMA LITURGI SABDA

Posted by liturgiekaristi on March 16, 2011


“Selama Liturgi Sabda, Sangat cocok disisipkan saat hening sejenak, tergantung pada besarnya jemaat yang berhimpun. Saat hening ini merupakan kesempatan bagi umat untuk meresapkan sabda Allah, dengan dukungan Roh Kudus, dan untuk menyiapkan jawaban dalam bentuk doa. Saat hening sangat tepat dilaksanakan sesudah bacaan pertama, sesudah bacaan kedua, dan sesudah homili.” (PUMR 56)

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Selengkapnya PUMR 56 : 

Liturgi Sabda haruslah dilaksanakan sedemikian rupa sehingga mendorong umat untuk merenung. Oleh karena itu, setiap bentuk ketergesa-gesaan yang dapat mengganggu permenungan harus sungguh dihindari. Selama Liturgi Sabda, Sangat cocok disisipkan saat hening sejenak, tergantung pada besarnya jemaat yang berhimpun. Saat hening ini merupakan kesempatan bagi umat untuk meresapkan sabda Allah, dengan dukungan Roh Kudus, dan untuk menyiapkan jawaban dalam bentuk doa. Saat hening sangat tepat dilaksanakan sesudah bacaan pertama, sesudah bacaan kedua, dan sesudah homili.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Saat hening sungguh merupakan bagian dari ibadat. Saat hening di sini diperlukan untuk meresapkan bacaan, atau untuk membiarkan satu kata atau satu kalimat bergema terus dalam hati. Inilah saat hening bersama: pelayan ibadat dan semua anggota jemaat yang lain harus berhening. Tak seorang pun boleh sibuk dengan musik, buku atau kertas (misalnya mencari-cari teks nyanyian mazmur) atau mencarikan tempat duduk untuk orang yang datang terlambat. Harus diusahakan agar lamanya saat hening selalu sama, sehingga umat tidak merasa gelisah.


Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

PUMR 57 : KAITANNYA DENGAN BACAAN ALKITAB (SABDA ALLAH)

Posted by liturgiekaristi on March 16, 2011


“Dalam bacaan-bacaan dari Alkitab, sabda Allah dihidangkan kepada umat beriman, dan khazanah harta Alkitab dibuka bagi mereka. Maka, kaidah penataan bacaan Alkitab hendaknya dipatuhi, agar tampak jelas kesatuan Perjanjian Lama – Perjanjian Baru dengan sejarah keselamatan. Tidak diizinkan mengganti bacaan dan mazmur tanggapan, yang berisi Sabda Allah, dengan teks-teks lain yang bukan dari Alkitab.” (PUMR 57)

9,122 Impressions Raw number of times this story has been seen on your Wall and in the News Feed of your Fans

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

PUMR 58 & 59 : 

58. Dalam Misa umat, bacaan-bacaan selalu dimaklumkan dari mimbar.

59. Menurut tradisi, pembacaan itu bukanlah tugas pemimpin perayaan, melainkan tugas pelayan yang terkait. Oleh karena itu, bacaan-bacaan hendaknya dibawakan oleh lektor, sedangkan Injil dimaklumkan oleh diakon atau imam lain yang tidak memimpin perayaan. Akan tetapi, kalau tidak ada diakon atau imam lain, maka Injil dimaklumkan oleh imam selebran sendiri. Juga kalau lektor tidak hadir, bacaan-bacaan sebelum Injil pun dapat dibawakan oleh imam selebran sendiri.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Bacaan Pertama biasanya diambil dari Alkitab Perjanjian Lama, dan biasanya mempunyai hubungan (tematis) dengan Injil hari yang bersangkutan. Untuk menangkap hubungan bacaan pertama dan Injil, dan untuk menghayati bacaan dengan tepat, lektor… – dalam persiapannya – juga harus membaca Injil. Bacaan pertama dibawakan oleh lektor. Tugas umat di sini adalah mendengarkan; “umat wajib mendengarkannya dengan penuh hormat.” 

Selama masa liturgi khusus, bacaan kedua dipilih sedemikian rupa sehingga memiliki kaitan tematis dengan bacaan pertama dan Injil. Selama masa biasa dibacakan surat-surat rasul secara bersambung dari pekan ke pekan; di sini bacaan kedua tidak selalu memiliki hubungan tematis dengan bacaan pertama dan Injil. Kenyataan bahwa bacaan kedua mempunyai alur sendiri juga memberi petunjuk bahwa sebaiknya bacaan ini dibawakan oleh lektor yang berbeda dari lektor yang membawakan bacaan pertama.

Saat hening kedua ini diperlukan tidak hanya untuk merenung, tetapi juga untuk menyiapkan suasana agar aklamasi dan pembacaan Injil tampil dengan kuat. Kontras ini sangat penting.

PERTANYAAN Yanti Tandiari

Kalo mazmurx ada 4 ayat apa bisa gak dinyayikan semua?????

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

@Yanti Tandiari: Jika tidak terkendala masalah waktu, sebaiknya dinyanyikan semua.

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

PUMR 61 : KAITANNYA DENGAN MAZMUR TANGGAPAN

Posted by liturgiekaristi on March 16, 2011


“Sesudah bacaan pertama menyusul mazmur tanggapan, yang merupakan unsur pokok dalam Liturgi Sabda. Mazmur tanggapan memiliki makna liturgis serta pastoral yang penting karena menopang permenungan atas sabda Allah.

Mazmur tanggapan hendaknya sesuai dengan bacaan yang bersangkutan, dan biasanya diambil dari Buku Bacaan Misa (lectionarium).” (PUMR 61)

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Selengkapnya PUMR 61 : 

Sesudah bacaan pertama menyusul mazmur tanggapan, yang merupakan unsur pokok dalam Liturgi Sabda. Mazmur tanggapan memiliki makna liturgis serta pastoral yang penting karena menopang permenungan atas sabda Allah.

Mazmur… tanggapan hendaknya sesuai dengan bacaan yang bersangkutan, dan biasanya diambil dari Buku Bacaan Misa ( lectionarium ).

Dianjurkan bahwa mazmur tanggapan dilagukan, Sekurang-kurangnya bagian ulangan yang dibawakan oleh umat. Pemazmur melagukan ayat-ayat mazmur dari mimbar atau tempat lain yang cocok. Seluruh jemaat tetap duduk dan mendengarkan; dan sesuai ketentuan, umat ambil bagian dengan melagukan ulangan, kecuali kalau seluruh mazmur dilagukan sebagai satu nyanyian utuh tanpa ulangan. Akan tetapi, untuk memudahkan umat berpartisipasi dalam mazmur tanggapan, disediakan juga sejumlah mazmur dengan ulangan yang dapat di pakai pada masa liturgi atau pesta orang kudus. Bila dilagukan, mazmur tersebut dapat dipergunakan sebagai pengganti teks yang tersedia dalam Buku Bacaan Misa ( Lectionarium ). Kalau tidak dilagukan, hendaknya mazmur tanggapan didaras sedemikian rupa sehingga membantu permenungan sabda Allah.

Mazmur yang ditentukan dalam Buku Bacaan Misa dapat juga diganti dengan mazmur berikut: graduale yang diambil dari buku Graduale Romanum, atau mazmur tanggapan atau mzmur alleluya yang diambil dari buku Graduale Simplex dalam bentuk seperti yang tersaji dalam buku-buku tersebut.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Mazmur Tanggapan mempunyai makna liturgis dan pastoral yang penting, sebab “merupakan unsur pokok dalam liturgi sabda,” dan “menopang perenungan atas sabda Allah.” Oleh karena itu, para beriman perlu diajar dengan tekun, bagaimana menangkap… firman Allah yang berbicara lewat mazmur-mazmur, dan bagaimana mengolahnya menjadi doa Gereja. 

Pengarahan-pengarahan singkat dapat membantu menjelaskan mengapa mazmur dan ayat ulangannya dipilih untuk menanggapi bacaan-bacaan yang bersangkutan.

Maksud mazmur tanggapan adalah menanggapi sabda Tuhan! Dan tanggapan ini bukan dengan sembarang kata, tetapi dengan kata-kata Alkitab, yang telah dipilih secara seksama oleh para ahli liturgi.

Struktur Mazmur Tanggapan terdiri dari ulangan dan ayat:setiap mazmur tanggapan memiliki ulangan dengan lebih kurang 3 bait ayat-ayat mazmur. Maksud yang terkandung di balik bentuk ini antara lain:

* Ulangan dimaksudkan sebagai kunci penafsiran atau sebagai amanat inti dari bacaan yang baru saja didengar.

* Ulangan memungkinkan umat mengambil bagian secara aktif dalam permohonan, pujian, renungan, dan lain-lain, sebagai tanggapan terhadap firman Allah.

* Ayat/bait-bait bermaksud memperdalam amanat pewartaan.

* Dialog antara ayat – ulangan, antara pemazmur – umat, antara pewarta dan penerima sabda, menggambarkan dialog antara Allah dan umat-Nya.

Cara membawakan : Mazmur Tanggapan muncul dari suasana hening, bukan sebagai interupsi yang mendadak. Mazmur ini mengalir dari keheningan tanpa keributan atau pun pengumuman. Itulah sebabnya ulangan sebaiknya dihafal. Saat ini bukan saat untuk memegang buku atau membalik-balik kertas.

Pemazmur memainkan peranan kunci dalam membawakan mazmur tanggapan. Oleh karena itu, dia harus memahami sungguh-sungguh fungsi mazmur tanggapan dan menguasai teknik-teknik membawakannya, antara lain :

1. Ulangan: Pemazmur harus mampu mengangkat ulangan dengan mantap dan meyakinkan, sehingga umat pun dapat serempak mengulanginya.
2. Ayat-ayat: Ayat-ayat mazmur mengungkapkan inti tanggapan kita terhadap sabda Allah. Maka harus dibawakan dengan tepat. Ada beberapa kemungkinan :

a. Dilagukan sesuai dengan pola lagu yang disediakan dalam mazmur yang bersangkutan. Untuk ini pemazmur harus mempersiapkan diri dengan baik: mengenal pola lagu, berlatih menjiwai. Dan cara membawakan ayat-ayat itu harus cukup lancar, mengalir, tidak terlalu lambat atau patah-patah, tetapi sekaligus harus menjaga arrtikulasi supaya jelas.

b. Dibacakan. Kalau pemazmur tidak pandai menyanyi atau tidak siap, paling tidak ulangan dapat dinyanyikan sedang ayat-ayat didaras/dibacakan, dan sesudah tiap-tiap ayat umat menyanyikan ulangan. Atau, kalau pemazmur sama sekali tidak mampu menyanyi, seluruh mazmur tanggapan (ulangan dan ayat-ayatnya) dapat juga dibacakan biasa. Tetapi harus dicamkan bahwa kalau dinyanyikan, mazmur tanggapan lebih mampu membantu meresapkan amanat bacaan pertama lewat mendengarkan lagu meditatif.

3. Suasana dan penjiwaan: Sebagai tanggapan atas sabda Allah, mazmur tanggapan sangat bercariasi jiwa dan suasananya: gembira, pujian, syukur, gagah, agung/megah, susah, merana, merintih, tenang (doa, renungan), dan lain-lain. 

Semua ini harus mendapat perhatian dari pemazmur, agar ia dapat membawakan ayat-ayat mazmur tanggapan dengan suasana dan penjiwaan yang tepat

Umat hendaknya mengikuti gaya, penjiwaan, tempo, dinamika yang ditunjukkan oleh pemazmur.

Tempat pemazmur atau solis yang membawakan ayat-ayat mazmur ialah di mimbar atau di tempat lain yang pantas. Umat mendengarkan sambil duduk. Sedapat mungkin umat berpartisipasi dengan menyanyikan ulangan, kecuali kalau yang dinyanyikan itu hanya mazmur saja tanpa ulangan.

Bila mazmur tanggapan tidak dinyanyikan, hendaknya dibawakan dengan cara yang paling cocok untuk merenungkan firman Allah.

Bagaimana jika mazmur tanggapan digantikan dgn lagu2 yg sesuai dengan bacaan. biasanya lirik lagu juga diambil dari mazmur. apa masih liturgis?
Untuk menjawab pertanyaan “Apakah boleh mengganti mazmur tanggapan?”, perhatikan kutipan PUMR berikut : 

“Mazmur yang ditentukan dalam Buku Bacaan Misa dapat juga diganti dengan mazmur berikut: graduale yang diambil dari buku Graduale Romanum…, atau mazmur tanggapan atau mzmur alleluya yang diambil dari buku Graduale Simplex dalam bentuk seperti yang tersaji dalam buku-buku tersebut.” (PUMR 61)

Salah satu alternatif selain yang sudah ada di Buku Bacaan Misa adalah nyanyian yang diambil dari Graduale Romanum dan Graduale Simplex.
====================
“Tidak diizinkan mengganti bacaan dan mazmur tanggapan, yang berisi Sabda Allah, dengan teks-teks lain yang bukan dari Alkitab.” (PUMR 57)

Ada kalangan yang menafsirkan PUMR ini dengan arti boleh mengganti mazmur tanggapan asal teks lagu lain itu tetap bersumber dari Alkitab.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Cara mencari mazmur tanggapan untuk misa selain hari Minggu dan hari raya adalah sebagai berikut : 

1. Lihat di Kalender Liturgi, mazmur berapa yang dipakai. Misalnya pada peringatan wajib St. Agata pada hari Sabtu yang lalu, di kalender litu…rgi tercantum Mazmur tanggapan diambil dari Mzm. 23:1-3a,3b-4,5,6.

2. Kemudian buka Buku Mazmur Tanggapan dan Alleluya, di bagian depan (atau belakang? maaf lupa) ada daftar yang berisikan indeks berdasar bab Mazmur. Cari Mazmur 23 akan ketemu halaman mazmur tersebut. Kadang satu bab mazmur memiliki pilihan lagu, maka perlu juga memperhatikan ayat berapa saja yang dipakai.

3. Kalau tidak punya Buku Mazmur Tanggapan dan Alleluya, di Puji Syukur juga terdapat beberapa nyanyian Mazmur Tanggapan lengkap dengan ayat-ayatnya untuk berbagai keperluan. Misalnya :
-PS 568 Utuslah RohMu, Ya Tuhan (Mazmur 104)
-PS 587 Tangan Kanan Tuhan (Mazmur 118)
-PS 602 Ya Tuhanku, Hapuslah Dosaku (Mazmur 51)
-PS 610 Hendaklah Kita Saling Mengasihi (Mazmur 15)
-PS 646 Tuhanlah Gembalaku (Mazmur 23)
-PS 687 Berbahagialah (Mazmur 84)
-PS 717 Tuhan, PadaMu Ku Berserah (Mazmur 130)

Semoga membantu.

-OL-

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

PUMR 62 : KAITANNYA DENGAN AKLAMASI (BAIT PENGANTAR INJIL)

Posted by liturgiekaristi on March 16, 2011


“Sesudah bacaan yang langsung mendahului Injil, dilagukan bait pengantar Injil, dengan atau tanpa alleluya, …. Aklamasi ini merupakan ritus atau kegiatan tersendiri. Dengan Aklamasi ini jemaat beriman menyambut dan menyapa Tuhan yang siap bersabda kepada mereka dalam Injil, dan sekaligus menyatakan iman. Seluruh jemaat berdiri dan melagukan bait pengantar Injil, dipandu oleh paduan suara atau solis.” (PUMR 62)

9,282 Impressions Raw number of times this story has been seen on your Wall and in the News Feed of your Fans

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Selengkapnya PUMR 62 dan 63 : 

62. Sesudah bacaan yang langsung mendahului Injil, dilagukan bait pengantar Injil, dengan atau tanpa alleluya, seturut ketentuan rubrik, dan sesuai dengan masa liturgi yang sedang berlangsung. Aklamasi ini merup…akan ritus atau kegiatan tersendiri. Dengan Aklamasi ini jemaat beriman menyambut dan menyapa Tuhan yang siap bersabda kepada mereka dalam Injil, dan sekaligus menyatakan iman. Seluruh jemaat berdiri dan melagukan bait pengantar Injil, dipandu oleh paduan suara atau solis.

a. Di luar Masa Prapaskah, dilagukan bait pengantar Injil dengan alleluya. Ayat-ayat diambil dari Buku Bacaan Misa atau dari Buku Graduale.

b. Dalam Masa Prapaskah, dilagukan bait pengantar Injil tanpa alleluya sebagaimana ditentukan dalam Buku Bacaan Misa. Dapat juga dilagukan mazmur lain atau tractus sebagaimana tersaji dalam Graduale.

63. Jika sebelum Injil hanya ada satu bacaan, hendaknya diperhatikan hal-hal berikut :

a. Di luar Masa Prapaskah, sesudah bacaan pertama dapat dilagukan nyanyian mazmur alleluya atau mazmur tanggapan disusul bait pengantar Injil dengan alleluya.

b. Dalam masa Prapaskah, sesudah bacaan pertama dapat dilagukan mazmur tanggapan dan bait pengantar Injil tanpa alleluya atau mazmur tanggapan saja.

c. Kalau tidak dilagukan, bait pengantar Injil dengan atau tanpa alleluya dapat dihilangkan.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Aklamasi Sebelum Injil 

Aklamasi adalah pekik cukacita dari seluruh jemaat. Aklamasi ini penting karena membuat pemakluman Injil lebih menonjol. Hendaknya umat menghafal aklamasi-aklamasi supaya dapat melagukannya secara spontan. Hanya dengan… intro pendek dari organ, atau awalan singkat dari solis, setiap orang harus dapat menyahut alleluya dengan mantap, tanpa harus membaca pada buku. Di sini aklamasi mencakup juga perarakan meriah dengan buku Injil, diiringi lilin atau pedupaan menuju mimbar, dan juga berdirinya jemaat serta semua pelayan.

Struktur – Aklamasi sebelum Injil memilik struktur: ulangan -> ayat singkat -> ulangan. Ulangan pada umumnya adalah ‘alleluya (PS 951 – 964, 967), kecuali selama Masa Prapaskah (PS 965-966).

Cara – Aklamasi sebelum Injil itu harus dinyanyikan, bukan hanya oleh solis yang mengangkatnya atau oleh paduan suara, melainkan oleh seluruh umat yang menyanyi sehati sesuara sambil berdiri.

Solis mengangkat ulangan dengan meriah, kemudian – dengan mengikuti penghayatan, dinamika, tempo solis – umat melagukan ulangan. Lalu solis membawakan ayat singkat. Dan kembali, umat melagukan ulangan. Kalau solis menyanyi dari mimbar, begitu selesai melagukan ayat, ia harus segera meninggalkan mimbar supaya diakon/imam yang akan membawakan Injil dapat segera pergi ke mimbar sementara umat menyanyikan ulangan terakhir. Hendaklah sungguh diusahakan, jangan sampai pewarta Injil baru berjalan ke mimbar sesudah aklamasi sebelum Injil selesai.

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

PUMR 60: KAITANNYA DENGAN PEMBACAAN INJIL

Posted by liturgiekaristi on March 16, 2011


“Pembacaan Injil merupakan puncak Liturgi Sabda. Liturgi sendiri mengajarkan bahwa pemakluman Injil harus dilaksanakan dengan cara yang sangat hormat. Ini jelas dari aturan liturgi, sebab bacaan Injil lebih mulia daripada bacaan-bacaan lain. ” (PUMR 60)

11,686 Impressions Raw number of times this story has been seen on your Wall and in the News Feed of your Fans ·

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Selengkapnya PUMR 60 : 

“Pembacaan Injil merupakan puncak Liturgi Sabda. Liturgi sendiri mengajarkan bahwa pemakluman Injil harus dilaksanakan dengan cara yang sangat hormat. Ini jelas dari aturan liturgi, sebab bacaan Injil lebih mulia daripada bacaan-bacaan lain. Penghormatan itu diungkapkan sebagai berikut :

(1) diakon yang ditugaskan memaklumkan Injil mempersiapkan diri dengan berdoa atau minta berkat kepada imam selebran;
(2) umat beriman, lewat aklamasi-aklamasi, mengakui dan mengimani kehadiran Kristus yang bersabda kepada umat dalam pembacaan Injil; selain itu umat berdiri selama mendengarkan Injil;
(3) Kitab Injil sendiri diberi penghormatan yang sangat khusus.”

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Injil 

Pewartaan Injil merupakan puncak dari Liturgi Sabda. Untuk menunjukkan kepuncakan ini, liturgi merakit tatacara yang semarak di sekitar Injil yang menyangkut sikap tubuh, tata gerak, musik:

* Aklamasi sebelum Injil (dilagukan)

* Salam pembukaan untuk mengawali pewartaan (dilagukan)

* Perarakan Kitab Injil (Evangeliarium)

* Pendupaan, lilin

* Jemaat berdiri

* Tanda salib (imam pada buku injil; umat pada dahi, bibir, dada)

* Aklamasi sesudah Injil (dilagukan) (dalam Ritus Bizantin dan dalam liturgi-liturgi kepausan, sesudah pewartaan Injil pemimpin memberkati jemaat dengan buku Injil).

Cara – Pembacaan Injil dimulai dengan salam dari diakon atau pemimpin dan pemakluman serta tanggapan meriah, disertai kebiasaan membuat tanda salib pada dahi, bibir, dan dada. Sesudah pembacaan Injil, ada aklamasi yang dapat disertai tatagerak mengangkat buku Injil.

Aklamasi Sesudah Injil

TPE menyarankan beberapa rumus alternatif untuk “Demikianlah sabda Tuhan – Terpujilah Kristus”. Lihat PS 242. Tidak jarang pewarta membuat kesalahan dengan mengucapkan/melagukan dua aklamasi sesudah Injil.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Makna tanda salib di dahi, mulut, dan dada; menurut Buku TPE Umat halaman 5: 

Tanda Salib dibuat ketika memulai bacaan Injil dengan membuat tanda salib pada dahi, mulut, dan dada, untuk mengungkapkan hasrat agar budi diterangi, mulut disanggupkan untuk mewartakan, dan hati diresapi oleh Sabda Tuhan.

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

PUMR 65 : KAITANNYA DENGAN HOMILI

Posted by liturgiekaristi on March 16, 2011


‎”Homili merupakan bagian liturgi dan sangat dianjurkan, Sebab homili itu penting untuk memupuk semangat hidup kristen. Homili itu haruslah merupakan penjelasan tentang bacaan dari Alkitab, ataupun penjelasan tentang teks lain yang diambil dari ordinarium atau proprium Misa hari itu, yang bertalian dengan misteri yang dirayakan, atau yang bersangkutan dengan keperluan khusus umat yang hadir.” (PUMR 65)

12,871 Impressions Raw number of times this story has been seen on your Wall and in the News Feed of your Fans

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

PUMR 66 : 

“Pada umumnya yang memberikan homili ialah imam pemimpin perayaan. Ia dapat menyerahkan tugas ini kepada salah seorang imam konselebran, atau kadang-kadang, tergantung situasi, kepada diakon, tetapi tidak pernah kepada seorang awam….
Dalam kesempatan-kesempatan tertentu atau karena alasan khusus, tugas homili bahkan dapat diberikan kepada seorang uskup atau imam yang hadir dalam perayaan Ekaristi teteapi tidak ikut berkonselebrasi.

Pada hari Minggu dan pesta-pesta wajib homili harus diadakan dalam semua Misa yang dihadiri oleh umat, dan hanya boleh ditiadakan kalau ada alasan berat. Sangat dianjurkan, supaya homili juga diberikan pada hari-hari lain, terutama pada hari-hari biasa dalam Masa Adven, Prapaskah, dan Paskah. Begitu pula pada pesta dan kesempatan-kesempatan lainnya yang dirayakan dengan dihadiri oleh banyak umat.

Sangat tepat kalau sesudah homili diadakan saat hening sejenak.”

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Homili bukanlah saat selingan, tetapi benar-benar bagian ibadat seperti bagian-bagian yang lain. Homili adalah bagian liturgi dan sangat dianjurkan, sebab homili itu penting untuk memupuk semangat hidup kristen. Homili pada dasarnya adalah penjelasan tentang bacaan dari alkitab, atau pun penjelasan tentang teks lain yang diambil dari perayaan Ekaristi hari yang bersangkutan, yang bertalian dengan misteri yang dirayakan, atau yang bersangkutan dengan keperluan khusus umat yang hadir. Dari pihak jemaat dituntut perhatian, sedangkan dari pihak pengkhotbah dituntut kerja keras dalam mempersiapkan dan menyampaikan homili. 

Salah kaprah – Apakah homili harus diawali dan ditutup dengan tanda salib? Pada awal tahun 70-an hal ini pernah dipertanyakan kepada Kongregasi Ibadat. Jawabnya, “…(tanda salib pada awal homili) ini berasal dari kebiasaan khotbah di luar misa; seyogyanya tidak dilestarikan. Homili adalah bagian utuh dari liturgi; umat sudah membuat tanda salib pada awal perayaan Ekaristi. Maka, lebih baik tidak mengulanginya sebelum dan sesudah homili.

Sekali lagi, ketika pengkhotbah duduk kembali, ada saat hening dan tenang sejenak untuk renungan.

PERTANYAAN Maximillian Reinhart ‎—

Apa perbedaan yg mencolok antara Homili dgn Khotbah?
Dan berapa lama sebaiknya itu dilakukan oleh imam pemimpin PE, dgn Khotbah; pada pertanyaan yg sama, terima kasih.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

‎@Maximillian Reinhart: Sejauh yang saya tahu, homili atau khotbah sama artinya. Hanya dalam penggunaan katanya, ada yang memakai istilah homili untuk misa dan khotbah untuk di luar misa. 

Tentang durasi, posisi, dan norma-norma menyampaikan… homili adalah wewenang Uskup diosesan.

PENCERAHAN DARI PASTOR Zepto-Triffon Triff

Secara sederhana, HOMILI berisi ajaran resmi Gereja bersumber pd Kitab Suci, Tradisi dan Magisterium. Itulah sebabnya maka homili hanya boleh dibawakan oleh pejabat resmi Gereja (diakon, imam, uskup). Konteks homili adalah pertemuan dan ibadah resmi gerejani.
Sedangkan KOTBAH berisi pesan-pesan dan nilai2 Firman Allah, sejauh digali dari KS. Konteks kotbah, tidak selalu dan tidak harus dalam ibadah resmi. Juga, tidak mesti oleh orang tertahbis. Contoh: evangelis.
Semoga ini bisa membantu.

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

PUMR 67 : KAITANNYA DENGAN PERNYATAAN IMAN (SYAHADAT)

Posted by liturgiekaristi on March 16, 2011


“Maksud pernyataan iman atau syahadat dalam perayaan Ekaristi ialah agar seluruh umat yang berhimpun dapat menanggapi sabda Allah yang dimaklumkan dari Alkitab dan dijelaskan dalam homili. Dengan melafalkan kebenaran-kebenaran iman lewat rumus yang disahkan untuk penggunaan liturgis, umat mengingat kembali dan mengakui pokok-pokok misteri iman sebelum mereka merayakannya dalam Liturgi Ekaristi.” (PUMR 67)

PENCERAHAN DARI PASTOR Zepto-Triffon Triff

Satu dua pencerahan tambahan ttg Syahadat/Credo.
1) SYAHADAT mrpk tanggapan yg ditujukan kepada sesama hadirin. Jadi, coraknya horisontal. Itulah sebabnya Syahadat haeus dibawakan dgn suara lantang dan penih semangat. Karena sifat yg demikia…n, maka terjemahan Indonesia secara tepat memakai kata ‘AKU’ bukan ‘saya’ (dari kata: sahaya) PERCAYA.
Agak berbeda dgn DOA. Doa bercorak vertikal, pengucapannya pun tak harus selalu lantang. Maka, lebih tepat bila setiap ajakan untuk Syahadat disampaikan: ‘marilah kita mengungkapkan syahadat iman kita’. Rumusan itu, atau yg sejenis itu, kiranya lebih tepat dariapda: ‘marilah kita mendoakan syahadat iman’.
2) Dalam Tata Perayaan Ekaristi, syahadat iman Rumusan Nicea-Konstantinopel (nama lamanya: ‘syahadat panjang’) ditempatkan pada urutan pertama sebagai prioritas pertama untuk dipakai.
3) Syahadat pertama-tama bukanlah NYANYIAN, melainkan FORMULA/RUMUSAN pengakuan iman. Maka seturut ketentuan PUMR 67 (ttg rumusan yg disahkan untuk penggunaan liturgis), hendaknya dihindarkan penggunaan rumusan-rumusan lain untuk menggantikan rumusan syahadat iman resmi dalam liturgi gereja.
4) Sekedar info, rumusan Syahadat Nicea-Konstantinopel dipakai sejak abad ke-4. Persisnya, sejak Konsili Nicea I (Mei-Juni 325), yg kemudian disempurnakan dalam Konsili Konstantinopel I (Mei-Juni 381). Sedangkan SyahadatPara Rasul (Credo Apostolorum) sudah mulai dipakai dalam ibadat Gereja, meski masih terbatas, sejak abad ke-2.
Semoga bermanfaat.

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

PUMR 69 : KAITANNYA DENGAN DOA UMAT

Posted by liturgiekaristi on March 16, 2011


“Dalam doa umat, jemaat menanggapi sabda Allah yang telah mereka terima dengan penuh iman. Lewat doa umat ini mereka memohon keselamatan semua orang, dan dengan demikian mengamalkan tugas imamat yang mereka peroleh dalam pembaptisan.” (PUMR 69)

10,419 Impressions Raw number of times this story has been seen on your Wall and in the News Feed of your Fans


SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Selengkapnya : 

PUMR 69:
“Dalam doa umat, jemaat menanggapi sabda Allah yang telah mereka terima dengan penuh iman. Lewat doa umat ini mereka memohon keselamatan semua orang, dan dengan demikian mengamalkan tugas imamat yang mereka peroleh dalam pembaptisan. Sungguh baik kalau dalam setiap Misa umat dipanjatkan permohonan-permohonan untuk kepentingan Gereja kudus, untuk para pejabat pemerintah, untuk orang-orang yang sedang menderita, untuk semua orang, dan untuk keselamatan seluruh dunia.”

PUMR 70:
“Pada umumnya urutan ujud-ujud dalam doa umat sebagai berikut :
a. untuk keperluan Gereja;
b. untuk para penguasa negara dan keselamatan seluruh dunia;
c. untuk orang-orang yang sedang menderita karena berbagai kesulitan;
d. untuk umat setempat;

Akan tetapi, ada perayaan khusus seperti misalnya pada perayaan Sakramen Krisma, pernikahan, atau pemakaman, ujud-ujud dapat lebih dikaitkan dengan peristiwa khusus tersebut.”

PUMR 71:
“Imam selebranlah yang memimpin doa umat dari tempat duduknya. Secara singkat ia sendiri membukanya dengan mengajak umat berdoa, dan menutupnya dengan doa. Ujud-ujud yang dimaklumkan hendaknya dipertimbangkan dengan matang, digubah secara bebas tetapi sungguh cermat, singkat, dan mengungkapkan doa seluruh umat.

Menurut ketentuan, ujud-ujud doa umat dibawakan dari mimbar atau tempat lain yang serasi, entah oleh diakon, solis, lektor, entah oleh seorang beriman awam lainnya.

Selama doa umat, jemaat berdiri dan mengungkapkan doa mereka entah lewat permohonan yang diserukan bersama-sama sesudah tiap-tiap ujud, entah dengan berdoa dalam hati.”

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Dengan memanjatkan doa umat, seluruh jemaat menampakkan imamat-umumnya, artinya sebagai “imam” (jemaat=kaum imami), mereka mendoakan semua orang. Sungguh baik kalau dalam perayaan Ekaristi yang dihadiri umat dipanjatkan doa umat. 

Struktur – …Doa umat terdiri dari empat bagian: pembukaan, usulan ujud dan undangan untuk berdoa, permohonan, dan penutup.

1. Pembukaan biasanya berupa ajakan, disampaikan oleh pemimpin, ditujukan kepada jemaat. Pembukaan ini bukanlah suatu doa yang dialamatkan kepada Tuhan.

2. Usulan ujud-ujud dan undangan untuk berdoa. Dari buku petunjuk mengenai doa umat yang dikeluarkan oleh Dewan Pelaksana Konstitusi Liturgi, jelas bahwa usulan ujud dan undangan ini bukan doa. Dalam buku tersebut ditegaskan bahwa undangan itu disebut propositiones intentionum, yang artinya usulan ujud yang harus menjadi inti permohonan jemaat, dan ujud-ujud ini diusulkan oleh pembaca. Buku ini menyajikan tiga bentuk undangan yang sekaligus dirangkai dengan usulan ujud: a) Marilah kita berdoa bagi… supaya…; b) Marilah kita berdoa supaya…; c) Marilah kita berdoa bagi si… Usulan dan undangan ini ditujukan kepada jemaat.

Kesalahan sering terjadi dalam doa umat spontan; di sini kesalahan meliputi rumusan, alamat, dan isi. Rumusan: usulan ujud diubah menjadi doa. Alamat: terjadi kerancuan: ada yang berdoa kepada Bapa, kepada Roh Kudus, kepada Tuhan Yesus, bahkan ada yang kepada Maria. Ada juga yang dalam satu doa tidak konsisten: mula-mula berdoa kepada Bapa, tetapi kemudian beralih kepada Kristus, atau sebaliknya. Isi : Tidak jarang doa umat berubah menjadi doa syukur. Ujud-ujud ini memiliki cakupan yang amat luas, bahkan menyangkur semua pemerintah, orang tertindas, dan bagi umat setempat. Tetapi, dalam hal ini kita tidak perlu terlalu kaku. Dalam situasi khusus, kita dapat menekankan ujud ini atau itu. Misalnya pada pesta Sakramen Krisma atau perkawinan atau dalam misa untuk arwah, kepentingan khusus itu dapat lebih diperhatikan dalam doa umat. Yang diminta Gereja adalah bahwa dalam doa umat ini jemaat harus peduli akan keperluan jemaat yang lebih luas, dan jangan hanya mengurung perhatiannya pada masalah-masalah khusus yang dihadapi jemaat setempat.

3. Permohonan oleh jemaat. Inilah bagian yang sungguh berwujud permohonan atau doa. Rumusannya sangat singkat: Tuhan, kabulkanlah doa kamil Tuhan, dengarkanlah doa kami; Tuhan, kasihanilah kami; dan sebagainya.

Mungkin di sini muncul pertanyaan, “Kita tadi baru saja diajak berdoa, baru mendengar usulan ujud. Memang kita belum berdoa. Permohonan ini mengandaikan kita sudah berdoa sebelumnya!” – Kita jangan membatasi doa pada pengucapan kata-kata. Berdoa adalah mangangkat hati kepada Allah, dengan atau tanpa berkata-kata. Pada saat petugas mengusulkan ujud dan mengajak kita berdoa, kita sudah mengangkat hati kepada Allah dan dalam hati memohon seperti yang diusulkan oleh petugas. Maka sesudah usulan ujud dan ajakan di atas, kita langsung menyerukan permohonan: Tuhan, dengarkanlah kami, dan lain-lain.

4. Penutup yang berbentuk doa singkat sebagai rangkuman atas semua permohonan.

Cara – Doa ini dibuka dengan ajakan singkat oleh pemimpin, disusul litani atau rangkaian ujud yang disampaikan oleh petugas. Menanggapi ajakan petugas, umat berdoa sesuai dengan ujud yang diusulkan petugas dengan berseru: Tuhan, kabulkanlah doa kami, atau rumus yang lain. Akhirnya, pemimpin liturgi merangkum seluruh doa dalam doa penutup yang singkat.

Konsekuensi dari Doa Umat memang tidak harus dalam tindakan nyata, tetapi paling tidak dengan doa itu timbul simpati dan bahkan berusaha terlibat dalam persoalan-persoalan seperti yang kita doakan. Dengan doa itu kita mencoba untuk menyelam…i persoalan-persoalan orang lain. Inilah yang sebenarnya harus dipahami bahwa makna doa terletak pada perbuatannya. Tukang batu yang membangun rumah tidak perlu memejamkan mata lalu mengucap kata-kata. doanya adalah hasil karyanya berupa bangunan yang kokoh dan bagus. 

Yang mengagumkan tentang hakekat doa adalah bahwa Tuhan terbuka untuk menampung segala aspirasi kita, tanpa mempertimbangkan kondisi kita. Apapun yang kita ungkapkan dalam doa, Tuhan tidak tersinggung atau marah. Yesus sendiri yang menyuruh kita untuk mengajukan kebutuhan kita. “Mintalah, maka akan diberikan padamu; carilah, maka kamu akan mendapat; dan ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu”. (Matius 7 : 7)

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

KOTBAH : IMAM MEMBERIKAN HOMILI SAMBIL BERJALAN DI TEMPAT UMAT?

Posted by liturgiekaristi on March 15, 2011


Post 15 Maret 2011

Pertanyaan umat :

sy pernah mengikuti misa hr minggu dimana saat homili pastor nya berkotbah sambil berjalan dlm gereja (memakai perangkat mig wireless) bahkan sampai di barisan bangku paling belakang . Apakah ini diperbolehkan oleh gereja katolik ?

PENCERAHAN OLEH PASTOR ZEPTO

1) PUMR 136: ”Sambil berdiri di dekat tempat duduk [cathedra] atau di mimbar, atau kalau dianggap baik, di tempat lain yang serasi, imam menyampaikan homili…”.

2) PUMR 309: ”Keagungan sabda Allah menuntut agar dalam pewartaan sabda ada… tempat yang serasi untuk pewartaan sabda, yang dengan sendirinya menjadi pusat perhatian umat selama Liturgi Sabda. … Juga homili dan doa umat dapat dibawakan dari mimbar…”.

3) Demi kewibawaan Sabda Allah dan aspek formal dari Homili, maka sepantasnya homili dibawakan dari mimbar sabda (boleh juga dari kursi imam, cathedra). Lagipula, secara praktis tempat itulah yang memungkinkan seluruh umat bisa melihat si pembawa homili. Aspek komunikatif dengan seluruh umat menjadi cukup terjamin. Idealnya demikian.

4) Meskipun, sejauh saya tahu, tak ada penegasan eksplisit dari PUMR ttg boleh-tidaknya homili dibawakan sambil ‘berkeliling’ di sekitar tempat umat, namun hal tsb dapat dipahami, demi alasan2 pastoral tertentu yg dapat dipertanggungjawabkan (sangat kasuistik), dan bukan menjadi kebiasaan/rutinitas.
5) Liturgi bukan hanya bercorak legal-formal, namun juga sepantasnya menyentuh aspek-aspek personal umat yang hadir.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Dari Redemptionis Sacramentum: 

64. Homili yang diberikan dalam rangka perayaan Misa Kudus, dan yang merupakan bagian utuh dari Liturgi itu, pada umumnya akan dibawakan oleh imam yang memimpin Misa itu sendiri, ia boleh menyerahkan tugas itu …kepada seorang imam konselebran atau-tergantung dari situasi sewaktu-waktu kepada seorang Diakon, tetapi tidak pernah kepada seorang awam. dalam situasi khusus dan karena alasan yang wajar, homili pun boleh dibawakan oleh seorang Uskup atau imam yang hadir pada perayaan itu tetapi tidak dapat ikut berkonselebrasi.

65. Perlulah diingat bahwa norma apa pun yang di masa silam menginzinkan orang yang beriman tak tertahbis membawakan homili dalam perayaan Ekaristi, harus dipandang sebagai batal berdasarkan norma kanon 767 ? 1. Praktek ini sudah dibatalkan dan karenanya tidak bisa mendapat pembenaran berdasarkan kebiasaan.

66. Larangan terhadap orang awam untuk berkhotbah dalam Misa, berlaku juga untuk para seminaris, untuk mahasiswa teologi dan untuk orang yang telah diangkat dan dikenal sebagai “asisten pastoral”; tidak boleh ada kekecualian untuk oarang awam lain, atau kelompok, komunitas atau perkumpulan apa pun.

67. Perlulah diperhatikan secara khusus, agar homili itu sungguh berdasarkan misteri-misteri penebusan, dengan menguraikan misteri-misteri iman serta patokan hidup Kristiani, bertitik-tolak dari bacaan-bacaan Kitab Suci serta teks-teks liturgi sepanjang tahun liturgi, dan juga memberi penjelasan tentang bagian umum (Ordinarium) maupun bagian khusus (Proprium) dalam misa ataupun suatu perayaan gerejani lain. Sudah tentu segala interpretsi Kitab Suci harus bertitik-tolak dari Kristus sendiri, sebagai penanggungan seluruh karya keselamatan, sekalipun hal ini hendaknya dibuat di bawah sorotan khusus perayaan liturgi tertentu. Dalam homili yang hendak dibawakan, perlulah diperhatikan agar hidup harian umat disinari terang Kristus, Namun hal ini harus dilakukan demikian rupa sehingga tidak mengaburi sabda Allah yang benar dan tak tergoyangkan, dengan misalnya hanya membahas masalah politik atau pokok-pokok duniawi belaka, atau dengan menimba inspirasi dari aliran-aliran religius semu.

68. Uskup diosesan harus dengan seksama menilik pembawaan homili. Ia pun harus mengumumkan norma-norma serta mengedarkan petunjuk-petunjuk serta bantuan kepada pelayan tertahbis, juga mempromosikan pertemuan-pertemuan dan upaya lain dengan tujuan tsb, sehingga mereka berkesempatan memperhatikan makna sebuah homili dengan lebih saksama serta tertolong dalam mempersiapkan diri untuk itu.

KOMENTAR BP. Sonny Arends

Tepat, setuju sekali …. Gereja Katolik itu bukanlah kawanan orang merdeka (freeman / preman) semuanya serba teratur dan tertata rapih. Dan memang demikianlah seharusnya, apabila menyangkut masyarakat / orang banyak maka ketertiban, kesergaman dan keteratuan harus menjadi hal yang utama dan pertama, bukan sekedar suka – suka atau seenak – enaknya, yang penting “happy”

SARAN UMAT Elisabeth Ratuela

Mudah2an para romo membaca ini: tolong kalau homili jgn menggunakan bhs ilmiah. Kemampuan intelektual toh tdk hrs ditunjukkan oleh tatanan bahasa yg tinggi.
Ingat! yg pntg Maksud dr homili itu sndri ‘nyampe’ ke umat yg terdiri dr brbagai tingkatan intelektual:ibu rmh tga,pengangguran kelas teri,pedagang,para tukang,remaja bhkn ank2 yg br sj menrma kmni prtm dg usia mulai dr 9th.
Bgm mrk mengerti isi homili kl bhsnya sj slt dimngrti.
Mgkn ktb sc dg bhs shr2 sdh tdk diizinkn,tp bskan pembahasnny dh bhs yg mdh

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Memang diskusi tentang homili biasanya lebih banyak kepada persoalan duniawi: pembawaan yang menarik, menyegarkan, tidak membuat ngantuk, diselingi humor. Ketika imam tidak bisa melakukan itu, komentar yang biasanya muncul adalah: homilinya… membosankan, romo perlu banyak berlatih lagi, dll. 

Homili bukanlah hiburan, yang menuntut imam seperti entertainer yang memuaskan hasrat audience. Bila mental ini yang dijaga, ketika entertainernya kurang menarik, audience akan beralih kepada entertainer lain yang lebih menarik. Dalam hal ini adalah mengikuti misa di paroki lain, atau bahkan jajan di gereja lain.

Homili adalah pengajaran. Imam selaku pribadi Kristus yang mengajar. Dan pada akhirnya Kristus sendirilah yang mengajar.

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

MAZMUR TANGGAPAN

Posted by liturgiekaristi on March 15, 2011


Post 15 Maret 2011

Pertanyaan umat:

Sy ada pertanyaan, skrg mazmur tanggapan knp hanya 2 kidung ya? Bukannya sebelumnya ada 3 atau 4 ? Trimakasih sy ucapkan sebelumnya atas jawabannya,,,

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Bacaan-bacaan (termasuk mazmur) yang terdapat dalam misa sudah dipilih secara cermat, jadi tidak ada yang sia-sia. Kalau sudah ditentukan 4 ayat misalnya, tentu keempat ayat itu bermanfaat dan cocok, sehingga kalau dikurangi akan berkurang …pula manfaat rohaninya. 

Tapi tentu tidak bisa mengabaikan pertimbangan pastoral yang sering terjadi di paroki besar dengan gereja kecil, sehingga jam misa menjadi banyak. Kadang selisih antar misa hanya 1,5 jam saja. Kalau sudah seperti itu tentu (walaupun tidak nyaman) misa perlu dipercepat. Dan dicarilah bagian-bagian yang bisa dikurangi atau dipercepat.

Biasanya yang menjadi “korban” adalah Mazmur Tanggapan. Seringkali dalam situasi seperti ini jumlah ayat yang dinyanyikan dikurangi menjadi dua ayat saja.

Namun sebenarnya ada cara lain yang bisa ditempuh untuk mensiasati persoalan waktu ini. Ayat MAzmur Tanggapan tidak selalu harus dinyanyikan, bisa juga dibacakan. Memang kalau dinyanyikan makan waktu sedikit lebih lama.

Jadi Anda bisa usulkan kepada Seksi Liturgi atau Romo Paroki, daripada mengurangi jumlah ayat, lebih baik ayat-ayat itu ditampilkan secara utuh dengan cara DIBACA, sedangkan bagian ulangan tetap dinyanyikan.

Semoga membantu.

-OL-

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

DOA UMAT

Posted by liturgiekaristi on March 7, 2011


Pertanyaan umat :

Dalam intensi misa, kita biasa minta doa utk orang yang telah meninggal.
Bolehkah kita minta doa untuk orang yang non-katolik

PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :

Pak Haryono, doa kita tidak dibatasi hanya untuk orang katolik. Intensi = mohon didoakan secara khusus.
Pembuktiannya sederhana, lihat formulasi doa umat baku yang diresmikan oleh Gereja Katolik, entah KWI dll.: akan ada doa untuk untuk pemerintah; saya kira kita tahu pemerintah kita mayoritas tidak katolik.
Kedua, kita perhatikan doa umat meriah pada hari Jumat Agung, ada doa untuk orang-orang yang belum dibaptis, juga bahkan untuk orang yang belum mengenal Kristus atau belum mengenal Allah.

Jadi intensi boleh untuk siapa saja. .

NB. Secara prinsip sebenarnya imam (pastor) hanya mendoakan satu intensi saja setiap kali misa.

PENCERAHAN DARI PASTOR ZEPTO PR

Tentang INTENSI MISA (yg rawan profanasi).

Ada umat yg seringkali ‘menyelipkan intensi lain’ di balik maksud luhur “mohon didoakan” misalnya: kampanye kemenangan seseorang, upaya mendiskreditkan pihak tertentu.

Contoh isi intensi yg disodorkan ke saya ketika misa:..

“Semoga NN dimenangkan Tuhan dalam pilkada”.
Dalam doa, sy memodifikasinya menjadi doa permohonan agar NN itu diberi kesehatan dan kebijaksanaan dalam menghadapi pilkada.

Contoh lain: “Semoga Bpk. NN tidak lagi mabuk2an dan menghentikan rencana2 jahatnya di kampung N.”
Modifikasi sy: semoga kami semua bahu membahu membangun ketentraman hidup bersama.

Entahlah, disadari atau tidak, profanasi-doa merupakan tantangan bersama.

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

INTENSI DOA PADA SAAT DOA UMAT

Posted by liturgiekaristi on March 7, 2011


Pertanyaan umat :

Pd saat INTENSI doa dari Umat. Umat seringkali meminta Intensi Doa untuk dibacakan pd saat MISA KUDUS. Sebetulnya, ROMO tdk perlu membacakan INTENSI DOA dari umat, pd saat MISA. Krn ROMO cukup membcakan dlm hati setiap INTENSI DOA yg diberikan oleh umat. Dan msh banyak lagi kekeliruan yg dikatakan oleh FRATER itu. Dimn yah sy bisa mendapatkan info ttg TPE yg benar ?”

PENCERAHAN DARI PASTOR BERTY TIJOW MSC:

Saya berikan beberapa komentar:

1. Perayaan Ekaristi adalah Doa Gereja, doa dari, oleh dan untuk seluruh Gereja (yakni umatnya). Setiap misa selalua da intensinya. Tidak ada Misa yang dipersembahkan tanpa intensi, dan intensi utam misa adalah ungkapan syukur kepada Tuhan dan demi keselamatan umat Allah (bangsa manusia).

2. Seorang imam WAJIB merayakan Misa, untuk intensi utama tadi. Imam – in persona Christi – melalui Perayaan Ekaristi menghaturkan kepada Tuhan syukur umat manusia dan memohonkan rahmat Tuhan untuk keselamatan umat manusia.

3. Apa yang dimengerti umat sebagai Intensi Misa, pada umumnya adalah doa mereka, yang bersyukur atas berkat Tuhan dan yang memohonkan berkat Tuhan.

4. Doa pribadi/keluarga/kelompok itu, dimintakan untuk turut didoakan/dipersembahkan oleh Imam dalam perayaan Ekaristi, supaya dipersatukan dengan doa-doa yang dipanjatkan dalam Ekaristi itu…. See More

5. Oleh Imam -tidak semua demikian- ujud pribadi/keluarga/kelompok itu, dibacakan/dipermaklumkan agar seluruh umat turut serta mendoakannya, karena Ekaristi pada hakekatnya adalah Doa Bersama (bukan doa pribadi, biarpun itu dibawakan oleh imam secara pribadi).

6. Karena itu, ketika dibacakan suatu ujud, umat mestinya turut merasa dan turt mendoakan ujud itu, suatu ujud yang kongkrit dari umat yang ada di lingkungan kita. Kita (seluruh partisipan Misa turut bersyukur atas rahmat yang diterima keluarga/pribadi/kelompok, dan trt juga mendoakan dan memohonkan rahmat itu. Inilah sebenarnya maksa parsipasi aktif. Dalam doa-doa yang dibacakan kita tidak menjadi PENDENGAR doa, tetapi juga PENDOA bersama.

7. Pribadi/Keluarga/kelompok yang bersyukur atas rahmat yang mereka terima, kemudian merasa berterima kasih atasnya, mereka mengungkapkan itu dalam bentuk uang, yang haruslah dipandang sebagai uang persembahan syukur.

8. Uang yang diberikan, seiring dengan ujud yang dimohonkan, jangan sampai dipandang sebagai pra syarat, yakni bahwa kalau ada uang baru didoakan, atau karena ada uang maka doa akan terkabul. Rahmat yang disyukuri tidak dapat diukur dengan uang yang diberikan dan rahmat yang dimohonkan tidak dapat “disogok” dengan uang.

9. Jika pemahaman ini dimiliki, maka tidak ada BISNIS dalam Perayaan Ekaristi. Imam dna Umat yang punya pikiran dan praktek bisnis dalam Ekaristi, mari kita doakan dan mohonkan Rahmat Tuahn sepaya mereka BERTOBAT dan DIBERI pengertian dan pemahaman yang benar.

10. Bahwa ada beberapa tempat yang mengatur ketentuan yang jelas soal uang intensi yang dimohonkan untuk didoakan dalam misa, kebijakan seperti itu sebenarnya adalah kebiakan administratif, yakni untuk mencatat seberapa banyak intensi misa yang sudah dipersembahkan dalam Gereja itu. Uang “Administratif” itu, digunakan sesuai atauran berlaku -yang berbeda-beda ditiap keuskupan. Ada yang menajdikannya sebagai Uang Paroki, dan ada yang menajdkannya sebagai “Uang Terima Kasih” kepada Imam yang sudah merayakan Misa. Diperaktek seperti inipun tidak ada/tidak boleh ada UNSUR BISNISnya.

11. Karena itu, IMAM WAJIB mendoakan ujud umat; entah ada uang atau tidak, entah dibacakan/maklumkan atau dalam hati; dan UMAT BERHAK DIDOAKAN oleh imamnya.

13. Hal-hal yang menjengkelkan soal pembacaan intensi, yang sering kali banyak lalu makan waktu, sebaiknya diatur saja bagaimana baiknya, tetapi pengaturan itu, jangan sampai membatasi niat umat untuk didoakan, atau tugas imam untuk mndoakan umatnya.

PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ:

Tidak perlu – tidak sama dengan “tidak boleh”, artinya kalau dilakukan juga ya masih OK saja, hanya tidak mengubah posisi. Intensi sebenarnya didoakan dalam hati si imam sebelum memulai merayakan ekaristi: misa itu dipersembahkan untuk apa atau siapa.

Maka memang dibaca atau tidak dibaca sebenarnya intensi telah didoakan dan dipersembahkan.

Hanya saja, untuk alasan pastoral, dibacakan ada baiknya, agar umat damai, lega, dan tahu kalau intensinya telah didoakan.

NB. Sebenarnya yang normal, satu Misa Kudus – satu intensi saja, dan bukan ombyokan dan borongan. Kalau Misa Minggu dibacakan lebih dari satu intensi, romonya sebenarnya masih hutang tuh untuk merayakan misa sejumlah intensi yang belum terhitung itu.

PENDAPAT UMAT “Gita Purnama Devi”

menurut sy intensi misa memang sudah seharusnya dibacakan karena kita yang ikut misa pd saat itu juga berkewajiban untuk ikut mendoakan isi dari intensi misa tersebut. Masalah stipendium janganlah dipersoalkan apalagi dikaitkan dgn bisnis, berhentilah untuk berpikiran negatif terhadap para Imam dan Gereja kita sendiri

PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ (atas pendapat Sdri. Gita);

Akuuuuuuuuurrrrr !!!!!!!!

SHARING dari PASTOR Zepto-Triffon Triff:

Hehehe . . . Bagi2 pengalaman: saya pernah memimpin misa tgl 2 November di salah satu gereja. Di paroki tsb, intensi misa BIASANYA dibacakan pd akhir Doa Umat.

Pembacaan intensi (HANYA nama-nama org yg sudah meninggal saja) menyita waktu 50 (lima puluh!) menit. Itupun sudah dibaca agak cepat, keringatan lagi.

Semua ‘dana intensi’ saya serahkan ke kas paroki setempat seturut ketentuan yg berlaku di keuskupan tsb.

Gak dibaca, salah. Dibaca semua, jadinya lumayan membosankan bg sebagian (besar) umat yg gak terkait dgn nama2 arwah itu.

Hehehe . . . Dilematis, memang.

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

Umat wajib MENDENGARKANNYA dgn penuh hormat” (PUMR 29).

Posted by liturgiekaristi on March 7, 2011


PERTANYAAN :

Bila Alkitab DIBACAKAN dalam Gereja, Allah sendiri bersabda kpd umatNya. …. Umat wajib MENDENGARKANNYA dgn penuh hormat” (PUMR 29).
Karena itu, menurut sy, praktek ‘seluruh umat mmbacakan’ Sabda Tuhan dlm misa, entah sebagian, entah keseluruhan bacaan; entah secara bersama2, entah berganti2an ayat per ayat, kiranya …bukanlah praktek yg tepat. Justru ini mengaburkan makna “Allah bersabda, umat (=bangsa Israel-baru) mendengarkan”.
Mohon sharing dari rekan2. Tks.

PENJELASAN PASTOR ZEPTO PR.

Kadangkala org menafsirkan ‘participatio actuosa’ secara kebablasan.
“Apa yg biasa, belum tentu benar dan sesuai norma. Sebaliknya, apa yg benar dan normatif harus dibiasakan.”

PENJELASAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ

Homili boleh disampaikan secara dialogis atau pun monolog. Yang utama adalah saat itu untuk pengajaran terutama berangkat dari Sabda yang baru saja didengar.
Bobot homili bukan pada lucu, rame, semarak, tetapi pada apakah Sabda semakin meresap dalam hati umat dan kita membawa harta rohani saat kembali “diutus”
Homili adalah penjelasan tentang bacaan dari Alkitab atau perayaan hari itu, yang dimaksudkan untuk memupuk semangat kristiani (PUMR 55; 65-66).

Kedua, maksud homili adalah menguatkan pengajaran ilahi yang telah didengar dalam Sabda (PUMR 29;55). Nah, pendalaman pengajaran bisa disampaikan secara monolog atau dialog.

NB. Yang perlu disadari oleh imam adalah agar tidak hanyut oleh dialog, sehingga lupa waktu. Khususnya di paroki besar, di mana perayaan ekaristi di tempat itu dibatasi waktu karena frekuensi ekaristi yang dirayakan, misalnya sedudah itu telah siap misa berikutnya … maka disiplin waktu juga perlu dilatih dengan baik.
Kedua homili bukan kesempatan untuk “guyonan”.
Ketiga, homili juga tidak boleh diganti dengan “sambutan” (PUMR 382)

Dan yang amat penting, sangat baik dan dianjurkan kalau setelah mendengarkan Sabda, disusul dengan “saat hening”.

Beberapa pertanyaan umat :

Pastor Samiran…kalau penjelasannya “lembaran itu sifatnya tawaran. Imam pemimpin perayaan saat itu boleh bebas menentukan yang ia anggap paling mewakili suasana hari itu, entah atas dasar Bacaan maupun homili yang disampaikannya.”

Kalau lembaran misa adalah tawaran, berarti lembaran yang dikeluarkan oleh ordo tersebut,sebenarnya tidak terlalu perlu untuk umat kali ya…Alasan yang mungkin bisa saya sampaikan, karena sebenarnya ada hal2 yang kadang2 membuat saya bertanya sendiri….kok beda sih….:-)

1. Di lembaran misa tersebut, teks bacaan 1,2, maupun Injil tidak persis sama seperti ada di Buku Misa. Saya juga bingun, kok bisa ngga sama (beda2 tipis..:-). Cuma kalau memang itu lembaran untuk umat, seharusnya teks bacaan yang ada di lembaran = teks bacaan yang ada di buku Misa….. (Note : lektor membacakan dari teks pada buku Misa. Pernah terjadi juga, seorang pastor tamu yang bawa misa itu, justru membacanya dari lembaran teks misa)…. See More

2. Umat menjadi tidak mendengarkan lektor ketika membacakan bacaan, tetapi membaca dari teks misa.
Mustinya, kalau memang umat mustinya mendengarkan sabda…umat perlu dididik untuk mendengarkan…bukannya malah disediakan lembaran , entah apapun tujuannya. 🙂
Kalau umat dimanja dengan lembaran misa…kapan umat dididik untuk belajar mendengarkan ya…:-)

3. Lembaran misa tersebut memuat DSA lengkap dengan doa2nya. Kalau ada pastor yang tidak memakai DSA dari lembaran tersebut, berarti lembaran tersebut tidak ada manfaatnya. Malah kadang2 membuat umat menjadi bingung…kok DSA di lembaran…berbeda dengan yang dibawakan oleh pastor…Akhirnya umat cari2…dan waktunya sudah sedikit terbuang untuk cari2 DSA yang dipakai oleh pastor.. 🙂

4. Lumayan…mengurangi sedikit cost untuk beli lembaran misa, dan sekaligus mendidik umat untuk focus pada apa yang disampaikan oleh pastor di altar…. hehe..

PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :

Memang lembaran dari cempaka putih itu sebenarnya tawaran saja. Kami di Palembang mencetak sendiri, yang hanya berisi doa dan bacaan, yang sama dengan Lectionarium. Tetapi DSA atau nyanyian tidak dicantumkan.

Catatan penting dari rangkuman PUMR:
a. Imam dan lektor (sebenarnya) tidak boleh membaca dari lembaran lepas, tetapi harus langsung dari Lectionarium.

b. Umat tidak ikut membacakan teks bacaan ekaristi saat itu (misalnya membaca bergantian atau bersama), tetapi umat mendengarkan dengan baik dan khidmat Sabda yang dibacakan dari ‘meja Sabda’.

PENCERAHAN DARI BP. AGUS SYAWAL :

Saran yang paling praktis adalah ini:
1. Datang sebelum Misa, pertama-tama renungkan Sabda Allah hari itu, baca sendiri dari teks misa. Tidak perlu tergesa-gesa, jadikan bagian dari dosa persiapan.
2. Sewaktu diwartakan dari mimbar Sabda, dengarkan dengan baik, tanggapi dengan sikap batin bahwa Allah sendiri yang berbicara.

Setiap Misa kita punya sekitar 4-3 bacaan (Mazmur pun termasuk bacaan Sabda, bukan selingan). Sering kali umat cuma baca sekedar lewat, di rumah jarang baca kitab suci, boro-boro ada pesan yang nyantol karena dibaca sekali lewat.

Maka perenungan di awal Misa, menjadi semakin penting.
Sewaktu mendengarkan, cobalah dengarkan dgn baik. Mungkin ada satu kata, satu frasa, satu perikop yang paling menyentuh dari semua yang dibacakan hari itu.

Coba diingat2, dari waktu ke waktu direnungkan lagi.

Setelah Komuni juga baik untuk membaca kembali bacaan Suci hari itu, mendengarkan kembali apa yang hendak disampaikan Tuhan yang sudah disambut dalam Ekaristi.

PENCERAHAN DARI sumber Majalah Liturgi, vol 1, 2008

Kalau sambil mendengar, umat masih melihat teks tertulis, maka umat kurang melihat si pembaca, mimik dan pantomimiknya. Umat kurang berkonsentrasi pada
lagu kalimat, irama dan aksen-aksen tertentu.

Hendaknya diingat bahwa kecuali surat-surat, Kitab Suci sebelum dituliskan, pada awalnya berbentuk lisan. Sejarah lisan yang diingat turun-temurun,
menyimpan kisah kehidupan iman dari pelbagai bangsa.

Tak boleh dilupakan semboyan para bapa Gereja “Kitab Suci lebih dahulu ditulis di dalam hati Gereja daripada di atas perkamen (kertas dari kulit)”. Dan kalau sampai ditulis, Sabda Allah itu menggema dalam mulut para penulis
suci (St. Agustinus). Maka tidaklah heran, banyak ekseget menganjurkan agar sebelum ditafsirkan, hendaknya Kitab Suci dibaca dengan suara lantang.

Jelaslah, dengan mendengarkan bacaan Kitab Suci dalam Perayaan Ekaristi, umat mengaktualisasikan teks Alkitab dengan paling sempurna. Perayaan Ekaristi menempatkan pewartaan di tengah-tengah komunitas umat beriman, yang berkumpul di sekitar Yesus untuk mendekatkan diri pada Allah. Kristus sendiri “hadir dalam Sabda-Nya, sebab Ia sendiri bersabda bila Kitab Suci dibacakan dalam Gereja” (SC, no.7). Oleh karena itu kita perlu membedakan
pembacaan Kitab Suci dalam liturgi dari membaca Kitab Suci untuk Studi Ilmiah atau renungan pribadi, atau ketika pendalaman Kitab Suci bulan September.

Untuk Studi Ilmiah, teks tertulis memang penting. Tetapi untuk liturgi, mendengarkan bacaan lisan jauh lebih penting. Karena dalam liturgi umat mendengarkan Sabda Allah dengan hati dan dalam doa.

Umat Katolik dikritik bahwa mereka pergi ke Gereja tidak membawa Kitab Suci, tetapi membawa buku nyanyian “Puji Syukur”. Ingatlah, umat Katolik mengikuti Perayaan Ekaristi tidak untuk menafsirkan secara ilmiah Alkitab, tetapi mau
mendengarkan Sabda Allah. Nyanyian-nyanyian pun sebagian besar sudah dihafal oleh umat. Doa Bapa Kami, Kemuliaan, Aku Percaya, sudah dihafal sejak katekumen. Maka buku Puji Syukur hanya sekedar membantu. Karena bagaimanapun, Ekaristi adalah perayaan iman, bukan upacara.

Dalam perayaan, doa-doa dan nyanyian-nyanyian harus bersifat spontan, yang keluar dari hati. Karena itu, nyanyian-nyanyian bersifat sederhana namun sublim, yang mudah diingat oleh umat. “Sebab, hanya kalau dapat dihayati secara pribadi, liturgi adalah doa umat beriman. Kalau doa liturgis tidak dapat masuk ke dalam hati, maka dengan sendirinya akan menjadi upacara. Hanya kalau hati orang terlibat, liturgi dapat menjadi perayaan.” (Tom Jacobs, Teologi Doa, 2004 : 81).

Dalam liturgi, Kristus hadir dalam bentuk simbol. Sebagai pemimpin liturgi, imam menjadi simbol kehadiran Kristus sendiri. Maka ketika membacakan Injil, hendaknya umat melihat imam sambil mendengarkan bacaan tersebut. Dengan berdiri, secara simbolis umat mengungkapkan rasa hormat dan kesiapsediaan untuk menerima kehadiran Allah. Umat tidak boleh lagi melihat teks tertulis yang ada di bangku duduknya. Teks tertulis itu mengganggu konsentrasi.
Karena bagaimanapun “Mendengarkan bukan sekedar tindakan reseptif, yang hanya menerima saja, melainkan juga tindakan aktif. Sebab bila kita mendengarkan, kita sebenarnya sedang membuka diri, untuk menerima dengan sadar, sapaan suara atau kata-kata dari luar diri kita, untuk memberi perhatian dan mau masuk ke dalam diri pribadi si pembicara, serta dengan sadar mau mengambil bagian dalam peristiwa yang didengarkan itu. Demikianlah dalam liturgi, tindakan mendengarkan ini begitu dominan. Kita mendengarkan Sabda Tuhan, homili, doa, nyanyian, musik, bel dan sebagainya” (E. Martasudjita, Memahami Simbol-simbol Dalam Liturgi, 1998:15).

Akhirnya, kita tidak perlu berkecil hati atas kritik yang mengatakan bahwa umat Katolik tidak membawa Alkitab ke Gereja. Karena kita mengikuti Perayaan Ekaristi untuk mendengarkan Sabda Allah. Buku nyanyian “Puji Syukur” hanyalah sekunder, karena kita telah menghafal banyak lagu dan doa-doa sejak katekumen. Kita ingin berdoa secara spontan, dari hati dalam Perayaan Ekaristi. Lembaran-lembaran teks misa yang dibagikan untuk setiap umat dalam Perayaan Ekaristi hari Minggu selama ini, perlu ditinjau kembali, “apakah efektif dan sesuai secara liturgi?”

Sederhana saja, lembaran-lembaran teks misa itu turut membuat umat tidak menghafal lagi doa Bapa Kami, Kemuliaan dan Aku Percaya. Hal ini patut disayangkan. Apa gunanya pengetahuan Teologi yang rumit-rumit, padahal “Aku Percaya” sendiri tidak bisa didaraskan tanpa teks? Yang jelas, manusia tidak berkomunikasi langsung tatap muka dengan memakai teks, tetapi justru dengan bahasa lisan, yang keluar spontan dari hati. Apa gunanya setiap hari Minggu, selalu dicetak ulang teks Kemuliaan, Aku Percaya dalam lembaran-lembaran itu? Sebuah pekerjaan sia-sia yang dicari-cari dan juga merupakan upaya pemborosan. Jadi, pergi ke Gereja dengan membawa “Puji Syukur” sudah cukuplah.

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

LITURGI SABDA DAN PARTISIPASI AKTIF UMAT

Posted by liturgiekaristi on March 7, 2011


Pertanyaan umat :

Menurut TPE baru. Para lektor/lektris tidak perlu membaca JUDUL, maupun BAB serta AYAT dari bacaan yang dibacakan pada Bacaan 1 dan ke 2. Cukup disebutkan BACAAN DARI…..Apakah lektor/lektris di paroki anda sudah menerapkan yang benar sesuai anjuran TPE?

PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ:

Tugas Lektor adalah membacakan firman atau Sabda Allah. Judul adalah tambahan penyunting untuk mempermudah si pembaca agar bisa membawakan sesuai dengan tekanan Bacaan.

Ayat adalah hasil kerja keras St. Heronimus untuk menandai teks KS agar mudah menemukan bersama manakah teks yang dimaksudkan. Maka angka bab dan ayat juga tidak perlu dibacakan.

Alasan ketiga, sebenarnya menurut TPE atau PUMR baru umat kan diharapkan mendengarkan Sabda, maka tidak tahu bab dan ayatnya juga tidak menjadi soal, asal tetap dibacakan ‘nas’ itu diambil dari mana (Kitab, Surat …. dll)

PENCERAHAN DARI PASTOR BERCE RORIMPANDEY PR

Judul, bab dan ayat memang tdk perlu dibaca. Karena bila Alkitab dibacakan dlm grja, Allah sendiri yg bersabda kpd umat-Nya dan Kristus sendiri mewartakan kabar gembira sebab Ia hadir dalam sabda itu.Jdi lektor/lektirs bertindak “seakan-akan” Allah yg pd saat itu sedang bersabda kpd umat. Karena itu lektor/lektris harus sungguh2 mempersiapkan diri dgn baik sebelum membaca. Bahkan, lektor/lektris perlu berdoa (dlm hati) seb. mmbaca KS.

PENCERAHAN DARI PASTOR ZEPTO PR :

Pola pembacaan Firman dalam PE adalah pola Allah BERSABDA, banda Israel MENDENGARKAN.
Maka, kini yang paling penting adalah: ketika Firman di-BACA-kan, umat MENDENGAR-kan, bukan ikut-ikutan membacakannya.
Oleh karena itu, penyebutan bab/ayat menjadi tidak relevan. Yang memang harus disebutkan adalah sumber bacaan diambil dari Kitab/Surat/Injil mana. Itu saja yang perlu disebutkan.
Dalam Buku Bacaan Misa juga pada Buku Misale (Al. Wahyasudibja, Pr., terbitan Kanisius, Yogyakarta) secara sangat tepat menuliskan bab/ayat. Bab/ayat ditulis dengan huruf italic dan masih diberi tanda kurung.
Semoga input ini bermanfaat

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda, g. PARTISIPASI UMAT | Leave a Comment »

Bacaan Kitab Suci menggunakan terjemahan dari mana ya”

Posted by liturgiekaristi on March 7, 2011


Pertanyaan umat :

Bacaan Kitab Suci yang digunakan dalam Perayaan Ekaristi menggunakan terjemahan dari mana ya? Seperti yang ada di Renungan Harian Inspirasi Batin terbitan Kanisius. Ada beberapa perbedaan dalam beberapa kata dengan terjemahan LAI, misalnya yang khas dalam Perayaan Ekaristi: “Sekali peristiwa, Beginilah firman Tuhan…….”

RANGKUMAN PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :

Sebenarnya tidak sulit kalau kita selalu untuk Misa membacanya langsung dari ‘Lectionarium’ (= Buku resmi untuk Bacaan-bacaan Perayaan Ekaristi Kudus).
Karena buku itu resmi, maka boleh tenanglah batin kita, karena itu sudah mendapat restu resmi dari pimpinan gereja kita.

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

PERAYAAN EKARISTI HANYA DENGAN 2 BACAAN SAJA ?

Posted by liturgiekaristi on March 7, 2011


Pertanyaan umat :

1. Perayaan Ekaristi pada hari Minggu boleh tidak menggunakan dua bacaan saja? (Bacaan Pertama dan Injil)? kebanyakan alasannya menggunakan dua bacaan, bukan tiga bacaan supaya misa lebih cepat. <<menyedihkan….

2. Romo, tidak sah itu maksudnya ilicit? Kalau invalid rasanya meniadakan bacaan Kitab Suci tidak akan membuat Misa menjadi invalid.

PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :

Pernah ada yang bertanya serupa kepada saya, dan saya jawab simple:
a. Kalau mau cepat dan mau mengurangi yang dikurangi adalah yang tidak essensial dan tidak mengurangi keabasahannya: lagu-lagu tambahan, homili.

b. Mengapa Homili saya kategorikan “bisa” dikurangi dan tidak esensial, cara lihatnya sederhana: Misa tanpa khotbah, sah. Misa ada khotbah tapi KS hilangkan = tidak sah.
Misa tanpa nyanyian tapi yang lain lengkap = sah; misa nyanyi, tapi tanpa KS = tidak sah. …

c. Tetapi sebenarnya orang mengkorup bacaan hanya demi alasan supaya cepat, adalah alasan yang menyedihkan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kalau alasan serupa ini terus diikuti maka nanti misa hanya menjadi peristiwa “ambil hosti” saja. Orang lalu dengan tanpa merasa berdosa datang telat dan habis sambut komuni langsung ngacir pulang.

Akhirnya saya pernah menjawab juga ungkapan senada di suatu komunitas katolik, dengan mengatakan: “OK saya akan sediakan komuni yg telah diberkati di depan pintu, silahkan yang tidak waktu untuk Tuhan ambil dan pergi, tetapi jangan menuntut saya misa secepat dan ikut model anda, karena saya ingin menikmati perayaan ekaristi yang saya rayakan sebagai saat kebersamaan Tuhan untuk saya.”
Ternyata tidak ada yang mengamini ide “menyediakan sibori terberkati itu” dan setuju ikut misa penuh …. dan kata-kata saya itu terus mereka ingat…..

Hehehee …. Daniel saya tidak pernah menemukan pedoman Misa tanpa bacaan KS. Yang ada justru Bacaan dari KS (ibadat Bacaan) tidak boleh digantikan dengan teks lain.
Digantikan saja tidak boleh, apalagi dihilangkan. Ini menyangkut validitas atau liceititas? Rasanya dua-duanya bukan, walau liceititasnya lebih kuat?
Nah, mempertahankan nyanyian (lihat Misa Hari Minggu, maka saya mengandaikan ada nyanyian, lalu supaya tidak panjang dikorting bacaannya, tetapi masih ada bacaan KS, jadi validitasnya masih terpenuhi) dan menghilangkan Bacaan – rasanya tidak jauh amat bedanya dengan ‘mengganti’ bacaan yang seharusnya dibacakan dengan nyanyian.

Dalam Tata Ibadat kita, nyanyian yang dimaksudkan dalam pertanyaan di atas rasanya posisinya sebagai pendukung demi indah dan meriahnya Misa, jadi dalam porsi tertentu bsa dikategorikan sebagai ‘tambahan’ artinya tidak termasuk bagian pokok. Maka rasanya tidak baik mengorbankan bagian pokok, dan menggantikannya dengan hal yang hanya bersifat tambahan. ;-)…

NB Bahwa ada beberapa romo mempraktikkan atau menyetujui praktik salah, saya kira itu justru yang harus diperbaiki. Kesalahan atau kekeliruan tidak sengaja dan tanpa disadari bisa saja kita kategorikan “ecclesia suplet” untuk hal yang tidak serius.

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »