PERTANYAAN SEORANG IBU KATOLIK YANG MEMILIKI ANAK REMAJA:
“Pak Moderator saya ingin bertanya; Apakah kalau ada sekelompok orang Katholik/MUDIKA yg dalam tujuan dasarnya cuma pendalaman alkitab, sharing, tari2an dan meniadakan Liturgi dan Doa Salam Maria. masih bisakah disebut Katholik? karena anak(remaja) saya ikut dalam kelompok MUDIKA seperti ini.”
PENCERAHAN DARI Pastor Christianus Hendrik SCJ :
Saya mencoba untuk menyimak pertanyaan awal, kelihatannya sepele ya, tapi kog jadi ruwet dan berbelit2…hemm….Menurut saya pertanyaan itu bisa dikatakan “sepele” kalo memperhatikan intinya: “Apakah kalau ada……masih bisa disebut Katholik?” Tentu jawabannya singkat: “Ya masih bisa, kenapa tidak??”
Tapi itu bisa menjadi rumit kalo sudah diembel2i dengan label Katholik, Mudika, liturgi, Salam Maria….lalu kita harus memperjelas konteks pertanyaan itu. Ini tidak mudah, tetapi terimakasih kepada ibu yang mengirimkan pertanyaan, yang membantu kita semua untuk berpikir bersama (bukan saling mengadili dan mempersalahkan/menuntut-maafkan saya)
1. Pastoral Gereja menyangkut dua aspek: Teritorial dan Kategorial. Teritorial-berdasarkan teritori/wilayah, seperti misalnya Mudika adalah termasuk dalam pelayanan teritorial, di bawah paroki. Atau ada juga yang senang menyebut OMK, yang kadang cakupannya lebih luas-tingkat keuskupan; ada juga pelayanan lingkungan, kring, dll yang semua berdasarkan teritori tertentu dan dibawah bimbingan pastor paroki dan atau dewan Paroki atau keuskupan.
Yang menyangkut pelayanan kategorial, misalnya: Kharismatik, Komunitas Taize, KKMK, dll. Pelayanan kategorial ini lebih berbasis pada minat, hoby, kesamaan ide, bidang kerja, keprihatinan tertentu, dll.
2. Di dalam kedua aspek itu, selama masih membawa nama Katholik, kiranya wajib mengikuti (bukan sekedar mana suka) tata cara, pedoman, tradisi, aturan2 umum dalam hierarki Gereja Katholik. Bahwa ada bagian2 khas yang menjadi minat kelompok/pribadi itu dipersilahkan; tetapi tidak bisa sesederhana mengatakan “hanya ini saja”, dan “meniadakan yang itu”. Ada bagian2 yang merupakan alternatif pilihan, tapi ada bagian2 yang harus kita terima tanpa syarat sebagai orang Katholik. Saya kira itu konsekuensi logis dalam agama manapun. Hal ini berkaitan bahwa iman Katholik itu mencakup baik aspek tradisi (lisan/tertulis), bersumber pada Kitab Suci, dan ajaran Gereja (magisterium) termasuk di dalamnya ajaran2 Dogmatis yang harus diterima sepenuhnya sebagai wujud kesatuan Hierarki Gereja yang satu, Katholik, dan Apostolik. (mengenai hal ini saya jadi teringat baru2 ini sebagian dari gereja2 Anglican malah memilih untuk bergabung kembali dengan Gereja Katholik justru menyangkut soal ketaatan pada Hierarki Gereja yang mulai rapuh di kalangan gereja Anglican)
3. Jadi, karena pertanyaan sendiri tidak spesifik dan cukup jelas menggambarkan konteksnya, maka saya hanya bisa mengatakan: Sejauh itu namanya Mudika, maka harusnya di bawah bimbingan pastor Paroki, Seksi kepemudaan paroki, atau semacamnya.Soal bahwa ada umat/mudika yang tidak memakai salah satu bentuk doa dalam kegiatannya, itu bukan dosa dan bukan juga “Anatemasit” – hal yang pantas dikutuk dan dianggap sesat. TETAPI, kalo sudah mulai ANTI dan tidak mau menerima yang lain kecuali yang diminati saja…lalu mau jadi gereja macam apakah?? Harus ada klarifikasi dalam hal itu.
Bayangkanlah kita masuk ke suatu restaurant yang terkenal; lalu kita mau makan di situ, tetapi nasinya kita beli dari warung di sebelah restaurant karena lebih enak, sayurnya kita beli dari seberang jalan karena lebih segar dan murah, minumannya kita bawa sendiri karena kita punya kesukaan sendiri…lalu hanya pinjam piring dan gelas dari restaurant itu…apakah pantas?? ha ha…sulit membayangkan bagaimana reaksi pengelola restaurant. Saya kira, apapun kelompok atau minat, atau aliran, atau apalah dalam Gereja kita; perlulah ada disiplin dalam bidangnya dan tetap di jalur iman yang benar dengan pendampingan yang benar…Anyway, saya tetap mengapresiasi mudika yang suka bereksplorasi dalam pencarian jati diri imannya…asal itu, jangan mengesampingkan pendampingan dan pemahaman yang holistik tentang Gereja Katholik.
Saya tinggal di lingkungan di mana hidup menggereja sangat diwarnai dengan semangat ‘mana suka’, kebebasan individu yang agak ‘berlebihan’, hak asasi sangat dijunjung tinggi…Akibatnya sangat terasa, hidup menggereja menjadi ‘dingin’ dan kehilangan semangat kesuciannya. Simbol2 yang penting dalam liturgi tidak lagi dipahami maknanya; orang tergoda untuk ‘hanya’ mengambil hal2 yang penting2 saja…akibatnya bisa ditebak…
Saya harap Gereja2 di Indonesia tidak perlu sampe seperti itu he he…So, orang2 yang seperti anda ini, yang ada peduli, mau concern terhadap situasi gereja dan kehidupan orang beriman…itulah yang paling dibutuhkan Gereja jaman ini…So, trims sumbangan ide2nya, dan teruslah bereksplorasi agar hidup iman kita tidak mati, melainkan terus bertumbuh dan menyuburkan dunia. (untuk semuanya juga lho he he..)Salam hangat untuk semuanya, Berkatku..P.Hend.
Salam dan berkatku.
P. Christianus Hendrik SCJ – South Dakota – USA
KOMENTAR ORANGTUA:
Terima kasih Pater atas pencerahannya, semua ini hanya kekawatiran saya melihat anak saya dan juga remaja2 lainnya, mau dibawa kemana mereka?, kalau di mudikanya saja tidak diajarkan aturan2 dan tradisi Gereja Katholik Roma. saya baru saja …ngobrol dengan anak saya menyinggung hal ini, saya tanyakan kenapa malas ikut doa Rosario tempo hari? jawabannya mengejutkan saya; kata pembimbing mudika, doa Rosario cukup dilakukan dirumah saja. saya juga diberi tahu alamat Facebook mudika ini, kalau tidak melanggar etika ijinkan saya poskan disini, agar kita bisa share pendapat setelah melihat silabus mereka, karena saya kawatir salah dengan pandangan saya sendiri. terima kasih
PENCERAHAN DARI PASTOR CHRISTIANUS HENDRIK SCJ:
Ya…siapa yang tidak khawatir melihat perkembangan anaknya kalau sudah mulai ada tanda2 aneh…Saya sewaktu di Indonesia ‘cukup kenyang’ mendampingi orang muda/mudika dari pelbagai kelompok. Kebetulan tugas… saya di rumah retret waktu itu mendukung untuk mendapat banyak akses ke kaum muda.Pengalaman saya berhadapan dengan mereka, seringkali mereka bukanlah generasi yang anti hidup menggereja; mereka lebih orang2 muda yang sering kekurangan informasi dan pengetahuan imannya. Mereka adalah generasi yang ‘anti’ kemapanan. Selama pendampingan saya, biasanya saya menerapkan prinsip: “Masuk melalui pintu mereka, keluar melalui pintu kita” – Intinya: Perhatikan dulu apa yang menjadi kebutuhan utama mereka: Sapaan, perhatian, dukungan, perlindungan dan pembelaan…(bukan sebaliknya: tuduhan, kritikan, celaan, penghakiman)… Setelah itu mereka dapatkan…(itu senangnya dulu waktu mendampingi orang muda)…lalu selanjutnya kita tinggal mengarahkan, minta tolong ini itu, melibatkan mereka dalam kegiatan apa saja…saya tidak pernah mendapat kesulitan. Mereka orang2 yang selalu “siap untuk Gereja” hampir seratus persen hidupnya! ORang2 muda yang senang mendapat tempat untuk mengekspresikan hidup imannya yang juga unik!
Jadi usul saya untuk ibu , cintai mereka, semakin perkuat komunikasi dan pembicaraan dengan anak, berusaha untuk mengerti dan menangkap kerinduan dan mimpi2nya. Ingat Mudika itu ‘hanyalah’ satu sesi dalam perkembangan hidup beriman, hanya sesaat, sesudah itu mereka akan berpindah menjadi orang tua dalam hidup imannya. Sesi yang singkat ini hendaknya diisi dengan informasi yang benar, pengalaman yang padat dan berharga…biarlah dia tahu banyak tentang macam2 hal, hanya saja, berilah juga informasi yang benar dan memadai tentang iman Katholik supaya berimbang..Thanks, GBUP.Hend SCJ
PENCERAHAN DARI BAPAK Agus Syawal Yudhistira
Ketika penanya awal menanyakan “MUDIKA” harus diperjelas ini kelompok apa.Apa hanya kelompok sesama teman-teman yang kumpul?Punya organisasi yang sudah resmi kah?Kategorial Paroki kah?…Kategorial Keuskupan kah?Persekutuan doa kah?
Orang sering pakai istilah sembarangan. Karena bayakan anak muda yang kumpul, MUDIKA. Baik, ada macam2 Mudika. Setidaknya di paroki saya saja ada dua kelompok mudia. Kelompok Mudika paroki. Dan kelompok Mudika Pekerja (para karyawan dan professional muda). Di KAJ ada banyak kategorial Muda-mudi lintas paroki. Orang semudahnya saja sebut Mudika semuanya.
Semua ini sangat berkaitan dengan siapa pembina kelompok ini.Jika penanya punya concern, perlu disarankan untuk mengangkatnya ke pembina kelompok tersebut.
Jika ternyata hanya kelompok yang berdiri sendiri tanpa pembina resmi, siapakah pelopornya? Siapakah yang vokal memberi informasi?
Kalau si ibu khawatir dengan kelompok yang sekarang, bisakah mencari alternatif dari banyak kelompok yang lain untuk di berikan pada anaknya?
Tanpa tindakan2 praktis seperti ini, segala kekhawatiran si ibu takkan berakhir.
PENCERAHAN DARI PASTOR Yohanes Samiran SCJ
Kalau mencermati diskusi atau pertanyaan awal sharing ini, tampaknya memang ada beberapa hal yang perlu diperjelas, baik itu menyangkut “kegiatan” yang disebut sebagai mudika di situ; yang kedua adalah maksud kata atau ungkapan “meniadakan”… liturgi dan Doa Salam Maria DSM).
Ibu Lili Sutardi sudah mencoba memberikan batasan yang dimaksudkan, tetapi apakah memang penanya ini maksudnya senada dengan pengalaman Ibu Lili Sutardi tadi?
Pada posisi penuh asumsi subyektif ini, saya ingin ikut memberikan beberapa panduan umum dan sekaligus “berjaga-jaga” agar kita masih dalam batas-batas koridor kekatolikan yang benar (melengkapi masukan dari teman-teman sebelumnya).
a. Waspadailah beberapa gerakan atau tendensi “sempalan” yang bisa muncul tanpa disadari baik oleh mereka atau pun juga oleh kita umat. Tendensi sempalan itu biasanya lahir dari tekanan yang berlebihan untuk membuat pembaharuan, tanpa pengetahuan yang cukup akan dasar-dasar kekatolikan, dan tanpa pendamping rohani (baca: moderator) yang sah. Umumnya moderator kegiatan kekatolikan adalah seorang imam, entah itu di tingkat keuskupan, paroki, atau kelompok kategorial kalau menggunakan nama katolik di dalamnya.
b. Bedakan antara kegiatan serius pembinaan iman atau pembinaan kekatolikan, dengan pembinaan umum. Saya memasukkan point ini karena dalam pertanyaan tercampur antara kegiatan yang bisa khas rohani dan katolik (: pendalaman alkitab – walau pakai kata ‘cuma’ [???]), dengan kegiatan umum (: tari-tarian). Kemudian pertanyaan tentang liturgi dan DSM pada kegiatan itu. Kegiatan yang dikategorikan “liturgi” umumnya ada alur baku (rubrik dan ritus) dan memang fokusnya ada pada liturgi sendiri, dan bukannya liturgi ini untuk tempelan atau pelengkap, dengan akibat cenderung mau dimodifikasi semaunya demi kegiatan lain. Contoh yang bisa disebut liturgi: Misa Kudus, ibadat Sabda, dan juga beberapa bentuk devosi baku seperti: adorasi/salve, rosario. Liturgi ini harus dijalankan penuh, dan fokusnya justru pada liturgi itu dan bukan demi kegiatan lain. Nah, menggabungkan tari-tarian dalam konteks suatu liturgi baku seperti di atas tampaknya memang tidak mungkin dan tidak direkomendasikan. Kalau memang mau mengutamakan latihan tari-tarian, misalnya ya doa saja singkat sesuai tradisi doa katolik, dan lanjutkan dengan latihan itu.
c. Waspadai dan perhatikan apa maksud kata “meniadakan” liturgi dan DSM? Apakah meniadakan di situ sudah bisa dikategorikan semacam “menolak atau TIDAK MAU memakai” atau hanya tidak memakai. Kelihatannya hal itu ungkapan sepele, tetapi itu bisa menjadi kunci serius, karena kalau meniadakan itu dalam arti pertama yakni MENOLAK – entah dengan argumentasi apapun, maka sikap antipati semacam ini akan menjadi bibit dari “sempalan” itu. Tetapi kalau itu masih sebatas tidak memakai, tanpa alasan apapun yang mengarah kepada penolakan tadi, maka tidak boleh dipukul rata seolah mereka sudah tidak katolik lagi. Mengapa kata “menolak” menjadi kunci? Karena setiap kegiatan kekatolikan memiliki koridor minimal menghargai dan menerima tradisi kekatolikan. Jadi kalau suatu kegiatan berlabel katolik tetapi menolak tradisi yang diakui sah oleh Gereja Katolik, misalnya DSM – maka memang ini serius. Tetapi bahwa suatu saat kita berdoa dan tidak mengucapkan DSM, ya tidak apa – karena DSM tidak harus didoakan dalam setiap doa; berbeda dengan “tanda salib” yang memang harus menjadi tanda pembuka dan penutup doa katolik. Contoh doa sebelum dan sesudah makan tidak harus ada DSM, tetapi Tanda Salib – harus.
d. Saya beberapa kali menggunakan kata “waspadai” – karena berkat iklim keterbukaan jaman kita ini, maka tidak jarang terjadi umat kita, baik mudika mau pun kelompok lain, tidak mustahil terjadi mencecap sajian dari “tetangga” dan karena tergiur lalu terpengaruh untuk merelatifir atau menggeserkan beberapa yang khas tradisional katolik dengan alasan bahwa tidak esensial dan masih tetap katolik atau kristiani. Gerakan ini bisa mulai dari menghilangkan doa-doa pokok kita, dan bahkan akhirnya termasuk Tanda Salib pun bisa dihilangkan dengan merelatifir: “Saya masih mengucapkan doa itu, hanya tidak membuat tanda salib saja. Masak sih hanya karena itu lalu saya dianggap tidak katolik lagi?” Lihatlah argumen ini kelihatan meletakkan kita dalam dilemmatis jawaban. Tetapi sikap itu jelas membahayakan tradisi kekatolikan kita.
e. Maka akhirnya usulan saya, marilah dengan baik-baik kita juga belajar dan mengajarkan hal yang pokok dan perlu dan melakukan sebaik mungkin semua tradisi kekatolikan sesuai dengan pedoman aslinya. Contoh: kalau mau “pendalaman iman katolik” – ya lakukan seperti kebiasaan kita umat katolik mengadakan pendalaman iman. Kalau mau “sharing iman” (bandingkan KU = katekese umat umumnya kuat dengan metode sharing iman) juga lakukan menurut kebiasaan kita bersharing. Kalau mau rosario yan rosariolah menurut kebiasaan dan pedoman baku katolik. Dan seterusnya. Sebaliknya, kalau misalnya mau kegiatan umum: latihan tari, band, olahraga, tetapi mau tetap sambil memelihara iman katolik, ya kalau dibuka dan ditutup dengan doa, BERDOALAH SECARA KATOLIK.
Tidak perlu membuat eksperimen hanya demi mood atau rasa suka tidak suka. Dalam hal ini amat baik yang dituliskan romo Ch Hendrik, tentang gambaran orang makan di restoran tetapi membawa masuk nasi, sayur dll dari tempat atau rumah makan lain dan hanya pinjam tempat, piring dan alat di restoran itu. Kalau praktik itu juga akhirnya terjadi dalam kalangan kita kan tidak elok dan sekaligus tanpa sadar kita pelan-pelan sedang menghancurkan atau mematikan kekatolikan kita, entah dari sense of chatolisism, atau pun dari ketekunan kita untuk tumbuh dan berkembang dalam iklim tertentu, yakni kekatolikan kita.
Salam,Yohanes Samiran SCJ