Seputar Liturgi Ekaristi Gereja Katolik

Seputar Liturgi Ekaristi Gereja Katolik

  • Majalah Liturgi KWI

  • Kalender Liturgi

  • Music Liturgi

  • Visitor

    free counters

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    Free Hit Counters

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    free statistics

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    hit counters



    widget flash

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    web page counter

  • Subscribe

  • Blog Stats

    • 1,255,536 hits
  • Kitab Hukum Kanonik, Katekismus Gereja Katolik, Kitab Suci, Alkitab, Pengantar Kitab Suci, Pendalaman Alkitab, Katekismus, Jadwal Misa, Kanon Alkitab, Deuterokanonika, Alkitab Online, Kitab Suci Katolik, Agamakatolik, Gereja Katolik, Ekaristi, Pantang, Puasa, Devosi, Doa, Novena, Tuhan, Roh Kudus, Yesus, Yesus Kristus, Bunda Maria, Paus, Bapa Suci, Vatikan, Katolik, Ibadah, Audio Kitab Suci, Perjanjian Baru, Perjanjian Lama, Tempat Bersejarah, Peta Kitabsuci, Peta Alkitab, Puji, Syukur, Protestan, Dokumen, Omk, Orang Muda Katolik, Mudika, Kki, Iman, Santo, Santa, Santo Dan Santa, Jadwal Misa, Jadwal Misa Regio Sumatera, Jadwal Misa Regio Jawa, Jadwal Misa Regio Ntt, Jadwal Misa Regio Nusa Tenggara Timur, Jadwal Misa Regio Kalimantan, Jadwal Misa Regio Sulawesi, Jadwal Misa Regio Papua, Jadwal Misa Keuskupan, Jadwal Misa Keuskupan Agung, Jadwal Misa Keuskupan Surfagan, Kaj, Kas, Romo, Uskup, Rosario, Pengalaman Iman, Biarawan, Biarawati, Hari, Minggu Palma, Paskah, Adven, Rabu Abu, Pentekosta, Sabtu Suci, Kamis Putih, Kudus, Malaikat, Natal, Mukjizat, Novena, Hati, Kudus, Api Penyucian, Api, Penyucian, Purgatory, Aplogetik, Apologetik Bunda Maria, Aplogetik Kitab Suci, Aplogetik Api Penyucian, Sakramen, Sakramen Krisma, Sakramen Baptis, Sakramen Perkawinan, Sakramen Imamat, Sakramen Ekaristi, Sakramen Perminyakan, Sakramen Tobat, Liturgy, Kalender Liturgi, Calendar Liturgi, Tpe 2005, Tpe, Tata Perayaan Ekaristi, Dosa, Dosa Ringan, Dosa Berat, Silsilah Yesus, Pengenalan Akan Allah, Allah Tritunggal, Trinitas, Satu, Kudus, Katolik, Apostolik, Artai Kata Liturgi, Tata Kata Liturgi, Busana Liturgi, Piranti Liturgi, Bunga Liturgi, Kristiani, Katekese, Katekese Umat, Katekese Lingkungan, Bina Iman Anak, Bina Iman Remaja, Kwi, Iman, Pengharapan, Kasih, Musik Liturgi, Doktrin, Dogma, Katholik, Ortodoks, Catholic, Christian, Christ, Jesus, Mary, Church, Eucharist, Evangelisasi, Allah, Bapa, Putra, Roh Kudus, Injil, Surga, Tuhan, Yubileum, Misa, Martir, Agama, Roma, Beata, Beato, Sacrament, Music Liturgy, Liturgy, Apology, Liturgical Calendar, Liturgical, Pope, Hierarki, Dasar Iman Katolik, Credo, Syahadat, Syahadat Para Rasul, Syahadat Nicea Konstantinople, Konsili Vatikan II, Konsili Ekumenis, Ensiklik, Esniklik Pope, Latter Pope, Orangkudus, Sadar Lirutgi

Archive for the ‘4. Buku Liturgi’ Category

MENURUT BUKU TPP BARU – PERHATIKAN MENGENAI BAGIAN PENANDA TANGAN SURAT PERKAWINAN GEREJA

Posted by liturgiekaristi on August 6, 2011


SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Menurut buku TPP baru, penandatangan Surat Perkawinan Gerejawi dilakukan di luar perayaan setelah berkat penutup. Penandatangan dilakukan di sebuah meja di hadapan umat, dan bukan di atas meja altar.

Komentar umat :

Jonky Christiananda betul, sekarang begitu, dulu bisa di atas altar kalau pastor yg menikahkan juga merangkap petugas catatan sipil

Kristina Tere Pukay Gak masalah sih…. Tapi tolong TPP atau TPE juga klo melakukan suatu perubahan, apa saja, selain pertimbangkan nilai sakralitas , juga alasan2 yang tepat supaya tidak membingungkan umat. Karena sbg umat awam sering kita beranggapan bahwa apapun yang di lakukan di gerja seperti penerimaan Sakramen perkawinan punya nilai yang agung, sakral dan kudus dan lebih berkesan krn akan membawa kesan yang indah dan dapat memperngaruhi pola hidup gerejawi.,
Pengalaman yang terjadi, dulu doa setelah bapa kami : Jangan memperhitungkan dosa2 kami tetapi perhatikanlah iman gerejamu,….dst…nya dan juga Dengan perantaraam Kristus dan bersama Dia.dst…. dulu saya msih kecil doa ini didoakan ole pastor dan umat hanya menjawab : Amin. tapi akhirnya didoakan bersama umat,alasannya agar umat ikut ambil bagian secara aktip.tapi akhirnya sekarang balik lagi ke yg dulu, dan saya juga gak tau alasannya kenapa?????

Fidelia Yustisia AdrianeY btul btl btul hehehe siap dech tuk grja katolik indonesia …

Ratih Conyiel FajarKlu mmg sdh d putuskn bgitu ya hrs d sosialisasikn.baru2 ini Bp Uskup tanda tgn d mja altar sblm doa umat.Ptgas dr capil d mja lain stlh berkat penutup

Kriswandaru Fransiskus saya melihat bahwa semuanya bergantung kepada pastor/romo/imam yang memimpin misa itu, jadi sosialisi awal jika ada perubahan2 dalam tata gerak liturgi mestinya para imam/romo/pastor terlebih dahulu….

 

 

Posted in 4. Buku Liturgi, h. SAKRAMEN | Leave a Comment »

DALAM BUKU TPP BARU – PERHATIKAN DIBAGIAN “KESEPAKATAN PERNIKAHAN”

Posted by liturgiekaristi on August 6, 2011


SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Janji Perkawinan dalam TPP yang baru memakai istilah KESEPAKATAN PERKAWINAN, dilakukan dengan berhadapan dan saling berjabat tangan kanan. Tidak ada pilihan untuk mengucapkan sambil meletakkan tangan kanan di atas Kitab Suci seperti yang selama ini juga lazim dilakukan.

Komentar umat :

Jonky Christiananda berarti kesepakatan itu bisa dibatalkan pada suatu saat? baguslah kalau begitu, tdk ada lagi orang yg terjebak makan buah simalakama

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

“Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.” (KHK 1057 § 2)

Jadi saya rasa bukan mengganti istilah melainkan menyesuaikan dengan istilah hukum Gereja.

-OL-

Posted in 4. Buku Liturgi, h. SAKRAMEN | Leave a Comment »

DALAM BUKU TPP BARU – PERHATIKAN BAGIAN PENGENAAN CINCIN

Posted by liturgiekaristi on August 6, 2011


SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Dalam Tata Perayaan Baru pada bagian pengenaan cincin ada kalimat “Dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.” bagi mempelai Katolik. Sehingga keseluruhan kalimatnya ketika mempelai Katolik mengenakan cincin ke jari manis tangan kanan pasangannya menjadi: “… (nama pasangan), terimalah cincin ini, tanda cintaku dan kesetiaanku. Dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.”

Posted in 4. Buku Liturgi, h. SAKRAMEN | Leave a Comment »

DALAM BUKU TPP BARU – TANYA JAWAB DENGAN SAKSI DIHILANGKAN

Posted by liturgiekaristi on August 6, 2011


SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Bagian lain yang dihilangkan dari Tata Perayaan Perkawinan yang baru adalah tanya jawab dengan saksi, sehingga saksi tidak lagi mengucapkan apapun selama perayaan. Memang sebaiknya begitu karena Imam-lah yang melakukan penyelidikan kanonik terhadap calon mempelai, bila ditemukan halangan tentu tidak akan dilangsungkan perayaan perkawinan.

Bagian ini di buku sebelumnya adalah pertanyaan Imam “Para saksi yang terhormat, adakah sesuatu yang menghalangi pernikahan ini?” Dan para saksi menjawab, “Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada satu halanganpun yang menghalangi pernikahan ini.”

Pertanyaan umat :

 

Yohanis Don Bosko Menurut saya, pernyataan itu tetap perlu sbg pertanggung-jawaban saksi terhadap pendampingan pasangan di kemudian hari. Kalo tidak ada, mungkin mereka tidak merasa penting sbg saksi. Kalo gitu, ngapain mereka maju mendampingi pengantin…? Tolong dipikirkan… Saksi sebenarnya juga sbg orang-tua rohani bagi pasangan itu.

Yohanis Don Bosko Maaf, sedikit berkomentar, seandainya pernyataan saksi kita anggap sbg jawaban atas pertanyaan pada saat pengumuman nikah di gereja “siapa yg mengetahui halangan, wajib lapor ke pastor paroki”, apakah itu tidak bisa dijadikan landasan untuk pertanyaan thdap saksi waktu pemberkatan itu..? Adakah penjelasan, mengapa pernikahan itu sah jika melibatkan saksi? Apa sekedar memenuhi persyaratan..? Saya berada dalam lingkungan kerabat yg masih meyakini saksi itu perlu sebagai orang-tua rohani, sama halnya ketika seorang bayi dipermandikan didampingi bapak/ibu serani yg selalu menuntun, memberi nasihat thdp anak itu tatkala orang-tua kurang mampu memberikan pendidikan rohani. Sy rasa saksi juga harus mendapat peran dalam pernikahan pasangan ini, dan mereka perlu menyatakan sesuatu di hadapan imam sbg wakil Tuhan, bahwa benar2 pasangan ini tidak berhalangan. Apabila di kemudian hari terjadi sesuatu, secara moral mereka akan merasa bertanggung jawab. Mohon comment-nya demi pencerahan…

Mutiara Sitanggang Seharusnya pada saat kanonik,para saksi tersebut jg dipanggil shgga pertanyaan trhdp saksi pd saat sakramen pernikahan tak perlu ditanyakan lg. Justru para saksi ini yg sgt berperan sbg org tua rohani utk mengingatkan pasangan bila kelak trj badai dlm khidupan prnikahan mrk nanti. Kanonik ini hrs bnr2 dijalankan bkn sekedar tanya jawab semata,shgga grja katolik ga kecolongan bhwasanya bnyk pasangan yg bohong.thx

Kristopo Ignatius KHK.Kan.1120. pasal 1. Seselesai perayaan perkawinan, Pastor Paroki tempat perayaan atau yang menggantikannya, meskipun mereka tidak meneguhkan perkawinan itu, hendaknya secepat mungkin mencatat dalam buku perkawinan nama-nama mempelai, peneguh serta para saksi, tempat dan hari perayaan perkawinan, menurut cara yang ditetapkan oleh konferensi uskup atau oleh uskup diosesan.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA KHK 1108 § 1 Perkawinan hanyalah sah bila dilangsungkan di hadapan Ordinaris wilayah atau pastor paroki atau imam atau diakon, yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang meneguhkannya, serta di hadapan dua orang saksi;
=========
Dua orang saksi yang menyaksikan perkawinan diperlukan demi sahnya perkawinan. Sebelum perayaan itu dilangsungkan, wajib diadakan penyelidikan kanonik oleh Imam untuk menjamin tidak adanya halangan yang dapat menggagalkan perkawinan. Tugas penyelidikan ini dilakukan oleh Imam (bukan oleh saksi). Maka sebenarnya menjadi tidak konsisten apabila malah Imam yang menanyakan kepada para saksi apakah ada halangan perkawinan.

-OL-

 

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA <<Maaf, sedikit berkomentar, seandainya pernyataan saksi kita anggap sbg jawaban atas pertanyaan pada saat pengumuman nikah di gereja “siapa yg mengetahui halangan, wajib lapor ke pastor paroki”, apakah itu tidak bisa dijadikan landasan untuk pertanyaan thdap saksi waktu pemberkatan itu..?>>

Sebelum meneguhkan perkawinan, Imam harus yakin bahwa pasangan yang akan diteguhkan ini tidak memiliki satu halangan pun yang dapat menggagalkan terjadinya perkawinan. Upaya ini pertama-tama dilakukan dengan penyelidikan kanonik yang dilakukan oleh Imam itu sendiri (atau Imam lain) terhadap pasangan yang akan menikah.

Setelah penyelidikan itu dilakukan, dilakukan pengumuman gereja bahwa pasangan tsb akan menikah, dengan himbauan agar siapapun yang mengetahui adanya halangan bagi mereka wajib memberitahu pastor paroki. Artinya bila tidak ada halangan, tentu saja tidak perlu ada laporan kepada pastor paroki.

Bila sejak pengumuman itu dibacakan tidak ada laporan adanya halangan, maka perkawinan pasangan itu dapat dilangsungkan. Ketika tiba hari perkawinan, siapapun khususnya Imam yang meneguhkan sudah yakin tidak ada halangan apapun yang dapat menggagalkan terjadinya perkawinan.

<<Adakah penjelasan, mengapa pernikahan itu sah jika melibatkan saksi? Apa sekedar memenuhi persyaratan..?>>

Tugas saksi, sesuai namanya, adalah menyaksikan terjadinya perkawinan. Bila di kemudian hari ada keraguan tentang sahnya perkawinan sepasang suami-istri, dan kelengkapan administrasi tidak bisa diandalkan, keterangan saksi dapat dijadikan pegangan yang sah.

<<Saya berada dalam lingkungan kerabat yg masih meyakini saksi itu perlu sebagai orang-tua rohani, sama halnya ketika seorang bayi dipermandikan didampingi bapak/ibu serani yg selalu menuntun, memberi nasihat thdp anak itu tatkala orang-tua kurang mampu memberikan pendidikan rohani. Sy rasa saksi juga harus mendapat peran dalam pernikahan pasangan ini, dan mereka perlu menyatakan sesuatu di hadapan imam sbg wakil Tuhan, bahwa benar2 pasangan ini tidak berhalangan. Apabila di kemudian hari terjadi sesuatu, secara moral mereka akan merasa bertanggung jawab. Mohon comment-nya demi pencerahan…>>

Saya kira memang kebanyakan pasangan memilih orang yang spesial untuk menjadi saksi perkawinan mereka. Orang spesial ini biasanya unggul dalam kesalehan hidup beriman, dan dapat dijadikan teladan dalam hidup perkawinan. Sungguh sangat baik adanya apabila seorang saksi bisa menjadi seperti bapak/ibu rohani yang senantiasa bisa memberikan nasihat kepada pasangan suami-istri.

Itu hanya salah satu peran seorang saksi, yang tidak bisa kita mutlakkan menjadi tanggungjawab utamanya. Dari sudut pandang hukum Gereja, peran seorang saksi adalah menyaksikan perkawinan agar perkawinan itu dapat sah.

-OL-

 

Resti AndrianiJadi baiknya mesti ditiadakan or tetap ada ptanyaan itu u/para saksi?tks

 

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

@Resti Andriani: dalam TPP lama (buku Upacara Perkawinan), TIDAK ADA pertanyaan untuk para saksi perkawinan. Entah hasik kreatif siapa ada pertanyaan seperti itu, yang akhirnya beredar luas dan menjadi kebiasaan… serta seola-ola menjadi rubrik yang sah.

 

 

 

 

 

 

Posted in 4. Buku Liturgi, h. SAKRAMEN | Leave a Comment »

BUKU TATA PERAYAAN PERKAWINAN BARU

Posted by liturgiekaristi on August 6, 2011


Bosco da Cunha OCarm: Buku TPP Baru

Senin, 23 Mei 2011 18:07 WIB
Bosco da Cunha OCarm: Buku TPP Baru

HIDUP/R.B. Yoga Kuswandono
Pastor Bosco da Cunha OCarm

KWI akan mengeluarkan buku ”Tata Perayaan Perkawinan” dalam waktu dekat. Buku ini melengkapi buku berjudul sama yang terbit sejak tahun 1969.

Mempersiapkan upacara perkawinan memang harus ribet, karena ini adalah pesta cinta kasih. ”Demikian Wakil Ketua Komisi Liturgi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Pastor Bosco da Cunha OCarm saat ditemui HIDUP di Kantor KWI, Cut Mutiah, Jakarta Pusat, Selasa, 19/4. Pastor Bosco menjelaskan mengenai buku ”Tata Perayaan Perkawinan” (TPP) yang akan diterbitkan KWI dan hal-hal seputar tata upacara perkawinan.

Menurutnya, isi buku TPP baru ini mengatur upacara perkawinan yang bisa diterapkan dalam Perayaan Ekaristi maupun di luar Perayaan Ekaristi. Ia mengatakan, upacara perkawinan bisa dilakukan dengan atau tanpa Misa.

Terkait berbagai keprihatinan yang terjadi seputar praktik liturgi upacara perkawinan, Romo Bosco menjelaskan, banyak hal kecil yang harus diperhatikan saat upacara ini berlangsung. Tentang bacaan Kitab Suci, misalnya. Tiap pasangan diberi kebebasan untuk memilih bacaan yang dianggap cocok dengan pribadi mereka. ”Tentunya tidak asal pilih. Sebaiknya, mereka meminta saran dari pastor yang akan memimpin upacara perkawinan tentang hal ini,” tuturnya.

Saat disinggung tentang kerumitan yang kerap terjadi saat mempersiapkan upacara ini, Romo Bosco mengatakan, ”Ini adalah pesta cinta kasih. Jadi, wajar kalau masing-masing pasangan harus ribet mempersiapkannya.” Kemudian, karena ini adalah pesta, satu hal yang harus diingat, dalam upacara perkawinan tidak boleh ada ritus tobat. ”Lagu Tuhan Kasihanilah Kami boleh dinyanyikan, tetapi ucapan tobat harus dihilangkan. Jadi, setelah kata pembuka, langsung menyanyikan Kemuliaan,” tegasnya.

Ia prihatin dengan penggunaan lagu-lagu saat upacara berlangsung. ”Banyak yang memakai lagu pop. Lagu-lagu seperti ini tentu tidak mencerminkan hubungan horizontal antara manusia dan Tuhan,” ungkapnya. Menurutnya, lagu yang ideal adalah lagu yang liriknya berasal dari Kitab Suci dan cerminan dari hubungan horizontal antara pasangan pengantin dan Tuhan yang menyatukan mereka.

Romo Bosco menambahkan, ”Kami sedang mengumpulkan lagu-lagu perkawinan dan menyatukannya dalam sebuah buku. Dari seluruh Indonesia, kami coba cari dan seleksi lagu-lagu yang bagus dan liturgis. Sekarang, sedang dalam proses penggodokan.”

Mengenai keberadaan event organizer perkawinan yang kerap mengatur jalannya upacara perkawinan, ia berkomentar, ”Sebetulnya, mereka harus tahu kewenangan mengatur. Hanya pastor yang berhak mengatur jalannya upacara ketika pasangan pengantin berada di dalam gereja.”

Dekorasi gereja juga perlu diperhatikan. ”Boleh meriah, tetapi jangan sampai keterlaluan, hingga mengubah gereja jadi semacam pusat hiburan atau mal,” Romo Bosco memberi gambaran.

Untuk menentukan apakah dekorasi terlalu meriah atau tidak, tidak ada ketentuan pasti. ”Biar umat yang menilai sendiri dan memberi masukan apakah dekorasi tersebut terlalu meriah atau tidak,” jelasnya.

Bagi Romo Bosco, keindahan pesta cinta kasih tidak selalu terletak pada meriah dan bagusnya dekorasi. ”Justru dekorasi yang sederhana bisa menampakkan keanggunan sebuah pesta. Bagi saya, sederhana itu juga indah,” tuturnya.

Upacara perkawinan juga boleh dilangsungkan secara massal (untuk beberapa orang sekaligus). Namun, upacara perkawinan bersifat sangat personal, karena menyangkut pengalaman pribadi masing-masing pasangan. ”Akan terasa pas bila dilangsungkan sendiri,’ tambahnya.

Romo Bosco juga menjelaskan mengenai upacara yang dilakukan di rumah. ”Boleh-boleh saja dilakukan di rumah, asal ada persetujuan dari pastor paroki setempat. Saya menganjurkan, sebaiknya upacara dilakukan di gereja atau kapel. Ini adalah perayaan liturgis. Jadi, harus terjadi di tempat yang liturgis juga,” ungkapnya.

Penulis: R.B. Yoga Kuswandono

Posted in 4. Buku Liturgi, h. SAKRAMEN | Leave a Comment »

SAKRAMEN PERKAWINAN – URUTAN RITUS PEMBUKA – Menurut buku baru TPP

Posted by liturgiekaristi on August 6, 2011


SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Salah satu bagian yang dihilangkan saat perayaan perkawinan menurut buku Tata Perayaan Perkawinan yang baru adalah seruan tobat di bagian Ritus Pembuka. Bagian ini dapat diganti dengan percikan air suci untuk mengingat pembaptisan. Sehingga urutan Ritus Pembuka menjadi: Tanda Salib, Salam, Pengantar, Percikan air suci, Madah Kemuliaan, dan Doa Pembuka.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA Pernyataan Romo Bosco da Cunha, Sekretaris Eksekutif Komisi Liturgi KWI:
“Kemudian, karena ini adalah pesta, satu hal yang harus diingat, dalam upacara perkawinan tidak boleh ada ritus tobat. ”Lagu Tuhan Kasihanilah Kami boleh dinyanyikan, tetapi ucapan tobat harus dihilangkan. Jadi, setelah kata pembuka, langsung menyanyikan Kemuliaan,” tegasnya.”

sumber: http://www.hidupkatolik.co​m/2011/05/23/bosco-da-cunh​a-ocarm-buku-tpp-baru
=======
Namun dari buku TPP memang tidak ada seruan tobat termasuk Tuhan Kasihanilah Kami.

-OL-

Posted in 4. Buku Liturgi, h. SAKRAMEN | Leave a Comment »

BUKU TATA PERAYAAN PERKAWINAN EDISI TERBARU

Posted by liturgiekaristi on August 6, 2011


Sumber :

Homepage

Tata Perayaan Perkawinan

Pengarang:
Komisi Liturgi KWI
SKU: 40111004
Rp. 63.000

Harga Normal Rp 70.000,-
Diskon 10%

Buku ini merupakan satu-satunya buku acuan resmi untuk digunakan di wilayah gerejawi Indonesia dalam seluruh rangkaian liturgi Perkawinan. Di terbitkan oleh Konferensi Waligereja Indonesia berdasarkan Ordo Celebrandi Matrimonium, editio altera, Typis Polyglotis, 1991; sekaligus sebagai revisi atas buku Upacara Perkawinan (PWI-Liturgi 1976)

Daftar Isi:
Bab I : Tata Perayaan Perkawinan dalam Misa
Bab II : Tata Perayaan Perkawinan dalam Ibadat Sabda
Bab III: Tata Perayaan Perkawinan Di Hadapan Pelayan Awam
Bab IV : Tata Perayaan Perkawinan Untuk Mempelai Katolik
dengan Katekumen atau Tidak Di Baptis.
Bab V : Ritus Pengesahan Perkawinan
Bab VI : Ritus Pemberkatan Perkawinan

Lampiran I : Pilihan Bacaan Kitab Suci, Doa, Berka dll
Lampiran II : Ibadat Pemberkatan Pertunangan, Penyambutan
Istri di Rumah Suami, Pemberkatan Rumah Baru
Pemberkatan Ibu Hamil, Pemberkatan sesudah
Melahirkan, Misa Ulang Tahun Perkawinan.

Ukuran: 17 X 25 cm
Halaman: 216 hlm; HVS 80 Gr
Hard Cover

Posted in 4. Buku Liturgi, h. SAKRAMEN | Leave a Comment »

SAKRAMEN PERKAWINAN – “BUKU BARU” TATA PERAYAAN PERKAWINAN

Posted by liturgiekaristi on August 6, 2011


Beberapa waktu lalu Komisi Liturgi KWI sudah menerbitkan bukan Tata Perayaan Perkawinan (TPP) yang baru menggantikan buku Upacara Perkawinan (1976), yang juga pernah disharekan di SL ini. Apa saja sih yang baru dari TPP ini? Mulai hari ini kami akan sharingkan beberapa poin yang penting untuk diperhatikan semua orang yang hendak melaksanakan liturgi perkawinan.

Dalam promulgasi buku ini yang ditandatangani Mgr. M. D. Situmorang OFM Cap dan Mgr. Johennes Pujasumarta sebagai ketua dan sekretaris KWI disebutkan bahwa TPP ini adalah SATU-SATUNYA buku acuan resmi untuk digunakan di wilayah gerejawi Indonesia dengan masa ad experimentum selama lima tahun.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Perayaan perkawinan sebaiknya diadakan pada hari-hari biasa, supaya dapat memakai rumus khusus Misa bagi Mempelai (Missa pro sponsis). Bila diadakan pada hari Minggu, tidak menggunakan rumus Misa bagi Mempelai, melainkan rumus Misa hari Minggu ybs termasuk bacaan2nya, dengan beberapa penyesuaian bagi liturgi perkawinan. (bds. TPP 34 & 70)

Jika tidak dirayakan Misa bagi Mempelai (berarti dirayakan pada hari Minggu) salah satu bacaan dapat diambil dari Buku Bacaan Misa (Lectionarium) khusus untuk perkawinan, kecuali dalam Misa Natal, Epifani, Paskah, Kenaikan Tuhan, Pentakosta, Tubuh dan Darah KRistus, atau Misa dengan tingkat Hari Raya lainnya. (bds. TPP 91)

Pertanyaan umat :

Gregorius Prast Saya hendak bertanya, apakah dibenarkan bagi pengantin untuk saling menyuap pasangannya pada saat menerima komuni??? karena sering kali saya melihat hal tersebut terjadi

Arnoldine Alexandra Olce wlaupun itu dlm pryaan ekaristi mgg biasa Mo?? wkt sy brtgs lektor d paroki sy mlht pasutri slg suap komuni.  sy tdk bs mnegur krn sy brtgs.

Vincentius Agung Seringkali praktek semacam itu malah didukung oleh romo yg mberkati perkawinan..jd gimana solusinya?

Gregorius Prast Ya, setuju denngan vincentius, bahwa seringkali malah romonya yang menyuruh, nah, bagaimana kita sebagai umat menegurnya? kan mestinya romonya yang tau

 

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA ‎@Gregorius Prast, tindakan saling menyuapkan seperti itu oleh dokumen Redemptionis Sacramentum disebut sebagai PENYIMPANGAN, sehingga tidak dapat dibiarkan.

Redemptionis Sacramentum 94.
Umat tidak diizinkan mengambil sendiri – apalagi meneruskan kepada orang lain – Hosti Kudus atau Piala Kudus. Dalam konteks ini harus ditinggalkan juga penyimpangan dimana kedua mempelai saling menerimakan Komuni Suci dalam Misa Perkawinan.Kalau Romonya melanggar, kewajiban kita untuk memberitahu. Supaya tidak dinilai mengada-ada, bawalah kutipan dokumen di atas. Dalam dokumen tersebut juga disebutkan bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran berat, menurut kutipan dari Redemptionis Sacramentum berikut:

173. Tentu saja berat atau seriusnya sesuatu hal harus dinilai sesuai dengan ajaran umum Gereja serta norma-norma yang sudah ditetapkan olehnya. Namun secara obyektif hal-hal yang harus dipandang sebagai pelanggaran berat ialah segala sesuatu yang membahayakan sahnya serta keluhuran Ekaristi yang Mahakudus: ialah semua yang bertentangan dengan apa yang diuraikan lebih awal dalam Instruksi ini pada nomor 48-52, 56, 76-77, 79, 91-92, 94, 96, 101-102, 104, 106, 109, 111, 115, 117, 126, 131-133, 138, 153 dan 168. selain itu perlu juga diperhatikan ketetapan-ketetapan lain dalam Kitab Hukum Kanonik, khususnya apa yang tersirat dalam kanon 1364, 1369, 1373, 1376, 1380, 1384, 1385, 1386 dan 1398.

-OL-

Posted in 4. Buku Liturgi, h. SAKRAMEN | Leave a Comment »

EVANGELIARIUM – OLEH RM. JACOBUS TARIGAN PR

Posted by liturgiekaristi on July 20, 2011


Evangeliarium
Senin, 6 Juni 2011 16:11 WIB
Evangeliarium

Jacobus Tarigan Pr

Santo Hieronimus (347-420), seorang rahib dan pujangga Gereja menegaskan, “Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus.” Penegasan ini dikutip lagi oleh Konsili Vatikan II, dalam Konstitusi Dei Verbum No 25. Selanjutnya, Hieronimus mengingatkan bahwa tempat yang paling tepat untuk membaca dan mendengarkan Sabda Allah adalah liturgi. Maka, belum cukup hanya merenungkan sendiri Kitab Suci. Tafsiran ilmiah terhadap Kitab Suci pun hanya bersifat membantu. Karena bagi Hieronimus, penafsiran Kitab Suci yang otentik selalu harus sesuai dengan iman Gereja Katolik.

Kita harus membaca Kitab Suci dalam komunio dengan Gereja yang hidup. Kalau Kitab Suci dibacakan dalam Gereja, terutama dalam Perayaan Ekaristi, maka Allah sendiri berbicara kepada umat-Nya dan Kristus hadir dalam Sabda-Nya. Liturgi Sabda sama penting dengan Liturgi Ekaristi. Hendaknya umat sungguh memahami makna pelbagai simbol dalam Liturgi Sabda. Karena bagaimanapun, liturgi berciri simbolis karena partisipasi kita dalam hidup Allah masih berlangsung “dalam cermin”. Simbol tidak hadir untuk dirinya sendiri, melainkan untuk apa yang disimbolkan.

Evangeliarium adalah buku yang memuat bacaan-bacaan Injil untuk hari Minggu dan hari raya tahun A, B, C, untuk pesta Tuhan, Hari Raya Khusus, Perayaan dan Misa ritual. Evangeliarium yang diterbitkan oleh KWI, 2011 adalah buku liturgis resmi bahasa Indonesia untuk Ritus Latin di wilayah gerejawi Indonesia. Bacaan Injil diambil dari terjemahan Alkitab Lembaga Alkitab Indonesia dan Lembaga Biblika Indonesia. Buku ini mulai diberlakukan pada awal Pekan Suci, Minggu Palma, 17 April 2011.

Dalam Misa, khususnya dalam Liturgi Sabda, kehadiran Evangeliarium itu sendiri melambangkan kehadiran Kristus di tengah umat-Nya. Buku ini diletakkan pada bagian tengah altar sebelum Misa, dalam keadaan tertutup. Ketika perarakan masuk, buku ini dibawa oleh diakon atau lektor dengan cara sedikit diangkat agar terlihat oleh umat dan diletakkan di altar. Sebelum pemakluman Injil, diakon menuju altar, membungkuk memberi hormat, dan membawa Evangeliarium ke mimbar, didahului oleh putra altar yang membawa lilin dan pendupaan.

Sebelum dibacakan, Evangeliarium didupai. Selesai membaca, buku ini dicium dan dibawa ke meja samping, bukan altar. Arakan, mencium, dan mendupai merupakan simbol penghormatan kepada Kristus yang hadir di tengah umat-Nya. Keharuman dari dupa melambangkan pewahyuan Allah dan kehadiran keselamatan. “Dengan perantaraan kami, Ia menyebarkan keharuman pengenalan akan Dia di mana-mana. Sebab, bagi Allah, kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa” (2 Kor. 2:14-15). Demikian pula selain lambang penghormatan, ciuman pun melambangkan keakraban dengan Kitab Suci. Membungkuk di hadapan Kitab Suci melambangkan sikap merendahkan diri di hadapan Tuhan yang Mahaagung.

Evangeliarium dicetak secara istimewa untuk mendukung simbol yang dihadirkannya. Kita menghormati Evangeliarium, BUKAN karena dicetak di surga, BUKAN DITURUNKAN dari atas surga, bukan karena memuat nasihat-nasihat moralistis murahan dan hukum-hukum yang menakutkan, TETAPI, karena Evangeliarium melambangkan kehadiran Kristus di tengah umat-Nya, yang sedang merayakan liturgi.

“Ia hadir dalam sabda-Nya, sebab Ia sendiri bersabda bila Kitab Suci dibacakan dalam Gereja” (SC 7). Dengan membaca Kitab Suci, kita mengenal Kristus, yang menampakkan wajah KASIH Allah.

SUMBER : MAJALAH HIDUP

Edisi No. 16 Tanggal 17 April 2011

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda, 4. Buku Liturgi | Leave a Comment »

EVANGELIARIUM vs LECTIONARIUM

Posted by liturgiekaristi on May 17, 2011


Pertanyaan umat :

“Selama ini ada di bbrp paroki atau stasi, lektor membawa lectionarium.. Nah, dgn adanya Evangeliarium ini, lectionarium masih perlu dibawa pada saat prosesi masuk atau tidak ya??? Kayaknya perlu juga nih pencerahan, karena sosialisasi ini menyangkut PERAN PETUGAS LITURGI.

Sharing umat:

Di satu paroki, lektor ada 2 . Pada waktu perarakan keluar dari Sakristi:

– LEKTOR 1 : MEMBAWA BUKU …EVANGELIARIUM.
Buku Evangeliarium ditempatkan langsung di meja Kitab Suci yang posisinya persis di depan Mimbar Sabda (Evangeliarium dalam keadaan terbuka)

– LEKTOR 2 : MEMBAWA BUKU BACAAN KITAB SUCI (YANG MERAH TEBAL) + Teks Doa umat

Pada waktu perarakan kembali ke Sakristi, Buku Kitab Suci yang merah tebal itu, dibawa kembali ke Sakristi…

Thomas Rudy

kembali pada kebijakan paroki saja sih akhirnya…. kalau dalam PUMR yg dibawa itu evangeliarium oleh lektor…

Geby Maurine Kindangen

Tata cara penggunaan buku Evangeliarium ada di halaman depan buku Evangeliarium. Evangeliarium dibawa oleh lektor kl tdk ada diakon, pada saat perarakan masuk n sedikit diangkat, dan diletakkan di altar, bkn dimimbar Sabda. Sedangkan bk Lectionarium tetap dibw lektor 2, krn Evangeliarium hanya berisi bacaan Injil. Buku tsb bisa di pesan mll saya (Komlit KWI) dgn biaya 500 ribu plus ongkir. Surat pengantar sdh kami kirimkan kepada Paroki2 di seluruh Indonesia. Bagi Paroki yg blm memiliki segera pesanlah ke Komlit KWI ya.

Pencerahan dari Pastor Liberius Sihombing

Benar yg dikatakan pak Thomas Rudy, yg diarak itu adalah Evangeliarum. Tp mungkin krn evangeliarum blm semua dimiliki semua paroki dan bahkan stasi (dan juga dalam bahasa daerah belum selesai dicetak) maka terjadilah kesalahan tadi yakni buku bacaan misa model lama yg diarak yg di dalamnya bacaan I, II dan Injil tertulis. Bahkan di beberapa tempat justru yg diarak adalah Kitab Suci entah itu ukuran besar maupun kecil. Mereka yg membuat itu tdk bisa serta merta disalahkan, karena memang buku yg dimaksudkan utk diarak belum tersedia, pd hal mereka mau membuat perayaan lebih meriah dengan cara perarakan meriah. Dalam kasus itu saya bisa mengerti dan maklum. Jika buku itu tersedia dan dengan cepat disosialisasikan ke pengurus gereja dan seksi liturgi, sy sangka akan bisa tercapai apa yg diharapkan Liturgi yg benar dan anggun.

PENCERAHAN dari SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

‎1. Yang diarak ketika perarakan pembuka adalah EVANGELIARIUM, dibawa dengan sedikit diangkat oleh Diakon (kalau tidak ada Diakon, oleh Lektor).2. Bila tidak dibawa pada perarakan pembuka, EVANGELIARIUM dapat langsung diletakkan di tengah meja altar sejak sebelum perayaan dimulai.

3. Bila dibawa pada perarakan pembuka, Diakon (atau Lektor jika tidak ada Diakon) tidak ikut memberikan penghormatan kepada altar, namun langsung meletakkan EVANGELIARIUM di atas altar.

4. EVANGELIARIUM itu berada di tengah altar sampai dengan sebelum pembacaan Injil ketika dibawa menuju mimbar sabda.

5. Setelah pembacaan Injil, EVANGELIARIUM diletakkan di meja samping atau tempat lain yang anggun dan serasi.

6. Setelah misa selesai, pada perarakan keluar EVANGELIARIUM tidak perlu dibawa kembali ke sakristi.

7. LECTIONARIUM tidak ikut diarak saat perarakan pembuka dan dapat diletakkan di mimbar sabda sejak awal misa (PUMR 117 & 118).

-OL-

Agus Syawal Yudhistira

BTW, Evangeliarium bisa selalu diganti dengan Injil yang lengkap (atau Kitab Suci yang lengkap). Tata cara perarakan dan penggunaannya sama.
Ini sebenarnya udah ada di PUMR.
Tapi kalau baru hangat sekarang, apa karena para calon imam di seminari tidak pernah mempelajari/mengikuti PUMR dan Ceremoniale Episcoporum?

Pertanyaan umat :

So…menyangkut peran petugas liturgi seputar Evangeliarium ini :

2. Bila tidak dibawa pada perarakan pembuka, EVANGELIARIUM dapat langsung diletakkan di tengah meja altar sejak sebelum perayaan dimulai.
– berarti KOSTER YANG TARUH EVANGELIARIUM DI MEJA ALTAR? Apakah demikian?

7. LECTIONARIUM tidak ikut diarak saat perarakan pembuka dan dapat diletakkan di mimbar sabda sejak awal misa (PUMR 117 & 118).
– berarti KOSTER juga yang menaruh LECTIONARIUM di mimbar sabda. Jadi Lektor tidak perlu membawa Lectionarium itu dalam perarakan?

PENCERAHAN dari Pastor Liberius Sihombing :

Sy ga tau siapakah yg dimaksud admin pak OL hahah, tp sblm pak OL menjawab, saya ikut apa yg tertulis dalam PUMR 117-118 itu yakni: Koster yg bertugas mengatur dan menyiapkan segala sesuatu yg diperlukan pd PE menaruh Evangeliarium di meja Altar dan Lectionarium di mimbar Sabda. Dari meja altarlah imam (diakon kalau ada) membawa Evangeliarium itu ke mimbar sabda. Demikian pendapat saya. terima kasih

Posted in 4. Buku Liturgi | Leave a Comment »

EVANGELIARIUM – UMAT BERTANYA

Posted by liturgiekaristi on May 12, 2011


SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

PENCERAHAN dari Thomas Rudy “ndak usah bawa lectionarium lagi…. selama ini, lectionarium dibawa karena blm ada evangeliarium …………”

Di satu paroki, lektor ada 2 . Pada waktu perarakan keluar dari Sakristi:

– LEKTOR 1 : MEMBAWA BUKU …EVANGELIARIUM.
Buku Evangeliarium ditempatkan langsung di meja Kitab Suci yang posisinya persis di depan Mimbar Sabda (Evangeliarium dalam keadaan terbuka)

– LEKTOR 2 : MEMBAWA BUKU BACAAN KITAB SUCI (YANG MERAH TEBAL) + Teks Doa umat

Pada waktu perarakan kembali ke Sakristi, Buku Kitab Suci yang merah tebal itu, dibawa kembali ke Sakristi…

Kalau begitu…gimana? Barangkali Pak Rudy bisa memberikan pencerahan tambahan , sebagai masukan BUAT PARA LEKTOR yang kadang2 masih bingung dengan sosialisasi ini. Terima kasih. 🙂

Thomas Rudy kembali pada kebijakan paroki saja sih akhirnya…. kalau dalam PUMR yg dibawa itu evangeliarium oleh lektor…

Bonar Pintor H Siahaan Lectionarium diarak krn tdk ada EVANGELIARIUM. Pertanyaan : adakah evangeliarium berbahasa indonesia? dimana dpt dibeli dan berapa harganya?

Noor Noey Indah di paroki ku blm.. tp di salah satu gereja stasi terdekat sdh punya, dan setiap kali sy cb tanya ke DP.. gak dpt jawaban yg pas..ti.. entah mengapa.. hehe.. 😦

Geby Maurine Kindangen

Tata cara penggunaan buku Evangeliarium ada di halaman depan buku Evangeliarium. Evangeliarium dibawa oleh lektor kl tdk ada diakon, pada saat perarakan masuk n sedikit diangkat, dan diletakkan di altar, bkn dimimbar Sabda. Sedangkan bk Lectionarium tetap dibw lektor 2, krn Evangeliarium hanya berisi bacaan Injil. Buku tsb bisa di pesan mll saya (Komlit KWI) dgn biaya 500 ribu plus ongkir. Surat pengantar sdh kami kirimkan kepada Paroki2 di seluruh Indonesia. Bagi Paroki yg blm memiliki segera pesanlah ke Komlit KWI ya.

Bonar Pintor H Siahaan Admin : auk ah gelap … Dianggap gak penting barangkali. Kalau ditanya mengenai PE jawabannya : kan tdk itu yg menunjukkan dan membuat umat menjadi ber iman atau tdk harus selalu demikian krn sdh jadi kebiasaan umat. jadi begitulah keadaannya entah memenuhi atau tdk thd tata cara PE tdk perlu dipermasalahkan. begitu akhirnya penilaian banyak umat.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Rudy mengatakan “kembali pada kebijakan paroki saja sih akhirnya…. kalau dalam PUMR yg dibawa itu evangeliarium oleh lektor…”

Sharing lagi nih ya…
Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, PENEMPATAN EVANGELIARIUM di meja Altar, akan membuat par…a pastor “aware”, bahwa posisi beliau pada saat Ritus Pembuka adalah di mimbar imam…dan bukan di meja Altar. Tetapi ada juga pastor yang rupanya “asik di posisinya”, sehingga beliau tetap ada di mimbar imam (tidak pindah2), sampai doa umat selesai.

Dengan kata lain, pastor itu membacakan INJIL DARI MIMBAR IMAM. Injilnya juga dibaca bukan dari Evangeliarium, tetapi dari buku MERAH TEBAL. Padahal EVANGELIARIUM TERGELETAK DI MEJA KECIL DI DEPAN MIMBAR SABDA. HOMILI JUGA DARI MIMBAR IMAM….Hmmm…piye iki..pastor….??

Benar yg dikatakan pak Thomas Rudy, yg diarak itu adalah Evangeliarum. Tp mungkin krn evangeliarum blm semua dimiliki semua paroki dan bahkan stasi (dan juga dalam bahasa daerah belum selesai dicetak) maka terjadilah kesalahan tadi yakni bu…ku bacaan misa model lama yg diarak yg di dalamnya bacaan I, II dan Injil tertulis. Bahkan di beberapa tempat justru yg diarak adalah Kitab Suci entah itu ukuran besar maupun kecil. Mereka yg membuat itu tdk bisa serta merta disalahkan, karena memang buku yg dimaksudkan utk diarak belum tersedia, pd hal mereka mau membuat perayaan lebih meriah dengan cara perarakan meriah. Dalam kasus itu saya bisa mengerti dan maklum. Jika buku itu tersedia dan dengan cepat disosialisasikan ke pengurus gereja dan seksi liturgi, sy sangka akan bisa tercapai apa yg diharapkan Liturgi yg benar dan anggun.

Benediktus Diptyarsa Janardana kalo d paroki q, evangeliarium ny thu g d arak, tpi taruh gt aj d laci mimbar sabda atau d altar dlm posisi trtutup. nah klo paz ritus pmbacaan injil, tnggal ambil evangeliarium ny, bca deh. nah ithu gmn?

n juga, hbis misa slese, ap yg dlakuin ama evangeliarium? dbawa kmbali k sakristi, atau tetep d posisi ny smula? thx

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

‎1. Yang diarak ketika perarakan pembuka adalah EVANGELIARIUM, dibawa dengan sedikit diangkat oleh Diakon (kalau tidak ada Diakon, oleh Lektor).

2. Bila tidak dibawa pada perarakan pembuka, EVANGELIARIUM dapat langsung diletakkan di tengah m…eja altar sejak sebelum perayaan dimulai.

3. Bila dibawa pada perarakan pembuka, Diakon (atau Lektor jika tidak ada Diakon) tidak ikut memberikan penghormatan kepada altar, namun langsung meletakkan EVANGELIARIUM di atas altar.

4. EVANGELIARIUM itu berada di tengah altar sampai dengan sebelum pembacaan Injil ketika dibawa menuju mimbar sabda.

5. Setelah pembacaan Injil, EVANGELIARIUM diletakkan di meja samping atau tempat lain yang anggun dan serasi.

6. Setelah misa selesai, pada perarakan keluar EVANGELIARIUM tidak perlu dibawa kembali ke sakristi.

7. LECTIONARIUM tidak ikut diarak saat perarakan pembuka dan dapat diletakkan di mimbar sabda sejak awal misa (PUMR 117 & 118).

-OL-

Agus Syawal Yudhistira BTW, Evangeliarium bisa selalu diganti dengan Injil yang lengkap (atau Kitab Suci yang lengkap). Tata cara perarakan dan penggunaannya sama.
Ini sebenarnya udah ada di PUMR.
Tapi kalau baru hangat sekarang, apa karena para calon imam di seminari tidak pernah mempelajari/mengikuti PUMR dan Ceremoniale Episcoporum?

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Untuk pak OL, terima kasih atas pencerahannya. Semoga informasi praktis ini lebih mudah dimengerti dan disosialisasikan. So…menyangkut peran petugas liturgi seputar Evangeliarium ini :

2. Bila tidak dibawa pada perarakan pembuka, EVANGELIA…RIUM dapat langsung diletakkan di tengah meja altar sejak sebelum perayaan dimulai.
– berarti KOSTER YANG TARUH EVANGELIARIUM DI MEJA ALTAR? Apakah demikian?

7. LECTIONARIUM tidak ikut diarak saat perarakan pembuka dan dapat diletakkan di mimbar sabda sejak awal misa (PUMR 117 & 118).
– berarti KOSTER juga yang menaruh LECTIONARIUM di mimbar sabda. Jadi Lektor tidak perlu membawa Lectionarium itu dalam perarakan?

Mohon pencerahan lagi pak OL. Terima kasih.

Liberius Sihombing Sy ga tau siapakah yg dimaksud admin pak OL hahah, tp sblm pak OL menjawab, saya ikut apa yg tertulis dalam PUMR 117-118 itu yakni: Koster yg bertugas mengatur dan menyiapkan segala sesuatu yg diperlukan pd PE menaruh Evangeliarium di meja Altar dan Lectionarium di mimbar Sabda. Dari meja altarlah imam (diakon kalau ada) membawa Evangeliarium itu ke mimbar sabda. Demikian pendapat saya. terima kasih

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Pastor Liberius. Di Page Liturgi…ada beberapa anggota admin. Diantaranya OL itu lho…(ada initial nama di bagian bawah pencerahannya diatas). Ya…semoga gabungan beberapa admin yang PEDULI LITURGI membantu Page ini menjadi lebih semara…k…:-)

Terima kasih Pastor Liberius. Jawaban pastor membuat pertanyaan saya terjawab jelas seperti kaca. Hehe…Jadi…berarti Evangeliarium itu tidak perlu diarak…tidak apa2 ya? Ada pendapat umat di page ini yang mengatakan “Evangeliarium terlalu di dewakan”…dengan prosesi2 yang katanya berlebihan…. 🙂

Posted in 4. Buku Liturgi | Leave a Comment »

EVANGELIARIUM – MELAMBANGKAN KRISTUS YANG HADIR DALAM SABDANYA.

Posted by liturgiekaristi on May 4, 2011


Topik :

ada pendapat bahwa Evangeliarium melambangkan Kristus yang hadir dalam sabdaNYa, namun demikian… jika kita melihat PUMR 175 “….Akhirnya, diakon membawa Kitab Injil ke meja samping atau ke tempat lain yang anggun dan serasi.”
mengapa diletakkan di meja samping (alias meja kredens)?

Thomas Rudy

pertanyaan ini saya tanyakan karena admin sempat mengatakan:

++++++++++
Setelah pemakluman Injil, buku Evangeliarum tetap berada di ambo sampai selesai perayaan. Hal ini menunjukkan :

…Kehadiran Allah dalam SabdaNya sampai berakhirnya perayaan. Dan simbol kehadiranNya adalah ambo yang di atasnya ada Evangeliarum….

– Liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi merupakan satu kesatuan, Sabda Allah tetap hadir dalam liturgi Ekaristi; bukan sepert lakon atau adegan bahwa yang satu sudah berperan lalu lanjut adegan berikut… atau kita mau katakan: “Tuhan, kami telah mendengarkan SabdaMu, dan sekarang kami mau lanjut ke Ekaristi, jadi Tuhan pindah ke meja kredens atau pulang ke Sakristi… atau ke laci ambo…”
+++++++++++

sehingga timbul kesan, kalau keluar dari ambo berarti tidak menghargai kehadiran TUhan, apalagi ditaruh di kredens atau laci ambo…

padahal PUMR sendiri mengatakan diletakkan di kredens.. …kalau misa di vatikan, setelah evangeliarium dipakai, maka dicium oleh paus, paus kasih berkat dgn evangeliarium udah itu sayonara evangeliarium….. hilang sudah masuk ke belakang

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

PUMR 175 “….Akhirnya, diakon membawa Kitab Injil ke meja samping atau ke tempat lain yang anggun dan serasi.”
Credence itu meja kecil untuk meletakan perlengkapan² misa. Berarti dalam konteks ini, meja kecil dikhususkan untuk meletakan buk…u Evangeliarum, sama seperti yang biasa kita lakukan di bulan Kitab Suci (bulan september), ada meja yang dikhususkan (kredens) untuk meletakkan buku Sabda Allah setelah selesai dimaklumkan. Apa lagi dikatakan dalam PUMR tempatnya harus anggun dan serasi. Jadi bukan meja kredens biasa kita lihat berada di pojok panti imam tempat diletakkan piala, sibori, dll. Jadi kalau mau buat meja khusus (kredens) untuk meletakan buku Evangeliarum, ya silakan dan tempatnya harus pantas, anggun dan serasi. Kalau tidak ada kredens khusus… Evangeliarum tetap saja berada di ambo…. Dengan demikian makna kehadiran Sabda Allah dalam perayaan tetap ada sampai selesai perayaan.
Exortasi Apostolik VERBUM DOMINI dari Benediktus XVI bisa membantu kita menghayati makna Sabda Allah dalam liturgi khususnya di bagian II tentang VERBUM IN ECCLESIA, bab tentang LITRUGI MERUPAKAN TEMPAT KHUSUS (istimewa) DARI SABDA ALLAH pada no 52 – 55

http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/apost_exhortations/documents/hf_ben-xvi_exh_20100930_verbum-domini_en.html

Thomas Rudy ooooooo tq buat pencerahannya, jadi ini kredens yg berbeda dgn alat2 misa?wah banyak sekali meja2 kalau begitu

Agus Syawal Yudhistira

Tapi bagian II dari Verbum Domini menggarisbawahi apa yang sudah disampaikan oleh Rm. McNamara, bahwa dalam Liturgi Latin, sakramentalitas Kitab Suci hadir ketika dibacakan/diproklamasikan, dan bukan dalam wujud Kitab yang secara khusus dit…ahtakan.

Beliau menuliskan demikian (bagian Sacramentality of the Word [56]): “Christ, truly present under the species of bread and wine, is analogously present in the word proclaimed in the liturgy.”

Jadi analoginya jelas, seperti Kristus hadir dalam wujud roti dan anggur, kehadiran yang sama nyatanya hadir ketika Kitab Suci dimaklumkan. Jadi, tindakan pemaklumannya yang menyebabkan momen itu istimewa.

Verbum Domini no. 67 bicara soal pemakluman secara meriah. Ini sudah sama persis dengan apa yang ada dalam “Ordo Lectionum Missae” dan PUMR. Bahwa untuk menggarisbawahi keistimewaan pewartaan sabda, baik jika pada hari raya, pesta dan hari minggu, diadakan prosesi Evangeliarium/Injil.

Soal tempat peletakan Injil baru disebut pada no. 68, bahwa Kitab Suci selayaknya ditahtakan di tempat terhormat di dalam Gereja, di luar perayaan liturgi.
Sementara artikel yang sama mengatakan bahwa Ambo harus menjadi pusat perhatian pemakluman sabda. Ini sudah sesuai dengan PUMR dan “Ordo Lectionum Missae.”

Dengan demikian Verbum Domini, tidak menjelaskan apa-apa soal tempat peletakan Evangeliarium setelah digunakan.

Saya pikir, masalahnya hanya praktis saja.
1. Tidak masalah Evangeliarium tetap ditinggal di Ambo, selama Ambo cukup besar, tidak mengganggu jalannya upacara ketika harus digunakan untuk homili, atau doa umat.
Tidak baik juga, dari segi praktikal, menumpuk2 Evangeliarium di Ambo, dengan risiko rusak, robek, terlipat.
2. Jika Ambo terlalu kecil, seperti misalnya ambo portabel yang biasa digunakan untuk Misa Kepausan, Evangeliarium disimpan di tempat lain. Praktek paling umum adalah membawanya ke meja Kredens. Tempat ini secara spesifik disebut oleh PUMR sebagai tempat terhormat untuk meletakkan Evangeliarium atau Injil setelah pemakluman.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Konsisten dengan PUMR 175 bahwa yang bertugas membawa dan meletakkan Evangeliarum di kredens adalah diakon. Maka (tidak ada diakon), imam selesai memaklumkan Injil, Evangeliarum tetap berada di ambo. Praktis aja kan mas… tidak repot-repo…t…..
Dan saya pikir sudah sesuai dengan Sakramentalitas Sabda Allah (VD 56) “Sabda telah menjadi daging”, Firman Allah yang dimaklumkan di ambo dan dari Evangeliarum menjadi Tubuh dan Darah Kristus di altar (lit. Ekaristi). Ambo : meja Sabda, altar : meja Ekaristi. Keduanya merupakan satu kesatuan perayaan liturgi. Maka seperti saya katakan sebelumnya, kalau sehabis pemakluman Injil, Evangeliarum dibawa ke kredens yang berada si pojok panti imam, atau ke sakristi, atau ditaruh di laci ambo, itu kesannya bukan satu kesatuan perayaan tetapi semacam adegan dan berganti peran bahwa selesai liturgi Sabda adegan berikut liturgi Ekaristi. Kalimat saya seperti yang dikutip Thomas Rudy di atas, itu berangkat dari sini, soal ganti adegan. Paus Benediktus XVI dalam Verbum Domini menegas : “Christ, truly present under the species of bread and wine, is analogously present in the word proclaimed in the liturgy.” (VD 56, bagian akhir alinea kedua).
SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Point saya adala kesatuan perayaan antara meja Sabda : ambo + Evangeliarium dan meja Ekaristi : altar + tubuh dan darah Kristus. Maka dari Verbum Domini 56 tentang Sakramentalitas Sabda Allah, saya merefleksikan demikian :
Bacaan Injil hari …Minggu Paskah II esok tentang kisah dua murid Emaus. Saya mendengarkan Sabda Tuhan tentang kisah dua murid Emaus ini dalam Evangeliarum dari mimbar Sabda (ambo). Firman Tuhan ini berinkarnasi (Sabda menjadi daging) menjadi tubuh dan darah Kristus dalam Ekaristi (DSA). Saat komuni saya menerima Tubuh Kristus, yang adalah Tuhan Yesus yang bangkit, Dia menampakkan diriNya kepada dua murid Emaus, yang pemakluman kisahnya ini saya telah mendengarkannya dari Evangeliarum dibacakan di ambo.

Maaf kalau saya agak ngotot tetap mempertahankan Evangeliarium tetap berada di ambo, karena mau menunjukkan simbolisasi kehadiran Sabda Allah dalam satu kesatuan perayaan liturgi.

Proposisi no 7 hasil sinode para uskup 2008 tentang Sabda Allah, yang merekomendasikan Paus untuk mengeluarkan Verbum Domini ini, menegaskan kembali Dei Verbum no 21 dan SC no 56. Proposisi itu mengatakan demikian :

Proposition 7:
Unity between Word of God and Eucharist.

“It is important to consider the profound unity between the Word of God and the Eucharist (cf. “Dei Verbum,” 21), as expressed by some particular texts, such as John 6:35-58; Luke 24:13-35, in such a way as to overcome the dichotomy between the two realities, which is often present in theological and pastoral reflection. In this way the connection with the preceding Synod on the Eucharist will become more evident.
The Word of God is made sacramental flesh in the Eucharistic event and leads Sacred Scripture to its fulfillment. The Eucharist is a hermeneutic principle of Sacred Scripture, as Sacred Scripture illumines and explains the Eucharistic mystery. In this sense the Synodal Fathers hope that a theological reflection on the sacramentality of the Word of God might be promoted. Without the recognition of the real presence of the Lord in the Eucharist, the intelligence of Sacred Scripture remains unfulfilled.”

Thomas Rudy

‎@admin dan Agus Syawal: thanks saya dapat pencerahan, memang benar kesatuan antara sabda dan ekaristi tidak terpisahkan

bahwa kehadiranNya itu akan terus konstan, “Sabda telah menjadi daging”, Firman Allah yang dimaklumkan di ambo dan dari …Evangeliarum menjadi Tubuh dan Darah Kristus di altar (lit. Ekaristi). –> pinjam kutipan admin yah……….Maka Verbum Domini sudah menggambarkan dengan jelas betapa eratnya sabda dan ekaristi

maka adalah tepat penempatan di Kredens (kredens yg sama dgn alat-misa). kenapa? karena di kredens itulah peralihan dimana sang sabda (dilambangkan dengan buku) dipersiapkan untuk dikurbankan.

Meja Kredens pada misa Paulus VI lebih memerankan peran penting dimana piala lengkap dgn patena berada disana, ampul dll semua berada disana… penempatan Evangeliarium Kredens mendukung simbolisasi sabda menjadi manusia dan kemudian dikurbankan

sehingga [menurut saya] tidak timbul gagasan salah ada “dua matahari” tapi hanya ada 1 matahari. (Yesus dalam sabda dan YEsus dalam Ekaristi dua-duanya hadir, padahal dalam ekaristi kehadiran itu bersifat kontinuum, berkelanjutan bukan berdua2an bersaing2an).

saya kemudian membaca buku Ceremonies Modern ROman Rite (no. 263), pada misa tanpa diakon disitu dikatakan bahwa Evangeliarium diletakkan dibawa laci ambo atau diberikan pada server (misdinar) untuk diletakkan di kredens (Nah, pernyataan saya ditaruh dilaci ambo, dasarnya dari sini selain ada masukan dari salah satu pastor di KWI)

Saya tergoda untuk membaca buku The Celebration of Mass (rubrik misa tridentine), dimana memang sudah dari jaman dahulu Evangeliarium itu diletakkan di kreden.

jadi memang akhirnya ke-diam-an (dan ambiguitas) rubrik mempersilahkan imam/MC mengatur apakah tetap di Ambo atau dipindah ke kredens no problemo

terima kasih juga link-nya, cukup sangat membantu…saya membaca seperti cara @agus membaca hehehe…

justru diskusi ini memperteguh saya malahan agar evangeliarium itu baik pada misa dengan diakon atau tanpa diakon tetap diletakkan di kredens….(tapi sayang saya bukan imam hahahaha)

nah setelah kita berkomuni menyambut sabda yang menjelma itu… maka itulah kenapa Evangeliarium tidak ikut dalam perarakan pulang karena sudah disantap…

sorry, setelah saya baca kembali, ada kesalahan ketik dalam pernaytaan saya di atas tentang bacaan Injil kisah dua murid Emaus. Yang dimaksud adalah bacaan Injil Hari Minggu Paskah, misa sore, bukan Minggu Paskah II. jadi sekali lagi maaf atas kesalahan ketik ini. semalam ketika menulis ini sduah dini hari jam 2, sdh ngantuk dan tak sepat koreksi lagi….

salam

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda, 4. Buku Liturgi | Leave a Comment »

SOSIALISASI BUKU EVANGELIARIUM DI GEREJA PAROKI

Posted by liturgiekaristi on April 29, 2011


Pertanyaan umat:

Seputar Evangeliarium. Dalam Misa dipimpin seorang imam selebran, tanpa diakon, setelah Evangeliarium dibaca, bagaimana kemudian Evangeliarium disimpan?
Dalam skenario adanya diakon atau konselebran, mereka yang akan membawa evangeliarium pergi setelah dibaca dan diletakkan di tempat lain, meja kredens misalnya.
Namun dalam skenario tanpa diakon atau konselebran, apakah Evangeliarium selesai dibaca dibiarkan di ambo sampai misa selesai?
Ataukah imam memberikannya kepada lektor/putera altar untuk membawanya ke meja kredens?
Mengingat ambo akan digunakan untuk homili dan doa umat, sepertinya membiarkan Evangeliarium di meja kredens bukan pilihan yang baik. Secara praktis, memenuhi ambo dan kemungkinan rusak lebih besar.
Di PUMR tidak disebutkan bagaimana Evangeliarium harus disimpan dalam misa tanpa diakon.

Pendapat umat Thomas Rudy

itulah gunanya laci dibawah ambo

Pendapat umat  Agus Syawal Yudhistira

LOL, kepikiran juga.. tapi tetep, sepertinya decorumnya kelihatan lebih elegan jika, setelah Injil dibacakan, seorang lektor atau putera altar sudah menunggu, lalu evangeliarium diserahkan untuk dibawa dengan hormat tanpa prosesi atau upaca…ra ke meja kredens.
Yah mengingat kalau dalam Misa Forma Extraordinaria, adalah pelayan altar juga yang bertugas menukar Injil dari sisi epistola ke sisi injil, sepertinya skenario yang saya sebutkan ‘memungkinkan.’

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Setelah pemakluman Injil, buku Evangeliarum tetap berada di ambo sampai selesai perayaan. Hal ini menunjukkan :
Kehadiran Allah dalam SabdaNya sampai berakhirnya perayaan. Dan simbol kehadiranNya adalah ambo yang di atasnya ada Evangeliarum….- Liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi merupakan satu kesatuan, Sabda Allah tetap hadir dalam liturgi Ekaristi; bukan sepert lakon atau adegan bahwa yang satu sudah berperan lalu lanjut adegan berikut… atau kita mau katakan: “Tuhan, kami telah mendengarkan SabdaMu, dan sekarang kami mau lanjut ke Ekaristi, jadi Tuhan pindah ke meja kredens atau pulang ke Sakristi… atau ke laci ambo…”

Hal ini simbol penting perayaan liturgi, jadi perlu mendapat perhatian serius.

Kalau ambonya dirasa terlalu kecil dan tidak cukup muat buku Evangeliarum, ya ganti ambonya yang lebih layak dan pantas…. bukan Evangeliarumnya yang disingkirkan.

Petugas doa umat bisa mengmbil tempat di ambo, atau mimbar dirijen atau yang memberi pengumuman.

Pada akhir perayaan petugas : diakon/prodiakon/lektor/lektris mengambil buku Evangeliarum di ambo dan bersama imam dan misdinar berarak kembali ke sakristi.

Agus Syawal Yudhistira

Tetapi sebaliknya PUMR menyatakan bahwa doa umat dan homili selayaknya dilakukan dari Ambo, dan kenyataan bahwa dalam Misa dengan Diakon adalah umum untuk menyimpan Evangeliarium setelah Liturgi Sabda – Misa Kepausan misalnya, dan pendapat …pakar liturgi seperti Professor McNamarra dari Regina Apostolorum University menyatakan bahwa tidak selayaknya Injil/Evangeliarium ditahtakan secara sangat istimewa setelah pembacaan.

Juga dalam perarakan keluar, disebutkan dalam tata cara penggunaan bahwa buku Evangeliarium tidak dibawa lagi dalam perarakan keluar.

Dalam Misa Kepausan, sepertinya malah buku Evangeliarium dibawa kembali ke Sakristi setelah Paus menghormati dan memberkati umat dengan menggunakan Evangeliarium dan tidak dibawa kembali pada prosesi keluar.

Apakah decorum membiarkan Evangeliarium di Ambo dalam Misa tanpa Imam adalah pilihan terbaik?

Pendapat Professor McNamara sebagai berikut:
“However, as Pope Paul VI taught, while Christ’s presence in the Word is real, it ceases when the readings are concluded. The Eucharistic presence alone is substantial and real ‘in the fullest sen…se.’

It is therefore quite logical that all liturgical honors paid toward the Book of the Gospels cease once the Liturgy of the Eucharist begins.”

http://www.ewtn.com/library/liturgy/zlitur130.htm

Thomas Rudy karena rubrik diam dalam hal ini, letakkan saja dibawah laci, tetap di ambo tetapi sekaligus perhatian umat tidak teralihkan saat liturgi ekaristi

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Bukan bermaksud untuk mengistimewakan buku Evangeliarum, tetatpi mengatakan simbol kehadiran Allah dalam seluruh satu-kesatuan parayaan liturgi (dari awal sampai akhir perayaan) (bdk. SC. no 7). Maka biarkan simbol-simbol kehadiran Allah i…ni tetap berbicara dalam seluruh perayaan itu. Maka setelah pemakluman Injil Evangeliarum tetap berada di ambo, dan memang di situ tempatnya (entah dalam keadaan terbuka, atau lebih baik tertutup). Toh selama ini buku Bacaan Misa, tetap berada di atas ambo sampai selesai perayaan.Maka menurut saya, dengan adanya buku Evangeliarum pun sama seperti buku bacaan Misa yang sudah dipraktekkan selama ini.

Ada kejadian, setelah pembacaan Injil, imam menyampaikan homili, karena mungkin merasa bahwa buku Evangeliarum “mengganggu” dia dalam menyampaikan homili, buku ini dia serahkan ke misdinar, oleh misdinar diletakkan di meja kredens. Pada saat persiapan persembahan, misdinar yang lain melaksanakan tugasnya dan mungkin dia merasa terganggu, dia ngambil buku ini lalu bingung dia mau taruh dimana karena tak ada tempat, akhirnya dia letakkan di lantai… REAKSI UMAT SUDAH KAYA BUNYI LEBAH….

Pada hal sebelumnya, umat dengan penuh hormat berdiri, menyerukan/menyanyikan Alleluia dengan lantang, Evangeliarum diambil dari altar, diangkat dan ditunjukkan kepada umat, diarak menuju ambo dengan diapiti dua lilin yang menyala, didupai dengan kemenyan yang harum, dimaklumkan dengan penuh hikmat, pada akhir pemakluman Evangeliarum diangkat, ditunjukkan kepada umat beriman sambil menyerukan “VERBUM DOMINI” umat menjawab “LAUS TIBI CHRISTE” atau “Berbahagialahl orang yang mendengarkan Sabda Tuhan dan dengan tekun melaksankanNya” umat menjawab dengan aklamasi yang gembira : “SabdaMu adalah jalan, kebenaran dan hidup kami”, lalu Evangeliarum dikecup dengan penuh hormat. …. tetapi setelah itu….?? kok diletakkan di lantai seperti kejadian di atas… atau diumpetin di laci ambo… dll.

Jadi saya masih tetap berpendapat bahwa biarkan buku Evangeliarum itu tatap berada di ambo, sehingga simbol kehadiran Sabda Allah tetap berbicara sampai akhir perayaan; malahan Sabda Allah yang sama memberi peneguhan pada saat Doa Syukur Agung, mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus… umat beriman yang telah dikuatkan oleh Sabda Allah (dalam lit. sabda) datang menyambut Yesus Kristus Sang SABDA ALLAH itu sendri.

Mengenai perarakan masuk dan perakan pada akhir perayaan, ini soal konsistensi saja :
Kalau perarakan masuk buku Evangeliarum diikutsertakan maka pada akhir perayaan juga diikutsertakan dalam perarakan….
Kalau perarakan masuk Evangeliarum tidak disertakan, berarti buku Evangeliarum sudah diletakkan di altar dalam posisi berdiri…. maka diakhir perarakan buku ini juga tidakdiikutsertakan….

Thomas Rudy

sebenarnya itu dikarenakan rubrik dalam PUMR mendiamkan hal tsb…coba perhatikan pada PUMR 128-137 pada saat misa umat, dimana misa tanpa diakon, imam mengambil buku injil (evangeliarium) dari altar kemudian dst-dst tapi ngak dijelaskan ha…rus bagaimana sesudah dibacakan….

sedangkan kalau kita lihat PUMR 175-177 disana dijelaskan bahwa diakon sesudah memaklumkan injil truss dibawa ke kredens atau tempat yang sesuai.

nah disini rubrik itu diam saat misa tanpa diakon (nah justru karena rubriknya diam maka terbuka pada berbagai interpretasi), itu buku mau dikemanakan….maka tidak salah jika tetap di ambo, tidak salah juga jika diletakkan di dalam laci ambo, tidak salah juga jika dibwa oleh entah siapa ke sakristi….

Karena baik dengan diakon/tanpa diakon, hormat terhadap buku Evangeliarium/Injil tetaplah sama. Tetapi berarti memindahkannya ke meja kredens harusnya bagian dari penghormatan yang layak ini.

Dan mungkin mengejutkan bahwa dalam Liturgi Romawi, “kehadiran Kristus dalam sabda terjadi pada saat dimaklumkan” dan bukan secara sakramental pada buku Evangeliarium/Injil itu sendiri (kata professir McNamara; thanks ke Agus Syawal Yudhistira untuk linknya diatas). karena ada imam penanya dari Skotlandia yang menanyakan hal yang sama, “apakah kelihatannya kurang sopan atau kurang menghargai untuk memindahkan Injil ke laci/kredens setelah dibacakan.”

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Kalau di PUMR tidak menyebutkan atau menjelaskan, ya tetap aja diletakkan di ambo, jangan menginterpretasikan lagi dengan memnaruh di laci ambo, … ke kredens, dsb… kan PUMR tidak menyebutkan…. ya di situ aja ditempatkan, di ambo, dan …memang itu tempatnya….

Oke, saya kutip PUMR no 175 pada akhir alinea : “Akhirnya, diakon membawa Kitab Injil ke meja-samping atau ke tempat lain yang anggun dan serasi.” Dari kalimat ini saya membayangkan tempat yg anggun dan serasi itu seperti yang sering terjadi di bulan Kitab Suci (September) ada tempat khusus untuk meletakan buku Sabda Allah, ya gak apa-apa…. saya setuju. Tetapi diletakkan di meja kredens yang selama ini terletak di pinggir panti imam dekat dinding atau di pojok belakang panti imam…. apa maknanya?

Soal kurang sopan atau tidak menghargai, itu masalah bagaimana orang mengartikannya, apalagi dalam liturgi banyak tanda dan simbol, entah itu tata gerak atau barang/materi yang ada di panti imam.

Mas, saya tidak bilang “kurang sopan” atau “tidak menghargai”, saya yang mencari apa maknanya dengan tindakan meletakkan di meja kredens atau menaruh di laci ambo. kenapa rupanya kalau Evangeliarum tetap berada di atas ambo.? Kalau tetap berada di ambo, saya sudah memaknainya seperti yang sudah saya katakan sebelumnya di atas.

Thomas Rudy

ngak ada yg salah sih kalau dia diletakkan di ambo saja saya setuju saja tapi bukan memuttlakkan krn rubrik diam disini, cuma tadi statement (mas/romo/pak/ibu) menunjukkan bahwa kalau tidak taruh di ambo berarti kurang hormat (coba deh disi…tu admin mengatakan: tuhan udah yah kami mau liturgi ekaristi slahkan pindah ke kredens dst2), padahal pumr sendiri diam dan tdk memberikan clue apapun pada misa tanpa diakon….mungkin juga dlm misa dgn diakon kenapa diletakkan di meja samping aka kredens karena kristus hadir dlm sabdaNya ketika dimaklumkan, ketika pemakluman (pembacaan) selesai, maka simbolisasi ini juga selesai….evangeliarium sayonara………ketika liturgi ekaristi maka semua fokus beralih pada yesus yg hadir scr sakramental, jd ndak ada lagi “pengalih perhatian” pada kehadiran yesus scr sakramental, makanya evangeliarium sayonara n diletakkan di kredens
  • Agus Syawal Yudhistira

    Sepertinya karena Evangeliarium menjadi titik puncak dan pusat dari perayaan Liturgi Sabda. Tetapi bukan titik puncak dari perayaan Liturgi Ekaristi, sedemikian untuk menggariskan bahwa sabda yang tadi dibaca menjelma, “inkarnasi” dalam dag…ing dan darah, penghormatan terhadap Evangeliarium dipindahkan kepada Ekaristi.
    Agaknya ini masuk akal, itu sebabnya Evangeliarium tidak dibawa dalam prosesi keluar. Karena Sabda sudah menjadi Daging dan sudah diterima oleh umat.

    Karena itu dalam “Ordo Lectionum Missae” no 10, dikatakan bahwa pewartaan sabda dan Ekaristi sama-sama dihormati namun tidak disembah secara sama.

    Atas alasan ini PUMR menyebutkan meja Kredens sebagai tempat terhormat meletakkan Evangeliarium. Pastinya ini tempat terhormat, jika tidak kita punya risiko menginterpretasikan bahwa dalam Misa dengan Diakon, dan peletakan di Kredens atau kembali ke sakristi seperti dalam Misa bersama Paus, tingkat hormat yang diberikan kepada Evangeliarium lebih rendah daripada yang dibiarkan tetap berada di Ambo.

    Mohon maaf atas panjangnya thread ini. Ketika saya menanyakan pertanyaan di awal, saya belum mendapat informasi lanjutan. Tapi tidak lama berselang saya menemukan artikel Romo McNamara, yang menjawab apa yang saya tanyakan.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA kenapa repot² harus diletakkan di kredens? atau dipulangkan ke sakristi? apa yang salah kalau Evangeliarum tiu tetap di ambo?

Thomas Rudy

‎@admin dan Agus Syawal: thanks saya dapat pencerahan, memang benar kesatuan antara sabda dan ekaristi tidak terpisahkan

bahwa kehadiranNya itu akan terus konstan, “Sabda telah menjadi daging”, Firman Allah yang dimaklumkan di ambo dan dari …Evangeliarum menjadi Tubuh dan Darah Kristus di altar (lit. Ekaristi). –> pinjam kutipan admin yah……….Maka Verbum Domini sudah menggambarkan dengan jelas betapa eratnya sabda dan ekaristi

maka adalah tepat penempatan di Kredens (kredens yg sama dgn alat-misa). kenapa? karena di kredens itulah peralihan dimana sang sabda (dilambangkan dengan buku) dipersiapkan untuk dikurbankan.

Meja Kredens pada misa Paulus VI lebih memerankan peran penting dimana piala lengkap dgn patena berada disana, ampul dll semua berada disana… penempatan Evangeliarium Kredens mendukung simbolisasi sabda menjadi manusia dan kemudian dikurbankan

sehingga [menurut saya] tidak timbul gagasan salah ada “dua matahari” tapi hanya ada 1 matahari. (Yesus dalam sabda dan YEsus dalam Ekaristi dua-duanya hadir, padahal dalam ekaristi kehadiran itu bersifat kontinuum, berkelanjutan bukan berdua2an bersaing2an).

saya kemudian membaca buku Ceremonies Modern ROman Rite (no. 263), pada misa tanpa diakon disitu dikatakan bahwa Evangeliarium diletakkan dibawa laci ambo atau diberikan pada server (misdinar) untuk diletakkan di kredens (Nah, pernyataan saya ditaruh dilaci ambo, dasarnya dari sini selain ada masukan dari salah satu pastor di KWI)

Saya tergoda untuk membaca buku The Celebration of Mass (rubrik misa tridentine), dimana memang sudah dari jaman dahulu Evangeliarium itu diletakkan di kreden.

jadi memang akhirnya ke-diam-an (dan ambiguitas) rubrik mempersilahkan imam/MC mengatur apakah tetap di Ambo atau dipindah ke kredens no problemo

terima kasih juga link-nya, cukup sangat membantu…saya membaca seperti cara @agus membaca hehehe…

justru diskusi ini memperteguh saya malahan agar evangeliarium itu baik pada misa dengan diakon atau tanpa diakon tetap diletakkan di kredens….(tapi sayang saya bukan imam hahahaha)

nah setelah kita berkomuni menyambut sabda yang menjelma itu… maka itulah kenapa Evangeliarium tidak ikut dalam perarakan pulang karena sudah disantap…

PENCERAHAN dari SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Pada perarakan masuk Evangeliarium dibawa oleh Diakon (atau oleh Lektor bila tidak ada Diakon) dan setibanya di panti imam Diakon/Lektor yang membawa Evangeliarium ini langsung meletakkannya di atas meja altar. Dalam hal ini Diakon/Lektor berjalan di depan atau di samping Imam selebran.Pada saat Bait Pengantar Injil, Evangeliarium yang diletakkan di atas meja altar ini diarak oleh Imam atau Diakon pembaca Injil menuju mimbar sabda.

Setelah pembacaan Injil, Evangeliarium diletakkan di meja kredens atau tempat lain yang anggun dan serasi, dan tidak dikembalikan ke meja altar.

-OL-

Rencananya di kami akan dibawa oleh prodiakon, ketika misa mingguan. Besok sabtu nih perdananya. Pada saat Paskah masih ada frater2. Lektor di tempat kami lebih banyak para remaja putri alias lektris. Mungkin utk alasan kepantasan saja, maka prodiakon yg membawa pada perarakan masuk. Setelah di altar maka Imam yg akan membawanya ke mimbar sabda. Mohon masukan.

PENCERAHAN dari Pastor Albertus Widya Rahmadi Putra

Jika tidak ada diakon … ” lektor DAPAT membawa Evangeliarum ” Cermati saja kata “dapat”… bukan berati “HARUS” khan? 🙂 Dengan kata lain tidak masalah bila dibawa oleh asisten imam atau prodiakon.. toh nantinya yang membaca Injil tetap imam..

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda, 4. Buku Liturgi | Leave a Comment »

PENGGUNAAN BUKU EVANGELIARIUM (DNG VIDEO)

Posted by liturgiekaristi on April 20, 2011


Dikutip dari buku Evangeliarium

PENGGUNAAN BUKU

EVANGELIARIUM

 

 

 

A.        Penggunaan Umum

1.                   Dalam Perayaan Ekaristi kudus Evangeliarium atau Kitab Injil digunakan pada beberapa bagian, dengan berbagai cara:

a.                  Evangeliarium, bukan Buku Bacaan (Lectionarium), sebelum Misa atau Perayaan Ekaristi dimulai dapat diletakkan pada bagian tengah altar dalam keadaan tertutup, kecuali kalau buku itu dibawa dalam perarakan masuk (PUMR 117).

b.                  Dalam perarakan masuk Evangeliarium dibawa oleh Diakon (atau oleh Lektor dalam Misa tanpa Diakon) dengan cara sedikit diangkat dan dalam keadaan tertutup, lalu diletakkan di atas altar (PUMR 119, 120d, 122). Diakon pembawa Evangeliarium berjalan di depan atau di samping Imam Selebran (PUMR 172). Setibanya di altar, Diakon pembawa Evangeliarium tidak ikut memberi penghormatan kepada altar, tetapi langsung menuju altar untuk meletakkan Evangeliarium di atas altar. Sesudah itu, bersama dengan Imam, Diakon mencium altar.

Jika yang bertugas membawa Evangeliarium adalah Lektor karena ketiadaan Diakon, maka ia tidak mencium altar, tetapi langsung meletakkannya di atas altar, dan kemudian menuju ke tempat duduk yang tersedia untuknya. Evangeliarium yang tertutup itu berada pada bagian tengah altar sampai dengan sebelum pemakluman Injil (bdk. PUMR 173, CE 129).

c.                   Sebelum pemakluman Injil, Diakon memohon berkat kepada Imam Selebran dengan cara membungkuk di depannya. Jika tidak ada Diakon petugas pemakluman itu, maka yang bertugas adalah Imam Selebran itu sendiri. Jika tidak ada Diakon petugas dan Imam Selebran yang memimpin adalah seorang Uskup yang didampingi Imam Konselebran, maka salah seorang Imam Konselebran bertugas memaklumkan Injil. Imam petugas itu memohon berkat kepada Uskup yang bertindak sebagai Imam Selebran. Akan tetapi, jika Imam Selebrannya adalah seorang Imam biasa (bukan Uskup), maka Imam Konselebran yang bertugas memaklumkan Injil itu tidak perlu memohon berkat kepada Imam Selebran.

Sesudah diberkati oleh Imam Selebran, Diakon (atau Imam petugas) menuju altar, membungkuk menghormatinya, mengambil Evangeliarium dari altar itu, lalu pergi ke mimbar sambil membawa Evangeliarium yang sedikit diangkat, didahului para putra altar pembawa lilin bernyala dan pedupaan beraroma. Ia mendupai Evangeliarium setelah membuat tanda salib dengan ibu jarinya pada bacaan Injil yang akan dimaklumkan, pada dahi, mulut, dan dadanya. Lalu ia mendupai Evangeliarium itu tiga kali masingmasing dua ayunan: di tengah, di samping kiri, dan di samping kanan (lihat PUMR 175, CE 74). Setelah itu ia membawakan  bacaan Injil dengan cara membacakan atau menyanyikan.

d.                  Di akhir pemakluman Injil, Diakon atau Imam tidak perlu mengangkat Evangeliarium dari mimbar ketika ia menyerukan ”Demikianlah Injil Tuhan” atau seruan serupa.

e.                  Sesudah jawaban Umat ”Terpujilah Kristus”, Diakon mencium Evangeliarium sambil mengucapkan dalam hati ”Semoga karena pewartaan Injil ini dileburlah dosadosa kami”. Kalau yang memimpin Misa adalah seorang Uskup, Diakon membawa Evangeliarium kepada Uskup untuk dicium. Atau Diakon sendiri dapat menciumnya, tanpa membawanya kepada Uskup. Dalam perayaan meriah, kalau dianggap baik, Uskup dapat memberkati Umat dengan Evangeliarium dalam bentuk tanda salib besar.

Sesudah itu Diakon membawa Evangeliarium ke mejasamping (kredens) atau ke tempat lain yang anggun dan serasi, tetapi tidak meletakkannya di atas altar lagi (lihat PUMR 175). Sementara pelayan altar yang mendampingi pemakluman Injil meletakkan perlengkapannya di mejasamping.

f.                    Dalam Ritus Penutup, Evangeliarium tidak perlu dibawa lagi ketika perarakan keluar.

2.                  Dalam Misamisa Ritual atau Misa yang dirayakan dalam kaitan dengan sakramen dan sakramentali (PUMR 372; misalnya: Inisasi, Tahbisan, Pengurapan Orang Sakit, Perkawinan, Pelantikan Pelayan Liturgi, Pemberkatan, Pengikraran Kaul) Evangeliarium ini digunakan sesuai dengan tata cara di atas, kecuali jika ditunjukkan juga penggunaannya yang secara khusus diperlukan dalam Misa Ritual yang bersangkutan, seperti yang beberapa akan disebutkan di bawah ini.

VIDEO INI MEMPERLIHATKAN BUKU EVANGELIARIUM DIBAWA DALAM PERARAKAN, LALU DITARUH DI ATAS MEJA ALTAR (BUKAN DI MIMBAR SABDA  ATAU MEJA LAIN)  :

VIDEO INI MEMPERLIHATKAN PASTOR MENGAMBIL BUKU EVANGELIARIUM DARI ATAS MEJA ALTAR (BUKAN DARI MEJA LAIN), LALU MEMBAWANYA KE MIMBAR SABDA

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda, 4. Buku Liturgi | Leave a Comment »

BUKU LITURGI – EVANGELIARIUM sudah bisa dibeli di kantor KOMLIT KWI

Posted by liturgiekaristi on April 11, 2011


This slideshow requires JavaScript.

Buku Evangeliarium memuat perikop-perikop  Injil yang diwartakan dalam perayaan liturgy pada hari Minggu, Hari Raya, Pesta Tuhan dan Hari Khusus, serta dalam Perayaan dan Misa misa Ritual, seperti Liturgi Inisiasi, Liturgi Tahbisan, Penerimaan Calon untuk Diakon dan Imamat, Pelantikan Pelayan Liturgi, Liturgi Orang Sakit, Liturgi Perkawinan, Pemberkatan Abas dan Abdis, Pengudusan Perawan dan Pengikraran Kaul, serta Pemberkatan Gereja, Altar, Piala dan Patena.

Dalam perayaan-perayaan Liturgi meriah, khususnya dalam Perayaan Ekaristi, Evangeliarium  diberi penghormatan sangat khusus, misalnya diarak dengan sedikit diangkat pada saat perarakan masuk, didupai, dicium setelah pewartaan Injil dan Uskup memberkati Umat dengan buku ini dalam bentuk tanda salib besar.

Peranan simbolis.

Sesuai dengan keluhuran martabat dan peranan simbolis dari buku liturgis resmi Bahasa Indonesia untuk Ritus Latin ini, maka Evangeliarium  disusun dengan baik dan dicetak dalam bentuk yang besar, indah dan menawan.

Spesifikasi buku Evangeliarium yang dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, antara lain sebagai berikut:

Ukuran buku 24 cm x 34 cm, 780 halaman, beratnya sekitar @ 5 kg. Agar buku ini dapat disimpan dengan baik, setelah digunakan, disertakan juga Box Sleeve  (kotak penyimpan) .

SEBAGAI PENGGANTI BIAYA PRODUKSI, BUKU INI DAPAT DIBELI DI KOMLIT KWI, HARGANYA @ RP. 500.000 DITAMBAH ONGKOS KIRIM

Hubungi : Kantor KOMISI LITURGI KWI di alamat email : komlit-kwi@kawali.org, Telp : 021- 3154714 atau HP 0815-1080-8853

Promulgasi Presidium KWI

Dalam Surat Promulgasi KWI yang ditanda tangani oleh Mgr. M.D Situmorang OFMCap (Ketua KWI) dan Mgr. Johannes Pujasumarta (Sekretaris Jendral KWI), menyebutkan bahwa pada awal Pekan Suci, Minggu Palma, 17 April 2011, buku Evangeliarium ini mulai diberlakukan secara resmi untuk digunakan dalam perayaan liturgy di keuskupan-keuskupan di seluruh Indonesia. Gereja Katedra, Gereja Paroki, Kapel-kapel Seminari dan Biara diharapkan memiliki dan menggunakan buku liturgi Evangeliarium ini. Tata cara penggunaan buku Evangeliarium dijelaskan pada bagian awal buku ini.

PENGGUNAAN BUKU

EVANGELIARIUM

 

 

 

A.        Penggunaan Umum

1.                   Dalam Perayaan Ekaristi kudus Evangeliarium atau Kitab Injil digunakan pada beberapa bagian, dengan berbagai cara:

a.                  Evangeliarium, bukan Buku Bacaan (Lectionarium), sebelum Misa atau Perayaan Ekaristi dimulai dapat diletakkan pada bagian tengah altar dalam keadaan tertutup, kecuali kalau buku itu dibawa dalam perarakan masuk (PUMR 117).

b.                  Dalam perarakan masuk Evangeliarium dibawa oleh Diakon (atau oleh Lektor dalam Misa tanpa Diakon) dengan cara sedikit diangkat dan dalam keadaan tertutup, lalu diletakkan di atas altar (PUMR 119, 120d, 122). Diakon pembawa Evangeliarium berjalan di depan atau di samping Imam Selebran (PUMR 172). Setibanya di altar, Diakon pembawa Evangeliarium tidak ikut memberi penghormatan kepada altar, tetapi langsung menuju altar untuk meletakkan Evangeliarium di atas altar. Sesudah itu, bersama dengan Imam, Diakon mencium altar.

Jika yang bertugas membawa Evangeliarium adalah Lektor karena ketiadaan Diakon, maka ia tidak mencium altar, tetapi langsung meletakkannya di atas altar, dan kemudian menuju ke tempat duduk yang tersedia untuknya. Evangeliarium yang tertutup itu berada pada bagian tengah altar sampai dengan sebelum pemakluman Injil (bdk. PUMR 173, CE 129).

c.                   Sebelum pemakluman Injil, Diakon memohon berkat kepada Imam Selebran dengan cara membungkuk di depannya. Jika tidak ada Diakon petugas pemakluman itu, maka yang bertugas adalah Imam Selebran itu sendiri. Jika tidak ada Diakon petugas dan Imam Selebran yang memimpin adalah seorang Uskup yang didampingi Imam Konselebran, maka salah seorang Imam Konselebran bertugas memaklumkan Injil. Imam petugas itu memohon berkat kepada Uskup yang bertindak sebagai Imam Selebran. Akan tetapi, jika Imam Selebrannya adalah seorang Imam biasa (bukan Uskup), maka Imam Konselebran yang bertugas memaklumkan Injil itu tidak perlu memohon berkat kepada Imam Selebran.

Sesudah diberkati oleh Imam Selebran, Diakon (atau Imam petugas) menuju altar, membungkuk menghormatinya, mengambil Evangeliarium dari altar itu, lalu pergi ke mimbar sambil membawa Evangeliarium yang sedikit diangkat, didahului para putra altar pembawa lilin bernyala dan pedupaan beraroma. Ia mendupai Evangeliarium setelah membuat tanda salib dengan ibu jarinya pada bacaan Injil yang akan dimaklumkan, pada dahi, mulut, dan dadanya. Lalu ia mendupai Evangeliarium itu tiga kali masingmasing dua ayunan: di tengah, di samping kiri, dan di samping kanan (lihat PUMR 175, CE 74). Setelah itu ia membawakan  bacaan Injil dengan cara membacakan atau menyanyikan.

d.                  Di akhir pemakluman Injil, Diakon atau Imam tidak perlu mengangkat Evangeliarium dari mimbar ketika ia menyerukan ”Demikianlah Injil Tuhan” atau seruan serupa.

e.                  Sesudah jawaban Umat ”Terpujilah Kristus”, Diakon mencium Evangeliarium sambil mengucapkan dalam hati ”Semoga karena pewartaan Injil ini dileburlah dosadosa kami”. Kalau yang memimpin Misa adalah seorang Uskup, Diakon membawa Evangeliarium kepada Uskup untuk dicium. Atau Diakon sendiri dapat menciumnya, tanpa membawanya kepada Uskup. Dalam perayaan meriah, kalau dianggap baik, Uskup dapat memberkati Umat dengan Evangeliarium dalam bentuk tanda salib besar.

Sesudah itu Diakon membawa Evangeliarium ke mejasamping (kredens) atau ke tempat lain yang anggun dan serasi, tetapi tidak meletakkannya di atas altar lagi (lihat PUMR 175). Sementara pelayan altar yang mendampingi pemakluman Injil meletakkan perlengkapannya di mejasamping.

f.                    Dalam Ritus Penutup, Evangeliarium tidak perlu dibawa lagi ketika perarakan keluar.

2.                  Dalam Misamisa Ritual atau Misa yang dirayakan dalam kaitan dengan sakramen dan sakramentali (PUMR 372; misalnya: Inisasi, Tahbisan, Pengurapan Orang Sakit, Perkawinan, Pelantikan Pelayan Liturgi, Pemberkatan, Pengikraran Kaul) Evangeliarium ini digunakan sesuai dengan tata cara di atas, kecuali jika ditunjukkan juga penggunaannya yang secara khusus diperlukan dalam Misa Ritual yang bersangkutan, seperti yang beberapa akan disebutkan di bawah ini.

Posted in 4. Buku Liturgi, o. Promosi Produk Liturgi | Leave a Comment »

BUKU MISSALE ROMANUM – BUKU TERPENTING DALAM LITURGI

Posted by liturgiekaristi on March 9, 2011


THEMA : BUKU LITURGI TERPENTING

Di Page ini ada umat yang tanya ” saya masih kurang mengerti, buku apa yang dipakai oleh romo pada saat misa????karena yang ada pada lembaran misa dari awal yaitu doa pembukaan sampai dengan doa penutup
sama dengan kata-kata di buku yang romo ucapkan pada waktu misa.” Yuuk…kita baca informasi berharga dibawah ini.

PENCERAHAN : (Sumber MAJALAH LITURGI vol 1, 2007)

Buku yang terpenting dalam perayaan Ekaristi adalah buku misa besar (Missale Romanum).

Dalamnya tertulis doa-doa bahasa Latin yang diucapkan oleh imam (doa-doa pemimpin) dan Tata Perayaan Ekaristi (Ordo Missae). Berat buku itu sekitar lima kg dan diberi kulit tebal yang sudut-sudutnya biasanya dilapisi dengan logam bahkan kulit depan dan belakang… See More dapat dihubungkan dengan logam juga.

Dengan cara itu buku misa dapat ditutup atau dikunci rapat agar sedapat mungkin hampa udara di antara lembaran buku untuk tidak mempercepat proses lapuknya kertas. Tepi buku misa ini dilapisi emas. Nampaknya berkilau-kilau. Tulisannya besar dan tebal, malahan huruf pertama dari doa-doa diberi hiasan yang indah.

Memang buku itu besar (ukuran folio) dan tebal (sekitar 1100 halaman). Ada semacam sandaran yang kuat untuk menatang buku itu agar dapat dengan mudah dibaca oleh imam. Kadang-kadang sandaran itu menyerupai takhta. Keseluruhannya kelihatan anggun. Maka putera altar yang bertugas memindahkan buku misa itu dari bagian kanan altar ke bagian kiri haruslah berhati-hati penuh hormat menatang buku yang berat itu sambil menuruni dan menaiki anak-anak tangga altar.

Bayangkan kalau putera altarnya tergelincir atau terantuk pada anak tangga dan jatuh. Sudah jatuh di anak tangga masih ditimpa buku berat dan bisa dapat tamparan lagi dari sang koster yang merasa bahwa hormat terhadap buku misa hilang lenyap dan suasana perayaan jadi kacau balau. Itulah sebabnya saya sebagai putera altar waktu itu merasa buku misa adalah buku terpenting dalam perayaan Ekaristi. Tetapi apakah memang demikian?

PENCERAHAN DARI UMAT Daniel Pane

Missale Romanum adalah buku yang memuat teks tata perayaan ekaristi dan teks-teks yang berubah setiap perayaan Misa sepanjang tahun (minus bacaan yang dicetak dalam Lectionarium). Sacramentarium adalah buku yang berisi doa-doa untuk perayaan sakramen-sakramen.

Untuk panduan perayaan ada buku Pedoman Umum Missale Romawi (dalam edisi Latin di bagian depan Missale Romanum sudah tercantum, dalam edisi terjemahan Indonesia dicetak terpisah).

Lex Orandi, lex Credendi, saya rasa doa-doa dalam Misale Romanum bukan sekedar usulan melainkan dicantumkan agar digunakan tanpa dikutak-katik. Jika umat awam diperkenankan memberikan masukan, maka menurut saya doa-doa alternatif yang diciptakan para Imam misalnya dalam buku Misa Hari Minggu dan Hari Raya berupa versi 2 dan 3 untuk tahun A, serta versi 1,2,3 dari tahun B dan C yang semuanya merupakan gubahan pengarang sungguh-sungguh tidak dapat menandingi kualitas dan nuansa komunikasi doa-doa baku dari Missale Romanum (versi A-1 dalam buku tsb).

Intinya berdasarkan pengalaman dari sisi kaum awam lebih baik manut buku saja “Say the Black, do the Red” (baca teksnya, lakukan rubriknya).

PENCERAHAN DARI PASTOR Martin Boloawa

Missale Romanum atau Buku Misa Romawi adalah buku liturgis yang berisi naskah-naskah beserta rubrik-rubrik yang dipergunakan dalam perayaan Ekaristi dalam Ritus Romawi dari Gereja Katolik. Ritus2 dalam Gereja Katolik itu sendiri ada berbagai macam, mungkin bs menjadi bahan diskusi berikut. Kita di Indonesia tergabung dalam ritus romawi atau sering disebut juga ritus barat.
Lectionarium: Buku Bacaan Misa. Mazmur Tanggapan biasanya diambil dari buku bacaan misa. Para petugas /pemazmur biasanya menggunakan buku resmi “Mazmur Tanggapan dan Alleluya Tahun ABC”.

Riwayat singkat MR:
Sebelum Abad Pertengahan, ada beberapa buku yang digunakan dalam Misa: sebuah buku Sacramentarium yang berisi doa-doa, satu atau lebih buku yang berisi bacaan-bacaan Kitab Suci, serta satu atau lebih buku yang berisi antifon-antifon dan kidung-kidung lainnya. Lama-kelamaan muncul manuskrip-manuskrip yang memadukan bagian-bagian dari beberapa buku-buku tersebut, sehingga akhirnya muncullah versi-versi perpaduan yang lengkap. Buku semacam itu disebut Missale Plenum (Buku Misa lengkap). Pada 1223, St. Fransiskus Assisi menginstruksikan para biarawannya untuk mengadopsi format yang dipergunakan di lingkungan kepausan (Peraturan, Bab 3). Selanjutnya mereka mengadaptasi buku tata perayaan misa tersebut sesuai keperluan karya kerasulan mereka. Paus Gregorius IX mempertimbangkan, namun tidak mewujudkan, gagasan untuk memperluas penggunaan buku tata perayaan misa yang telah direvisi para Fransiskan itu, untuk seluruh Gereja; dan pada 1277 Paus Nikolaus III memerintahkan agar buku tata perayaan misa itu dipergunakan oleh semua gereja di kota Roma. Penggunaannya menyebar ke seluruh Eropa, terutama setelah diciptakannya mesin cetak oleh Johann Gutenberg; akan tetapi para editor memperkenalkan variasi-variasi menurut pilihan mereka sendiri, beberapa di antaranya bersifat substansial. Penemuan mesin cetak juga mendorong tersebarnya berbagai naskah liturgis lain yang kurang bersifat ortodoks. Konsili Trento mengakui bahwa kesimpang-siuran yang disebabkan munculnya berbagai terbitan buku misa itu perlu diakhiri. Guna mengimplementasikan keputusan Konsili tersebut, Paus Pius V pada 14 Juli 1570 mengeluarkan sebuah edisi Missale Romanum yang wajib dipergunakan oleh seluruh Gereja Ritus Latin kecuali di tempat-tempat yang memiliki ritus tradisional yang terbukti berumur sekurang-kurangnya dua abad.
Beberapa koreksi atas naskah Pius V tersebut dirasa perlu, maka Paus Klemens VIII menggantikannya dengan edisi “tipikal” Missale Romanum yang baru pada 7 Juli 1604. (kata “tipikal” di sini berarti bahwa naskah tersebut adalah naskah yang harus diikuti oleh semua percetakan). Edisi tipikal revisi berikutnya dikeluarkan oleh Paus Urbanus VIII pada 2 September 1634. Sejak akhir abad ke-17, di Perancis dan sekitarnya beredar berbagai buku misa independen yang diterbitkan uskup-uskup yang dipengaruhi Jansenisme dan Gallikanisme. Situasi ini berakhir tatkala Uskup Pierre-Louis Parisis dari Langres dan Abbas Guéranger pada abad ke-19 mempelopori suatu gerakan untuk kembali pada Missale Romanum. Paus Leo XIII memanfaatkan momentum tersebut untuk mengeluarkan pada 1884 sebuah edisi tipikal baru yang mengkaji seluruh perubahan yang dilakukan sejak masa Urbanus VIII. Paus Pius X juga melakukan suatu upaya revisi atas Missale Romanum, yang diterbitkan dan dinyatakan tipikal oleh penggantinya Paus Benediktus XV pada 25 Juli 1920. Revisi Pius X melakukan sedikit koreksi, penghapusan dan penambahan pada naskah doa-doa dalam Missale Romanum. Namun ada perubahan-perubahan besar pada rubrik-rubrik, perubahan-perubahan tersebut tidak dimasukkan pada bagian yang berjudul Rubricae generales, akan tetapi dicetak sebagai sebuah lampiran terpisah dengan judul Additiones et variationes in rubricis Missalis.
Kontras dengan upaya tersebut, revisi oleh Paus Pius XII, meskipun terbatas hanya pada liturgi di empat hari dalam tahun Gereja, lebih berani sifatnya, karena perubahan tersebut memerlukan adanya perubahan dalam hukum kanon pula, yang sampai saat itu mengatur bahwa, kecuali untuk perayaan Natal pada tengah malam, Misa haruslah dimulai lebih dari satu jam menjelang fajar atau kurang dari satu jam sesudah tengah hari. Pada bagian yang direvisinya, dia mengantisipasi beberapa perubahan yang baru diberlakukan sepanjang tahun sesudah Konsili Vatikan II. Pembaharuan-pembaharuan ini mencakup introduksi penggunaan bahasa lokal secara resmi untuk pertama kalinya dalam liturgi. Paus Pius XII menunda penerbitan edisi tipikal yang baru sampai rampungnya pekerjaan komisi yang dibentuknya untuk mempersiapkan suatu revisi umum atas rubrik-rubrik Missale Romanum[1]. Meskipun demikian, dia mengotorisasi percetakan untuk menggantikan naskah-naskah terdahulu dengan naskah-naskah yang dijadikannya wajib pada 1955 untuk keempat hari yang disebutkan di atas.
Penggantinya, Paus Yohanes XXIII, mengeluarkan sebuah edisi tipikal baru pada 1962. Inovasi yang paling menonjol di dalamnya adalah dihapuskannya adjektiva “perfidi” dalam doa Jumat Agung bagi orang-orang Yahudi dan penyisipan nama Santo Yosef dalam kanon (atau Doa Syukur Agung) misa. Rubrik revisi dipersiapkan oleh komisi Paus Pius XII, yang dijadikankan wajib sejak 1 Januari 1961, menggantikan dua dokumen dalam edisi 1920; dan surat apostoliknya Rubricarum instructum menggantikan Bulla sebelumnya, Divino afflatu dari Paus Pius X.
Perubahan-perubahan atas liturgi pada 1965 dan 1967 yang timbul dari keputusan-keputusan Konsili Vatikan II tidak dimasukkan ke dalam Missale Romanum, namun direfleksikan dalam terjemahan lokal provisional yang diproduksi tatkala bahasa-bahasa umat mulai dipergunakan selain Bahasa Latin. Bahkan negara-negara yang menggunakan bahasa yang sama memiliki terjemahan yang berbeda dan bervariasi dalam jumlah kata padanan yang digunakan.
Sebagai implementasi keputusan Konsili Vatikan II, Paus Paulus VI pada 1969 mengeluarkan sebuah edisi tipikal revisi lengkap dari Missale Romanum, yang mulai beredar pada 1970. (Suatu naskah pendahuluan non-definitif dari dua bagian dalam edisi ini telah beredar pada 1964.) Edisi tipikal berikutnya dengan perubahan-perubahan kecil terbit pada 1975. Pada 2000, Paus Yohanes Paulus II mengesahkan edisi tipikal lainnya, yang terbit pada 2002.
Sebagaimana dinyatakan oleh Paus Benediktus XVI dalam motu proprio Summorum Pontificum, edisi Missale Romanum 1962 tidak pernah secara yuridis dihapuskan dan bebas dipergunakan oleh para imam Ritus Latin bilamana merayakan misa tanpa dihadiri umat. Imam yang mengurus sebuah gereja dapat diberi izin untuk mempergunakannya di paroki-paroki bagi kelompok-kelompok umat tertentu yang berpegang pada format Ritus Romawi terdahulu, asalkan imam yang mempergunakannya memiliki “kualifikasi untuk melakukannya dan tidak terhalang secara yuridis” (misalnya karena suspensi). Edisi 1962 adalah edisi yang lazim dipergunakan oleh para imam dari persaudaraan-persaudaraan tradisionalis semisal Persaudaraan Imam St. Petrus dan Administrasi Apostolik Personal Santo Yohanes Maria Vianney.

Evangeliarium:
An Evangeliary, the English term for the Latin Evangeliarium ( plural Evangiliaria), is a liturgical book containing those portions of the Four Gospels which are read during Mass or in the public offices of the Church. It is therefore distinguished from a gospel book, which contains the full texts of the Gospels, without references … See Morein them to the passages or date of liturgical use. The Greeks called such collections Euangelion ‘good message’, i.e. “Gospel”, or eklogadion tou euangeliou, “Selections from the Gospel”.

PENCERAHAN DARI PASTOR Christianus Hendrik

Hemm….buku Misale Romanum itu memang buku penting dalam tata perayaan Liturgi Ekaristi, tapi bukan seperti Kitab Suci yang perlu ditafsirkan agar semua orang memahaminya. Ini buku panduan, jadi segala sesuatunya dijelaskan secara detail mengenai gerak, ucapan dan seruan, dan tata laksana liturgi Ekaristi dan orang2 yang bertugas- utamanya Imam dan Diakon. Jadi tepatnya bukan menafsirkan karena tidak ada yang perlu ditafsirkan secara khusus, tapi diikuti dengan seksama bagian2 yang vital/pokok tanpa dengan sembarangan mengubah; dan membangun sikap kreatif pada bagian2 yang bersifat alternatif/usulan.

Seperti doa2 dalam perayaan Ekaristi, misalnya, sifatnya disarankan/usulan/alternatif; maka kalau Imam bisa membuat doa spontan yang lebih kemunikatif dan menjawab kebutuhan umat setempat dan lebih urgent, kiranya baik. Hanya masalahnya dengan teks2 misa yang sering dipakai untuk mempermudah/demi keseragaman, lalu mematikan kreativitas Imamnya karena harus ngikutin yang sudah diketik di teks misa supaya umat tidak bingung he he…

Buku Misale Romanum pada dasarnya bukan buku umat, itu semacam handbook nya para Imam dan celebrant dalam perayaan Ekaristi dan hari2 raya yang menggunakan liturgi Ekaristi sebagai puncaknya. Sedangkan untuk umat rasanya ada tersendiri semacam buku tata perayaan Ekaristi. Tetapi untuk orang yang aktif dan sering mendapat tugas liturgi atau membantu di sekitar altar, kiranya penting mengetahui dan akrab dengan buku ini sehingga bisa membantu dalam persiapan dan memperlancar juga jalannya liturgi Ekaristi serta membuat semakin hikmat.

Tambahan mengenai isi buku Misale Romanum, selain berisi petunjuk praktis tata cara Liturgi bagi seorang pemimpin Liturgi/Imam; buku ini juga berisi lengkap bahan bacaan, doa2 dan mazmur tanggapan setiap hari(sepanjang) minggu dan hari raya sepanjang tahun, meliputi tahun A, B, dan C. Teks2 yang dipakai di gereja justru mengikuti petunjuk dan rubrik dari buku Misale Romanum ini, jadi ya jangan heran kalo yang didoakan Imam sama persis dengan teks misa yang dipegang umat, sumbernya sama kog he he…

Mengenai bentuknya bisa bermacam2; pada edisi2 keluaran awal ketika konsili Vatikan II mulai gencar mengadakan pembaharuan liturgi, ada buku Misale Romanum dengan hard cover berwarna hitam, tapi kebanyakan sekarang bentuk bukunya tebal, dengan pita2 pembatas halaman berwarna-warni (ungu, kuning, hijau, merah, putih) dan hard cover berwarna merah marun. Kalo pengen lihat dan mempelajarinya, dateng aja ke pastoran pas hari2 di luar perayaan ekaristi dan bisa tanya pastor parokinya untuk belajar mengenal buku ini; pasti dengan senang hati dijelaskan he he…

PENCERAHAN DARI UMAT : Sonny Arends

Mohon menambahkan sedikit mengenai: ……Sebagaimana dinyatakan oleh Paus Benediktus XVI dalam motu proprio Summorum Pontificum, edisi Missale Romanum 1962 tidak pernah secara yuridis dihapuskan dan bebas dipergunakan oleh para imam Ritus Latin bilamana merayakan misa tanpa dihadiri umat. Imam yang mengurus sebuah gereja dapat diberi izin untuk mempergunakannya di paroki-paroki bagi kelompok-kelompok umat tertentu yang berpegang pada format Ritus Romawi terdahulu, asalkan imam yang mempergunakannya memiliki “kualifikasi untuk melakukannya dan tidak terhalang secara yuridis” (misalnya karena suspensi). Edisi 1962 adalah edisi yang lazim dipergunakan oleh para imam dari persaudaraan-persaudaraan tradisionalis semisal Persaudaraan Imam St. Petrus dan Administrasi Apostolik Personal Santo Yohanes Maria Vianney. …… BERIKUT ADALAH ISI DARI SUMMORUM ONTIFICUM: Art 1.
Misale Romawi yang secara resmi diumumkan oleh Paulus VI adalah ekspresi biasa dari “Lex orandi” [Cara berdoa] dari Gereja Katolik ritus Latin. Bagaimanapun, Misale Romawi yang secara resmi diumumkan oleh St. Pius V dan diterbitkan kembali oleh Yohanes XXIII Yang Terberkati adalah dianggap sebagai ekspresi luar biasa dari “Lex orandi” yang sama tersebut, dan harus diberi penghormatan yang selayaknya bagi penggunaannya yang mulia dan kuno.
Dua ekspresi dari “Lex orandi” Gereja ini dalam cara apapun tidak akan mengarah perpecahan dalam “Lex credendi” (Cara beriman) Gereja. Mereka, pada kenyataanya adalah dua penggunaan dari satu ritus Romawi.
Karenanya, adalah diizinkan untuk merayakan Kurban Misa dengan mengikuti edisi tipikal dari Misale Romawi yang secara resmi diumumkan pada 1962 oleh Yohanes XXIII Yang Terberkati dan tidak pernah ditiadakan , sebagai suatu bentuk luar biasa dari liturgi Gereja.

Art. 2.
Dalam Misa-misa yang dirayakan tanpa umat, setiap imam Katolik dari ritus Latin, baik sekuler maupun relijius, boleh menggunakan Misale Romawi yang dipublikasikan pada 1962 oleh Paus Yohanes XXIII Yang Terberkati, atau Misale Romawi yang secara resmi diumumkan oleh Paus Paulus VI pada 1970, dan bisa melakukannya pada hari apapun dengan pengecualian pada Triduum Paskah. Untuk perayaan-perayaan seperti itu, baik dengan Misale yang satu atau yang lain , imam tidak memerlukan izin dari Tahta Apostolik atau dari Ordinari-nya.

Art. 3.
Komunitas-komunitas dari institusi hidup terkonsekrasi dan serikut hidup apostolik, baik dari hak kepausan maupun dari keuskupan, yang ingin merayakan Misa seturut dengan edisi Misale yang secara resmi diumumkan pada 1962, untuk perayaan biara atau “komunitas” di kapel mereka, dapat melakukannya.
Jika sebuah komunitas individu atau seluruh institusi atau serikat berkeinginan untuk melakukan perayaan seperti itu dengan lebih sering, menjadikan suatu kebiasaan atau permanen, keputusan itu harus dibuat oleh superior-superior utama, seturut hukum dan mengikuti ketetapan-ketetapan spesifik serta statuta-statuta mereka.

Art. 4.
Perayaan-perayaan Misa seperti yang disebut pada Art. 2 diatas, boleh – dengan mengikuti norma-norma hukum – juga dihadiri oleh umat beriman yang, karena kehendak mereka sendiri, meminta untuk diizinkan ikut.

Art. 5.
§ 1 Di paroki-paroki, dimana ada sekelompok umat beriman yang tetap yang melekat pada tradisi liturgi sebelumnya, para gembala harus berkenan untuk menerima permintaan mereka untuk merayakan Misa seturut dengan ritus Misale Romawi yang dipublikasikan pada 1962, dan menjamin bahwa kesejahteraan para umat beriman ini diharmoniskan dengan pelayanan pastoral biasa dari paroki, dibawah pengarahan uskup seturut dengan Kanon 392, menghindari perselisihan dan mengutamakan kesatuan dari Gereja secara keseluruhan.
§ 2 Perayaan seturut dengan Misale Yohanes XXIII Yang Terberkati dapat diadakan pada hari-hari biasa; sementara pada hari-hari Minggu dan hari-hari raya suatu perayaan seperti itu juga dapat diadakan.
§ 3 Bagi umat beriman dan imam-imam yang memintanya, gembala juga harus mengizinkan perayaan-perayaan dalam bentuk luar biasa ini bagi acara khusus misalnya perkawinan, pemakaman atau perayaan-perayaan tertentu, misalnya peziarahan.
§ 4 Imam yang menggunakan Misale Yohanes XXIII Yang Terberkati harus memiliki kualifikasi untuk melakukannya dan tidak terkena hambatan yuridis.
§ 5 Di gereja-gereja yang bukan gereja paroki atau kapel biara, menjadi tugas Rektor gereja untuk menjamin izin diatas.

Art. 6.
Dalam Misa-misa yang dirayakan dengan dihadiri umat dan menggunakan Misale Yohanes XXIII Yang Terberkati, pembacaan boleh diberikan dalam bahasa setempat, menggunakan edisi yang diakui Tahta Suci.

Art. 7.
Jika sekelompok umat beriman awam, seperti yang disebut dalam Art. 5 § 1, tidak mendapatkan kepuasan atas permintaan mereka dari gembala, mereka harus memberitahukan uskup keuskupan. Uskup diminta dengan sangat untuk memuaskan keinginan mereka. Jika ia tidak dapat mengatur agar perayaan seperti itu diadakan, masalah ini harus diajukan kepada Komisi Kepausan Ecclesia Dei [sekarang bagian dari Kongregasi Doktrin dan Iman].

Art. 8.
Seorang uskup yang berkeinginan memuaskan permintaan tersebut, tapi karena pelbagai alasan tidak dapat melakukannya, bisa menyampaikan masalah ini ke Komisi “Ecclesia Dei” untuk mendapatkan nasehat dan bantuan.

Art. 9.
§ 1 Gembala, setelah dengan cermat memeriksa semua aspek, juga dapat memberikan izin untuk menggunakan ritual lama sebelumnya untuk pelayanan Sakramen-sakramen Baptis, Perkawinan, Tobat dan Perminyakan, jika tampak diperlukan bagi kebaikan jiwa-jiwa.
§ 2 Ordinaris/Uskup diberikan hak untuk merayakan Sakramen Penguatan menggunakan ritus Pontifikal Romawi sebelumnya, jika tampak diperlukan bagi kebaikan jiwa-jiwa.
§ 3 Imam yang ditahbiskan “in sacris constitutis” boleh menggunakan Brevir Romawi 1962 yang dikeluarkan oleh Yohanes XXIII Yang Terberkati.

Art. 10.
Ordinari dari wilayah tertentu, jika ia merasa layak, boleh mendirikan paroki pribadi [personnal parish] yang sesuai Kanon 518 untuk perayaan-perayaan yang mengikuti bentuk lama dari ritus Romawi, atau menunjuk seorang kapelan dengan memperhatikan semua norma-norma hukum [Kanon].

Art. 11.
Komisi Kepausan “Ecclesia Dei”, didirikan oleh Yohanes Paulus II tahun 1988 (5), melanjutkan pelaksanaan fungsinya. Komisi tersebut akan memiliki bentuk, tugas dan norma-norma yang sesuai kehendak Bapa Suci dalam penugasannya.

Art. 12.
Komisi ini, terpisah dari kuasa yang dimilikinya, akan melaksanakan otoritas Tahta Suci, mengawasi ketaatan dan penerapan aturan-aturan ini.

PENCERAHAN DARI AWAM : Thomas Rudy

@Pastor Martin Boloawa

Perhatikan Summorum Pontificum berikut ini:

Art. 2….
Dalam Misa-misa yang dirayakan tanpa umat, setiap imam Katolik dari ritus Latin, baik sekuler maupun relijius, boleh menggunakan Misale Romawi yang dipublikasikan pada 1962 oleh Paus Yohanes XXIII Yang Terberkati, atau Misale Romawi yang secara resmi diumumkan oleh Paus Paulus VI pada 1970, dan bisa melakukannya pada hari apapun dengan pengecualian pada Triduum Paskah. Untuk perayaan-perayaan seperti itu, baik dengan Misale yang satu atau yang lain , imam tidak memerlukan izin dari Tahta Apostolik atau dari Ordinari-nya.

Art. 4.
Perayaan-perayaan Misa seperti yang disebut pada Art. 2 diatas, boleh – dengan mengikuti norma-norma hukum – juga dihadiri oleh umat beriman yang, karena kehendak mereka sendiri, meminta untuk diizinkan ikut.

ini tidak dibatasi lagi hanya bagi mereka yang terikat pada Misale yg lama, tetapi dibebaskan untuk siapa saja yg mau. Imamnya kalau mau silahkan… imamnya mau, umatnya mau silahkan….

Posted in 4. Buku Liturgi, d. BENDA-BENDA LITURGI | Leave a Comment »