Seputar Liturgi Ekaristi Gereja Katolik

Seputar Liturgi Ekaristi Gereja Katolik

  • Majalah Liturgi KWI

  • Kalender Liturgi

  • Music Liturgi

  • Visitor

    free counters

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    Free Hit Counters

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    free statistics

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    hit counters



    widget flash

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    web page counter

  • Subscribe

  • Blog Stats

    • 1,255,538 hits
  • Kitab Hukum Kanonik, Katekismus Gereja Katolik, Kitab Suci, Alkitab, Pengantar Kitab Suci, Pendalaman Alkitab, Katekismus, Jadwal Misa, Kanon Alkitab, Deuterokanonika, Alkitab Online, Kitab Suci Katolik, Agamakatolik, Gereja Katolik, Ekaristi, Pantang, Puasa, Devosi, Doa, Novena, Tuhan, Roh Kudus, Yesus, Yesus Kristus, Bunda Maria, Paus, Bapa Suci, Vatikan, Katolik, Ibadah, Audio Kitab Suci, Perjanjian Baru, Perjanjian Lama, Tempat Bersejarah, Peta Kitabsuci, Peta Alkitab, Puji, Syukur, Protestan, Dokumen, Omk, Orang Muda Katolik, Mudika, Kki, Iman, Santo, Santa, Santo Dan Santa, Jadwal Misa, Jadwal Misa Regio Sumatera, Jadwal Misa Regio Jawa, Jadwal Misa Regio Ntt, Jadwal Misa Regio Nusa Tenggara Timur, Jadwal Misa Regio Kalimantan, Jadwal Misa Regio Sulawesi, Jadwal Misa Regio Papua, Jadwal Misa Keuskupan, Jadwal Misa Keuskupan Agung, Jadwal Misa Keuskupan Surfagan, Kaj, Kas, Romo, Uskup, Rosario, Pengalaman Iman, Biarawan, Biarawati, Hari, Minggu Palma, Paskah, Adven, Rabu Abu, Pentekosta, Sabtu Suci, Kamis Putih, Kudus, Malaikat, Natal, Mukjizat, Novena, Hati, Kudus, Api Penyucian, Api, Penyucian, Purgatory, Aplogetik, Apologetik Bunda Maria, Aplogetik Kitab Suci, Aplogetik Api Penyucian, Sakramen, Sakramen Krisma, Sakramen Baptis, Sakramen Perkawinan, Sakramen Imamat, Sakramen Ekaristi, Sakramen Perminyakan, Sakramen Tobat, Liturgy, Kalender Liturgi, Calendar Liturgi, Tpe 2005, Tpe, Tata Perayaan Ekaristi, Dosa, Dosa Ringan, Dosa Berat, Silsilah Yesus, Pengenalan Akan Allah, Allah Tritunggal, Trinitas, Satu, Kudus, Katolik, Apostolik, Artai Kata Liturgi, Tata Kata Liturgi, Busana Liturgi, Piranti Liturgi, Bunga Liturgi, Kristiani, Katekese, Katekese Umat, Katekese Lingkungan, Bina Iman Anak, Bina Iman Remaja, Kwi, Iman, Pengharapan, Kasih, Musik Liturgi, Doktrin, Dogma, Katholik, Ortodoks, Catholic, Christian, Christ, Jesus, Mary, Church, Eucharist, Evangelisasi, Allah, Bapa, Putra, Roh Kudus, Injil, Surga, Tuhan, Yubileum, Misa, Martir, Agama, Roma, Beata, Beato, Sacrament, Music Liturgy, Liturgy, Apology, Liturgical Calendar, Liturgical, Pope, Hierarki, Dasar Iman Katolik, Credo, Syahadat, Syahadat Para Rasul, Syahadat Nicea Konstantinople, Konsili Vatikan II, Konsili Ekumenis, Ensiklik, Esniklik Pope, Latter Pope, Orangkudus, Sadar Lirutgi

Archive for the ‘2. Baju liturgi’ Category

Perayaan Jumat Agung – bolehkah umat memakai baju berwarna merah?

Posted by liturgiekaristi on March 20, 2013


Beberapa waktu lalu, ada pertanyaan dari umat seperti di bawah ini:

1. Apakah pada saat Perayaan Jumat Agung itu Umat diwajibkan menggunakan baju merah ? soalnya diparoki kami Rm Parokinya teriak terus sedangkan Rm yg 2 biasa2 ajah. Ada tdk si aturan gerjanya.

2. Pd ibadah Jumat Agung (warna lit merah), bolehkah umat turut memakai pakaian merah atau brcorak merah juga? Atau hanya Imam yg berhak? Trima kasih

PENCERAHAN DARI SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Saya belum pernah membaca ada peraturan yang mengatur warna pakaian yang harus dikenakan umat. Rasanya penghayatan iman kita tidak didasarkan pada warna pakaian yang harus dipakai untuk ke gereja.
Bahwa baik untuk disarankan memakai pakaian yang pantas dan sesuai, itu mungkin sebagai tindak pastoral dan kearifan berbudaya. Ini sama halnya ketika kita menghadiri sebuah pemakaman keluarga misalnya, tidak ada peraturan tertulis orang harus mengenakan pakaian hitam. Tapi begtulah budaya kita yang beranggapan bahwa warna juga merupakan salah satu ekspresi kita mengungkapkan rasa turut berduka dan berkabung dengan memakai pakaian hitam2. Bayangkan jika kita datang ke pemakaman dengan berpakaian merah menyala, atau kuning…orang mungkin tidak akan menegur, tapi hanya melirik dengan rasa aneh dan merasa ada yang janggal bukan?

Yang bisa dipertimbangkan adalah kalau misalnya panitia paroki mempersiapkan seragam koor untuk Jumat Agung dan memutuskan memakai warna kuning, misalnya, itu perlu diingatkan bahwa selayaknya kita memilih warna merah yang lebih pantas untuk Jumat Agung(Simbol kurban kemartiran Yesus), putih untuk Kamis putih, merah untuk Minggu Palma, dst. Hanya demi layak dan sepantasnya, tapi tidak menentukan keselamatan atau menjadi keharusan umat. Semoga kita lebih bijak memilah2 mana yang keharusan demi keabsahan, mana yang disarankan demi kelayakan.

Sudah sepanjang minggu Suci umat bolak balik ke Gereja untuk penghayatan imannya, jangan lagi direpotkan dengan hal2 kecil seperti soal berpakaian. Jauh lebih penting misalnya kita menaruh perhatian pada cara berpakaian/model pakaian kita. Walaupun mengenakan warna merah pada saat Jumat Agung, tapi kalau modelnya mini seperti orang main tenis lapangan atau seperti pakaian renang, wah…itu malah lebih parah ha ha ha… Itu tinjauan dari segi praktis saja, silahkan Rm. lain mungkin bisa menambahkan dari segi hukum soal warna pakaian untuk umat..he he..
Salam hangat, P.Hend. SCJ, South Dakota

TAMBAHAN PENCERAHAN.

Soal warna merah, memang benar warna liturgi pada hari itu adalah merah dengan arti yang sudah dijelaskan oleh pastor di atas. meski begitu, para gembala jiwa juga hendaknya peka terhadap budaya setempat yang mungkin “menabukan” warna merah untuk suasana duka. jadi, sungguh bijaksana bila imam tidak “memaksa” umatnya mengenakan warna merah untuk ibadat jumat agung. lagipula, seturut tradisi, warna liturgi memang hanya untuk kasula dan stola imam dan juga antependium altar dan ambo. tidak ada aturan ataupun tradisi yang meminta misdinar atau petugas liturgi tidak tertahbis lainnya (apalagi umat) mengenakan warna liturgi.

Saya amati, di beberapa tempat di indonesia mulai timbul trend yang berlebihan dengan membuat jubah misdinar (bahkan juga bantal tempat duduk dan bantal tempat berlutut misdinar!) mengikuti warna liturgi (ungu, putih/kuning, merah, hijau). Ini berlebihan dan juga adalah pemborosan.

Seturut tradisi, warna jubah misdinar sama dengan jubah imam. warnanya hitam, atau, di beberapa daerah di eropa ada kebiasaan yang sudah lama sekali (immemorial or centenary custom), yang diterima oleh Gereja, untuk menggunakan warna merah. tapi merah di sini bukan warna liturgi. gampangnya begini, tidak ada jubah imam warna hijau. jadi misdinar pun jangan dibuatkan jubah warna hijau. trend memaksakan warna liturgi untuk misdinar (dan sekarang umat) ini agak berlebihan dan tidak perlu.

Posted in 2. Baju liturgi, 4. Jumat Agung | Leave a Comment »

Mengapa memakai busana khusus?

Posted by liturgiekaristi on April 11, 2011


Mengapa memakai busana khusus?

“Haruslah engkau membuat pakaian kudus untuk Harun, saudaramu, sebagai per-hiasan kemuliaan. Haruslah engkau mengatakan kepada semua orang yang ahli, yang telah Kupenuhi dengan roh keahlian, membuat pakaian Harun, untuk menguduskan dia, supaya dipegangnya jabatan imam bagi-Ku.” (Kel 28:2-3)

Pedoman Umum Misale Romawi: “Gereja adalahTubuh Kristus. Dalam Tubuh itutidak semua anggota menjalankan tugasyang sama. Dalamperayaan Ekaristi, tugas yang berbeda- beda itu dinyatakan lewat busana liturgisyang berbeda-beda. Jadi, busana itu hendaknya menandakan tugas khusus masing-masing pelayan. Di samping itu, busana liturgis juga menambah keindahan perayaan liturgis” (PUMR 335).

PENCERAHAN DARI Mas Roms :

Maksud dan tujuan busana khusus dalam perayaan liturgi jelas seperti dalam PUMR 335. Pasti kita juga kurang sreg / nyaman / “mantep” kalau dalam misa imam pakaiannya biasa-biasa saja, atau sama seperti umat, atau sama seperti pakaian sehari-hari.

Seperti pakaian kita tentu ada bedanya antara pakaian sehari dengan pakaian resmi (sekolah, pesta, kerja). Begitu juga dengan imam, ada pakaian khusus untuk perayaan liturgi (kasula, alba, dll.) dan pakaian harian (bukan pakaian sehari-hari…) yang umumnya disebut jubah. Jubah memang “agak” mirip dengan alba, namun beda. Alba adalah pakaian … See Moreliturgi dan warna putih; jubah tergantung kekhasan masing-masing ordo/kongregasi (motif, warna berbeda). Apa yang dilihad Leonardus, kalau betul kasula (bukan alba) warna putih lalu stolanya hijau, tentu imam itu tidak tepat.
Lho kok kita sibuk “ngurusi” pakaian imam / liturgi, mana coment imam yang mengenakannya…..??

PENCERAHAN DARI Teresa Subaryani Dhs :

Dalam merayakan Ekaristi, seorang imam mengenakan alba, kasula, dan stola. Warna kasula dan stola sesuai dengan penanggalan liturgi, jadi di semua tempat pasti memiliki warna yang sama. Mengenai simbol ordo, mungkin saja ditambahkan pada stola atau kasula. Kalau yang dimaksud oleh Ibu Merry Tumewu, mungkin adalah busana sehari-hari yang memang berbeda untuk masing-masing ordo. Misal: OSC mengenakan jubah putih dengan singel hitam, skapulir hitam dengan lambang OSC di bagian dada, dan semacam mozetta berwarna hitam.

PENCERAHAN DARI PASTOR Christianus Hendrik:

Mengenai mengapa harus mengenakan pakaian khusus saat merayakan sakramen2 Gereja, bisa dilihat sumber2nya yang banyak dari Kitab Imamat, Keluaran, dari teks2 liturgi Gereja, dll. Yang jelas, saat merayakan sakramen, itulah saat paling jelas dan nyata orang menjalankan fungsi imamatnya. Sebagaimana setiap orang yang dibaptis, kita tahu, bahwa kita semua memiliki jabatan sebagai Imam (imamat umum), Raja, Guru dan Nabi. Fungsi Imam dan Raja ini yang mau dinampakkan dalam jabatan Imamat Gereja seperti dinampakkan dalam cara berpakaian – bukan demi kegemerlapan sang Imam, tetapi sebagai simbol keagungan Tuhan sekaligus pengingat akan situasi akhir jaman yang penuh keagungan, keindahan, kesucian…itulah yang mau ditampilkan dari cara berpakaian khusus tersebut.

Karena menyangkut fungsi imamat tertahbis, ini agak berbeda dengan kepentingan ordo/kongregasi/terekat yang memiliki ciri khas tertentu sesuai kharisma kongregasi mereka. Boleh mereka menambahkan hiasan/dekorasi yang sesuai, tapi tidak mengubah ketentuan pakaian/atribut seorang Imam sebagai pelayan sakramen2 Gereja. Maka paling yang bisa dimodifikasi sesuai kharisma tarekat misalnya hiasan stola memakai gambar Hati Kudus, atau Kasulanya bersulam Salib Suci (ordo Salib Suci), atau gambar YEsus dan Maria (SSCC), dll. Tapi hakekat Stola dan kasula dengan warna2 liturgi tetap tidak bisa diubah demi kesesuaian dengan warna2 khas kongregasi/ordo/tarekat masing2. Gereja, dengan warna dan corak liturginya, bersifat universal, satu, kudus. Sedangkan kharisma tiap kongregasi/tarekat bersifat partial, lokal, khusus…yang masing2 menyumbang kekayaan spiritualitasnya bagi gereja yang satu. Jadi tidak bertentangan dan saling memperkaya Liturgi Gereja. Thanks.

 

Posted in 2. Baju liturgi | Leave a Comment »

Apakah Amik itu?

Posted by liturgiekaristi on March 30, 2011


Amik adalah kain putih segi empat dengan dua tali di dua ujungnya atau ada juga model modern lain yang tidak segi empat dan tanpa tali.

Amik yang melingkari leher dan menutupi bahu dan pundak itu melambangkan pelindung pembawa selamat (keutamaan harapan), yang membantu pemakainya untuk mengatasi serangan setan.

Kain itu secara praktis juga berfungsi untuk menutupi kerah baju supaya tampak rapi, untuk menahan dingin, atau sekaligus untuk menyerap keringat agar busana liturgis pada zaman dulu yang biasanya amat indah dan mahal tidak mengalami kerusakan.

Amik dikenakan oleh imam, diakon, atau petugas lain yang hendak mengenakan alba.
Pemakaian amik sering tergantung juga pada alba yang akan dipakai. Kalau alba kiranya tidak menutup sama sekali kerah pakaian sehari-hari, maka barulah amik itu dikenakan sebelum alba (PUMR 336).

PENJELASAN DARI PASTOR Christianus Hendrik

Amik: Fungsinya seperti “pakaian dalam” untuk Imam yang akan merayakan Ekaristi/perayaan sakramen2 Gereja. Fungsi utamanya adalah untuk melindungi Stola dan Kasula supaya tidak cepat kotor oleh keringat yang sering banyak keluar di sekitar leher karena panas. Selain juga menutupi pakaian ‘sekular’ yang kadang ada Imam yang enggan berganti baju; atau juga untuk menutupi bagian tengkuk dan sekitar leher supaya tidak nampak telanjang.

Caranya dengan menebarkan kain persegi empat ini di tengkuk dengan kedua tali ditarik menyilang di dada, lalu dilingkarkan di pinggang dan ditali di belakang/punggung.
Karena fungsinya yang simple ini sering Imam kurang memperhatikan gunanya dan jarang memakai-selain juga tidak selalu tersedia di sakristi2 di tiap Gereja sekarang ini. Fungsi Amik ini lalu dipindah/ digantikan dengan memasang selembar kecil kain putih di stola, sehingga kalo cepat kotor yang mudah kotor adalah kain putih kecil tersebut yang bisa dilepas dan dicuci lalu stola sendiri tetap bersih…itu menyebabkan pemakaian Amik makin jarang.

Saya pribadi kalo ada Amik dan atribut lainnya yang lengkap lebih senang memakainya, bukan soal apa…tapi ada rasa agung dan khusyuk mempertahankan tradisi Gereja yang indah…walaupun kadang harus berkorban menahan panas dan keringat yang mengucur wkwkwk.. Masalahnya umat sering lebih sayang lilin2 di altar daripada Imamnya. Sudah panas dengan pakaian lengkap, jubah/alba, amik,stola, single, kasula…juga tidak diberi fan/kipas angin di sekitar altar,jadi mandi keringat deh…Ketika diminta, umatnya bilang:”nanti kipasnya mengganggu nyala lilin bisa padam, romo…” (wah, ga kepikir kalo rm nya karena kepanasan bisa ‘padam’ juga wkwkwk…)

Posted in 2. Baju liturgi | Leave a Comment »

WARNA PAKAIAN LITURGI BERBEDA-BEDA. Kenapa ?

Posted by liturgiekaristi on March 11, 2011


Topik :

“Mengapa dalam Liturgi Gereja Imam dan pelayan altar mengenakan
pakaian yang berbeda2 warna (putih, hijau, ungu, merah)… sesuai dengan
masanya. Apakah arti dari setiap warna tersebut?” Selamat berbagi pengetahuan…:-)

PENCERAHAN DARI PASTOR Martin Boloawa

Pembicaraan mengenai warna liturgi secara langsung bersentuhan dengan busana liturgi, khususnya yang dipakai oleh para pelayan. Sedikit latar belakang:
Dalam peribadatan pada zaman Gereja Perdana semua belumlah digunakan busana khusus. Para pemimpin ibadat masih mengenakan pakaian sehari-hari, yang mungkin merupakan pakaian terbaiknya. Secara perlahan, seiring dengan perkembangan mode pakaian, muncul pula kebutuhan untuk membedakan pakaian ibadat dari pakaian biasa sehari-hari. Maka, berkembanglah bentuk-bentuk busana liturgis yang berbeda dari busana sekular sejak abad VI. St. Bonifasius (abad VIII) pernah mengatur para imam dan diakonnya agar mengenkan kasula ketika merayakan liturgi, bukannya pakaian sipil sehari-hari. Bahkan dua abad sebelumnya St. Cesarius dari Arles (Abad VI) sudah memiliki sebuah “casula villosa” yang dikenakan untuk liturgi harian dan prosesi.

Mengapa memakai busana khusus?
para pelayan atau petugas liturgi mengenakan busana liturgi dan tanda-tanda khusus ketika melaksanakan peran mereka dalam Perayaan Ekaristi. Tentu ada maksudnya, salah satu dasar biblisnya adalah kitab Keluaran 28:2-3: “Haruslah engkau membuat pakaian kudus untuk Harun, saudaramu, sebagai perhiasan kemuliaan. Haruslah.engkau mengatakan kepada semua orang yang ahli, yang telah Kupenuhi dengan roh keahlian, membuat pakaian Harun, untuk menguduskan dia, supaya dipegangnya jabatan imam bagi-Ku.” Hingga saat ini, praktek berbusana khusus dalam tindakan ibadat semacam itu masih dihormati. Dalam PUMR juga dinyatakan: “Gereja adalah Tubuh Kristus. Dalam Tubuh itu tidak semua anggota menjalankan tugas yang sama. Dalam perayaan Ekaristi, tugas yang berbeda-beda itu dinyatakan lewat busana liturgis yang berbeda-beda. Jadi, busana itu hendaknya menandakan tugas khusus masing-masing pelayan. Di samping itu, busana liturgis juga menambah keindahan perayaan liturgis” (PUMR 335).

PENCERAHAN DARI PASTOR Martin Boloawa
Dear all, berikut ini arti setiap warna liturgi dan dasar bibilsnya.
a] putih: kegembiraan, kemurnian, kepolosan, dan kemuliaan (Dan 7:9; Mrk 9:2-3, Why 3:4-5). Boleh diganti kuning atau emas (warna cahaya) bila perayaan lebih bernada kemuliaan atau kemenangan (Kej 1:3-5, Yes 45:7)
b] merah: darah kemartiran, api ilahi (Roh Kudus), cinta, pengorbanan, dukacita, mati raga, penantian (Kel 28:31,33; Sir 10:9, Yer 6:26).
c] ungu adalah percampuran antara warna merah (=panas yang menggairahkan ) dan biru (= ketakberwujudan yang tak terbatas).
d] hitam: dimaknai sama dengan ungu, namun warna hitam teras lebih kuat penekanannya.
f] jingga: sukacita, sebagaimana terungkap dari makna percampuran antara warna merah (= cinta ilahi) dan putih (= kebijaksanaan ilahi).
g] hijau: kesuburan (warna tumbuhan), harapan (Kej 1:11-12, Ul 32:2, Luk 23:31).
i] satu lagi yakni biru: warna langit ini bisa berarti kebijaksanaan ilahi yang dihembuskan oleh Roh Kudus (Yoh 3:8). Biasanya digunakan untuk perayaan liturgi Marialis, yang berkaitan dengan Bunda Maria.

Demikian, semoga bermanfaat!

This slideshow requires JavaScript.

 

Posted in 2. Baju liturgi, d. BENDA-BENDA LITURGI | Leave a Comment »

STOLA – BOLEHKAH DIPAKAI OLEH AWAM?

Posted by liturgiekaristi on March 9, 2011


Pertanyaan umat :

Salam… Ijinkan saya untuk bertanya. Apakah pemimpin ibadah sabda di wilayah rohani dan di kelompok kategorial menggunakan stola? Bila ya, adakah aturan tentang bagaimana cara menggunakan stola tersebut (dipakaikan atw pakai sendiri).
Karena ditempat kami ada pemimpin ibadah yg memakai stola dan ada yg tidak. Diwilayah rohani yg memakai, ada perdbtan apakah dipakaikan atw pakai sendiri dgn brbgai mcm argumen. Dan dimanakah kita bisa mencari acuan yg mengatur ttg hal tsb. Terima kasih.

PENCERAHAN DARI PASTOR BERNARD RAHAWARIN PR:

Bapak Misart, saya kemukakan kutipan dari Tata Bacaan Misa no 54: “Kalau seorang imam lain, diakon atau lektor yg dilantik untuk tugas itu, naik mimbar dalam perayaan Ekaristi bersama umat untuk membacakan Sabda Allah, mereka harus memakai pakaian liturgi sesuai dengan tugasnya. Tetapi mereka yg menunaikan tugasnya hanya atas dasar penunjukan aktual….boleh naik dengan pakaian biasa, asal tidak melanggar adat kebiasaan daerah yg bersangkutan.

PENCERAHAN DARI BP. NIKASIUS HADDIE :

Pemimpin Ibadat di wilayah teritorial maupun dalam kelompok kategorial yang dilakukan oleh seorang awam, (bukan Klerus) TIDAK mengunakan stola. Bila dipimpin oleh seorang pro-diakon, baiklah ia menggunakan alba sebagai pakaiannya.

Dokumen atau acuan ttng hal itu bisa dilihat pada Caeremoniale Episcoporum no 56-64 dan juga pada PUMR 2002 mulai no.335-347, khususnya no.340.

PENCERAHAN DARI BP. AGUS SYAWAL YUDHISTIRA

Stola adalah lambang tahbisan, karena itu hanya Uskup, imam dan diakon yang boleh menggunakan stola.
Diakon menggunakan stolanya menyelempang dari bahu kiri ke pinggang kanan.
Imam dan uskup menggunakan stolanya seperti biasa kita lihat.

Ada satu hal yang sering kali kurang diperhatikan namun bisa mengakibatkan kesalahpahaman. Yaitu petugas awam yang memakai slempang seperti layaknya diakon…. See More
Adalah lebih baik jika busana liturgi awam yang bertugas disesuaikan sehingga tidak meniru busana klerus. Alba dengan singel selalu cukup.

PENCERAHAN DARI PASTOR ZEPTO PR :

Sekiranya tidak keliru Sdr. Misart bertanya dgn latar belakang dan konteks Gereja Keusk Manado. Sy akan beri beberapa klarifikasi terutama kpd segenap pembaca yg kurang paham konteks Manado.

Pertama, istilah “WILAYAH ROHANI” yg dimaksud Misart adalah kelompok umat basis dlm paroki. Di keuskupan2 lain namanya lingkungan, kring, KBG, dll.

Kedua, “STOLA”. Kalau di bbrp keuskupan di Jawa para prodiakon mengenakan Samir sbg ‘pakaian’ liturgis. Di Manado, ada juga ‘busana liturgis’ khusus yg sejak thn 2000 (Sinode Keuskupan Manado) dipakai. Bentuknya, bukan seperti samir, bukan juga seperti stola imam/diakon, tetapi HAMPIR MIRIP PALLIUM yg dikenakan oleh Benediktus XVI ketika hari inagurasinya. Adapun, ‘pakaian liturgis’ ini dikenakan di atas alba (bila perayaan meriah), atau di atas busana biasa (bila perayaan biasa, mis: ibadah sabda di rumah). Yg mengenakan inipun selain prodiakon pembagi komuni, tapi juga lektor, dan pemimpin ibdah sabda hari minggu dan hari biasa. Namun, sama seperti beberapa prodiakon masih ada yg menyebut samir sebagai stola, demikian juga di Manado ada beberapa orang mengenal ‘samir’ tsb sbg stola..

Ketiga, tentang “DIPAKAIKAN”. Iklim keagamaan di Manado dan sekitarnya adalah iklim Protestan. Interaksi org2 Katolik dan Protestan sgt tinggi, ibdah2 ekumene dibuat di mana2 mulai dari rumah2 dan instansi2 pemerintah/swasta, bahkan lapangan terbuka dan stadion. Ketika itu, petugas liturgis protestan sebelum menjalankan tugasnya (mis: membacakan Firman dan membawakan kotbah), kepadanya dipakaikan stola oleh salah seorang penatua jemaat. Ini dilihat oleh org Katolik lalu diikuti. Ya…, ini namanya ikut-ikutan?

Posted in 2. Baju liturgi | Leave a Comment »

APA SAJA PERLENGKAPAN BAJU LITURGI PASTOR?

Posted by liturgiekaristi on March 9, 2011


Amik adalah kain putih segi empat dengan dua tali di dua ujungnya atau ada juga model modern lain yang tidak segi empat dan tanpa tali.

Amik yang melingkari leher dan menutupi bahu dan pundak itu melambangkan pelindung pembawa selamat (keutamaan harapan), yang membantu pemakainya untuk mengatasi serangan setan.

Kain itu secara praktis juga berfungsi untuk menutupi kerah baju supaya tampak rapi, untuk menahan dingin, atau sekaligus untuk menyerap keringat agar busana liturgis pada zaman dulu yang biasanya amat indah dan mahal tidak mengalami kerusakan.

Amik dikenakan oleh imam, diakon, atau petugas lain yang hendak mengenakan alba.
Pemakaian amik sering tergantung juga pada alba yang akan dipakai. Kalau alba kiranya tidak menutup sama sekali kerah pakaian sehari-hari, maka barulah amik itu dikenakan sebelum alba (PUMR 336).

PENJELASAN DARI PASTOR Christianus Hendrik

Amik: Fungsinya seperti “pakaian dalam” untuk Imam yang akan merayakan Ekaristi/perayaan sakramen2 Gereja. Fungsi utamanya adalah untuk melindungi Stola dan Kasula supaya tidak cepat kotor oleh keringat yang sering banyak keluar di sekitar leher karena panas. Selain juga menutupi pakaian ‘sekular’ yang kadang ada Imam yang enggan berganti baju; atau juga untuk menutupi bagian tengkuk dan sekitar leher supaya tidak nampak telanjang.

Caranya dengan menebarkan kain persegi empat ini di tengkuk dengan kedua tali ditarik menyilang di dada, lalu dilingkarkan di pinggang dan ditali di belakang/punggung.
Karena fungsinya yang simple ini sering Imam kurang memperhatikan gunanya dan jarang memakai-selain juga tidak selalu tersedia di sakristi2 di tiap Gereja sekarang ini. Fungsi Amik ini lalu dipindah/ digantikan dengan memasang selembar kecil kain putih di stola, sehingga kalo cepat kotor yang mudah kotor adalah kain putih kecil tersebut yang bisa dilepas dan dicuci lalu stola sendiri tetap bersih…itu menyebabkan pemakaian Amik makin jarang.

Saya pribadi kalo ada Amik dan atribut lainnya yang lengkap lebih senang memakainya, bukan soal apa…tapi ada rasa agung dan khusyuk mempertahankan tradisi Gereja yang indah…walaupun kadang harus berkorban menahan panas dan keringat yang mengucur wkwkwk.. Masalahnya umat sering lebih sayang lilin2 di altar daripada Imamnya. Sudah panas dengan pakaian lengkap, jubah/alba, amik,stola, single, kasula…juga tidak diberi fan/kipas angin di sekitar altar,jadi mandi keringat deh…Ketika diminta, umatnya bilang:”nanti kipasnya mengganggu nyala lilin bisa padam, romo…” (wah, ga kepikir kalo rm nya karena kepanasan bisa ‘padam’ juga wkwkwk…)

Posted in 2. Baju liturgi | 2 Comments »

WARNA BAJU LITURGI DALAM PERAYAAN EKARISTI

Posted by liturgiekaristi on March 9, 2011


PERTANYAAN UMAT :

coba lihat Kompas tgl. 12 Juli 2010 halaman 30, ada foto pastor Belanda memimpin misa di Obdam Belanda dengan KASULA WARNA ORANYE guna mendukung kesebelasan Belanda (oranye)
dalam piala dunia. Seingat saya tidak ada KASULA WARNA ORANYE dalam
Gereja Katolik. Kalau semua pastor bisa seenaknya membuat warna kasula
sesuai selera atau maksud misa, apa jadinya (warna) liturgi di Gereja
Katolik kita. Ada tanggapan ?”””
http://www.facebook.com/note.php?saved&&suggest&note_id=410813001393&id=346697288792#!/photo.php?pid=6115786&id=346697288792

PENCERAHAN DARI Teresa Subaryani Dhs

@Koko Kenny: Bukan berarti bahwa Pastor saat memimpin misa bisa pakai apa saja. Tentunya ada ketentuan dari Kalender Liturgi. Warna yang dikenakan saat misa merujuk pada Kalender Liturgi. Hanya saja ada kekhusus-an di masing-masing wilayah konferensi waligereja. Mengenai warna-warna liturgi memang ada yang baku, yang sudah ditetapkan, tetapi masing -masing konferensi waligereja punya “kuasa” untuk menggunakan warna lain. Tentunya tidak mengubah semua warna-warna itu. Misalnya saja, di Indonesia ada yang menggunakan motif batik.

KOMENTAR UMAT

Joseph Juliantono:
Tanggapan saya, biarkan aja yang ngerti yang ngejawab. Itu bagian buat yang ngerti liturgi kan?
Kata2 seperti “menurut saya”, “yang penting”, “mungkin”, “tergantung”, “ini kan”, “toh”, itu bukan jawaban sama sekali.
Cuma menunjukkan ketidak-pastian dan ketidak-tauan.

Robin Hood MENCURI dari tuan tanah bengis untuk dibagikan kepada orang miskin dosa, ga? Mencuri dari koruptor buat dibagikan kepada korban Lapindo dosa, ga? …
Biarkan yang tau hukum Gereja ajalah yang ngejawab-nya… ^_^”.

PENCERAHAN DARI Mas Roms:

Memang Uskup Diosesan atau Konf. WaliGrj punya “otonomi” mengatur seputar liturgi “di wilayahnya” sejauh tidak bertentangan dengan prinsip Gereja Universal. Dalam hal warna liturgi, warna yang ada (ungu, putih, hijau, merah) SENGAJA dipilih oleh Gereja untuk mengungkapkan ” makna tahap2 perkembangan dalam hidup kristiani.” (PUMR 345) Maka warna liturgi dalam suatu perayaan bukan didasarkan karena “selera pribadi.” Yang terjadi di sekitar kita, dengan alasan inkulturasi yang sering diotak-atik (baik kasula ato stola) adalah motif hiasannya, namun tidak meninggalkan ketentuan warna liturgi perayaan yang sedang dirayakan.
Maka, secara pribadi yang terjadi di Belanda itu menutur saya kurang tepat. Tapi kalau uskupnya membenarkan, yah…mau apa kita, lha uskup kan “penjaga iman dan liturgi yang benar.”

Joseph Juliantoro: Idealnya seperti itu mas, kita mendengarkan tanggapan Gereja, biar plong dan yakin. Namun admin pernah mengungkapkan kesulitannya. Maka baik kalau kita semua coba-coba ajak pastor paroki atau yang kita kenal untuk mampir ke sini. Masak kalau mereka baca aneka tanggapan kita “tak mau bergeming.” Yang penting dengan coment/sharing pengalaman di sini, kita makin diperkaya dan jangan “ngeyel” bahwa apa yang kita tulis itu pasti dan yang paling benar. Thanks.

PENCERAHAN DARI PASTOR Christianus Hendrik

Pembicaraan soal warna liturgis ini mempunyai implikasi yang lebih dalam dari sekedar soal warna. Pertama, secara liturgis sudah ditentukan warna2 yang punya arti dan diangkat dalam khazanah liturgi menurut ketentuan yang sudah dituliskan. Prinsipnya: Kita manusia yang harus menyesuaikan diri dengan “budaya Allah”, bukan sebaliknya. Kita yang mengimani yang harus menyesuaikan hidup kita dengan kesucian dan kebenaran yang terkandung dalam Gereja, bukan sebaliknya Gereja yang harus menyesuaikan diri dengan keinginan manusia-apalagi hanya segolongan manusia. Benar bahwa Gereja kita bersifat Universal: satu, kudus, Katholik dan Apostolik. Maka, idealnya gereja adalah untuk semua orang, bukan hanya untuk Belanda, apalagi hanya untuk sekelompok maniak pencinta sepak bola Belanda!
Persoalan menjadi rumit kalau misalnya yang hadir/umat di gereja kita toh tidak semuanya fanatik kesebelasan Belanda. Bagaimana dengan yang fanatik dengan Spanyol?, Argentina?, German??..Kalau Gereja sudah ditunggangi oleh kepentingan segolongan orang, lalu di mana sifat universalitas Gereja?? Bukankah akan menimbulkan perpecahan?

Maka foto perayaan misa dengan atribut pakaian dan dekorasi warna orange-yang nota bene menjadi ikon kesebelasan tertentu itu membingungkan dan menjadi rancu dalam tata universalitas liturgi Gereja. Harusnya Gereja mengatasi/berada jauh di atas kesenangan tiap kesebelasan, kelompok, golongan atau apalah namanya. Bayangkanlah gimana jadinya kalo ada ‘gereja PSSI’, gereja kesebelasan Kalimantan’, gereja kesebelasan Sriwijaya,…wah bisa bertarung dalam warna liturgi wkwkwk…

Satu indikasi yang bisa saya tangkap dari foto tersebut adalah: corak gereja fun! gereja yang direduksikan makna kesakralannya dan diperbudak oleh kesenangan kelompok orang tertentu. Apakah itu karena gereja sudah kehilangan jemaatnya, lalu demi popularitaskemudian mengikuti fun, demi menyenangkan umat tertentu…alangkah menyedihkannya… Tidak ada yang salah dengan berdoa bagi kesebelasan tertentu, tapi harus diingat bahwa Ekaristi adalah SAKRAMEN=Tanda dan sarana keselamatan dari Allah yang nampak di dunia. Hal2 yang nampak oleh mata manusia ini penting, supaya tanda dan sarana itu tidak mengaburkan hakikat Keselamatan (termasuk ciri universalitas dan kesatuan) yang mau disampaikan pada manusia. So, bukan sekedar warna… Kalo cara seperti itu selalu diandaikan tidak apa2 pada awalnya…lalu begitulah yang terjadi, seperti lagunya Meriam Bellina: “Mulanya biasa saja…., akhirnya datang juga…” Saatnya melihat perpecahan dan kehancuran dalam Gereja yang universal. Semoga Gereja yang Kudus, Katolik, Apostolik senantiasa dijauhkan dari itu. Thanks.

Posted in 2. Baju liturgi | Leave a Comment »

PUTRA ALTAR – Mengenai baju putra altar

Posted by liturgiekaristi on March 9, 2011


Pertanyaan umat :

1. terkadang ada hal2 yg ingin kita cari tidak dapat ditemukan di sekitar kita sehingga harus repot2 mencari hingga ke Vatikan. malah kadang yg ada di sekitar kita malah membuat bingung sehingga lebih baik langsung mencari ke sumbernya. misalnya soal baju misdinar yang antar paroki aja bisa berbeda.

2. tanya soal misdinar :
1. apakah misdinar harus dilantik dahulu sebelum mulai bertugas?
2. apakah misdinar bisa dibatasi usianya? dasarnya apa? jika usia bisa tidak terbatas, apakah boleh seseorang yang sudah menikah menjadi misdinar?
3. apakah untuk panduan tugas bagi misdinar bisa disamakan dengan tugas akolit yang tertuang di PUMR, bisa disamakan seluruhnya atau sebagian? kalau sebagian saja, siapa yang berwenang menentukan mana2 saja yang bisa dilakukan misdinar, dan mana yang tetap khas akolit?

PENCERAHAN DARI PASTOR Albertus Widya Rahmadi Putra

Anda ingin tahu bagaimana PE dijalankan di Vatikan? Jawabanya sederhana: sama seperti yg tercantum di Missale Romanum, tidak lebih dan tidak kurang.. :). Dalam perayaan2 besar, tugas pelayanan altar di vatikan umumnya memang diemban oleh para seminaris (baca: akolit).

buku kecil panduan perayaan untuk umat biasanya dibagikan (hanya khusus hari2 besar) dan boleh dibawa pulang. Namun buku ini tidak memuat detil apa yg harus dilakukan misdinar krn memang tidak dicetak untuk maksud itu. Untuk edisi tahun 2010, Anda bisa download di: http://www.vatican.va/news_services/liturgy/calendar/ns_liturgy_calendar_en.html

Silakan klik sesuai bulan dan perayaan yg diinginkan pada bagian tulisan “Booklet for the Celebration”.

Link populer lain terkait pelayan altar atau misdinar atau akolit:
http://en.wikipedia.org/wiki/Altar_server
http://en.wikipedia.org/wiki/Acolyte

Dari dua link di atas setidaknya kita bisa memahami bahwa tugas misdinar atau pelayan altar yang populer sekarang memang bersumber pada tugas akolit. Praktis detail tugasnya tidak berbeda. Soal pelantikan, akolit menerima pelantikan resmi, sementara untuk menjadi misdinar “biasa” tidak ada keharusan dilantik. Prakteknya, banyak pastor paroki mengadakan pelantikan dan pelatihan rutin utk para misdinar di parokinya. Hal ini amat baik utk menumbuhkan komitmen & keseriusan pelayanan para misdinar.

dalam praktek sekarang tidak ada pula pembatasan tegas usia atau status untuk misdinar. (tapi memang jarang khan bapak2 yg mau jadi misdinar, kecuali dalam keadaan “darurat”, misalnya di stasi2 terpencil). Memang baik digalakkan utk anak2 dan remaja terutama juga utk menumbuhkan benih panggilan bagi mereka.

Terkait pakaian, karena awalnya bersumber dari peran akolit, pakaian misdinar awalnya juga mengikuti pakaian akolit. Standart resmi untuk misdinar sejauh saya tahu, tidak ada secara resmi tertulis. (Beda kasus utk pakaian klerus!). Keuskupan setempat bisa menentukan norma yg lebih detil. Ambil contoh, di Italia, pakaian yang dianggap “lazim” utk misdinar digolongkan menjadi tiga:
1. jubah hitam atau merah plus superpli putih sederhana,
2. alba putih sederhana dengan singel atau tanpa singel,
3. model tarsisius (alba putih dengan dua garis merah).

Contoh gambar bisa dilihat di sini: http://www.cattoliciromani.com/forum/showthread.php/abiti_chierichetti-9025.html

Di Indonesia, setidaknya jaman saya dulu sering jadi misdinar, pakaian nomor 1 (jubah merah plus superli putih polos) lazim digunakan.

btw.. apa yg saya tulis di atas adalah sharing dan pengamatan pribadi.. silakan dikoreksi, terutama oleh Anda para pakar liturgi di forum ini, jika ada hal2 yang tidak sesuai atau bahkan mungkin melanggar norma liturgi resmi terkait tema misdinar..

Peace..

PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :

Sebenarnya tugas umum misdinar bisa dibaca pada panduan untuk “akolit” seperti yang sudah dibahas, terutama lihat di PUMR (berkaitan dengan pendupaan, pelayanan, dll).

Yang ditulis di PUMR memang sebenarnya menunjuk kepada akolit dilantik secara liturgis.
Karena kini di banyak tempat akolit seperti itu tidak ada banyak, maka prinsipnya tugasnya tidak banyak berubah, karena memang tidak ada tugas khas dan eksklusif yang melekat pada pelantikan itu. Artinya tugas umum akolites itu ya boleh dan bisa dilakukan oleh misdinar yang ada sekarang, asal syarat-syarat terpenuhi.
Untuk syarat umum kalau menurut tradisi dan peraturan liturgi umum Roma, misdinar adalah: Laki-laki cukup umur. Tidak ada batasan umum ke atas.
Mereka dilatih untuk tugas akolites, dan pengertian pokok sekitar liturgi yang perlu. Ini adalah pengetahuan dasar yang dituntut. Minimal misdinar harus bisa menjawab seluruh bagian yang dijawab umat saat liturgi resmi berlangsung.
Dari sini sebenarnya kalau mengacu ke peraturan asal dibandingkan yang terjadi di Indonesiai:
a. Misdinar harus laki-laki, dan bukan perempuan.
b. Misdinar tidak dibatasi oleh umur.

Tentang pakaian, pada dasarnya kalau dilihat dari perkembangan tata busana, seperti busana liturgi imam dan Uskup pun berkembang sesuai dengan kondisi real jaman, walau pun bagian pokok tetap sama: kasula, stola, singel, alba, warna liturgis….. = tetap, tetapi model, bahan bisa berubah sesuai keadaan dan jaman.
Contoh kasula lama, kalau kita lihat di museum Vatikan atau beberapa museum biara atau paroki tua di Italia, kita bisa melihat kasula itu adalah karya tangan (hand made) entah disulam, songket, dll – dan umumnya dari bahan mahal dan berat. Untuk daerah dingin pakaian ini menguntungkan, tetapi untuk daerah tropis pakaian ini akan banyak merepotkan, apalagi untuk pastor yang harus berkeliling dari satu tempat misa satu di pemukiman penduduk ke tempat lain, yang umumnya panas sekali karena atap seng dll.
Demikian juga jubah, umum di daerah Eropa jubah imam adalah hitam. Di Indonesia yang umum adalah putih.
Ini semua disesuaikan dengan keadaan setempat, yakni iklim dll.

Nah, kembali ke soal pakaian misdinar. Pada dasarnya pakaian misdinar adalah “semacam alba/jubah” bagian dalam, dan ditutup dengan semacam superpli. Ini pakaian dasar. Superpli selalu putih, dan warna dasar jubah dalam mengikuti liturgi.
Di Indonesia pakaian ini ada yang masih mengikuti standar itu ada pula yang telah disederhanakan yakni menjadi tiga potongan, yakni potongan bawah (semacam under rok – menggantikan peran jubah di atas); bagian tengah (menggantikan superpli) dan bagian atas penutup kerah (tambahan baru untuk ekspresi warna liturgi, karena di beberapa tempat bagian bawah malahan kain jarik / batik).

Yang perlu diperhatikan adalah: pakaian itu mirip dengan pakaian pelayan altar (jubah + superpli) pada umumnya; dan mencerminkan warna liturgi yang berlansung.
Kedua, pakaian itu membantu baik umat maupun yang bersangkutan untuk menghayati liturgi secara lebih baik.

INFORMASI DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :

Untuk pembanding atau pelengkap referensi tentang baju misdinar, silahkan klik link berikut:
http://www.facebook.com/editphoto.php?aid=10852#!/album.php?aid=10852&id=100000678356281&upload=1

Hehehee iya, karena memang mau kumpulin saja model baju misdinar dalam Gereja Katolik. Model ritus Timur adalah yang model baju saja tanpa dipakai dan yang dipakai misdinar dengar warna dasar kuning itu, membawa lilin dll. Cirinya jelas baju misdinar mirip dengan pakaian liturgis imamnya.
Ritus Barat, yang warna pokoknya putih – diungkapkan dalam bagian superpli. 🙂

This slideshow requires JavaScript.

 

 

 

 

 

Posted in 2. Baju liturgi, 2. Putra Altar | Leave a Comment »

KAMIS PUTIH – KAIN SELUBUNG YANG DIGUNAKAN PASTOR PADA SAAT SALVE

Posted by liturgiekaristi on March 8, 2011


Pertanyaan umat :

kain yg di selubung kan kepunggung pastor saat salve itu nama nya kain apa??dan apa makna nya???

PENCERAHAN DARI PASTOR BERNARD RAHAWARIN PR :

kain itu bernama VELUM. Pada kedua ujungnya terdapat semacam saku di mana imam memasukkan kedua tangannya ketika hendak memegang Monstran pd moment Berkat Sakramen Mahakudus. VELUM adalah simbol penghormatan dan rasa respek yg besar… yg dalam hal ini ditujukkan kepada Sakramen Mahakudus.
Karena rasa hormat maka Sakramen Mahakudus tidak dipegang langsung dengan tangan melainkan dengan cara mengalas tangan dengan VELUM (yg berarti menutupi/menudungi).

Posted in 2. Baju liturgi, 3. Kamis Putih | Leave a Comment »