Seputar Liturgi Ekaristi Gereja Katolik

Seputar Liturgi Ekaristi Gereja Katolik

  • Majalah Liturgi KWI

  • Kalender Liturgi

  • Music Liturgi

  • Visitor

    free counters

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    Free Hit Counters

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    free statistics

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    hit counters



    widget flash

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    web page counter

  • Subscribe

  • Blog Stats

    • 1,255,567 hits
  • Kitab Hukum Kanonik, Katekismus Gereja Katolik, Kitab Suci, Alkitab, Pengantar Kitab Suci, Pendalaman Alkitab, Katekismus, Jadwal Misa, Kanon Alkitab, Deuterokanonika, Alkitab Online, Kitab Suci Katolik, Agamakatolik, Gereja Katolik, Ekaristi, Pantang, Puasa, Devosi, Doa, Novena, Tuhan, Roh Kudus, Yesus, Yesus Kristus, Bunda Maria, Paus, Bapa Suci, Vatikan, Katolik, Ibadah, Audio Kitab Suci, Perjanjian Baru, Perjanjian Lama, Tempat Bersejarah, Peta Kitabsuci, Peta Alkitab, Puji, Syukur, Protestan, Dokumen, Omk, Orang Muda Katolik, Mudika, Kki, Iman, Santo, Santa, Santo Dan Santa, Jadwal Misa, Jadwal Misa Regio Sumatera, Jadwal Misa Regio Jawa, Jadwal Misa Regio Ntt, Jadwal Misa Regio Nusa Tenggara Timur, Jadwal Misa Regio Kalimantan, Jadwal Misa Regio Sulawesi, Jadwal Misa Regio Papua, Jadwal Misa Keuskupan, Jadwal Misa Keuskupan Agung, Jadwal Misa Keuskupan Surfagan, Kaj, Kas, Romo, Uskup, Rosario, Pengalaman Iman, Biarawan, Biarawati, Hari, Minggu Palma, Paskah, Adven, Rabu Abu, Pentekosta, Sabtu Suci, Kamis Putih, Kudus, Malaikat, Natal, Mukjizat, Novena, Hati, Kudus, Api Penyucian, Api, Penyucian, Purgatory, Aplogetik, Apologetik Bunda Maria, Aplogetik Kitab Suci, Aplogetik Api Penyucian, Sakramen, Sakramen Krisma, Sakramen Baptis, Sakramen Perkawinan, Sakramen Imamat, Sakramen Ekaristi, Sakramen Perminyakan, Sakramen Tobat, Liturgy, Kalender Liturgi, Calendar Liturgi, Tpe 2005, Tpe, Tata Perayaan Ekaristi, Dosa, Dosa Ringan, Dosa Berat, Silsilah Yesus, Pengenalan Akan Allah, Allah Tritunggal, Trinitas, Satu, Kudus, Katolik, Apostolik, Artai Kata Liturgi, Tata Kata Liturgi, Busana Liturgi, Piranti Liturgi, Bunga Liturgi, Kristiani, Katekese, Katekese Umat, Katekese Lingkungan, Bina Iman Anak, Bina Iman Remaja, Kwi, Iman, Pengharapan, Kasih, Musik Liturgi, Doktrin, Dogma, Katholik, Ortodoks, Catholic, Christian, Christ, Jesus, Mary, Church, Eucharist, Evangelisasi, Allah, Bapa, Putra, Roh Kudus, Injil, Surga, Tuhan, Yubileum, Misa, Martir, Agama, Roma, Beata, Beato, Sacrament, Music Liturgy, Liturgy, Apology, Liturgical Calendar, Liturgical, Pope, Hierarki, Dasar Iman Katolik, Credo, Syahadat, Syahadat Para Rasul, Syahadat Nicea Konstantinople, Konsili Vatikan II, Konsili Ekumenis, Ensiklik, Esniklik Pope, Latter Pope, Orangkudus, Sadar Lirutgi

Archive for the ‘d. BENDA-BENDA LITURGI’ Category

MAKNA LILIN PASKAH

Posted by liturgiekaristi on December 3, 2014


Pertanyaan umat :

Gimana kalau pd misa malam paskah/natal, lilin jg hanya ada di altar saja ? jd tdk perlu semua umat pegang lilin, krn makin banyak umatnya ya makin banyak lilin yg dibutuhkan … biaya utk lilin mungkin bisa dipakai utk yg lain2

Pencerahan dari SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Penyalaan lilin pada Vigili/Malam Paskah ada maknanya dan sungguh tak elok demi menghemat biaya, lilin untuk umat pada malam Paskah ditiadakan. Perayaan Malam Paskah akan kehilangan maknanya. Pada Misa Malam Paskah, Lilin Paskah merupakan simbol cahaya Kristus yang bangkit. Hal ini terutama dalam kata-kata imam ketika menyalakan lilin Paskah dengan mengucapkan : « Semoga Cahaya Kristus yang bangkit mulia menghalau kegelapan hati dan budi kita ». Ketika Lilin Paskah diarak masuk ke dalam gereja, Gereja dalam keadaan gelap, dan cahaya lilin Paskah ini mulai memberi terang dalam kegelapan.

Cahaya Lilin Paskah ini kemudian diedarkan ke tengah umat beriman dengan saling menyalakan lilin-lilinnya di tangan, sebagai simbol saling berbagi terang kebangkitan Kristus dan cinta kasih Allah yang menyelamatkan. Dengan nyala lilin di tangan umat yang diambil dari Lilin Paskah Kristus, umat memperbaharui janji-janji baptis untuk tetap hidup dalam Terang Kristus dan menjadi cahaya yang tak terpadamkan bagi sesama.

Berbeda dengan Malam Paskah, dalam Hari Raya Natal (Misa Malam) tidak ada penyalaan lilin umat, kalaupun ada itu sifatnya optional.

Posted in 3. Benda Liturgi lainnya, 5. Vigili - HR Paskah | 1 Comment »

MAKNA LILIN DALAM PERAYAAN EKARISTI

Posted by liturgiekaristi on December 3, 2014


Lilin itu merupakan simbol terang, dan pada perayaan Ekaristi, lilin di altar dinyalakan, yang menjadi lambang kehadiran Kristus yang adalah Sang Terang dunia (Yoh 8:12). Cahaya Lilin melambangkan Pengorbanan dan Kasih, lilin yang membiarkan dirinya terbakar habis merupakan simbol Pengorbanan dan cahaya yang dihasilkan menerangi seluruh sisi kegelapan merupakan Kasih Tuhan Yesus yang menerangan seluruh umatnya. Lilin digunakan dalam Misa sebagai pertanda Kristus yang membawa terang kepada dunia dan terang iman itu sendiri. Dalam Misa, lilin digunakan baik sebagai cahaya di altar, cahaya di tabernakel, pada saat perarakan masuk dan keluar, pada saat pembacaan Injil oleh imam, serta pada saat pembagian komuni.

Posted in 3. Benda Liturgi lainnya | Leave a Comment »

Perayaan Jumat Agung – bolehkah umat memakai baju berwarna merah?

Posted by liturgiekaristi on March 20, 2013


Beberapa waktu lalu, ada pertanyaan dari umat seperti di bawah ini:

1. Apakah pada saat Perayaan Jumat Agung itu Umat diwajibkan menggunakan baju merah ? soalnya diparoki kami Rm Parokinya teriak terus sedangkan Rm yg 2 biasa2 ajah. Ada tdk si aturan gerjanya.

2. Pd ibadah Jumat Agung (warna lit merah), bolehkah umat turut memakai pakaian merah atau brcorak merah juga? Atau hanya Imam yg berhak? Trima kasih

PENCERAHAN DARI SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Saya belum pernah membaca ada peraturan yang mengatur warna pakaian yang harus dikenakan umat. Rasanya penghayatan iman kita tidak didasarkan pada warna pakaian yang harus dipakai untuk ke gereja.
Bahwa baik untuk disarankan memakai pakaian yang pantas dan sesuai, itu mungkin sebagai tindak pastoral dan kearifan berbudaya. Ini sama halnya ketika kita menghadiri sebuah pemakaman keluarga misalnya, tidak ada peraturan tertulis orang harus mengenakan pakaian hitam. Tapi begtulah budaya kita yang beranggapan bahwa warna juga merupakan salah satu ekspresi kita mengungkapkan rasa turut berduka dan berkabung dengan memakai pakaian hitam2. Bayangkan jika kita datang ke pemakaman dengan berpakaian merah menyala, atau kuning…orang mungkin tidak akan menegur, tapi hanya melirik dengan rasa aneh dan merasa ada yang janggal bukan?

Yang bisa dipertimbangkan adalah kalau misalnya panitia paroki mempersiapkan seragam koor untuk Jumat Agung dan memutuskan memakai warna kuning, misalnya, itu perlu diingatkan bahwa selayaknya kita memilih warna merah yang lebih pantas untuk Jumat Agung(Simbol kurban kemartiran Yesus), putih untuk Kamis putih, merah untuk Minggu Palma, dst. Hanya demi layak dan sepantasnya, tapi tidak menentukan keselamatan atau menjadi keharusan umat. Semoga kita lebih bijak memilah2 mana yang keharusan demi keabsahan, mana yang disarankan demi kelayakan.

Sudah sepanjang minggu Suci umat bolak balik ke Gereja untuk penghayatan imannya, jangan lagi direpotkan dengan hal2 kecil seperti soal berpakaian. Jauh lebih penting misalnya kita menaruh perhatian pada cara berpakaian/model pakaian kita. Walaupun mengenakan warna merah pada saat Jumat Agung, tapi kalau modelnya mini seperti orang main tenis lapangan atau seperti pakaian renang, wah…itu malah lebih parah ha ha ha… Itu tinjauan dari segi praktis saja, silahkan Rm. lain mungkin bisa menambahkan dari segi hukum soal warna pakaian untuk umat..he he..
Salam hangat, P.Hend. SCJ, South Dakota

TAMBAHAN PENCERAHAN.

Soal warna merah, memang benar warna liturgi pada hari itu adalah merah dengan arti yang sudah dijelaskan oleh pastor di atas. meski begitu, para gembala jiwa juga hendaknya peka terhadap budaya setempat yang mungkin “menabukan” warna merah untuk suasana duka. jadi, sungguh bijaksana bila imam tidak “memaksa” umatnya mengenakan warna merah untuk ibadat jumat agung. lagipula, seturut tradisi, warna liturgi memang hanya untuk kasula dan stola imam dan juga antependium altar dan ambo. tidak ada aturan ataupun tradisi yang meminta misdinar atau petugas liturgi tidak tertahbis lainnya (apalagi umat) mengenakan warna liturgi.

Saya amati, di beberapa tempat di indonesia mulai timbul trend yang berlebihan dengan membuat jubah misdinar (bahkan juga bantal tempat duduk dan bantal tempat berlutut misdinar!) mengikuti warna liturgi (ungu, putih/kuning, merah, hijau). Ini berlebihan dan juga adalah pemborosan.

Seturut tradisi, warna jubah misdinar sama dengan jubah imam. warnanya hitam, atau, di beberapa daerah di eropa ada kebiasaan yang sudah lama sekali (immemorial or centenary custom), yang diterima oleh Gereja, untuk menggunakan warna merah. tapi merah di sini bukan warna liturgi. gampangnya begini, tidak ada jubah imam warna hijau. jadi misdinar pun jangan dibuatkan jubah warna hijau. trend memaksakan warna liturgi untuk misdinar (dan sekarang umat) ini agak berlebihan dan tidak perlu.

Posted in 2. Baju liturgi, 4. Jumat Agung | Leave a Comment »

MENURUT BUKU TPP BARU – PERHATIKAN MENGENAI BAGIAN PENANDA TANGAN SURAT PERKAWINAN GEREJA

Posted by liturgiekaristi on August 6, 2011


SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Menurut buku TPP baru, penandatangan Surat Perkawinan Gerejawi dilakukan di luar perayaan setelah berkat penutup. Penandatangan dilakukan di sebuah meja di hadapan umat, dan bukan di atas meja altar.

Komentar umat :

Jonky Christiananda betul, sekarang begitu, dulu bisa di atas altar kalau pastor yg menikahkan juga merangkap petugas catatan sipil

Kristina Tere Pukay Gak masalah sih…. Tapi tolong TPP atau TPE juga klo melakukan suatu perubahan, apa saja, selain pertimbangkan nilai sakralitas , juga alasan2 yang tepat supaya tidak membingungkan umat. Karena sbg umat awam sering kita beranggapan bahwa apapun yang di lakukan di gerja seperti penerimaan Sakramen perkawinan punya nilai yang agung, sakral dan kudus dan lebih berkesan krn akan membawa kesan yang indah dan dapat memperngaruhi pola hidup gerejawi.,
Pengalaman yang terjadi, dulu doa setelah bapa kami : Jangan memperhitungkan dosa2 kami tetapi perhatikanlah iman gerejamu,….dst…nya dan juga Dengan perantaraam Kristus dan bersama Dia.dst…. dulu saya msih kecil doa ini didoakan ole pastor dan umat hanya menjawab : Amin. tapi akhirnya didoakan bersama umat,alasannya agar umat ikut ambil bagian secara aktip.tapi akhirnya sekarang balik lagi ke yg dulu, dan saya juga gak tau alasannya kenapa?????

Fidelia Yustisia AdrianeY btul btl btul hehehe siap dech tuk grja katolik indonesia …

Ratih Conyiel FajarKlu mmg sdh d putuskn bgitu ya hrs d sosialisasikn.baru2 ini Bp Uskup tanda tgn d mja altar sblm doa umat.Ptgas dr capil d mja lain stlh berkat penutup

Kriswandaru Fransiskus saya melihat bahwa semuanya bergantung kepada pastor/romo/imam yang memimpin misa itu, jadi sosialisi awal jika ada perubahan2 dalam tata gerak liturgi mestinya para imam/romo/pastor terlebih dahulu….

 

 

Posted in 4. Buku Liturgi, h. SAKRAMEN | Leave a Comment »

DALAM BUKU TPP BARU – PERHATIKAN DIBAGIAN “KESEPAKATAN PERNIKAHAN”

Posted by liturgiekaristi on August 6, 2011


SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Janji Perkawinan dalam TPP yang baru memakai istilah KESEPAKATAN PERKAWINAN, dilakukan dengan berhadapan dan saling berjabat tangan kanan. Tidak ada pilihan untuk mengucapkan sambil meletakkan tangan kanan di atas Kitab Suci seperti yang selama ini juga lazim dilakukan.

Komentar umat :

Jonky Christiananda berarti kesepakatan itu bisa dibatalkan pada suatu saat? baguslah kalau begitu, tdk ada lagi orang yg terjebak makan buah simalakama

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

“Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.” (KHK 1057 § 2)

Jadi saya rasa bukan mengganti istilah melainkan menyesuaikan dengan istilah hukum Gereja.

-OL-

Posted in 4. Buku Liturgi, h. SAKRAMEN | Leave a Comment »

DALAM BUKU TPP BARU – PERHATIKAN BAGIAN PENGENAAN CINCIN

Posted by liturgiekaristi on August 6, 2011


SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Dalam Tata Perayaan Baru pada bagian pengenaan cincin ada kalimat “Dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.” bagi mempelai Katolik. Sehingga keseluruhan kalimatnya ketika mempelai Katolik mengenakan cincin ke jari manis tangan kanan pasangannya menjadi: “… (nama pasangan), terimalah cincin ini, tanda cintaku dan kesetiaanku. Dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.”

Posted in 4. Buku Liturgi, h. SAKRAMEN | Leave a Comment »

DALAM BUKU TPP BARU – TANYA JAWAB DENGAN SAKSI DIHILANGKAN

Posted by liturgiekaristi on August 6, 2011


SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Bagian lain yang dihilangkan dari Tata Perayaan Perkawinan yang baru adalah tanya jawab dengan saksi, sehingga saksi tidak lagi mengucapkan apapun selama perayaan. Memang sebaiknya begitu karena Imam-lah yang melakukan penyelidikan kanonik terhadap calon mempelai, bila ditemukan halangan tentu tidak akan dilangsungkan perayaan perkawinan.

Bagian ini di buku sebelumnya adalah pertanyaan Imam “Para saksi yang terhormat, adakah sesuatu yang menghalangi pernikahan ini?” Dan para saksi menjawab, “Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada satu halanganpun yang menghalangi pernikahan ini.”

Pertanyaan umat :

 

Yohanis Don Bosko Menurut saya, pernyataan itu tetap perlu sbg pertanggung-jawaban saksi terhadap pendampingan pasangan di kemudian hari. Kalo tidak ada, mungkin mereka tidak merasa penting sbg saksi. Kalo gitu, ngapain mereka maju mendampingi pengantin…? Tolong dipikirkan… Saksi sebenarnya juga sbg orang-tua rohani bagi pasangan itu.

Yohanis Don Bosko Maaf, sedikit berkomentar, seandainya pernyataan saksi kita anggap sbg jawaban atas pertanyaan pada saat pengumuman nikah di gereja “siapa yg mengetahui halangan, wajib lapor ke pastor paroki”, apakah itu tidak bisa dijadikan landasan untuk pertanyaan thdap saksi waktu pemberkatan itu..? Adakah penjelasan, mengapa pernikahan itu sah jika melibatkan saksi? Apa sekedar memenuhi persyaratan..? Saya berada dalam lingkungan kerabat yg masih meyakini saksi itu perlu sebagai orang-tua rohani, sama halnya ketika seorang bayi dipermandikan didampingi bapak/ibu serani yg selalu menuntun, memberi nasihat thdp anak itu tatkala orang-tua kurang mampu memberikan pendidikan rohani. Sy rasa saksi juga harus mendapat peran dalam pernikahan pasangan ini, dan mereka perlu menyatakan sesuatu di hadapan imam sbg wakil Tuhan, bahwa benar2 pasangan ini tidak berhalangan. Apabila di kemudian hari terjadi sesuatu, secara moral mereka akan merasa bertanggung jawab. Mohon comment-nya demi pencerahan…

Mutiara Sitanggang Seharusnya pada saat kanonik,para saksi tersebut jg dipanggil shgga pertanyaan trhdp saksi pd saat sakramen pernikahan tak perlu ditanyakan lg. Justru para saksi ini yg sgt berperan sbg org tua rohani utk mengingatkan pasangan bila kelak trj badai dlm khidupan prnikahan mrk nanti. Kanonik ini hrs bnr2 dijalankan bkn sekedar tanya jawab semata,shgga grja katolik ga kecolongan bhwasanya bnyk pasangan yg bohong.thx

Kristopo Ignatius KHK.Kan.1120. pasal 1. Seselesai perayaan perkawinan, Pastor Paroki tempat perayaan atau yang menggantikannya, meskipun mereka tidak meneguhkan perkawinan itu, hendaknya secepat mungkin mencatat dalam buku perkawinan nama-nama mempelai, peneguh serta para saksi, tempat dan hari perayaan perkawinan, menurut cara yang ditetapkan oleh konferensi uskup atau oleh uskup diosesan.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA KHK 1108 § 1 Perkawinan hanyalah sah bila dilangsungkan di hadapan Ordinaris wilayah atau pastor paroki atau imam atau diakon, yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang meneguhkannya, serta di hadapan dua orang saksi;
=========
Dua orang saksi yang menyaksikan perkawinan diperlukan demi sahnya perkawinan. Sebelum perayaan itu dilangsungkan, wajib diadakan penyelidikan kanonik oleh Imam untuk menjamin tidak adanya halangan yang dapat menggagalkan perkawinan. Tugas penyelidikan ini dilakukan oleh Imam (bukan oleh saksi). Maka sebenarnya menjadi tidak konsisten apabila malah Imam yang menanyakan kepada para saksi apakah ada halangan perkawinan.

-OL-

 

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA <<Maaf, sedikit berkomentar, seandainya pernyataan saksi kita anggap sbg jawaban atas pertanyaan pada saat pengumuman nikah di gereja “siapa yg mengetahui halangan, wajib lapor ke pastor paroki”, apakah itu tidak bisa dijadikan landasan untuk pertanyaan thdap saksi waktu pemberkatan itu..?>>

Sebelum meneguhkan perkawinan, Imam harus yakin bahwa pasangan yang akan diteguhkan ini tidak memiliki satu halangan pun yang dapat menggagalkan terjadinya perkawinan. Upaya ini pertama-tama dilakukan dengan penyelidikan kanonik yang dilakukan oleh Imam itu sendiri (atau Imam lain) terhadap pasangan yang akan menikah.

Setelah penyelidikan itu dilakukan, dilakukan pengumuman gereja bahwa pasangan tsb akan menikah, dengan himbauan agar siapapun yang mengetahui adanya halangan bagi mereka wajib memberitahu pastor paroki. Artinya bila tidak ada halangan, tentu saja tidak perlu ada laporan kepada pastor paroki.

Bila sejak pengumuman itu dibacakan tidak ada laporan adanya halangan, maka perkawinan pasangan itu dapat dilangsungkan. Ketika tiba hari perkawinan, siapapun khususnya Imam yang meneguhkan sudah yakin tidak ada halangan apapun yang dapat menggagalkan terjadinya perkawinan.

<<Adakah penjelasan, mengapa pernikahan itu sah jika melibatkan saksi? Apa sekedar memenuhi persyaratan..?>>

Tugas saksi, sesuai namanya, adalah menyaksikan terjadinya perkawinan. Bila di kemudian hari ada keraguan tentang sahnya perkawinan sepasang suami-istri, dan kelengkapan administrasi tidak bisa diandalkan, keterangan saksi dapat dijadikan pegangan yang sah.

<<Saya berada dalam lingkungan kerabat yg masih meyakini saksi itu perlu sebagai orang-tua rohani, sama halnya ketika seorang bayi dipermandikan didampingi bapak/ibu serani yg selalu menuntun, memberi nasihat thdp anak itu tatkala orang-tua kurang mampu memberikan pendidikan rohani. Sy rasa saksi juga harus mendapat peran dalam pernikahan pasangan ini, dan mereka perlu menyatakan sesuatu di hadapan imam sbg wakil Tuhan, bahwa benar2 pasangan ini tidak berhalangan. Apabila di kemudian hari terjadi sesuatu, secara moral mereka akan merasa bertanggung jawab. Mohon comment-nya demi pencerahan…>>

Saya kira memang kebanyakan pasangan memilih orang yang spesial untuk menjadi saksi perkawinan mereka. Orang spesial ini biasanya unggul dalam kesalehan hidup beriman, dan dapat dijadikan teladan dalam hidup perkawinan. Sungguh sangat baik adanya apabila seorang saksi bisa menjadi seperti bapak/ibu rohani yang senantiasa bisa memberikan nasihat kepada pasangan suami-istri.

Itu hanya salah satu peran seorang saksi, yang tidak bisa kita mutlakkan menjadi tanggungjawab utamanya. Dari sudut pandang hukum Gereja, peran seorang saksi adalah menyaksikan perkawinan agar perkawinan itu dapat sah.

-OL-

 

Resti AndrianiJadi baiknya mesti ditiadakan or tetap ada ptanyaan itu u/para saksi?tks

 

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

@Resti Andriani: dalam TPP lama (buku Upacara Perkawinan), TIDAK ADA pertanyaan untuk para saksi perkawinan. Entah hasik kreatif siapa ada pertanyaan seperti itu, yang akhirnya beredar luas dan menjadi kebiasaan… serta seola-ola menjadi rubrik yang sah.

 

 

 

 

 

 

Posted in 4. Buku Liturgi, h. SAKRAMEN | Leave a Comment »

BUKU TATA PERAYAAN PERKAWINAN BARU

Posted by liturgiekaristi on August 6, 2011


Bosco da Cunha OCarm: Buku TPP Baru

Senin, 23 Mei 2011 18:07 WIB
Bosco da Cunha OCarm: Buku TPP Baru

HIDUP/R.B. Yoga Kuswandono
Pastor Bosco da Cunha OCarm

KWI akan mengeluarkan buku ”Tata Perayaan Perkawinan” dalam waktu dekat. Buku ini melengkapi buku berjudul sama yang terbit sejak tahun 1969.

Mempersiapkan upacara perkawinan memang harus ribet, karena ini adalah pesta cinta kasih. ”Demikian Wakil Ketua Komisi Liturgi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Pastor Bosco da Cunha OCarm saat ditemui HIDUP di Kantor KWI, Cut Mutiah, Jakarta Pusat, Selasa, 19/4. Pastor Bosco menjelaskan mengenai buku ”Tata Perayaan Perkawinan” (TPP) yang akan diterbitkan KWI dan hal-hal seputar tata upacara perkawinan.

Menurutnya, isi buku TPP baru ini mengatur upacara perkawinan yang bisa diterapkan dalam Perayaan Ekaristi maupun di luar Perayaan Ekaristi. Ia mengatakan, upacara perkawinan bisa dilakukan dengan atau tanpa Misa.

Terkait berbagai keprihatinan yang terjadi seputar praktik liturgi upacara perkawinan, Romo Bosco menjelaskan, banyak hal kecil yang harus diperhatikan saat upacara ini berlangsung. Tentang bacaan Kitab Suci, misalnya. Tiap pasangan diberi kebebasan untuk memilih bacaan yang dianggap cocok dengan pribadi mereka. ”Tentunya tidak asal pilih. Sebaiknya, mereka meminta saran dari pastor yang akan memimpin upacara perkawinan tentang hal ini,” tuturnya.

Saat disinggung tentang kerumitan yang kerap terjadi saat mempersiapkan upacara ini, Romo Bosco mengatakan, ”Ini adalah pesta cinta kasih. Jadi, wajar kalau masing-masing pasangan harus ribet mempersiapkannya.” Kemudian, karena ini adalah pesta, satu hal yang harus diingat, dalam upacara perkawinan tidak boleh ada ritus tobat. ”Lagu Tuhan Kasihanilah Kami boleh dinyanyikan, tetapi ucapan tobat harus dihilangkan. Jadi, setelah kata pembuka, langsung menyanyikan Kemuliaan,” tegasnya.

Ia prihatin dengan penggunaan lagu-lagu saat upacara berlangsung. ”Banyak yang memakai lagu pop. Lagu-lagu seperti ini tentu tidak mencerminkan hubungan horizontal antara manusia dan Tuhan,” ungkapnya. Menurutnya, lagu yang ideal adalah lagu yang liriknya berasal dari Kitab Suci dan cerminan dari hubungan horizontal antara pasangan pengantin dan Tuhan yang menyatukan mereka.

Romo Bosco menambahkan, ”Kami sedang mengumpulkan lagu-lagu perkawinan dan menyatukannya dalam sebuah buku. Dari seluruh Indonesia, kami coba cari dan seleksi lagu-lagu yang bagus dan liturgis. Sekarang, sedang dalam proses penggodokan.”

Mengenai keberadaan event organizer perkawinan yang kerap mengatur jalannya upacara perkawinan, ia berkomentar, ”Sebetulnya, mereka harus tahu kewenangan mengatur. Hanya pastor yang berhak mengatur jalannya upacara ketika pasangan pengantin berada di dalam gereja.”

Dekorasi gereja juga perlu diperhatikan. ”Boleh meriah, tetapi jangan sampai keterlaluan, hingga mengubah gereja jadi semacam pusat hiburan atau mal,” Romo Bosco memberi gambaran.

Untuk menentukan apakah dekorasi terlalu meriah atau tidak, tidak ada ketentuan pasti. ”Biar umat yang menilai sendiri dan memberi masukan apakah dekorasi tersebut terlalu meriah atau tidak,” jelasnya.

Bagi Romo Bosco, keindahan pesta cinta kasih tidak selalu terletak pada meriah dan bagusnya dekorasi. ”Justru dekorasi yang sederhana bisa menampakkan keanggunan sebuah pesta. Bagi saya, sederhana itu juga indah,” tuturnya.

Upacara perkawinan juga boleh dilangsungkan secara massal (untuk beberapa orang sekaligus). Namun, upacara perkawinan bersifat sangat personal, karena menyangkut pengalaman pribadi masing-masing pasangan. ”Akan terasa pas bila dilangsungkan sendiri,’ tambahnya.

Romo Bosco juga menjelaskan mengenai upacara yang dilakukan di rumah. ”Boleh-boleh saja dilakukan di rumah, asal ada persetujuan dari pastor paroki setempat. Saya menganjurkan, sebaiknya upacara dilakukan di gereja atau kapel. Ini adalah perayaan liturgis. Jadi, harus terjadi di tempat yang liturgis juga,” ungkapnya.

Penulis: R.B. Yoga Kuswandono

Posted in 4. Buku Liturgi, h. SAKRAMEN | Leave a Comment »

SAKRAMEN PERKAWINAN – URUTAN RITUS PEMBUKA – Menurut buku baru TPP

Posted by liturgiekaristi on August 6, 2011


SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Salah satu bagian yang dihilangkan saat perayaan perkawinan menurut buku Tata Perayaan Perkawinan yang baru adalah seruan tobat di bagian Ritus Pembuka. Bagian ini dapat diganti dengan percikan air suci untuk mengingat pembaptisan. Sehingga urutan Ritus Pembuka menjadi: Tanda Salib, Salam, Pengantar, Percikan air suci, Madah Kemuliaan, dan Doa Pembuka.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA Pernyataan Romo Bosco da Cunha, Sekretaris Eksekutif Komisi Liturgi KWI:
“Kemudian, karena ini adalah pesta, satu hal yang harus diingat, dalam upacara perkawinan tidak boleh ada ritus tobat. ”Lagu Tuhan Kasihanilah Kami boleh dinyanyikan, tetapi ucapan tobat harus dihilangkan. Jadi, setelah kata pembuka, langsung menyanyikan Kemuliaan,” tegasnya.”

sumber: http://www.hidupkatolik.co​m/2011/05/23/bosco-da-cunh​a-ocarm-buku-tpp-baru
=======
Namun dari buku TPP memang tidak ada seruan tobat termasuk Tuhan Kasihanilah Kami.

-OL-

Posted in 4. Buku Liturgi, h. SAKRAMEN | Leave a Comment »

BUKU TATA PERAYAAN PERKAWINAN EDISI TERBARU

Posted by liturgiekaristi on August 6, 2011


Sumber :

Homepage

Tata Perayaan Perkawinan

Pengarang:
Komisi Liturgi KWI
SKU: 40111004
Rp. 63.000

Harga Normal Rp 70.000,-
Diskon 10%

Buku ini merupakan satu-satunya buku acuan resmi untuk digunakan di wilayah gerejawi Indonesia dalam seluruh rangkaian liturgi Perkawinan. Di terbitkan oleh Konferensi Waligereja Indonesia berdasarkan Ordo Celebrandi Matrimonium, editio altera, Typis Polyglotis, 1991; sekaligus sebagai revisi atas buku Upacara Perkawinan (PWI-Liturgi 1976)

Daftar Isi:
Bab I : Tata Perayaan Perkawinan dalam Misa
Bab II : Tata Perayaan Perkawinan dalam Ibadat Sabda
Bab III: Tata Perayaan Perkawinan Di Hadapan Pelayan Awam
Bab IV : Tata Perayaan Perkawinan Untuk Mempelai Katolik
dengan Katekumen atau Tidak Di Baptis.
Bab V : Ritus Pengesahan Perkawinan
Bab VI : Ritus Pemberkatan Perkawinan

Lampiran I : Pilihan Bacaan Kitab Suci, Doa, Berka dll
Lampiran II : Ibadat Pemberkatan Pertunangan, Penyambutan
Istri di Rumah Suami, Pemberkatan Rumah Baru
Pemberkatan Ibu Hamil, Pemberkatan sesudah
Melahirkan, Misa Ulang Tahun Perkawinan.

Ukuran: 17 X 25 cm
Halaman: 216 hlm; HVS 80 Gr
Hard Cover

Posted in 4. Buku Liturgi, h. SAKRAMEN | Leave a Comment »

SAKRAMEN PERKAWINAN – “BUKU BARU” TATA PERAYAAN PERKAWINAN

Posted by liturgiekaristi on August 6, 2011


Beberapa waktu lalu Komisi Liturgi KWI sudah menerbitkan bukan Tata Perayaan Perkawinan (TPP) yang baru menggantikan buku Upacara Perkawinan (1976), yang juga pernah disharekan di SL ini. Apa saja sih yang baru dari TPP ini? Mulai hari ini kami akan sharingkan beberapa poin yang penting untuk diperhatikan semua orang yang hendak melaksanakan liturgi perkawinan.

Dalam promulgasi buku ini yang ditandatangani Mgr. M. D. Situmorang OFM Cap dan Mgr. Johennes Pujasumarta sebagai ketua dan sekretaris KWI disebutkan bahwa TPP ini adalah SATU-SATUNYA buku acuan resmi untuk digunakan di wilayah gerejawi Indonesia dengan masa ad experimentum selama lima tahun.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Perayaan perkawinan sebaiknya diadakan pada hari-hari biasa, supaya dapat memakai rumus khusus Misa bagi Mempelai (Missa pro sponsis). Bila diadakan pada hari Minggu, tidak menggunakan rumus Misa bagi Mempelai, melainkan rumus Misa hari Minggu ybs termasuk bacaan2nya, dengan beberapa penyesuaian bagi liturgi perkawinan. (bds. TPP 34 & 70)

Jika tidak dirayakan Misa bagi Mempelai (berarti dirayakan pada hari Minggu) salah satu bacaan dapat diambil dari Buku Bacaan Misa (Lectionarium) khusus untuk perkawinan, kecuali dalam Misa Natal, Epifani, Paskah, Kenaikan Tuhan, Pentakosta, Tubuh dan Darah KRistus, atau Misa dengan tingkat Hari Raya lainnya. (bds. TPP 91)

Pertanyaan umat :

Gregorius Prast Saya hendak bertanya, apakah dibenarkan bagi pengantin untuk saling menyuap pasangannya pada saat menerima komuni??? karena sering kali saya melihat hal tersebut terjadi

Arnoldine Alexandra Olce wlaupun itu dlm pryaan ekaristi mgg biasa Mo?? wkt sy brtgs lektor d paroki sy mlht pasutri slg suap komuni.  sy tdk bs mnegur krn sy brtgs.

Vincentius Agung Seringkali praktek semacam itu malah didukung oleh romo yg mberkati perkawinan..jd gimana solusinya?

Gregorius Prast Ya, setuju denngan vincentius, bahwa seringkali malah romonya yang menyuruh, nah, bagaimana kita sebagai umat menegurnya? kan mestinya romonya yang tau

 

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA ‎@Gregorius Prast, tindakan saling menyuapkan seperti itu oleh dokumen Redemptionis Sacramentum disebut sebagai PENYIMPANGAN, sehingga tidak dapat dibiarkan.

Redemptionis Sacramentum 94.
Umat tidak diizinkan mengambil sendiri – apalagi meneruskan kepada orang lain – Hosti Kudus atau Piala Kudus. Dalam konteks ini harus ditinggalkan juga penyimpangan dimana kedua mempelai saling menerimakan Komuni Suci dalam Misa Perkawinan.Kalau Romonya melanggar, kewajiban kita untuk memberitahu. Supaya tidak dinilai mengada-ada, bawalah kutipan dokumen di atas. Dalam dokumen tersebut juga disebutkan bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran berat, menurut kutipan dari Redemptionis Sacramentum berikut:

173. Tentu saja berat atau seriusnya sesuatu hal harus dinilai sesuai dengan ajaran umum Gereja serta norma-norma yang sudah ditetapkan olehnya. Namun secara obyektif hal-hal yang harus dipandang sebagai pelanggaran berat ialah segala sesuatu yang membahayakan sahnya serta keluhuran Ekaristi yang Mahakudus: ialah semua yang bertentangan dengan apa yang diuraikan lebih awal dalam Instruksi ini pada nomor 48-52, 56, 76-77, 79, 91-92, 94, 96, 101-102, 104, 106, 109, 111, 115, 117, 126, 131-133, 138, 153 dan 168. selain itu perlu juga diperhatikan ketetapan-ketetapan lain dalam Kitab Hukum Kanonik, khususnya apa yang tersirat dalam kanon 1364, 1369, 1373, 1376, 1380, 1384, 1385, 1386 dan 1398.

-OL-

Posted in 4. Buku Liturgi, h. SAKRAMEN | Leave a Comment »

EVANGELIARIUM – OLEH RM. JACOBUS TARIGAN PR

Posted by liturgiekaristi on July 20, 2011


Evangeliarium
Senin, 6 Juni 2011 16:11 WIB
Evangeliarium

Jacobus Tarigan Pr

Santo Hieronimus (347-420), seorang rahib dan pujangga Gereja menegaskan, “Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus.” Penegasan ini dikutip lagi oleh Konsili Vatikan II, dalam Konstitusi Dei Verbum No 25. Selanjutnya, Hieronimus mengingatkan bahwa tempat yang paling tepat untuk membaca dan mendengarkan Sabda Allah adalah liturgi. Maka, belum cukup hanya merenungkan sendiri Kitab Suci. Tafsiran ilmiah terhadap Kitab Suci pun hanya bersifat membantu. Karena bagi Hieronimus, penafsiran Kitab Suci yang otentik selalu harus sesuai dengan iman Gereja Katolik.

Kita harus membaca Kitab Suci dalam komunio dengan Gereja yang hidup. Kalau Kitab Suci dibacakan dalam Gereja, terutama dalam Perayaan Ekaristi, maka Allah sendiri berbicara kepada umat-Nya dan Kristus hadir dalam Sabda-Nya. Liturgi Sabda sama penting dengan Liturgi Ekaristi. Hendaknya umat sungguh memahami makna pelbagai simbol dalam Liturgi Sabda. Karena bagaimanapun, liturgi berciri simbolis karena partisipasi kita dalam hidup Allah masih berlangsung “dalam cermin”. Simbol tidak hadir untuk dirinya sendiri, melainkan untuk apa yang disimbolkan.

Evangeliarium adalah buku yang memuat bacaan-bacaan Injil untuk hari Minggu dan hari raya tahun A, B, C, untuk pesta Tuhan, Hari Raya Khusus, Perayaan dan Misa ritual. Evangeliarium yang diterbitkan oleh KWI, 2011 adalah buku liturgis resmi bahasa Indonesia untuk Ritus Latin di wilayah gerejawi Indonesia. Bacaan Injil diambil dari terjemahan Alkitab Lembaga Alkitab Indonesia dan Lembaga Biblika Indonesia. Buku ini mulai diberlakukan pada awal Pekan Suci, Minggu Palma, 17 April 2011.

Dalam Misa, khususnya dalam Liturgi Sabda, kehadiran Evangeliarium itu sendiri melambangkan kehadiran Kristus di tengah umat-Nya. Buku ini diletakkan pada bagian tengah altar sebelum Misa, dalam keadaan tertutup. Ketika perarakan masuk, buku ini dibawa oleh diakon atau lektor dengan cara sedikit diangkat agar terlihat oleh umat dan diletakkan di altar. Sebelum pemakluman Injil, diakon menuju altar, membungkuk memberi hormat, dan membawa Evangeliarium ke mimbar, didahului oleh putra altar yang membawa lilin dan pendupaan.

Sebelum dibacakan, Evangeliarium didupai. Selesai membaca, buku ini dicium dan dibawa ke meja samping, bukan altar. Arakan, mencium, dan mendupai merupakan simbol penghormatan kepada Kristus yang hadir di tengah umat-Nya. Keharuman dari dupa melambangkan pewahyuan Allah dan kehadiran keselamatan. “Dengan perantaraan kami, Ia menyebarkan keharuman pengenalan akan Dia di mana-mana. Sebab, bagi Allah, kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa” (2 Kor. 2:14-15). Demikian pula selain lambang penghormatan, ciuman pun melambangkan keakraban dengan Kitab Suci. Membungkuk di hadapan Kitab Suci melambangkan sikap merendahkan diri di hadapan Tuhan yang Mahaagung.

Evangeliarium dicetak secara istimewa untuk mendukung simbol yang dihadirkannya. Kita menghormati Evangeliarium, BUKAN karena dicetak di surga, BUKAN DITURUNKAN dari atas surga, bukan karena memuat nasihat-nasihat moralistis murahan dan hukum-hukum yang menakutkan, TETAPI, karena Evangeliarium melambangkan kehadiran Kristus di tengah umat-Nya, yang sedang merayakan liturgi.

“Ia hadir dalam sabda-Nya, sebab Ia sendiri bersabda bila Kitab Suci dibacakan dalam Gereja” (SC 7). Dengan membaca Kitab Suci, kita mengenal Kristus, yang menampakkan wajah KASIH Allah.

SUMBER : MAJALAH HIDUP

Edisi No. 16 Tanggal 17 April 2011

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda, 4. Buku Liturgi | Leave a Comment »

ISTILAH LITURGI – TABERNAKEL , SACRARIUM

Posted by liturgiekaristi on June 22, 2011


Apa itu “tabernakel”, dan apa itu “sacrarium” ?

Chrisalea Alda

Tabernakel adalah tempat menyimpan Hosti Kudus/Tubuh dan Darah Kristus…Sacrarium/wastafel, tempat untuk merendam hosti yang rusak yang sudah dikonsekrasi hingga larut..Hosti yang sudah dikonsekrir tidak boleh dibuang/dibakar…aliran sacrarium tdk melalui pipa pembuangan…Mudah2an benar….

Renalto Haliman

jawaban anda benar chrisalea Alda, ada tambahan sedikit; tabernakel itu berasal dari bahasa natin; taber artinya kemah, narkel adalah kudus, jadi tabernakel adalah kemah kudus, dimana di letakan Tubuh Kristus

Noor Noey Indah

Boeh nambah sedikit yaa..
Pak Renalto Haliman benar.Tabernakel terkadang disebut juga sebagai “tenda pertemuan” (Kel 33:7). Asal usulnya dari tradisi Yahudi. Allah meminta Musa untuk membuat tabernakel, yaitu suatu tempat kudus yg bisa dibawa-bawa. Didalamnya disimpan tabut perjanjian, dua loh batu yg berterakan hukum dari Allah. Dengan demikian, secara teologis, tabernakel menjadi tanda kehadiran Allah di tengah umat-Nya (Why 21:3)

Saat ini “tabernakel” berfngsi sebagai tempat menyimpan Sakramen Mahakudus, yakni Tubuh Kristus dlm rupa Hosti yg telah dikuduskan dalam Perayaan Ekaristi.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Sekarang “tabernakel” menunjuk pada semacam lemari kecil dalam sebuah gereja, yg berfungsi sbg tempat menyimpan Sakramen Mahakudus, yaitu dlm rupa hosti yg telah dikonsekrir (dikuduskan) dlm Perayaan Ekaristi.
Tadinya, tempat menyimpan Sakra…men Mahakudus itu disebut “sacrarium”, suatu tempat yg kudus (Latin ” sacer” = kudus, suci). Sacrarium itu jg sekaligus merupakan tempat utk menyimpan minyak katekumen, krisma, dan pengurapan orang sakit. Bentuk sacrarium itu semacam lemari kecil yg ditempatkan di sakristi. Secara historis sejak abad ke-7 mulailah bermunculan tabernakel, dan tidak menyimpan Sakramen Mahakudus didlm sacrarium lagi melainkan Sakramen Mahakududs itu disimpan didlm tabernakel.Di dlm PUMR 280 juga di jelaskan bahwa :
“Hosti atau bagian hosti yg terjatuh harus dipungut dg hikmat. Kalau ada Darah Kristus tertumpah, hendaknya tempat itu dibersihkan dg air. Air itu lalu dituangkan kedalam “Sakrarium” di sakristi.”

Kalau boleh disimpulkan, bahwa tabernakel adalah sebuah lemari kecil dg nyala api abadi yg dipergunakan sbg tempat menyiman Sakramen Mahakudus yg telah dikonsikrir, sedangkan sacrarium adalah tempat kudus dan suci yg dipergunakan utk menyimpan /menuang hosti suci yg sdh rusak sekaligus tempat dituangkan sisa air setelah dipakai saat membersihkan bejana suci maupun air yg telah dipakai pastor utk cuci tangan,, hendaknya dituang ke dlm sacrarium tsb.

Chrisalea Alda

lha romo saya cucinya pake kobokan yang ditaruh diatas kreden…

Johanes Ogenk Jbso

‎@CA : namabahin ya, sebetulnya bukan direndam, tapi memang dibuang…untuk membuang Hosti yg sudah di konseklir (menjadi Tubuh Kristus/Sakramen Maha Kudus) sebelumnya harus dinetralisir menggunakan air, agar Sakramen Mahakudus kembali menjadi hosti ini dilakukan oleh imam di sacrarium (biasanya sacrarium dibangun di dalam sakristi) yaitu suatu bak cuci yang pembuangannya tidak dialirkan ke sistem pembuangan air, melainkan langsung ke tanah. Jika, karena suatu alasan tertentu, imam harus memusnahkan Hosti Kudus, imam akan melarutkan Hosti Kudus dengan air dalam sacrarium

Posted in 1. Panti Imam - Altar, 3. Benda Liturgi lainnya | Leave a Comment »

PERANGKAT LITURGI – Purifikatori, Palla, dan Korporale

Posted by liturgiekaristi on June 22, 2011


* Purifikatori adl semacam lap putih pembersih utk piala, sibori, dan patena.
* Palla adl kain kertas putih persegi empat utk menutupi piala dr kemungkinan masuknya kotoran.
* Korporale, merupakan semacam kain taplak putih utk alas piala dan… sibori / patena.

Sebelum digunakan ketiga benda ini biasanya diletakkan pada piala, dg urutan purifikatori, patena (jika dipakai), palla, lalu korporale. tak jarang setelah purifikatori ditaruh sendok kecil diatasnya yg dipakai utk menciduk / mengambil air dan mencampurkannya dengan anggur dalam piala.

 

Johanes Ogenk Jbso

Om admin, ijin nambahin ya….

PURIFIKATORIUM :
berasal dari bahasa Latin “purificatorium”, yaitu sehelai kain lenan berwarna putih berbentuk segi empat untuk membersihkan piala, sibori dan patena. Sesudah dipergunakan, purifikatorium dilipat… tiga memanjang lalu diletakkan di atas piala.

PALLA :
berasal dari bahasa Latin palla corporalis yang berarti kain untukTubuh Tuhan, adalah kain lenan putih yang keras dan kaku seperti papan, berbentuk bujursangkar, dipergunakan untuk menutup piala. Palla melambangkan batu makam yang digulingkan para prajurit Romawi untuk menutup pintu masuk ke makam Yesus. Palla diletakkan di atas Patena.

CORPORALE :
Sehelai kain lenan putih berbentuk bujur sangkar dengan gambar salib kecil di tengahnya. Seringkali pinggiran korporale dihiasi dengan renda.
Dalam perayaan Ekaristi, imam membentangkan korporale di atas altar sebagai alas untuk bejana-bejana suci roti dan anggur. Setelah selesai dipergunakan,korporale dilipat menjadi tiga memanjang, lalu dilipat menjadi tiga lagi dari samping dan ditempatkan di atas Palla.

sumber : http://belajarliturgi.blogspot.com/2011/03/mengenal-peralatan-misa.html

Posted in 3. Benda Liturgi lainnya | Leave a Comment »

ALTAR

Posted by liturgiekaristi on May 19, 2011


Mengapa ya Altar itu harus dibuat sedemikian indah, megah, dan terkesan agung.. lalu, bagaimana bila kriteria itu tak dpt dipenuhi krn keterbatasan ? Sebanarnya, apa sih Altar itu ?

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Di dalam gereja, Altar menjadi fokus, karena mudah dilihat, bukan hanya karena bentuknya. Mudah terlihat krn dpt langsung tanpa halangan terlihat oleh mata baik pd posisi sedang duduk maupun sedang berdiri. Lokasinya terfokus dipusat sumbu… dan di ketinggian yg pas utk ketinggian pandangan mata, sehingga Altar beserta imam yg mempersembahkan misa dpt terlihat oleh semua umat.Altar melambangkan meja di mana Yesus mengadakan perjamuan terakhir bersama para murid-Nya. Itulah tempat dari mana roti dan anggur dibagi-bagikan pada waktu upacara komuni.Hanya ada satu Altar dlm Gereja, yg melambangkan Kristus sebagai satu-satunya Sang Penyelamat dan hanya ada satu Ekaristi dalam Gereja.
Altar sebagai “meja suka-cita” diusahakan mampu memberi makna kepada umat akan persatuan dan perdamaian, persahabatan dan persaudaraan, pujian dan syukur.

*Sumber dari Majalah Liturgi edisi 5 th 2008.

Pencerahan lebih lengkap bisa klik di link berikut ini :

https://liturgiekaristi.wordpress.com/category/d-benda-benda-liturgi/1-panti-imam-altar/

Johanes Ogenk Jbso

boleh nambin kan ya…hehehe waduh Altar ya…panjang juga gpp ya heheasal-usul kata “altar” kurang jelas, entah dari kata Latin “alta res” yang berarti “hal yang tinggi” atau “alta ara” yang berarti “altar yang tinggi”. Altar=meja Tuhan; di sekelilingnya umat Allah berhimpun dan saling berbagi. Altar menjadi pusat kegiatan bersyukurnya umat.

Menurut tradisi Gereja, dan sesuai pula dengan makna simbolis altar, daun meja untuk altar permanen harus terbuat dari batu, bahkan dari batu alam. Tetapi Konferensi Uskup dapat menetapkan bahwa boleh juga digunakan bahan lain, asal sungguh bermutu, kuat, dan indah. Sedangkan penyangga atau kaki altar dapat dibuat dari bahan apapun, asal kuat dan bermutu. Altar geser dapat dibuat dari bahan apapun asal, me nurut pandangan masyarakat setempat, bermutu, kuat, dan selaras untuk digunakan dalam liturgi.

Altar, sebagai meja perjamuan kudus, seharusnya menjadi yang paling mulia dan paling indah. Hendaknya dirancang dan dibangun bagi keperluan kegiatan liturgis komunitas / umat.

makna simbolisasi liturgisnya, Altar adalah simbol Kristus. Altar adalah juga Kristus sendiri. Namun dalam tataran spiritual ternyata altar juga menyimbolkan umat kristiani. Maksudnya, umat kristiani adalah altar-altar spiritual tempat kurban hidupnya dipersembahkan bagi Allah

Dalam buku liturgis tentang pemberkatan Gereja dan altar (Ordo Dedicationis Ecclesiae et Altaris, 1977) terdapat beberapa sebutan lain untuk altar, yakni: “meja sukacita”, “tempat persatuan dan perdamaian”, “sumber kesatuan dan persahabatan”, “pusat pujian dan syukur”. Sebutan-sebutan ini melengkapi makna utama sebuah altar sebagai meja kurban dan perjamuan.

wah panjang lah….ak pernah tulis artikel soal altar di http://belajarliturgi.blogspot.com/2011/01/altar-dalam-gereja-katolik.html

Johanes Ogenk Jbso

betul spt kata SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA: Altar adalah titik pusat perhatian jemaat yang berkumpul. Namun, itu tidak berarti bahwa altar harus berada di titik pusat (aksis) bangunan gereja. Altar harus …bisa dilihat oleh seluruh jemaat. Setiap kegiatan di sekitarnya harus terkomunikasikan dengan baik. Altar terletak di panti atau pelataran imam, yakni suatu area yang dikhususkan untuk pemimpin liturgi, dan membedakan dengan area jemaat.Wilayah panti imam biasanya lebih tinggi daripada wilayah tempat jemaat berhimpun. Selain meja altar, di panti imam juga terdapat ambo (meja Sabda), kursi imam (juga kursi Uskup jika di gereja katedral), kredens, tabernakel, dsb.

Francisca Clayde Callista FanzxuelSEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA= saya baru tahu apa itu altar. trims

Posted in 1. Panti Imam - Altar | Leave a Comment »

EVANGELIARIUM vs LECTIONARIUM

Posted by liturgiekaristi on May 17, 2011


Pertanyaan umat :

“Selama ini ada di bbrp paroki atau stasi, lektor membawa lectionarium.. Nah, dgn adanya Evangeliarium ini, lectionarium masih perlu dibawa pada saat prosesi masuk atau tidak ya??? Kayaknya perlu juga nih pencerahan, karena sosialisasi ini menyangkut PERAN PETUGAS LITURGI.

Sharing umat:

Di satu paroki, lektor ada 2 . Pada waktu perarakan keluar dari Sakristi:

– LEKTOR 1 : MEMBAWA BUKU …EVANGELIARIUM.
Buku Evangeliarium ditempatkan langsung di meja Kitab Suci yang posisinya persis di depan Mimbar Sabda (Evangeliarium dalam keadaan terbuka)

– LEKTOR 2 : MEMBAWA BUKU BACAAN KITAB SUCI (YANG MERAH TEBAL) + Teks Doa umat

Pada waktu perarakan kembali ke Sakristi, Buku Kitab Suci yang merah tebal itu, dibawa kembali ke Sakristi…

Thomas Rudy

kembali pada kebijakan paroki saja sih akhirnya…. kalau dalam PUMR yg dibawa itu evangeliarium oleh lektor…

Geby Maurine Kindangen

Tata cara penggunaan buku Evangeliarium ada di halaman depan buku Evangeliarium. Evangeliarium dibawa oleh lektor kl tdk ada diakon, pada saat perarakan masuk n sedikit diangkat, dan diletakkan di altar, bkn dimimbar Sabda. Sedangkan bk Lectionarium tetap dibw lektor 2, krn Evangeliarium hanya berisi bacaan Injil. Buku tsb bisa di pesan mll saya (Komlit KWI) dgn biaya 500 ribu plus ongkir. Surat pengantar sdh kami kirimkan kepada Paroki2 di seluruh Indonesia. Bagi Paroki yg blm memiliki segera pesanlah ke Komlit KWI ya.

Pencerahan dari Pastor Liberius Sihombing

Benar yg dikatakan pak Thomas Rudy, yg diarak itu adalah Evangeliarum. Tp mungkin krn evangeliarum blm semua dimiliki semua paroki dan bahkan stasi (dan juga dalam bahasa daerah belum selesai dicetak) maka terjadilah kesalahan tadi yakni buku bacaan misa model lama yg diarak yg di dalamnya bacaan I, II dan Injil tertulis. Bahkan di beberapa tempat justru yg diarak adalah Kitab Suci entah itu ukuran besar maupun kecil. Mereka yg membuat itu tdk bisa serta merta disalahkan, karena memang buku yg dimaksudkan utk diarak belum tersedia, pd hal mereka mau membuat perayaan lebih meriah dengan cara perarakan meriah. Dalam kasus itu saya bisa mengerti dan maklum. Jika buku itu tersedia dan dengan cepat disosialisasikan ke pengurus gereja dan seksi liturgi, sy sangka akan bisa tercapai apa yg diharapkan Liturgi yg benar dan anggun.

PENCERAHAN dari SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

‎1. Yang diarak ketika perarakan pembuka adalah EVANGELIARIUM, dibawa dengan sedikit diangkat oleh Diakon (kalau tidak ada Diakon, oleh Lektor).2. Bila tidak dibawa pada perarakan pembuka, EVANGELIARIUM dapat langsung diletakkan di tengah meja altar sejak sebelum perayaan dimulai.

3. Bila dibawa pada perarakan pembuka, Diakon (atau Lektor jika tidak ada Diakon) tidak ikut memberikan penghormatan kepada altar, namun langsung meletakkan EVANGELIARIUM di atas altar.

4. EVANGELIARIUM itu berada di tengah altar sampai dengan sebelum pembacaan Injil ketika dibawa menuju mimbar sabda.

5. Setelah pembacaan Injil, EVANGELIARIUM diletakkan di meja samping atau tempat lain yang anggun dan serasi.

6. Setelah misa selesai, pada perarakan keluar EVANGELIARIUM tidak perlu dibawa kembali ke sakristi.

7. LECTIONARIUM tidak ikut diarak saat perarakan pembuka dan dapat diletakkan di mimbar sabda sejak awal misa (PUMR 117 & 118).

-OL-

Agus Syawal Yudhistira

BTW, Evangeliarium bisa selalu diganti dengan Injil yang lengkap (atau Kitab Suci yang lengkap). Tata cara perarakan dan penggunaannya sama.
Ini sebenarnya udah ada di PUMR.
Tapi kalau baru hangat sekarang, apa karena para calon imam di seminari tidak pernah mempelajari/mengikuti PUMR dan Ceremoniale Episcoporum?

Pertanyaan umat :

So…menyangkut peran petugas liturgi seputar Evangeliarium ini :

2. Bila tidak dibawa pada perarakan pembuka, EVANGELIARIUM dapat langsung diletakkan di tengah meja altar sejak sebelum perayaan dimulai.
– berarti KOSTER YANG TARUH EVANGELIARIUM DI MEJA ALTAR? Apakah demikian?

7. LECTIONARIUM tidak ikut diarak saat perarakan pembuka dan dapat diletakkan di mimbar sabda sejak awal misa (PUMR 117 & 118).
– berarti KOSTER juga yang menaruh LECTIONARIUM di mimbar sabda. Jadi Lektor tidak perlu membawa Lectionarium itu dalam perarakan?

PENCERAHAN dari Pastor Liberius Sihombing :

Sy ga tau siapakah yg dimaksud admin pak OL hahah, tp sblm pak OL menjawab, saya ikut apa yg tertulis dalam PUMR 117-118 itu yakni: Koster yg bertugas mengatur dan menyiapkan segala sesuatu yg diperlukan pd PE menaruh Evangeliarium di meja Altar dan Lectionarium di mimbar Sabda. Dari meja altarlah imam (diakon kalau ada) membawa Evangeliarium itu ke mimbar sabda. Demikian pendapat saya. terima kasih

Posted in 4. Buku Liturgi | Leave a Comment »

EVANGELIARIUM – UMAT BERTANYA

Posted by liturgiekaristi on May 12, 2011


SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

PENCERAHAN dari Thomas Rudy “ndak usah bawa lectionarium lagi…. selama ini, lectionarium dibawa karena blm ada evangeliarium …………”

Di satu paroki, lektor ada 2 . Pada waktu perarakan keluar dari Sakristi:

– LEKTOR 1 : MEMBAWA BUKU …EVANGELIARIUM.
Buku Evangeliarium ditempatkan langsung di meja Kitab Suci yang posisinya persis di depan Mimbar Sabda (Evangeliarium dalam keadaan terbuka)

– LEKTOR 2 : MEMBAWA BUKU BACAAN KITAB SUCI (YANG MERAH TEBAL) + Teks Doa umat

Pada waktu perarakan kembali ke Sakristi, Buku Kitab Suci yang merah tebal itu, dibawa kembali ke Sakristi…

Kalau begitu…gimana? Barangkali Pak Rudy bisa memberikan pencerahan tambahan , sebagai masukan BUAT PARA LEKTOR yang kadang2 masih bingung dengan sosialisasi ini. Terima kasih. 🙂

Thomas Rudy kembali pada kebijakan paroki saja sih akhirnya…. kalau dalam PUMR yg dibawa itu evangeliarium oleh lektor…

Bonar Pintor H Siahaan Lectionarium diarak krn tdk ada EVANGELIARIUM. Pertanyaan : adakah evangeliarium berbahasa indonesia? dimana dpt dibeli dan berapa harganya?

Noor Noey Indah di paroki ku blm.. tp di salah satu gereja stasi terdekat sdh punya, dan setiap kali sy cb tanya ke DP.. gak dpt jawaban yg pas..ti.. entah mengapa.. hehe.. 😦

Geby Maurine Kindangen

Tata cara penggunaan buku Evangeliarium ada di halaman depan buku Evangeliarium. Evangeliarium dibawa oleh lektor kl tdk ada diakon, pada saat perarakan masuk n sedikit diangkat, dan diletakkan di altar, bkn dimimbar Sabda. Sedangkan bk Lectionarium tetap dibw lektor 2, krn Evangeliarium hanya berisi bacaan Injil. Buku tsb bisa di pesan mll saya (Komlit KWI) dgn biaya 500 ribu plus ongkir. Surat pengantar sdh kami kirimkan kepada Paroki2 di seluruh Indonesia. Bagi Paroki yg blm memiliki segera pesanlah ke Komlit KWI ya.

Bonar Pintor H Siahaan Admin : auk ah gelap … Dianggap gak penting barangkali. Kalau ditanya mengenai PE jawabannya : kan tdk itu yg menunjukkan dan membuat umat menjadi ber iman atau tdk harus selalu demikian krn sdh jadi kebiasaan umat. jadi begitulah keadaannya entah memenuhi atau tdk thd tata cara PE tdk perlu dipermasalahkan. begitu akhirnya penilaian banyak umat.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Rudy mengatakan “kembali pada kebijakan paroki saja sih akhirnya…. kalau dalam PUMR yg dibawa itu evangeliarium oleh lektor…”

Sharing lagi nih ya…
Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, PENEMPATAN EVANGELIARIUM di meja Altar, akan membuat par…a pastor “aware”, bahwa posisi beliau pada saat Ritus Pembuka adalah di mimbar imam…dan bukan di meja Altar. Tetapi ada juga pastor yang rupanya “asik di posisinya”, sehingga beliau tetap ada di mimbar imam (tidak pindah2), sampai doa umat selesai.

Dengan kata lain, pastor itu membacakan INJIL DARI MIMBAR IMAM. Injilnya juga dibaca bukan dari Evangeliarium, tetapi dari buku MERAH TEBAL. Padahal EVANGELIARIUM TERGELETAK DI MEJA KECIL DI DEPAN MIMBAR SABDA. HOMILI JUGA DARI MIMBAR IMAM….Hmmm…piye iki..pastor….??

Benar yg dikatakan pak Thomas Rudy, yg diarak itu adalah Evangeliarum. Tp mungkin krn evangeliarum blm semua dimiliki semua paroki dan bahkan stasi (dan juga dalam bahasa daerah belum selesai dicetak) maka terjadilah kesalahan tadi yakni bu…ku bacaan misa model lama yg diarak yg di dalamnya bacaan I, II dan Injil tertulis. Bahkan di beberapa tempat justru yg diarak adalah Kitab Suci entah itu ukuran besar maupun kecil. Mereka yg membuat itu tdk bisa serta merta disalahkan, karena memang buku yg dimaksudkan utk diarak belum tersedia, pd hal mereka mau membuat perayaan lebih meriah dengan cara perarakan meriah. Dalam kasus itu saya bisa mengerti dan maklum. Jika buku itu tersedia dan dengan cepat disosialisasikan ke pengurus gereja dan seksi liturgi, sy sangka akan bisa tercapai apa yg diharapkan Liturgi yg benar dan anggun.

Benediktus Diptyarsa Janardana kalo d paroki q, evangeliarium ny thu g d arak, tpi taruh gt aj d laci mimbar sabda atau d altar dlm posisi trtutup. nah klo paz ritus pmbacaan injil, tnggal ambil evangeliarium ny, bca deh. nah ithu gmn?

n juga, hbis misa slese, ap yg dlakuin ama evangeliarium? dbawa kmbali k sakristi, atau tetep d posisi ny smula? thx

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

‎1. Yang diarak ketika perarakan pembuka adalah EVANGELIARIUM, dibawa dengan sedikit diangkat oleh Diakon (kalau tidak ada Diakon, oleh Lektor).

2. Bila tidak dibawa pada perarakan pembuka, EVANGELIARIUM dapat langsung diletakkan di tengah m…eja altar sejak sebelum perayaan dimulai.

3. Bila dibawa pada perarakan pembuka, Diakon (atau Lektor jika tidak ada Diakon) tidak ikut memberikan penghormatan kepada altar, namun langsung meletakkan EVANGELIARIUM di atas altar.

4. EVANGELIARIUM itu berada di tengah altar sampai dengan sebelum pembacaan Injil ketika dibawa menuju mimbar sabda.

5. Setelah pembacaan Injil, EVANGELIARIUM diletakkan di meja samping atau tempat lain yang anggun dan serasi.

6. Setelah misa selesai, pada perarakan keluar EVANGELIARIUM tidak perlu dibawa kembali ke sakristi.

7. LECTIONARIUM tidak ikut diarak saat perarakan pembuka dan dapat diletakkan di mimbar sabda sejak awal misa (PUMR 117 & 118).

-OL-

Agus Syawal Yudhistira BTW, Evangeliarium bisa selalu diganti dengan Injil yang lengkap (atau Kitab Suci yang lengkap). Tata cara perarakan dan penggunaannya sama.
Ini sebenarnya udah ada di PUMR.
Tapi kalau baru hangat sekarang, apa karena para calon imam di seminari tidak pernah mempelajari/mengikuti PUMR dan Ceremoniale Episcoporum?

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Untuk pak OL, terima kasih atas pencerahannya. Semoga informasi praktis ini lebih mudah dimengerti dan disosialisasikan. So…menyangkut peran petugas liturgi seputar Evangeliarium ini :

2. Bila tidak dibawa pada perarakan pembuka, EVANGELIA…RIUM dapat langsung diletakkan di tengah meja altar sejak sebelum perayaan dimulai.
– berarti KOSTER YANG TARUH EVANGELIARIUM DI MEJA ALTAR? Apakah demikian?

7. LECTIONARIUM tidak ikut diarak saat perarakan pembuka dan dapat diletakkan di mimbar sabda sejak awal misa (PUMR 117 & 118).
– berarti KOSTER juga yang menaruh LECTIONARIUM di mimbar sabda. Jadi Lektor tidak perlu membawa Lectionarium itu dalam perarakan?

Mohon pencerahan lagi pak OL. Terima kasih.

Liberius Sihombing Sy ga tau siapakah yg dimaksud admin pak OL hahah, tp sblm pak OL menjawab, saya ikut apa yg tertulis dalam PUMR 117-118 itu yakni: Koster yg bertugas mengatur dan menyiapkan segala sesuatu yg diperlukan pd PE menaruh Evangeliarium di meja Altar dan Lectionarium di mimbar Sabda. Dari meja altarlah imam (diakon kalau ada) membawa Evangeliarium itu ke mimbar sabda. Demikian pendapat saya. terima kasih

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Pastor Liberius. Di Page Liturgi…ada beberapa anggota admin. Diantaranya OL itu lho…(ada initial nama di bagian bawah pencerahannya diatas). Ya…semoga gabungan beberapa admin yang PEDULI LITURGI membantu Page ini menjadi lebih semara…k…:-)

Terima kasih Pastor Liberius. Jawaban pastor membuat pertanyaan saya terjawab jelas seperti kaca. Hehe…Jadi…berarti Evangeliarium itu tidak perlu diarak…tidak apa2 ya? Ada pendapat umat di page ini yang mengatakan “Evangeliarium terlalu di dewakan”…dengan prosesi2 yang katanya berlebihan…. 🙂

Posted in 4. Buku Liturgi | Leave a Comment »

EVANGELIARIUM – MELAMBANGKAN KRISTUS YANG HADIR DALAM SABDANYA.

Posted by liturgiekaristi on May 4, 2011


Topik :

ada pendapat bahwa Evangeliarium melambangkan Kristus yang hadir dalam sabdaNYa, namun demikian… jika kita melihat PUMR 175 “….Akhirnya, diakon membawa Kitab Injil ke meja samping atau ke tempat lain yang anggun dan serasi.”
mengapa diletakkan di meja samping (alias meja kredens)?

Thomas Rudy

pertanyaan ini saya tanyakan karena admin sempat mengatakan:

++++++++++
Setelah pemakluman Injil, buku Evangeliarum tetap berada di ambo sampai selesai perayaan. Hal ini menunjukkan :

…Kehadiran Allah dalam SabdaNya sampai berakhirnya perayaan. Dan simbol kehadiranNya adalah ambo yang di atasnya ada Evangeliarum….

– Liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi merupakan satu kesatuan, Sabda Allah tetap hadir dalam liturgi Ekaristi; bukan sepert lakon atau adegan bahwa yang satu sudah berperan lalu lanjut adegan berikut… atau kita mau katakan: “Tuhan, kami telah mendengarkan SabdaMu, dan sekarang kami mau lanjut ke Ekaristi, jadi Tuhan pindah ke meja kredens atau pulang ke Sakristi… atau ke laci ambo…”
+++++++++++

sehingga timbul kesan, kalau keluar dari ambo berarti tidak menghargai kehadiran TUhan, apalagi ditaruh di kredens atau laci ambo…

padahal PUMR sendiri mengatakan diletakkan di kredens.. …kalau misa di vatikan, setelah evangeliarium dipakai, maka dicium oleh paus, paus kasih berkat dgn evangeliarium udah itu sayonara evangeliarium….. hilang sudah masuk ke belakang

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

PUMR 175 “….Akhirnya, diakon membawa Kitab Injil ke meja samping atau ke tempat lain yang anggun dan serasi.”
Credence itu meja kecil untuk meletakan perlengkapan² misa. Berarti dalam konteks ini, meja kecil dikhususkan untuk meletakan buk…u Evangeliarum, sama seperti yang biasa kita lakukan di bulan Kitab Suci (bulan september), ada meja yang dikhususkan (kredens) untuk meletakkan buku Sabda Allah setelah selesai dimaklumkan. Apa lagi dikatakan dalam PUMR tempatnya harus anggun dan serasi. Jadi bukan meja kredens biasa kita lihat berada di pojok panti imam tempat diletakkan piala, sibori, dll. Jadi kalau mau buat meja khusus (kredens) untuk meletakan buku Evangeliarum, ya silakan dan tempatnya harus pantas, anggun dan serasi. Kalau tidak ada kredens khusus… Evangeliarum tetap saja berada di ambo…. Dengan demikian makna kehadiran Sabda Allah dalam perayaan tetap ada sampai selesai perayaan.
Exortasi Apostolik VERBUM DOMINI dari Benediktus XVI bisa membantu kita menghayati makna Sabda Allah dalam liturgi khususnya di bagian II tentang VERBUM IN ECCLESIA, bab tentang LITRUGI MERUPAKAN TEMPAT KHUSUS (istimewa) DARI SABDA ALLAH pada no 52 – 55

http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/apost_exhortations/documents/hf_ben-xvi_exh_20100930_verbum-domini_en.html

Thomas Rudy ooooooo tq buat pencerahannya, jadi ini kredens yg berbeda dgn alat2 misa?wah banyak sekali meja2 kalau begitu

Agus Syawal Yudhistira

Tapi bagian II dari Verbum Domini menggarisbawahi apa yang sudah disampaikan oleh Rm. McNamara, bahwa dalam Liturgi Latin, sakramentalitas Kitab Suci hadir ketika dibacakan/diproklamasikan, dan bukan dalam wujud Kitab yang secara khusus dit…ahtakan.

Beliau menuliskan demikian (bagian Sacramentality of the Word [56]): “Christ, truly present under the species of bread and wine, is analogously present in the word proclaimed in the liturgy.”

Jadi analoginya jelas, seperti Kristus hadir dalam wujud roti dan anggur, kehadiran yang sama nyatanya hadir ketika Kitab Suci dimaklumkan. Jadi, tindakan pemaklumannya yang menyebabkan momen itu istimewa.

Verbum Domini no. 67 bicara soal pemakluman secara meriah. Ini sudah sama persis dengan apa yang ada dalam “Ordo Lectionum Missae” dan PUMR. Bahwa untuk menggarisbawahi keistimewaan pewartaan sabda, baik jika pada hari raya, pesta dan hari minggu, diadakan prosesi Evangeliarium/Injil.

Soal tempat peletakan Injil baru disebut pada no. 68, bahwa Kitab Suci selayaknya ditahtakan di tempat terhormat di dalam Gereja, di luar perayaan liturgi.
Sementara artikel yang sama mengatakan bahwa Ambo harus menjadi pusat perhatian pemakluman sabda. Ini sudah sesuai dengan PUMR dan “Ordo Lectionum Missae.”

Dengan demikian Verbum Domini, tidak menjelaskan apa-apa soal tempat peletakan Evangeliarium setelah digunakan.

Saya pikir, masalahnya hanya praktis saja.
1. Tidak masalah Evangeliarium tetap ditinggal di Ambo, selama Ambo cukup besar, tidak mengganggu jalannya upacara ketika harus digunakan untuk homili, atau doa umat.
Tidak baik juga, dari segi praktikal, menumpuk2 Evangeliarium di Ambo, dengan risiko rusak, robek, terlipat.
2. Jika Ambo terlalu kecil, seperti misalnya ambo portabel yang biasa digunakan untuk Misa Kepausan, Evangeliarium disimpan di tempat lain. Praktek paling umum adalah membawanya ke meja Kredens. Tempat ini secara spesifik disebut oleh PUMR sebagai tempat terhormat untuk meletakkan Evangeliarium atau Injil setelah pemakluman.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Konsisten dengan PUMR 175 bahwa yang bertugas membawa dan meletakkan Evangeliarum di kredens adalah diakon. Maka (tidak ada diakon), imam selesai memaklumkan Injil, Evangeliarum tetap berada di ambo. Praktis aja kan mas… tidak repot-repo…t…..
Dan saya pikir sudah sesuai dengan Sakramentalitas Sabda Allah (VD 56) “Sabda telah menjadi daging”, Firman Allah yang dimaklumkan di ambo dan dari Evangeliarum menjadi Tubuh dan Darah Kristus di altar (lit. Ekaristi). Ambo : meja Sabda, altar : meja Ekaristi. Keduanya merupakan satu kesatuan perayaan liturgi. Maka seperti saya katakan sebelumnya, kalau sehabis pemakluman Injil, Evangeliarum dibawa ke kredens yang berada si pojok panti imam, atau ke sakristi, atau ditaruh di laci ambo, itu kesannya bukan satu kesatuan perayaan tetapi semacam adegan dan berganti peran bahwa selesai liturgi Sabda adegan berikut liturgi Ekaristi. Kalimat saya seperti yang dikutip Thomas Rudy di atas, itu berangkat dari sini, soal ganti adegan. Paus Benediktus XVI dalam Verbum Domini menegas : “Christ, truly present under the species of bread and wine, is analogously present in the word proclaimed in the liturgy.” (VD 56, bagian akhir alinea kedua).
SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Point saya adala kesatuan perayaan antara meja Sabda : ambo + Evangeliarium dan meja Ekaristi : altar + tubuh dan darah Kristus. Maka dari Verbum Domini 56 tentang Sakramentalitas Sabda Allah, saya merefleksikan demikian :
Bacaan Injil hari …Minggu Paskah II esok tentang kisah dua murid Emaus. Saya mendengarkan Sabda Tuhan tentang kisah dua murid Emaus ini dalam Evangeliarum dari mimbar Sabda (ambo). Firman Tuhan ini berinkarnasi (Sabda menjadi daging) menjadi tubuh dan darah Kristus dalam Ekaristi (DSA). Saat komuni saya menerima Tubuh Kristus, yang adalah Tuhan Yesus yang bangkit, Dia menampakkan diriNya kepada dua murid Emaus, yang pemakluman kisahnya ini saya telah mendengarkannya dari Evangeliarum dibacakan di ambo.

Maaf kalau saya agak ngotot tetap mempertahankan Evangeliarium tetap berada di ambo, karena mau menunjukkan simbolisasi kehadiran Sabda Allah dalam satu kesatuan perayaan liturgi.

Proposisi no 7 hasil sinode para uskup 2008 tentang Sabda Allah, yang merekomendasikan Paus untuk mengeluarkan Verbum Domini ini, menegaskan kembali Dei Verbum no 21 dan SC no 56. Proposisi itu mengatakan demikian :

Proposition 7:
Unity between Word of God and Eucharist.

“It is important to consider the profound unity between the Word of God and the Eucharist (cf. “Dei Verbum,” 21), as expressed by some particular texts, such as John 6:35-58; Luke 24:13-35, in such a way as to overcome the dichotomy between the two realities, which is often present in theological and pastoral reflection. In this way the connection with the preceding Synod on the Eucharist will become more evident.
The Word of God is made sacramental flesh in the Eucharistic event and leads Sacred Scripture to its fulfillment. The Eucharist is a hermeneutic principle of Sacred Scripture, as Sacred Scripture illumines and explains the Eucharistic mystery. In this sense the Synodal Fathers hope that a theological reflection on the sacramentality of the Word of God might be promoted. Without the recognition of the real presence of the Lord in the Eucharist, the intelligence of Sacred Scripture remains unfulfilled.”

Thomas Rudy

‎@admin dan Agus Syawal: thanks saya dapat pencerahan, memang benar kesatuan antara sabda dan ekaristi tidak terpisahkan

bahwa kehadiranNya itu akan terus konstan, “Sabda telah menjadi daging”, Firman Allah yang dimaklumkan di ambo dan dari …Evangeliarum menjadi Tubuh dan Darah Kristus di altar (lit. Ekaristi). –> pinjam kutipan admin yah……….Maka Verbum Domini sudah menggambarkan dengan jelas betapa eratnya sabda dan ekaristi

maka adalah tepat penempatan di Kredens (kredens yg sama dgn alat-misa). kenapa? karena di kredens itulah peralihan dimana sang sabda (dilambangkan dengan buku) dipersiapkan untuk dikurbankan.

Meja Kredens pada misa Paulus VI lebih memerankan peran penting dimana piala lengkap dgn patena berada disana, ampul dll semua berada disana… penempatan Evangeliarium Kredens mendukung simbolisasi sabda menjadi manusia dan kemudian dikurbankan

sehingga [menurut saya] tidak timbul gagasan salah ada “dua matahari” tapi hanya ada 1 matahari. (Yesus dalam sabda dan YEsus dalam Ekaristi dua-duanya hadir, padahal dalam ekaristi kehadiran itu bersifat kontinuum, berkelanjutan bukan berdua2an bersaing2an).

saya kemudian membaca buku Ceremonies Modern ROman Rite (no. 263), pada misa tanpa diakon disitu dikatakan bahwa Evangeliarium diletakkan dibawa laci ambo atau diberikan pada server (misdinar) untuk diletakkan di kredens (Nah, pernyataan saya ditaruh dilaci ambo, dasarnya dari sini selain ada masukan dari salah satu pastor di KWI)

Saya tergoda untuk membaca buku The Celebration of Mass (rubrik misa tridentine), dimana memang sudah dari jaman dahulu Evangeliarium itu diletakkan di kreden.

jadi memang akhirnya ke-diam-an (dan ambiguitas) rubrik mempersilahkan imam/MC mengatur apakah tetap di Ambo atau dipindah ke kredens no problemo

terima kasih juga link-nya, cukup sangat membantu…saya membaca seperti cara @agus membaca hehehe…

justru diskusi ini memperteguh saya malahan agar evangeliarium itu baik pada misa dengan diakon atau tanpa diakon tetap diletakkan di kredens….(tapi sayang saya bukan imam hahahaha)

nah setelah kita berkomuni menyambut sabda yang menjelma itu… maka itulah kenapa Evangeliarium tidak ikut dalam perarakan pulang karena sudah disantap…

sorry, setelah saya baca kembali, ada kesalahan ketik dalam pernaytaan saya di atas tentang bacaan Injil kisah dua murid Emaus. Yang dimaksud adalah bacaan Injil Hari Minggu Paskah, misa sore, bukan Minggu Paskah II. jadi sekali lagi maaf atas kesalahan ketik ini. semalam ketika menulis ini sduah dini hari jam 2, sdh ngantuk dan tak sepat koreksi lagi….

salam

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda, 4. Buku Liturgi | Leave a Comment »

SOSIALISASI BUKU EVANGELIARIUM DI GEREJA PAROKI

Posted by liturgiekaristi on April 29, 2011


Pertanyaan umat:

Seputar Evangeliarium. Dalam Misa dipimpin seorang imam selebran, tanpa diakon, setelah Evangeliarium dibaca, bagaimana kemudian Evangeliarium disimpan?
Dalam skenario adanya diakon atau konselebran, mereka yang akan membawa evangeliarium pergi setelah dibaca dan diletakkan di tempat lain, meja kredens misalnya.
Namun dalam skenario tanpa diakon atau konselebran, apakah Evangeliarium selesai dibaca dibiarkan di ambo sampai misa selesai?
Ataukah imam memberikannya kepada lektor/putera altar untuk membawanya ke meja kredens?
Mengingat ambo akan digunakan untuk homili dan doa umat, sepertinya membiarkan Evangeliarium di meja kredens bukan pilihan yang baik. Secara praktis, memenuhi ambo dan kemungkinan rusak lebih besar.
Di PUMR tidak disebutkan bagaimana Evangeliarium harus disimpan dalam misa tanpa diakon.

Pendapat umat Thomas Rudy

itulah gunanya laci dibawah ambo

Pendapat umat  Agus Syawal Yudhistira

LOL, kepikiran juga.. tapi tetep, sepertinya decorumnya kelihatan lebih elegan jika, setelah Injil dibacakan, seorang lektor atau putera altar sudah menunggu, lalu evangeliarium diserahkan untuk dibawa dengan hormat tanpa prosesi atau upaca…ra ke meja kredens.
Yah mengingat kalau dalam Misa Forma Extraordinaria, adalah pelayan altar juga yang bertugas menukar Injil dari sisi epistola ke sisi injil, sepertinya skenario yang saya sebutkan ‘memungkinkan.’

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Setelah pemakluman Injil, buku Evangeliarum tetap berada di ambo sampai selesai perayaan. Hal ini menunjukkan :
Kehadiran Allah dalam SabdaNya sampai berakhirnya perayaan. Dan simbol kehadiranNya adalah ambo yang di atasnya ada Evangeliarum….- Liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi merupakan satu kesatuan, Sabda Allah tetap hadir dalam liturgi Ekaristi; bukan sepert lakon atau adegan bahwa yang satu sudah berperan lalu lanjut adegan berikut… atau kita mau katakan: “Tuhan, kami telah mendengarkan SabdaMu, dan sekarang kami mau lanjut ke Ekaristi, jadi Tuhan pindah ke meja kredens atau pulang ke Sakristi… atau ke laci ambo…”

Hal ini simbol penting perayaan liturgi, jadi perlu mendapat perhatian serius.

Kalau ambonya dirasa terlalu kecil dan tidak cukup muat buku Evangeliarum, ya ganti ambonya yang lebih layak dan pantas…. bukan Evangeliarumnya yang disingkirkan.

Petugas doa umat bisa mengmbil tempat di ambo, atau mimbar dirijen atau yang memberi pengumuman.

Pada akhir perayaan petugas : diakon/prodiakon/lektor/lektris mengambil buku Evangeliarum di ambo dan bersama imam dan misdinar berarak kembali ke sakristi.

Agus Syawal Yudhistira

Tetapi sebaliknya PUMR menyatakan bahwa doa umat dan homili selayaknya dilakukan dari Ambo, dan kenyataan bahwa dalam Misa dengan Diakon adalah umum untuk menyimpan Evangeliarium setelah Liturgi Sabda – Misa Kepausan misalnya, dan pendapat …pakar liturgi seperti Professor McNamarra dari Regina Apostolorum University menyatakan bahwa tidak selayaknya Injil/Evangeliarium ditahtakan secara sangat istimewa setelah pembacaan.

Juga dalam perarakan keluar, disebutkan dalam tata cara penggunaan bahwa buku Evangeliarium tidak dibawa lagi dalam perarakan keluar.

Dalam Misa Kepausan, sepertinya malah buku Evangeliarium dibawa kembali ke Sakristi setelah Paus menghormati dan memberkati umat dengan menggunakan Evangeliarium dan tidak dibawa kembali pada prosesi keluar.

Apakah decorum membiarkan Evangeliarium di Ambo dalam Misa tanpa Imam adalah pilihan terbaik?

Pendapat Professor McNamara sebagai berikut:
“However, as Pope Paul VI taught, while Christ’s presence in the Word is real, it ceases when the readings are concluded. The Eucharistic presence alone is substantial and real ‘in the fullest sen…se.’

It is therefore quite logical that all liturgical honors paid toward the Book of the Gospels cease once the Liturgy of the Eucharist begins.”

http://www.ewtn.com/library/liturgy/zlitur130.htm

Thomas Rudy karena rubrik diam dalam hal ini, letakkan saja dibawah laci, tetap di ambo tetapi sekaligus perhatian umat tidak teralihkan saat liturgi ekaristi

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Bukan bermaksud untuk mengistimewakan buku Evangeliarum, tetatpi mengatakan simbol kehadiran Allah dalam seluruh satu-kesatuan parayaan liturgi (dari awal sampai akhir perayaan) (bdk. SC. no 7). Maka biarkan simbol-simbol kehadiran Allah i…ni tetap berbicara dalam seluruh perayaan itu. Maka setelah pemakluman Injil Evangeliarum tetap berada di ambo, dan memang di situ tempatnya (entah dalam keadaan terbuka, atau lebih baik tertutup). Toh selama ini buku Bacaan Misa, tetap berada di atas ambo sampai selesai perayaan.Maka menurut saya, dengan adanya buku Evangeliarum pun sama seperti buku bacaan Misa yang sudah dipraktekkan selama ini.

Ada kejadian, setelah pembacaan Injil, imam menyampaikan homili, karena mungkin merasa bahwa buku Evangeliarum “mengganggu” dia dalam menyampaikan homili, buku ini dia serahkan ke misdinar, oleh misdinar diletakkan di meja kredens. Pada saat persiapan persembahan, misdinar yang lain melaksanakan tugasnya dan mungkin dia merasa terganggu, dia ngambil buku ini lalu bingung dia mau taruh dimana karena tak ada tempat, akhirnya dia letakkan di lantai… REAKSI UMAT SUDAH KAYA BUNYI LEBAH….

Pada hal sebelumnya, umat dengan penuh hormat berdiri, menyerukan/menyanyikan Alleluia dengan lantang, Evangeliarum diambil dari altar, diangkat dan ditunjukkan kepada umat, diarak menuju ambo dengan diapiti dua lilin yang menyala, didupai dengan kemenyan yang harum, dimaklumkan dengan penuh hikmat, pada akhir pemakluman Evangeliarum diangkat, ditunjukkan kepada umat beriman sambil menyerukan “VERBUM DOMINI” umat menjawab “LAUS TIBI CHRISTE” atau “Berbahagialahl orang yang mendengarkan Sabda Tuhan dan dengan tekun melaksankanNya” umat menjawab dengan aklamasi yang gembira : “SabdaMu adalah jalan, kebenaran dan hidup kami”, lalu Evangeliarum dikecup dengan penuh hormat. …. tetapi setelah itu….?? kok diletakkan di lantai seperti kejadian di atas… atau diumpetin di laci ambo… dll.

Jadi saya masih tetap berpendapat bahwa biarkan buku Evangeliarum itu tatap berada di ambo, sehingga simbol kehadiran Sabda Allah tetap berbicara sampai akhir perayaan; malahan Sabda Allah yang sama memberi peneguhan pada saat Doa Syukur Agung, mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus… umat beriman yang telah dikuatkan oleh Sabda Allah (dalam lit. sabda) datang menyambut Yesus Kristus Sang SABDA ALLAH itu sendri.

Mengenai perarakan masuk dan perakan pada akhir perayaan, ini soal konsistensi saja :
Kalau perarakan masuk buku Evangeliarum diikutsertakan maka pada akhir perayaan juga diikutsertakan dalam perarakan….
Kalau perarakan masuk Evangeliarum tidak disertakan, berarti buku Evangeliarum sudah diletakkan di altar dalam posisi berdiri…. maka diakhir perarakan buku ini juga tidakdiikutsertakan….

Thomas Rudy

sebenarnya itu dikarenakan rubrik dalam PUMR mendiamkan hal tsb…coba perhatikan pada PUMR 128-137 pada saat misa umat, dimana misa tanpa diakon, imam mengambil buku injil (evangeliarium) dari altar kemudian dst-dst tapi ngak dijelaskan ha…rus bagaimana sesudah dibacakan….

sedangkan kalau kita lihat PUMR 175-177 disana dijelaskan bahwa diakon sesudah memaklumkan injil truss dibawa ke kredens atau tempat yang sesuai.

nah disini rubrik itu diam saat misa tanpa diakon (nah justru karena rubriknya diam maka terbuka pada berbagai interpretasi), itu buku mau dikemanakan….maka tidak salah jika tetap di ambo, tidak salah juga jika diletakkan di dalam laci ambo, tidak salah juga jika dibwa oleh entah siapa ke sakristi….

Karena baik dengan diakon/tanpa diakon, hormat terhadap buku Evangeliarium/Injil tetaplah sama. Tetapi berarti memindahkannya ke meja kredens harusnya bagian dari penghormatan yang layak ini.

Dan mungkin mengejutkan bahwa dalam Liturgi Romawi, “kehadiran Kristus dalam sabda terjadi pada saat dimaklumkan” dan bukan secara sakramental pada buku Evangeliarium/Injil itu sendiri (kata professir McNamara; thanks ke Agus Syawal Yudhistira untuk linknya diatas). karena ada imam penanya dari Skotlandia yang menanyakan hal yang sama, “apakah kelihatannya kurang sopan atau kurang menghargai untuk memindahkan Injil ke laci/kredens setelah dibacakan.”

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Kalau di PUMR tidak menyebutkan atau menjelaskan, ya tetap aja diletakkan di ambo, jangan menginterpretasikan lagi dengan memnaruh di laci ambo, … ke kredens, dsb… kan PUMR tidak menyebutkan…. ya di situ aja ditempatkan, di ambo, dan …memang itu tempatnya….

Oke, saya kutip PUMR no 175 pada akhir alinea : “Akhirnya, diakon membawa Kitab Injil ke meja-samping atau ke tempat lain yang anggun dan serasi.” Dari kalimat ini saya membayangkan tempat yg anggun dan serasi itu seperti yang sering terjadi di bulan Kitab Suci (September) ada tempat khusus untuk meletakan buku Sabda Allah, ya gak apa-apa…. saya setuju. Tetapi diletakkan di meja kredens yang selama ini terletak di pinggir panti imam dekat dinding atau di pojok belakang panti imam…. apa maknanya?

Soal kurang sopan atau tidak menghargai, itu masalah bagaimana orang mengartikannya, apalagi dalam liturgi banyak tanda dan simbol, entah itu tata gerak atau barang/materi yang ada di panti imam.

Mas, saya tidak bilang “kurang sopan” atau “tidak menghargai”, saya yang mencari apa maknanya dengan tindakan meletakkan di meja kredens atau menaruh di laci ambo. kenapa rupanya kalau Evangeliarum tetap berada di atas ambo.? Kalau tetap berada di ambo, saya sudah memaknainya seperti yang sudah saya katakan sebelumnya di atas.

Thomas Rudy

ngak ada yg salah sih kalau dia diletakkan di ambo saja saya setuju saja tapi bukan memuttlakkan krn rubrik diam disini, cuma tadi statement (mas/romo/pak/ibu) menunjukkan bahwa kalau tidak taruh di ambo berarti kurang hormat (coba deh disi…tu admin mengatakan: tuhan udah yah kami mau liturgi ekaristi slahkan pindah ke kredens dst2), padahal pumr sendiri diam dan tdk memberikan clue apapun pada misa tanpa diakon….mungkin juga dlm misa dgn diakon kenapa diletakkan di meja samping aka kredens karena kristus hadir dlm sabdaNya ketika dimaklumkan, ketika pemakluman (pembacaan) selesai, maka simbolisasi ini juga selesai….evangeliarium sayonara………ketika liturgi ekaristi maka semua fokus beralih pada yesus yg hadir scr sakramental, jd ndak ada lagi “pengalih perhatian” pada kehadiran yesus scr sakramental, makanya evangeliarium sayonara n diletakkan di kredens
  • Agus Syawal Yudhistira

    Sepertinya karena Evangeliarium menjadi titik puncak dan pusat dari perayaan Liturgi Sabda. Tetapi bukan titik puncak dari perayaan Liturgi Ekaristi, sedemikian untuk menggariskan bahwa sabda yang tadi dibaca menjelma, “inkarnasi” dalam dag…ing dan darah, penghormatan terhadap Evangeliarium dipindahkan kepada Ekaristi.
    Agaknya ini masuk akal, itu sebabnya Evangeliarium tidak dibawa dalam prosesi keluar. Karena Sabda sudah menjadi Daging dan sudah diterima oleh umat.

    Karena itu dalam “Ordo Lectionum Missae” no 10, dikatakan bahwa pewartaan sabda dan Ekaristi sama-sama dihormati namun tidak disembah secara sama.

    Atas alasan ini PUMR menyebutkan meja Kredens sebagai tempat terhormat meletakkan Evangeliarium. Pastinya ini tempat terhormat, jika tidak kita punya risiko menginterpretasikan bahwa dalam Misa dengan Diakon, dan peletakan di Kredens atau kembali ke sakristi seperti dalam Misa bersama Paus, tingkat hormat yang diberikan kepada Evangeliarium lebih rendah daripada yang dibiarkan tetap berada di Ambo.

    Mohon maaf atas panjangnya thread ini. Ketika saya menanyakan pertanyaan di awal, saya belum mendapat informasi lanjutan. Tapi tidak lama berselang saya menemukan artikel Romo McNamara, yang menjawab apa yang saya tanyakan.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA kenapa repot² harus diletakkan di kredens? atau dipulangkan ke sakristi? apa yang salah kalau Evangeliarum tiu tetap di ambo?

Thomas Rudy

‎@admin dan Agus Syawal: thanks saya dapat pencerahan, memang benar kesatuan antara sabda dan ekaristi tidak terpisahkan

bahwa kehadiranNya itu akan terus konstan, “Sabda telah menjadi daging”, Firman Allah yang dimaklumkan di ambo dan dari …Evangeliarum menjadi Tubuh dan Darah Kristus di altar (lit. Ekaristi). –> pinjam kutipan admin yah……….Maka Verbum Domini sudah menggambarkan dengan jelas betapa eratnya sabda dan ekaristi

maka adalah tepat penempatan di Kredens (kredens yg sama dgn alat-misa). kenapa? karena di kredens itulah peralihan dimana sang sabda (dilambangkan dengan buku) dipersiapkan untuk dikurbankan.

Meja Kredens pada misa Paulus VI lebih memerankan peran penting dimana piala lengkap dgn patena berada disana, ampul dll semua berada disana… penempatan Evangeliarium Kredens mendukung simbolisasi sabda menjadi manusia dan kemudian dikurbankan

sehingga [menurut saya] tidak timbul gagasan salah ada “dua matahari” tapi hanya ada 1 matahari. (Yesus dalam sabda dan YEsus dalam Ekaristi dua-duanya hadir, padahal dalam ekaristi kehadiran itu bersifat kontinuum, berkelanjutan bukan berdua2an bersaing2an).

saya kemudian membaca buku Ceremonies Modern ROman Rite (no. 263), pada misa tanpa diakon disitu dikatakan bahwa Evangeliarium diletakkan dibawa laci ambo atau diberikan pada server (misdinar) untuk diletakkan di kredens (Nah, pernyataan saya ditaruh dilaci ambo, dasarnya dari sini selain ada masukan dari salah satu pastor di KWI)

Saya tergoda untuk membaca buku The Celebration of Mass (rubrik misa tridentine), dimana memang sudah dari jaman dahulu Evangeliarium itu diletakkan di kreden.

jadi memang akhirnya ke-diam-an (dan ambiguitas) rubrik mempersilahkan imam/MC mengatur apakah tetap di Ambo atau dipindah ke kredens no problemo

terima kasih juga link-nya, cukup sangat membantu…saya membaca seperti cara @agus membaca hehehe…

justru diskusi ini memperteguh saya malahan agar evangeliarium itu baik pada misa dengan diakon atau tanpa diakon tetap diletakkan di kredens….(tapi sayang saya bukan imam hahahaha)

nah setelah kita berkomuni menyambut sabda yang menjelma itu… maka itulah kenapa Evangeliarium tidak ikut dalam perarakan pulang karena sudah disantap…

PENCERAHAN dari SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Pada perarakan masuk Evangeliarium dibawa oleh Diakon (atau oleh Lektor bila tidak ada Diakon) dan setibanya di panti imam Diakon/Lektor yang membawa Evangeliarium ini langsung meletakkannya di atas meja altar. Dalam hal ini Diakon/Lektor berjalan di depan atau di samping Imam selebran.Pada saat Bait Pengantar Injil, Evangeliarium yang diletakkan di atas meja altar ini diarak oleh Imam atau Diakon pembaca Injil menuju mimbar sabda.

Setelah pembacaan Injil, Evangeliarium diletakkan di meja kredens atau tempat lain yang anggun dan serasi, dan tidak dikembalikan ke meja altar.

-OL-

Rencananya di kami akan dibawa oleh prodiakon, ketika misa mingguan. Besok sabtu nih perdananya. Pada saat Paskah masih ada frater2. Lektor di tempat kami lebih banyak para remaja putri alias lektris. Mungkin utk alasan kepantasan saja, maka prodiakon yg membawa pada perarakan masuk. Setelah di altar maka Imam yg akan membawanya ke mimbar sabda. Mohon masukan.

PENCERAHAN dari Pastor Albertus Widya Rahmadi Putra

Jika tidak ada diakon … ” lektor DAPAT membawa Evangeliarum ” Cermati saja kata “dapat”… bukan berati “HARUS” khan? 🙂 Dengan kata lain tidak masalah bila dibawa oleh asisten imam atau prodiakon.. toh nantinya yang membaca Injil tetap imam..

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda, 4. Buku Liturgi | Leave a Comment »

PENGGUNAAN BUKU EVANGELIARIUM (DNG VIDEO)

Posted by liturgiekaristi on April 20, 2011


Dikutip dari buku Evangeliarium

PENGGUNAAN BUKU

EVANGELIARIUM

 

 

 

A.        Penggunaan Umum

1.                   Dalam Perayaan Ekaristi kudus Evangeliarium atau Kitab Injil digunakan pada beberapa bagian, dengan berbagai cara:

a.                  Evangeliarium, bukan Buku Bacaan (Lectionarium), sebelum Misa atau Perayaan Ekaristi dimulai dapat diletakkan pada bagian tengah altar dalam keadaan tertutup, kecuali kalau buku itu dibawa dalam perarakan masuk (PUMR 117).

b.                  Dalam perarakan masuk Evangeliarium dibawa oleh Diakon (atau oleh Lektor dalam Misa tanpa Diakon) dengan cara sedikit diangkat dan dalam keadaan tertutup, lalu diletakkan di atas altar (PUMR 119, 120d, 122). Diakon pembawa Evangeliarium berjalan di depan atau di samping Imam Selebran (PUMR 172). Setibanya di altar, Diakon pembawa Evangeliarium tidak ikut memberi penghormatan kepada altar, tetapi langsung menuju altar untuk meletakkan Evangeliarium di atas altar. Sesudah itu, bersama dengan Imam, Diakon mencium altar.

Jika yang bertugas membawa Evangeliarium adalah Lektor karena ketiadaan Diakon, maka ia tidak mencium altar, tetapi langsung meletakkannya di atas altar, dan kemudian menuju ke tempat duduk yang tersedia untuknya. Evangeliarium yang tertutup itu berada pada bagian tengah altar sampai dengan sebelum pemakluman Injil (bdk. PUMR 173, CE 129).

c.                   Sebelum pemakluman Injil, Diakon memohon berkat kepada Imam Selebran dengan cara membungkuk di depannya. Jika tidak ada Diakon petugas pemakluman itu, maka yang bertugas adalah Imam Selebran itu sendiri. Jika tidak ada Diakon petugas dan Imam Selebran yang memimpin adalah seorang Uskup yang didampingi Imam Konselebran, maka salah seorang Imam Konselebran bertugas memaklumkan Injil. Imam petugas itu memohon berkat kepada Uskup yang bertindak sebagai Imam Selebran. Akan tetapi, jika Imam Selebrannya adalah seorang Imam biasa (bukan Uskup), maka Imam Konselebran yang bertugas memaklumkan Injil itu tidak perlu memohon berkat kepada Imam Selebran.

Sesudah diberkati oleh Imam Selebran, Diakon (atau Imam petugas) menuju altar, membungkuk menghormatinya, mengambil Evangeliarium dari altar itu, lalu pergi ke mimbar sambil membawa Evangeliarium yang sedikit diangkat, didahului para putra altar pembawa lilin bernyala dan pedupaan beraroma. Ia mendupai Evangeliarium setelah membuat tanda salib dengan ibu jarinya pada bacaan Injil yang akan dimaklumkan, pada dahi, mulut, dan dadanya. Lalu ia mendupai Evangeliarium itu tiga kali masingmasing dua ayunan: di tengah, di samping kiri, dan di samping kanan (lihat PUMR 175, CE 74). Setelah itu ia membawakan  bacaan Injil dengan cara membacakan atau menyanyikan.

d.                  Di akhir pemakluman Injil, Diakon atau Imam tidak perlu mengangkat Evangeliarium dari mimbar ketika ia menyerukan ”Demikianlah Injil Tuhan” atau seruan serupa.

e.                  Sesudah jawaban Umat ”Terpujilah Kristus”, Diakon mencium Evangeliarium sambil mengucapkan dalam hati ”Semoga karena pewartaan Injil ini dileburlah dosadosa kami”. Kalau yang memimpin Misa adalah seorang Uskup, Diakon membawa Evangeliarium kepada Uskup untuk dicium. Atau Diakon sendiri dapat menciumnya, tanpa membawanya kepada Uskup. Dalam perayaan meriah, kalau dianggap baik, Uskup dapat memberkati Umat dengan Evangeliarium dalam bentuk tanda salib besar.

Sesudah itu Diakon membawa Evangeliarium ke mejasamping (kredens) atau ke tempat lain yang anggun dan serasi, tetapi tidak meletakkannya di atas altar lagi (lihat PUMR 175). Sementara pelayan altar yang mendampingi pemakluman Injil meletakkan perlengkapannya di mejasamping.

f.                    Dalam Ritus Penutup, Evangeliarium tidak perlu dibawa lagi ketika perarakan keluar.

2.                  Dalam Misamisa Ritual atau Misa yang dirayakan dalam kaitan dengan sakramen dan sakramentali (PUMR 372; misalnya: Inisasi, Tahbisan, Pengurapan Orang Sakit, Perkawinan, Pelantikan Pelayan Liturgi, Pemberkatan, Pengikraran Kaul) Evangeliarium ini digunakan sesuai dengan tata cara di atas, kecuali jika ditunjukkan juga penggunaannya yang secara khusus diperlukan dalam Misa Ritual yang bersangkutan, seperti yang beberapa akan disebutkan di bawah ini.

VIDEO INI MEMPERLIHATKAN BUKU EVANGELIARIUM DIBAWA DALAM PERARAKAN, LALU DITARUH DI ATAS MEJA ALTAR (BUKAN DI MIMBAR SABDA  ATAU MEJA LAIN)  :

VIDEO INI MEMPERLIHATKAN PASTOR MENGAMBIL BUKU EVANGELIARIUM DARI ATAS MEJA ALTAR (BUKAN DARI MEJA LAIN), LALU MEMBAWANYA KE MIMBAR SABDA

Posted in 2. Bagian Liturgi Sabda, 4. Buku Liturgi | Leave a Comment »

Mengapa memakai busana khusus?

Posted by liturgiekaristi on April 11, 2011


Mengapa memakai busana khusus?

“Haruslah engkau membuat pakaian kudus untuk Harun, saudaramu, sebagai per-hiasan kemuliaan. Haruslah engkau mengatakan kepada semua orang yang ahli, yang telah Kupenuhi dengan roh keahlian, membuat pakaian Harun, untuk menguduskan dia, supaya dipegangnya jabatan imam bagi-Ku.” (Kel 28:2-3)

Pedoman Umum Misale Romawi: “Gereja adalahTubuh Kristus. Dalam Tubuh itutidak semua anggota menjalankan tugasyang sama. Dalamperayaan Ekaristi, tugas yang berbeda- beda itu dinyatakan lewat busana liturgisyang berbeda-beda. Jadi, busana itu hendaknya menandakan tugas khusus masing-masing pelayan. Di samping itu, busana liturgis juga menambah keindahan perayaan liturgis” (PUMR 335).

PENCERAHAN DARI Mas Roms :

Maksud dan tujuan busana khusus dalam perayaan liturgi jelas seperti dalam PUMR 335. Pasti kita juga kurang sreg / nyaman / “mantep” kalau dalam misa imam pakaiannya biasa-biasa saja, atau sama seperti umat, atau sama seperti pakaian sehari-hari.

Seperti pakaian kita tentu ada bedanya antara pakaian sehari dengan pakaian resmi (sekolah, pesta, kerja). Begitu juga dengan imam, ada pakaian khusus untuk perayaan liturgi (kasula, alba, dll.) dan pakaian harian (bukan pakaian sehari-hari…) yang umumnya disebut jubah. Jubah memang “agak” mirip dengan alba, namun beda. Alba adalah pakaian … See Moreliturgi dan warna putih; jubah tergantung kekhasan masing-masing ordo/kongregasi (motif, warna berbeda). Apa yang dilihad Leonardus, kalau betul kasula (bukan alba) warna putih lalu stolanya hijau, tentu imam itu tidak tepat.
Lho kok kita sibuk “ngurusi” pakaian imam / liturgi, mana coment imam yang mengenakannya…..??

PENCERAHAN DARI Teresa Subaryani Dhs :

Dalam merayakan Ekaristi, seorang imam mengenakan alba, kasula, dan stola. Warna kasula dan stola sesuai dengan penanggalan liturgi, jadi di semua tempat pasti memiliki warna yang sama. Mengenai simbol ordo, mungkin saja ditambahkan pada stola atau kasula. Kalau yang dimaksud oleh Ibu Merry Tumewu, mungkin adalah busana sehari-hari yang memang berbeda untuk masing-masing ordo. Misal: OSC mengenakan jubah putih dengan singel hitam, skapulir hitam dengan lambang OSC di bagian dada, dan semacam mozetta berwarna hitam.

PENCERAHAN DARI PASTOR Christianus Hendrik:

Mengenai mengapa harus mengenakan pakaian khusus saat merayakan sakramen2 Gereja, bisa dilihat sumber2nya yang banyak dari Kitab Imamat, Keluaran, dari teks2 liturgi Gereja, dll. Yang jelas, saat merayakan sakramen, itulah saat paling jelas dan nyata orang menjalankan fungsi imamatnya. Sebagaimana setiap orang yang dibaptis, kita tahu, bahwa kita semua memiliki jabatan sebagai Imam (imamat umum), Raja, Guru dan Nabi. Fungsi Imam dan Raja ini yang mau dinampakkan dalam jabatan Imamat Gereja seperti dinampakkan dalam cara berpakaian – bukan demi kegemerlapan sang Imam, tetapi sebagai simbol keagungan Tuhan sekaligus pengingat akan situasi akhir jaman yang penuh keagungan, keindahan, kesucian…itulah yang mau ditampilkan dari cara berpakaian khusus tersebut.

Karena menyangkut fungsi imamat tertahbis, ini agak berbeda dengan kepentingan ordo/kongregasi/terekat yang memiliki ciri khas tertentu sesuai kharisma kongregasi mereka. Boleh mereka menambahkan hiasan/dekorasi yang sesuai, tapi tidak mengubah ketentuan pakaian/atribut seorang Imam sebagai pelayan sakramen2 Gereja. Maka paling yang bisa dimodifikasi sesuai kharisma tarekat misalnya hiasan stola memakai gambar Hati Kudus, atau Kasulanya bersulam Salib Suci (ordo Salib Suci), atau gambar YEsus dan Maria (SSCC), dll. Tapi hakekat Stola dan kasula dengan warna2 liturgi tetap tidak bisa diubah demi kesesuaian dengan warna2 khas kongregasi/ordo/tarekat masing2. Gereja, dengan warna dan corak liturginya, bersifat universal, satu, kudus. Sedangkan kharisma tiap kongregasi/tarekat bersifat partial, lokal, khusus…yang masing2 menyumbang kekayaan spiritualitasnya bagi gereja yang satu. Jadi tidak bertentangan dan saling memperkaya Liturgi Gereja. Thanks.

 

Posted in 2. Baju liturgi | Leave a Comment »

BUKU LITURGI – EVANGELIARIUM sudah bisa dibeli di kantor KOMLIT KWI

Posted by liturgiekaristi on April 11, 2011


This slideshow requires JavaScript.

Buku Evangeliarium memuat perikop-perikop  Injil yang diwartakan dalam perayaan liturgy pada hari Minggu, Hari Raya, Pesta Tuhan dan Hari Khusus, serta dalam Perayaan dan Misa misa Ritual, seperti Liturgi Inisiasi, Liturgi Tahbisan, Penerimaan Calon untuk Diakon dan Imamat, Pelantikan Pelayan Liturgi, Liturgi Orang Sakit, Liturgi Perkawinan, Pemberkatan Abas dan Abdis, Pengudusan Perawan dan Pengikraran Kaul, serta Pemberkatan Gereja, Altar, Piala dan Patena.

Dalam perayaan-perayaan Liturgi meriah, khususnya dalam Perayaan Ekaristi, Evangeliarium  diberi penghormatan sangat khusus, misalnya diarak dengan sedikit diangkat pada saat perarakan masuk, didupai, dicium setelah pewartaan Injil dan Uskup memberkati Umat dengan buku ini dalam bentuk tanda salib besar.

Peranan simbolis.

Sesuai dengan keluhuran martabat dan peranan simbolis dari buku liturgis resmi Bahasa Indonesia untuk Ritus Latin ini, maka Evangeliarium  disusun dengan baik dan dicetak dalam bentuk yang besar, indah dan menawan.

Spesifikasi buku Evangeliarium yang dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, antara lain sebagai berikut:

Ukuran buku 24 cm x 34 cm, 780 halaman, beratnya sekitar @ 5 kg. Agar buku ini dapat disimpan dengan baik, setelah digunakan, disertakan juga Box Sleeve  (kotak penyimpan) .

SEBAGAI PENGGANTI BIAYA PRODUKSI, BUKU INI DAPAT DIBELI DI KOMLIT KWI, HARGANYA @ RP. 500.000 DITAMBAH ONGKOS KIRIM

Hubungi : Kantor KOMISI LITURGI KWI di alamat email : komlit-kwi@kawali.org, Telp : 021- 3154714 atau HP 0815-1080-8853

Promulgasi Presidium KWI

Dalam Surat Promulgasi KWI yang ditanda tangani oleh Mgr. M.D Situmorang OFMCap (Ketua KWI) dan Mgr. Johannes Pujasumarta (Sekretaris Jendral KWI), menyebutkan bahwa pada awal Pekan Suci, Minggu Palma, 17 April 2011, buku Evangeliarium ini mulai diberlakukan secara resmi untuk digunakan dalam perayaan liturgy di keuskupan-keuskupan di seluruh Indonesia. Gereja Katedra, Gereja Paroki, Kapel-kapel Seminari dan Biara diharapkan memiliki dan menggunakan buku liturgi Evangeliarium ini. Tata cara penggunaan buku Evangeliarium dijelaskan pada bagian awal buku ini.

PENGGUNAAN BUKU

EVANGELIARIUM

 

 

 

A.        Penggunaan Umum

1.                   Dalam Perayaan Ekaristi kudus Evangeliarium atau Kitab Injil digunakan pada beberapa bagian, dengan berbagai cara:

a.                  Evangeliarium, bukan Buku Bacaan (Lectionarium), sebelum Misa atau Perayaan Ekaristi dimulai dapat diletakkan pada bagian tengah altar dalam keadaan tertutup, kecuali kalau buku itu dibawa dalam perarakan masuk (PUMR 117).

b.                  Dalam perarakan masuk Evangeliarium dibawa oleh Diakon (atau oleh Lektor dalam Misa tanpa Diakon) dengan cara sedikit diangkat dan dalam keadaan tertutup, lalu diletakkan di atas altar (PUMR 119, 120d, 122). Diakon pembawa Evangeliarium berjalan di depan atau di samping Imam Selebran (PUMR 172). Setibanya di altar, Diakon pembawa Evangeliarium tidak ikut memberi penghormatan kepada altar, tetapi langsung menuju altar untuk meletakkan Evangeliarium di atas altar. Sesudah itu, bersama dengan Imam, Diakon mencium altar.

Jika yang bertugas membawa Evangeliarium adalah Lektor karena ketiadaan Diakon, maka ia tidak mencium altar, tetapi langsung meletakkannya di atas altar, dan kemudian menuju ke tempat duduk yang tersedia untuknya. Evangeliarium yang tertutup itu berada pada bagian tengah altar sampai dengan sebelum pemakluman Injil (bdk. PUMR 173, CE 129).

c.                   Sebelum pemakluman Injil, Diakon memohon berkat kepada Imam Selebran dengan cara membungkuk di depannya. Jika tidak ada Diakon petugas pemakluman itu, maka yang bertugas adalah Imam Selebran itu sendiri. Jika tidak ada Diakon petugas dan Imam Selebran yang memimpin adalah seorang Uskup yang didampingi Imam Konselebran, maka salah seorang Imam Konselebran bertugas memaklumkan Injil. Imam petugas itu memohon berkat kepada Uskup yang bertindak sebagai Imam Selebran. Akan tetapi, jika Imam Selebrannya adalah seorang Imam biasa (bukan Uskup), maka Imam Konselebran yang bertugas memaklumkan Injil itu tidak perlu memohon berkat kepada Imam Selebran.

Sesudah diberkati oleh Imam Selebran, Diakon (atau Imam petugas) menuju altar, membungkuk menghormatinya, mengambil Evangeliarium dari altar itu, lalu pergi ke mimbar sambil membawa Evangeliarium yang sedikit diangkat, didahului para putra altar pembawa lilin bernyala dan pedupaan beraroma. Ia mendupai Evangeliarium setelah membuat tanda salib dengan ibu jarinya pada bacaan Injil yang akan dimaklumkan, pada dahi, mulut, dan dadanya. Lalu ia mendupai Evangeliarium itu tiga kali masingmasing dua ayunan: di tengah, di samping kiri, dan di samping kanan (lihat PUMR 175, CE 74). Setelah itu ia membawakan  bacaan Injil dengan cara membacakan atau menyanyikan.

d.                  Di akhir pemakluman Injil, Diakon atau Imam tidak perlu mengangkat Evangeliarium dari mimbar ketika ia menyerukan ”Demikianlah Injil Tuhan” atau seruan serupa.

e.                  Sesudah jawaban Umat ”Terpujilah Kristus”, Diakon mencium Evangeliarium sambil mengucapkan dalam hati ”Semoga karena pewartaan Injil ini dileburlah dosadosa kami”. Kalau yang memimpin Misa adalah seorang Uskup, Diakon membawa Evangeliarium kepada Uskup untuk dicium. Atau Diakon sendiri dapat menciumnya, tanpa membawanya kepada Uskup. Dalam perayaan meriah, kalau dianggap baik, Uskup dapat memberkati Umat dengan Evangeliarium dalam bentuk tanda salib besar.

Sesudah itu Diakon membawa Evangeliarium ke mejasamping (kredens) atau ke tempat lain yang anggun dan serasi, tetapi tidak meletakkannya di atas altar lagi (lihat PUMR 175). Sementara pelayan altar yang mendampingi pemakluman Injil meletakkan perlengkapannya di mejasamping.

f.                    Dalam Ritus Penutup, Evangeliarium tidak perlu dibawa lagi ketika perarakan keluar.

2.                  Dalam Misamisa Ritual atau Misa yang dirayakan dalam kaitan dengan sakramen dan sakramentali (PUMR 372; misalnya: Inisasi, Tahbisan, Pengurapan Orang Sakit, Perkawinan, Pelantikan Pelayan Liturgi, Pemberkatan, Pengikraran Kaul) Evangeliarium ini digunakan sesuai dengan tata cara di atas, kecuali jika ditunjukkan juga penggunaannya yang secara khusus diperlukan dalam Misa Ritual yang bersangkutan, seperti yang beberapa akan disebutkan di bawah ini.

Posted in 4. Buku Liturgi, o. Promosi Produk Liturgi | Leave a Comment »

Tentang IBADAH SABDA dan PENGGUNAAN ‘MIMBAR-MINI’.

Posted by liturgiekaristi on April 7, 2011


Tentang IBADAH SABDA dan PENGGUNAAN ‘MIMBAR-MINI’.

 

1) Entah disadari entah tidak disadari, di beberapa tempat cukup sering terjadi KERANCUAN dalam PERAYAAN SABDA dalam lingkup ‘KOMUNITAS BASIS’ tingkat lingkungan, wilayah-rohani, kring atau apapun namanya. Malahan, barangkali kerancuan serupa masih terjadi juga pada tataran ‘STASI’ atau yang sejenisnya. Kerancuan apa? MEMAKAI MEJA (SEMACAM) ALTAR KETIKA MELAKSANAKAN PERAYAAN SABDA.

 

2) Nampaknya ini hanyalah masalah LITURGIS-PRAKTIS: Umat terbiasa menyiapkan meja supaya bisa ditempatkan segala perlengkapan terkait peribadatan itu (antara lain: lilin, salib, kolekte, pengeras suara, buku-buku). Alasan praktis lain: sarana yang tersedia di situ hanya meja yang seperti itu, tidak ada yang lain.

 

3) Namun, sepertinya ada juga hal lain yang cukup mendasar, yaitu DOMINASI-PAHAM.

[a] Perayaan Ekaristi selalu dipandang sebagai ibadah yang paling utama, sedangkan Perayaan Sabda dipahami sebagai ‘minus-malum’ dari Perayaan Ekaristi (Terjemahan bebas pribadi untuk ‘minus-malum’ : tiada rotan akarpun jadi).

[b] Seiring dengan itu, paham klerikalisme juga sedemikian kuat: peribadatan merupakan tugas klerus, ketidakhadiran mereka dilengkapi oleh para awam yang dipandang cakap, pantas dan terpilih.

Kedua paham tersebut [a] dan [b], secara begitu kuat menjiwai Dokumen Directorium de Celebrationibus Dominicalibus Absente Presbytero (Roma, 1988).

[c] Menjadi lebih ‘celaka’ lagi, bahwa ada beberapa awam yang mau-maunya tampil/bertindak seperti atau menyerupai klerus, bahkan ada AWAM WANITA yang berani menyebut diri SUDAH DITAHBISKAN oleh uskup.

 

4) Dalam keseluruhan Perayaan Ekaristi, ALTAR menjadi ‘pusat’. Sedangkan dalam Perayaan Sabda, MIMBAR menjadi ‘pusat’.Dalam Perayaan Sabda, altar hanya boleh digunakan untuk menempatkan sibori, jika otoritas gerejawi setempat mengijinkan penerimaan komuni dalam perayaan tersebut.

 

5) Seturut petunjuk Tata Ruang dalam Ibadah Sabda oleh Komlit KWI, ketika Ibadah Sabda, MIMBAR BOLEH DITEMPATKAN DI TENGAH, DI DEPAN ALTAR (lih. Komlit KWI, ”Perayaan Sabda Hari Minggu dan Hari Raya”, Yogyakarta:Kanisius, 1994, hlm. 422).

 

6) Maka, dalam ibadah sabda di rumah-rumah pada pertemuan kring, lingkungan atau wilayah rohani, apalagi tanpa penerimaan komuni, lebih tepat menggunakan ‘MIMBAR-MINI’, bukan altar-mini.Sedangkan, LILIN dan SALIB ditempatkan pada sebuah tempat lain di depan atau di dekat mimbar-mini tsb sepantasnya sesuai kondisi dan posisi yang tersedia di rumah tersebut.

 

7) Prinsip yang perlu dipegang yaitu: pemimpin ibadah menempati tempat yang harus BISA DIJANGKAU OLEH PANDANGAN SEBAGIAN BESAR hadirin, bila tak memungkinkan SEMUA UMAT.

 

 

Semoga bermanfaat

Salam, Zepto-Triffon

Sorong

Posted in 1. Panti Imam - Altar, 2. Bagian Liturgi Sabda | Leave a Comment »

Apakah Amik itu?

Posted by liturgiekaristi on March 30, 2011


Amik adalah kain putih segi empat dengan dua tali di dua ujungnya atau ada juga model modern lain yang tidak segi empat dan tanpa tali.

Amik yang melingkari leher dan menutupi bahu dan pundak itu melambangkan pelindung pembawa selamat (keutamaan harapan), yang membantu pemakainya untuk mengatasi serangan setan.

Kain itu secara praktis juga berfungsi untuk menutupi kerah baju supaya tampak rapi, untuk menahan dingin, atau sekaligus untuk menyerap keringat agar busana liturgis pada zaman dulu yang biasanya amat indah dan mahal tidak mengalami kerusakan.

Amik dikenakan oleh imam, diakon, atau petugas lain yang hendak mengenakan alba.
Pemakaian amik sering tergantung juga pada alba yang akan dipakai. Kalau alba kiranya tidak menutup sama sekali kerah pakaian sehari-hari, maka barulah amik itu dikenakan sebelum alba (PUMR 336).

PENJELASAN DARI PASTOR Christianus Hendrik

Amik: Fungsinya seperti “pakaian dalam” untuk Imam yang akan merayakan Ekaristi/perayaan sakramen2 Gereja. Fungsi utamanya adalah untuk melindungi Stola dan Kasula supaya tidak cepat kotor oleh keringat yang sering banyak keluar di sekitar leher karena panas. Selain juga menutupi pakaian ‘sekular’ yang kadang ada Imam yang enggan berganti baju; atau juga untuk menutupi bagian tengkuk dan sekitar leher supaya tidak nampak telanjang.

Caranya dengan menebarkan kain persegi empat ini di tengkuk dengan kedua tali ditarik menyilang di dada, lalu dilingkarkan di pinggang dan ditali di belakang/punggung.
Karena fungsinya yang simple ini sering Imam kurang memperhatikan gunanya dan jarang memakai-selain juga tidak selalu tersedia di sakristi2 di tiap Gereja sekarang ini. Fungsi Amik ini lalu dipindah/ digantikan dengan memasang selembar kecil kain putih di stola, sehingga kalo cepat kotor yang mudah kotor adalah kain putih kecil tersebut yang bisa dilepas dan dicuci lalu stola sendiri tetap bersih…itu menyebabkan pemakaian Amik makin jarang.

Saya pribadi kalo ada Amik dan atribut lainnya yang lengkap lebih senang memakainya, bukan soal apa…tapi ada rasa agung dan khusyuk mempertahankan tradisi Gereja yang indah…walaupun kadang harus berkorban menahan panas dan keringat yang mengucur wkwkwk.. Masalahnya umat sering lebih sayang lilin2 di altar daripada Imamnya. Sudah panas dengan pakaian lengkap, jubah/alba, amik,stola, single, kasula…juga tidak diberi fan/kipas angin di sekitar altar,jadi mandi keringat deh…Ketika diminta, umatnya bilang:”nanti kipasnya mengganggu nyala lilin bisa padam, romo…” (wah, ga kepikir kalo rm nya karena kepanasan bisa ‘padam’ juga wkwkwk…)

Posted in 2. Baju liturgi | Leave a Comment »

KAIN PENUTUP ALTAR BOLEH WARNA LAIN SELAIN PUTIH?

Posted by liturgiekaristi on March 21, 2011


Pertanyaan umat :

Saya pernah membaca bhw warna kain dan lilin altar adalah putih tetapi belakangan ini lilin pun sdh berwarna dan kata seorang imam waktu saya tanya, ia memberi jawaban bhw skrg sdh ada perobahan dan diizinkan. Adakah dokumen resmi tentang warna kain dan lilin altar dan jg unt pakaian imam dll?. Termasuk bila ada perubahan norma atau aturan. Tks.

PENCERAHAN DARI Daniel Pane

Lilin yang tradisional itu terbuat dari sari lebah dan biasanya berwarna kuning (kekuning-kuningan). Penggunaan lilin berwarna putih adalah kebiasaan yang relatif belum terlalu lama. Ini adalah contoh altar yang menggunakan lilin dari cairan lebah: http://3.bp.blogspot.com/_oN5K_WcO5JM/TMjW6-INngI/AAAAAAAAHVk/p8SJju3qkfM/s1600/Requiem3.jpg

Kain penutup Altartetap berwarna putih, hanya biasanya ada kain tambahan yang menutup bagian depan Altar (antependium) yang bisa dibuat sesuai warna liturgi. Ini beberapa contoh altar dengan antependium: … http://sacredstitchesllc.com/sitebuilder/images/Antependium-215×203.jpg atau: http://1.bp.blogspot.com/_oN5K_WcO5JM/SncHv_GcnOI/AAAAAAAAAz0/07MqyARn4-Q/s400/DSC00777.jpg Pada dua gambar tersebut antependium berwarna rose dan ungu, tetapi penutup Altarnya tetap putih.Inilah penataan yang ideal , sesuai rubrik dan tradisional.

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Tentang warna liturgi ada dalam PUMR (Pedoman umum misale romawi) no 346. Maka hiasan altar, dll disesuaikan dgn warna liturgi tersebut. Lilin umumnya masih dari madu lebah yang warnanya agak kuning atau juga lilin yg berwarna putih.Bahwa di suatu tempat ada tersedia lilin yang berwarna lain, digunakan sesuai dgn warna liturgi, biasanya warna ungu yang dipakai dalam masa Advent dan Prapaskah dan jinggga pada hari minggu Advent III dan Minggu prapaskah IV. 

Berikut ini PUMR no 346 :

Warna-warna busana liturgis hendaknya digunakan menurut kebiasaan yang sampai sekarang berlaku, yaitu :

a. Warna putih digunakan dalam Ibadat Harian dan Misa pada Masa Paskah dan Natal, pada perayaan-perayaan Tuhan Yesus ( kecuali peringatan sengsara-Nya ), begitu pula pada Pesta Santa Perawan Maria, para malaikat, para kudus yang bukan martir, pada Hari Raya Semua Orang Kudus ( I November ) dan kelahiran Santo Yohanes Pembaptis ( 24 Juni ), pada Pesta Santo Yohanes Pengarang Injil ( 27 Desember ), Pesta Takhta Santo Petrus Rasul ( 22 Februari ) dan Pesta Bertobatnya Santo Paulus Rasul ( 25 Januari ).

b. Warna merah digunakan pada hari Minggu Palma memperingati Sengsara Tuhan dan pada hari Jumat Agung ; pada hari Minggu Pentakosta, dalam perayaan-perayaan Sengsara Tuhan, pada pesta para rasul dan pengarang Injil, dan pada perayaan-perayaan para martir.

c. Warna hijau digunakan dalam Ibadat Harian dan Misa selama Masa Biasa sepanjang tahun.

d. Warna ungu digunakan dalam Masa Adven dan Prapaskah. Tetapi dapat juga digunakan dalam Ibadat Harian dan Misa arwah.
e. Warna hitam dapat digunakan, kalau memang sudah biasa, dalam Misa arwah.

f. Warna jingga dapat digunakan, kalau memang sudah biasa, pada hari Minggu Gaudete ( Minggu Adven III) dan hari Minggu Laetare (Minggu Prapaskah IV).

Konferensi Uskup dapat menentukan perubahan-perubahan yang lebih serasi dengan keperluan dan kekhasan bangsa setempat. Penyerasian-penyerasian itu hendaknya diberitahukan kepada Takhta Apostolik.

Posted in 1. Panti Imam - Altar, d. BENDA-BENDA LITURGI | Leave a Comment »

MEJA ALTAR DARURAT – APAKAH ADA KETENTUANNYA?

Posted by liturgiekaristi on March 21, 2011


Pertanyaan umat :

pada waktu saya dan teman2 mudika mengadakan camping rohani di bumi perkemahan di sarangan, pada waktu akan diadakan misa penutupan, kami akan menggunakan sebuah meja untuk altar, mungkin krna meja itu sudah lama tidak dipergunakan jadi warnanya kusam, dan ada seorang ibu yang bilang kalo meja itu tidak layak digunakan, dan akhirnya kami harus memotong bambu untuk digunakan sebagai meja. pertanyaan saya, apakah ada peraturan tentang layak atau tidaknya sebuah meja untuk altar?terutama bila dalam kondisi seperti yang kami alami?terima kasih

PENCERAHAN DARI Noor Noey Indah

‎”Altar merupakan tempat untuk menghadirkan kurban salib dengan menggunakan tanda-tanda sakramental. Sekaligus altar merupakan meja perjamuan Tuhan, dan dalam Misa umat Allah berhimpun di sekeliling altar untuk mengambil bagian dalam perjam…uan itu. Kecuali itu, altar merupakan juga pusat ucapan syukur yang diselenggarakan dalam Perayaan Ekaristi.” (PUMR 296). 

“Bila perayaan Ekaristi berlangsung di gereja atau kapel, harus digunakan sebuah altar. Bila perayaan Ekaristi berlangsung diluar gereja atau kapel, dapat digunakan meja yang pantas. Tetapi meja itu harus ditutup dengan kain altar dan dilengkapi dg korporale, salib, dan lilin.” (PUMR 297).

smg dpt membantu.
salam.

Tidak ada ukuran baku mengenai Altar. Yang umum adalah meja berbentuk persegi panjang, pilih yang lumayan kokoh dan jangan yang kependekan atau ketinggian.

Posted in 1. Panti Imam - Altar, d. BENDA-BENDA LITURGI | Leave a Comment »

KENAPA SELALU ADA 2 LILIN MENYALA DI MEJA ALTAR?

Posted by liturgiekaristi on March 16, 2011


Pertanyaan umat :

Di atas Altar selalu terpasang 2 lilin menyala. Itu simbol apa ya? Kenapa 2?

PENCERAHAN DARI BAPAK Onggo Lukito

PUMR 117.
Altar harus ditutup dengan sekurang-kurangnya satu helai kain altar berwarna putih. Pada altar atau di dekatnya dipasang sekurang-kurangnya dua lilin bernyala; tetapi boleh juga empat, bahkan enam, khususnya pada hari Minggu dan hari raya wajib. Bila uskup diosesan memimpin Misa di keuskupannya, dipasang tujuh lilin. Di samping itu, hendaknya ada sebuah salib dengan sosok Kristus tersalib yang dipajang pada altar atau di dekatnya. Boleh juga lilin dan salib yang dihias dengan sosok Kristus tersalib itu dibawa dalam perarakan masuk. Kitab Injil (Evangeliarium ), bukan Buku Bacaan Misa ( Lectionarium ), dapat diletakkan pada altar, kecuali kalau kitab itu dibawa dalam perarakan masuk. 

PUMR 307.
Lilin diperlukan dalam setiap perayaan liturgi untuk menciptakan suasana khidmat dan untuk menunjukkan tingkat kemeriahan perayaan (bdk.no.117). Lilin itu seyogyanya ditaruh di atas atau di sekitar altar, sesuai dengan bentuk altar dan tata ruang panti imam. Semuanya harus ditata secara serasi, dan tidak boleh menghalangi pandangan umat, sehingga mereka dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di altar atau yang diletakkan di atasnya.

Posted in 1. Panti Imam - Altar, d. BENDA-BENDA LITURGI | Leave a Comment »

APAKAH BENDA2 LITURGI BOLEH DIBAWA KELUAR DARI GEREJA?

Posted by liturgiekaristi on March 15, 2011


Post 15 Maret 2011

Pertanyaan umat:

satu hal lagi tim, sa mau nanya ya,, apakah benda2 liturgi seperti sibori, piala, dan ampul boleh dibawa keluar dari gereja, misalnya kalau saya mau lakukan peng…enalan alat2 misa dan situasi memaksa saya untuk melakukannya di aula pastoran misalnya,,jadi apakah benda2 trsbt bisa di bawa kluar dari gereja? mohon pnjlasannya..makasih.. 🙂

PENCERAHAN DARI SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Prinsipnya boleh. Namun sama seperti inventaris gereja yang lain tidak diperbolehkan dibawa keluar dari gereja, maka kalau dengan maksud dan keperluan yang dimaksud, bisa minta atau pinjam di pastoran. Biasanya ada perlengkapan misa yang menjadi inventaris pastoran/para romo. Kalau memang domisili Anda jauh dari paroki karena berada di stasi atau pulau terpencil dan di kapel tempat tinggal Anda ada tersimpan perlengkapan misa, maka Anda menghubungi ketua stasi atau yang bertanggung jawab atas gereja/kapel tersebut.

Posted in d. BENDA-BENDA LITURGI | Leave a Comment »

WARNA PAKAIAN LITURGI BERBEDA-BEDA. Kenapa ?

Posted by liturgiekaristi on March 11, 2011


Topik :

“Mengapa dalam Liturgi Gereja Imam dan pelayan altar mengenakan
pakaian yang berbeda2 warna (putih, hijau, ungu, merah)… sesuai dengan
masanya. Apakah arti dari setiap warna tersebut?” Selamat berbagi pengetahuan…:-)

PENCERAHAN DARI PASTOR Martin Boloawa

Pembicaraan mengenai warna liturgi secara langsung bersentuhan dengan busana liturgi, khususnya yang dipakai oleh para pelayan. Sedikit latar belakang:
Dalam peribadatan pada zaman Gereja Perdana semua belumlah digunakan busana khusus. Para pemimpin ibadat masih mengenakan pakaian sehari-hari, yang mungkin merupakan pakaian terbaiknya. Secara perlahan, seiring dengan perkembangan mode pakaian, muncul pula kebutuhan untuk membedakan pakaian ibadat dari pakaian biasa sehari-hari. Maka, berkembanglah bentuk-bentuk busana liturgis yang berbeda dari busana sekular sejak abad VI. St. Bonifasius (abad VIII) pernah mengatur para imam dan diakonnya agar mengenkan kasula ketika merayakan liturgi, bukannya pakaian sipil sehari-hari. Bahkan dua abad sebelumnya St. Cesarius dari Arles (Abad VI) sudah memiliki sebuah “casula villosa” yang dikenakan untuk liturgi harian dan prosesi.

Mengapa memakai busana khusus?
para pelayan atau petugas liturgi mengenakan busana liturgi dan tanda-tanda khusus ketika melaksanakan peran mereka dalam Perayaan Ekaristi. Tentu ada maksudnya, salah satu dasar biblisnya adalah kitab Keluaran 28:2-3: “Haruslah engkau membuat pakaian kudus untuk Harun, saudaramu, sebagai perhiasan kemuliaan. Haruslah.engkau mengatakan kepada semua orang yang ahli, yang telah Kupenuhi dengan roh keahlian, membuat pakaian Harun, untuk menguduskan dia, supaya dipegangnya jabatan imam bagi-Ku.” Hingga saat ini, praktek berbusana khusus dalam tindakan ibadat semacam itu masih dihormati. Dalam PUMR juga dinyatakan: “Gereja adalah Tubuh Kristus. Dalam Tubuh itu tidak semua anggota menjalankan tugas yang sama. Dalam perayaan Ekaristi, tugas yang berbeda-beda itu dinyatakan lewat busana liturgis yang berbeda-beda. Jadi, busana itu hendaknya menandakan tugas khusus masing-masing pelayan. Di samping itu, busana liturgis juga menambah keindahan perayaan liturgis” (PUMR 335).

PENCERAHAN DARI PASTOR Martin Boloawa
Dear all, berikut ini arti setiap warna liturgi dan dasar bibilsnya.
a] putih: kegembiraan, kemurnian, kepolosan, dan kemuliaan (Dan 7:9; Mrk 9:2-3, Why 3:4-5). Boleh diganti kuning atau emas (warna cahaya) bila perayaan lebih bernada kemuliaan atau kemenangan (Kej 1:3-5, Yes 45:7)
b] merah: darah kemartiran, api ilahi (Roh Kudus), cinta, pengorbanan, dukacita, mati raga, penantian (Kel 28:31,33; Sir 10:9, Yer 6:26).
c] ungu adalah percampuran antara warna merah (=panas yang menggairahkan ) dan biru (= ketakberwujudan yang tak terbatas).
d] hitam: dimaknai sama dengan ungu, namun warna hitam teras lebih kuat penekanannya.
f] jingga: sukacita, sebagaimana terungkap dari makna percampuran antara warna merah (= cinta ilahi) dan putih (= kebijaksanaan ilahi).
g] hijau: kesuburan (warna tumbuhan), harapan (Kej 1:11-12, Ul 32:2, Luk 23:31).
i] satu lagi yakni biru: warna langit ini bisa berarti kebijaksanaan ilahi yang dihembuskan oleh Roh Kudus (Yoh 3:8). Biasanya digunakan untuk perayaan liturgi Marialis, yang berkaitan dengan Bunda Maria.

Demikian, semoga bermanfaat!

This slideshow requires JavaScript.

 

Posted in 2. Baju liturgi, d. BENDA-BENDA LITURGI | Leave a Comment »

SALIB PANCANG DI ALTAR

Posted by liturgiekaristi on March 9, 2011


Protes umat (yang mendapat pembelajaran Liturgi) atas posisi SALIB PANCANG yang ditempatkan di sebelah kanan samping Meja Altar di panti imam.

” Salib pancang nya,jangan ditaruh disitu dong…
Yang betul menurut pakar liturgi RP. Christophorus Yohanes Harimanto Suryanugraha,OSC salib di yang menghadap umat seharus nya cukup 1,tgl pilih antara salib besar di dinding ,salib pancang ato salib kecil di
altar,maksud nya… adalah menyatukan umat dlm perayaan.Liturgi terkadang bukan karena kebiasaan ,tp lebih pada aturan ,jd jgn merasa sudah benar apa bila dilihat dari perspektif kebiasaan saja.
Sesudah perarakan seharus nya salib pancang di masukan kembali ke sakristi ,itu ideal nya .Logika nya,apa anda pernah melihat salib pancang berdiri tegak di panti imam ketika melihat perayaan ekaristi di
vatikan,yg notabene sudah memiliki salib besar yg menghadap ke umat?”

PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ:

Tata ruang panti imam, silahkan lihat apa yang dianjurkan PUMR dan RS (Redemptionis Sacramentum). Ada hal-hal yang disebutkan, bukan digambarkan posisinya.
Contoh: Sudah didiskusikan tentang masing-masing bagian harus dibawakan imam dari mana. Maka Semua tempat itu harus strategis terlihat umat : sedelia, ambo, altar. Ketiganya tidak menyatu, tetapi ada di panti imam.

Salib memang cukup dua, yakni satu yang terlihat untuk umat, dan satu untuk imam – umumnya diletakkan di altar, entah berdiri (kecil) atau tergeletak. Dianjurkan tergeletak, karena imam toh sudah bisa melihat salib itu dan tidak mengganggu pandangan umat ke altar.

Tabernakel yang juga umumnya ada di sekitar panti imam juga diposisikan sedemikian rupa supaya tidak ‘dipantati’ imam dan misdinar.

Itulah perangkat pendukung untuk panti imam. Selebihnya silahkan ditata demi indahnya atau estetikanya. Disebut baik dan memenuhi pedoman (= benar) kalau semua hal tadi ada, tertata, dan membantu seluruh tata perayaan yang berlangsung baik imam maupun umatnya.

NB. Mikrofon sedapat mungkin tidak mengganggu petugas dan pandangan umat. Juga imam dan petugas melatih dengan baik penggunaan mikrofon agar tetap khidmat, tidak perlu ‘mikrofon sentris’, atau setiap kali mau pakai harus test dengan memukul atau mencoba dengan suara (hallo, test, dll). Itu semua diandaikan sudah ditata dan disetting baik oleh petugas. Kalau tidak berfungsi biarkan saja, jangan sibuk ngurusin mikrofon saat sudah jalan.
Maka juga imam dan lektor harusnya berlatih bersuara cukup kuat, agung, dan jelas ditangkap, kendati tanpa sound system.

MASUKAN DARI UMAT AWAM YANG PAHAM LITURGI = KESIMPULAN

Salib pancang tidak perlu di tempatkan di samping altar, karena sudah ada salib besar di belakang (digantung di tembok). Salib pancang dibawa masuk kembali ke sakristi setelah dibawa dalam perarakan.

Posted in 1. Panti Imam - Altar, 3. Benda Liturgi lainnya, d. BENDA-BENDA LITURGI | Leave a Comment »