Seputar Liturgi Ekaristi Gereja Katolik

Seputar Liturgi Ekaristi Gereja Katolik

  • Majalah Liturgi KWI

  • Kalender Liturgi

  • Music Liturgi

  • Visitor

    free counters

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    Free Hit Counters

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    free statistics

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    hit counters



    widget flash

    widget

    Please do not change this code for a perfect fonctionality of your counter
    widget

    web page counter

  • Subscribe

  • Blog Stats

    • 1,255,571 hits
  • Kitab Hukum Kanonik, Katekismus Gereja Katolik, Kitab Suci, Alkitab, Pengantar Kitab Suci, Pendalaman Alkitab, Katekismus, Jadwal Misa, Kanon Alkitab, Deuterokanonika, Alkitab Online, Kitab Suci Katolik, Agamakatolik, Gereja Katolik, Ekaristi, Pantang, Puasa, Devosi, Doa, Novena, Tuhan, Roh Kudus, Yesus, Yesus Kristus, Bunda Maria, Paus, Bapa Suci, Vatikan, Katolik, Ibadah, Audio Kitab Suci, Perjanjian Baru, Perjanjian Lama, Tempat Bersejarah, Peta Kitabsuci, Peta Alkitab, Puji, Syukur, Protestan, Dokumen, Omk, Orang Muda Katolik, Mudika, Kki, Iman, Santo, Santa, Santo Dan Santa, Jadwal Misa, Jadwal Misa Regio Sumatera, Jadwal Misa Regio Jawa, Jadwal Misa Regio Ntt, Jadwal Misa Regio Nusa Tenggara Timur, Jadwal Misa Regio Kalimantan, Jadwal Misa Regio Sulawesi, Jadwal Misa Regio Papua, Jadwal Misa Keuskupan, Jadwal Misa Keuskupan Agung, Jadwal Misa Keuskupan Surfagan, Kaj, Kas, Romo, Uskup, Rosario, Pengalaman Iman, Biarawan, Biarawati, Hari, Minggu Palma, Paskah, Adven, Rabu Abu, Pentekosta, Sabtu Suci, Kamis Putih, Kudus, Malaikat, Natal, Mukjizat, Novena, Hati, Kudus, Api Penyucian, Api, Penyucian, Purgatory, Aplogetik, Apologetik Bunda Maria, Aplogetik Kitab Suci, Aplogetik Api Penyucian, Sakramen, Sakramen Krisma, Sakramen Baptis, Sakramen Perkawinan, Sakramen Imamat, Sakramen Ekaristi, Sakramen Perminyakan, Sakramen Tobat, Liturgy, Kalender Liturgi, Calendar Liturgi, Tpe 2005, Tpe, Tata Perayaan Ekaristi, Dosa, Dosa Ringan, Dosa Berat, Silsilah Yesus, Pengenalan Akan Allah, Allah Tritunggal, Trinitas, Satu, Kudus, Katolik, Apostolik, Artai Kata Liturgi, Tata Kata Liturgi, Busana Liturgi, Piranti Liturgi, Bunga Liturgi, Kristiani, Katekese, Katekese Umat, Katekese Lingkungan, Bina Iman Anak, Bina Iman Remaja, Kwi, Iman, Pengharapan, Kasih, Musik Liturgi, Doktrin, Dogma, Katholik, Ortodoks, Catholic, Christian, Christ, Jesus, Mary, Church, Eucharist, Evangelisasi, Allah, Bapa, Putra, Roh Kudus, Injil, Surga, Tuhan, Yubileum, Misa, Martir, Agama, Roma, Beata, Beato, Sacrament, Music Liturgy, Liturgy, Apology, Liturgical Calendar, Liturgical, Pope, Hierarki, Dasar Iman Katolik, Credo, Syahadat, Syahadat Para Rasul, Syahadat Nicea Konstantinople, Konsili Vatikan II, Konsili Ekumenis, Ensiklik, Esniklik Pope, Latter Pope, Orangkudus, Sadar Lirutgi

Archive for the ‘2. Putra Altar’ Category

Berapa kali x berapa, misdinar mendupai romo dan umat

Posted by liturgiekaristi on June 22, 2011


Pertanyaan umat :

Mau tanya nih , sebenarnya waktu misdinar ngedupain romo dan umat tuh berapa kali berapa ya ? Terima kasih

Teresa Subaryani Dhs

untuk sakramen mahakudus, relikui salib suci dan patung Tuhan yang dipajang untuk dihormati secara publik; bahan persembahan; salib altar, Kitab Injil, lilin paskah, imam dan jemaat dan juga jenazah, pendupaan dilakukan tiga kali dua ayunan… (tribus ductibus, three double-swings: crik crik, turunkan, crik crik, turunkan dan crik crik, turunkan) lihat PUMR 277 dan CE (ceremoniale episcoporum) 92. Dua kali pendupaan masing-masing dua ayunan (duobus ductibus, two double-swings, crik crik, turunkan, crik crik, turunkan) digunakan untuk relikui dan patung orang kudus yang dipajang untuk dihormati secara publik. Yang terakhir adalah serangkaian ayunan tunggal (singulis ictibus, series of single-swings) yang dipakai untuk mendupai altar.

Agus Syawal Yudhistira

Bahasa Latinnya lebih akurat. Pedupaan mengenal 2 jenis mendupai: “ductus simplex” dan “ductus duplex”.
“ductus simplex” dilakukan untuk mendupai Altar, yaitu selagi mengelilingi Altar, pedupaan diayun sekali setiap kali.

“ductus duplex” dilakukan dengan “2 ayunan”
Dilakukan dengan “pedupaan diangkat sampai posisi tinggi yang sesuai, diayun 2x, lalu diturunkan.”

untuk imam, umat, sakramen, dilakukan 3x “ductus duplex.”
untuk gambar-gambar kudus misalnya, 2x “ductus duplex.”
untuk altar dilakukan “ductus simplex” sambil mengelilingi altar.

Istilah teknisnya, ke romo itu “Tribus ductibus”, yang berarti 3 kali “ductus”, masing-masing ductus terdiri dari “2 kali ictus”

Baik imam, maupun umat, PUMR 277 mengatakan didupai dengan “Tribus ductibus.” Jadi tidak dibedakan untuk umat 3 kali “ictus” sementara ke pada imam 3 kali “ductus.”

PUMR 277: “Pedupaan diayunkan tiga kali (tribus ductibus) untuk penghormatan…: (a) Sakramen Mahakudus, relikui salib suci dan patung Tuhan yang dipajang untuk dihormati secara publik; (b) bahan persembahan; (c) salib altar, Kitab injil, lilin paskah, imam dan jemaat.”

Agus Syawal Yudhistira

TPE 2005 masih membedakan, silahkan dibaca di PUMR yang menyertai setiap TPE

Yang benar, imam, umat didupai secara sama.

Sekali lagi kembali pada dokumen PEDOMAN UMUM MISALE ROMAWI nomor 277:

“Sesudah mengisi pedupaan, imam memberkatinya dengan membuat tanda salib di atasnya, tanpa mengatakan apa-apa.

Sebelum dan sesudah pendupaan, petugas membungkuk khidmat ke arah orang atau barang yang didupai, kecuali dalam pendupaan altar dan bahan persembahan untuk Ekaristi.
Pendupaan dilaksanakan dengan mengayunkan pedupaan ke depan dan ke belakang..

Pedupaan diayunkan tiga kali (tribus ductibus) untuk penghormatan: (a) Sakramen Mahakudus, relikui salib suci dan patung Tuhan yang dipajang untuk dihormati secara publik; (b) bahan persembahan; (c) salib altar, Kitab injil, lilin paskah, imam dan jemaat.

Pedupaan diayunkan dua kali (duobus ductibus) untuk penghormatan: relikui dan patung orang kudus yang dipajang untuk dihormati secara publik. Semua ini didupai hanya pada awal perayaan Ekaristi sesudah pendupaan altar.

Altar didupai dengan serangkaian ayunan tunggal (singulis ictibus) sebagai berikut :
a. Kalau altar berdiri sendiri, imam mendupai altar sambil mengelilinginya.
b. Kalau altar melekat pada dinding, maka imam mendupai sambil berjalan ke sisi kanan lalu ke sisi kirinya.

Kalau ada salib di atas atau di dekat altar, maka salib itu didupai sebelum altar. Atau, imam mendupai salib pada saat ia melintas di depannya.
Sebelum mendupai salib dan altar, imam mendupai bahan persembahan dengan mengayunkan pedupaan tiga kali atau dengan membuat tanda salib dengan pedupaan di atas bahan persembahan.”

Johanes Ogenk Jbso

setuju dgn om @Agus Syawal, pokok acuan ada dlm PUMR…klo melihat PUMR 277, jelas skali pedupaan dilakukan dgn cara tribus ductibus untuk penghormatan:
– Sakramen Mahakudus, relikui salib suci dan patung Tuhan yang dipajang untuk dihormati secara publik;
– Bahan persembahan;
– salib altar, Kitab injil, lilin paskah, imam dan jemaat.”

Posted in 2. Putra Altar | Leave a Comment »

PUTRI ALTAR – PUTRI SAKRISTI ??

Posted by liturgiekaristi on March 23, 2011


Pertanyaan umat :

mau tanya, sebenarnya apa sih fungsi dari Putri Sakristi? (bagi yang belum tahu, baru-baru ini, Katedral Jakarta mengadakan pendaftaran untuk calon putri sakristi)

Tanggapan Yuko Pangestu : bagi saya, mau perempuan atau laki-laki sama, kalau ingin mempertahankan tradisi lama, its okay, tapi sesuai perkembangan jaman dimana HAM atas kesamaan gender dijunjung. Yang paling penting adalah kualitas pelayanan individu terhadap Tuhan kita. (misdinar di Paroki pademangan, setahu saya juga memperbolehkan perempuan menjadi misdinar (ini berarti misdinar bukan putra altar saja?))

SEPUTAR LITURGI DAN PERAYAAN EKARISTI GEREJA KATOLIK INDONESIA

Pertanyaan menarik nih… soal gender di dalam gereja…hehehe…. khususnya lagi di seputar altar, alias pelayan altar. 

Saya tidak tahu apa yang dimaksudkan dengan Putri Sakristi. Mungkin diantara para fans yang tahu atau terlibat aktif di …Kataedral Jakarta bisa menjelaskan.

Namun kita saling berinteraksi tantang petugas yang melayani altar, yang kita sebut sebagai MISDINAR atau PUTRA ALTAR. Selama ini umum dikenal bahwa misdinar itu anak-anak laki-laki atau remaja putra. Sedangkan para remaja putri belum umum diterima (kita di Indonesia sudah agak umum diterima …. belum semua loh….) hal ini menjadi perdebatan juga di negara-negara lain…. Bagaimana pendapat Anda?

Dokumen Gereja : Redemptionis Sacramentum (Sakramen Penebusan) no 47 mengatakan demikian :

47. Sangat dianjurkan untuk memperahankan kebiasaan yang luhur yakni pelayanan altar oleh anak-anak laki-laki atau pemuda-biasanya disebut ajuda atau pelayan Misa, suatu tugas yang dilaksankannya seturut cara para akolit, Hendaknya katekese tentang fungsi mereka sesuai dengan daya tangkap mereka. Perlu diingat berabad-abad lamanya dari amat banyak anak sepereti ini telah muncul banyak pelayan tertahbis. Hendaknya didirikan atau dipromosikan bagi mereka perkumpulan-perkumpulan, dalamnya keikutsertaan pendampingan oleh orang tua, supaya dengan demikian pula pastoral untuk para pelayan ditingkatkan, Bila perkumpulan-perkumpulan yang demikian bersifat internasional, maka menjadi kompetensi Kongregasi Ibadat dan tata tertib Sakramen untuk mendirikannya atau untuk menyutujui atau merevisikan statusnya. Gadis-gadis atau ibu-ibu pun boleh diterima untuk melayani altar, sesuai dengan kebijakan Uskup diosesan dan dengan memperhatikan norma-norma yang sudah ditetapkan.

Dipersilakan kita saling berdiskusi!

Sebaiknya misdinar hanya laki-laki, tidak harus anak-anak tetapi laki-laki. Jauh lebih baik menggunakan pria dewasa atau lanjut usia daripada menggunakan anak-anak perempuan. Mengapa? Karena tugas misdinar berakaitan dengan tugas yang dulu …diemban para akolit. Lebih jauh lagi misdinar merupakan persemaian yang subur bagi panggilan imamat, karena itu sebaiknya dikhususkan bagi laki-laki. Mengenai puteri sakristi, sebenarnya tugasnya sama dengan tugas koster, mereka membantu koster mempersiapkan perayaan liturgi. Pengadaan puteri sakristi jauh lebih baik daripada membuka pelayanan misdinar bagi anak-anak perempuan. Mengenai soal isu HAM, ini tidak nyambung, melayani Allah bukan hak manusia tetapi anugerah dari Allah, dan Allah memberi kepada siapa Dia berkenan dan melalui tradisi Gereja Allah menunjukkan bahwa sebaiknya pelayan Altar (misdinar) adalah laki-laki. Penggunaan anak-anak perempuan diizinkan, tetapi tidak pernah dianjurkan.

Yuko Pangestu HAM yang saya maksudkan disini tidak berkaitan dengan pelayanan Allah melainkan HAM akan kesamaan gender, saya yakin ini tidak nyambung sama sekali antara pelayanan Allah dengan gender. Terima kasih atas penjelasannya ^_^

Posted in 2. Putra Altar | Leave a Comment »

PUTRA ALTAR – Penataan salib di meja pada Misa di rumah umat

Posted by liturgiekaristi on March 9, 2011


Topik :

Di page ini, ada pertanyaan dari seorang PUTRA ALTAR ” untuk penataan altar…Jika tidak ada salib di altar, misalnya seperti misa di rumah umat, salib kecil yang diletakkan di meja sebaiknya menghadap kemana…?makasiih yaaa untuk jawabannya.. :)gbu.

SEBAGIAN PENDAPAT UMAT :

Gregz Yoy
Seperti yg biasa saya lihat,, salib tersebut menghadap umat…
Tetapi jika pertanyaannya adalah sebaiknya, saya juga tidak tahu…

Misdinar Santa Maria Kartasura
Kalau kami dibiasakan Salib tersebut menghadap ke Imam. Sama seperti Salib yang ada di Piala, Puryficatorium, Patena, dan Juga Pala …. semuanya menghadap ke Imam. Klo kita pas menatanya ya menghadap ke kita eh … kita menghadap ke Salib … apalagi ada Korpus -nya … semoga aja bener deh kebiasaan kami …

Teresa Subaryani Dhs
Bila tidak ada salib yang di dinding, dan hanya ada satu salib. Salib diletakkan dengan corpus menghadap umat. Setau saya, kalau ada salib di dinding pun, harusnya di altar ada salib kecil yang menghadap ke imam. Berhubung tanda salib itu biasanya terukir di altar (di tempat menaruh relikui), maka tidak terlihat.

Hailey Goitom Umino Chikara
sifat tradisionalisme versus sifat liberalisme….huhuhu….nampaknya kedua-dua sifat tersebut saling brlawanan antara satu sama lain dlm diskusi ini…hmm…namun apa2 posisi salib itu xpenting, asalkan realitas sejati, yakni tumpuan umat semasa Misa trtuju kepada kehadiran sejatiNya saat Konsekrasio…moga2 kita semua akan lebih sensitif akan perkara ini…krna sngguh, prkara itu makin hilang dari hati umat dewasa ini…~

Agustinus Dwie Susanto
diparoki kami malah ada 3 salib, 1 didinding menghadap umat, 1 dialtar menghadap imam, 1 dibawa misdinar pas perarakan n ditaruh dekat panti imam, apakah salah atau betul… mhn saran juga

PENCERAHAN2 :

Daniel Pane
Sebaiknya hanya ada satu salib dan salib itu menghadap Imam (jangan menghadap umat). Imam lah yang lebih memerlukan Salib agar ia dapat mengarahkan pikirannya pada Kristus. Sebaiknya tidak ada 2 salib karena mengaburkan fokus dalam Liturgi, dan membuat orientasi jadi tidak jelas (pemaknaannya hanya ada satu Kurban, jadi simbolnya satu saja).
Dulu Salib di buat menghadap umat karena dulu Imam dan umat menghadap ke arah yang sama. Maka, jika Imam dan umat saling berhadapan maka Salibnya harus menghadap Imam.
@Hailey:Penataan posisi Salib itu penting karena akan membantu umat menghayati kehadiran real dalam Ekaristi. Kalau alat bantunya tidak beres susah mengajarnya dan akhirnya makin hilanglah kesadaran itu:D
Praktek yang nyata di Basilika Santo Petrus di Vatikan (juga kalau Misa di Lateran), tidak ada salib besar yang menghadap umat. Di Basilika Salibnya hanya ada satu, yang diletakkan di Altar dan corpus nya menghadap selebran. Jadi maksud Pastor Joseph Ratzinger jelas salib memang sebaiknya hanya satu saja dan menghadap ke arah Imam. Rasanya pendapat… See More ini juga didukung oleh Msgr. Guido Marini (ceremoniarius Liturgi kepausan) dan kalau mau menyebut nama Romo lain, Romo Uwe Lang yang menulis buku “Turning Toward the Lord” bisa dijadikan acuan.

Pastor Yohanes Samiran
Dalam pedoman liturgi rasanya cukup jelas.
a. Salib (meja) altar – corpusnya ke arah imam.
b. Salib pancang sama fungsinya dengan salib dinding altar, tentu menghadap umat.

Posted in 2. Putra Altar, 3. Benda Liturgi lainnya | Leave a Comment »

PROAKOLIT – Apa artinya?

Posted by liturgiekaristi on March 9, 2011


Pertanyaan umat :

Secara tidak sengaja saya ketemu istilah baru buat saya, yakni proakolit (silahkan googling). Ada yg bisa menjelaskan? Apakah penamaan ini tepat?

RANGKUMAN PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ:

Tampaknya kata itu mau dimaksudkan untuk menyebut “pelindung” atau “pendamping misdinar”. Maka ada beberapa yang merasa sudah tidak bisa misdinar lagi, padahal nostalgia ingin lagi (artinya merasa telah kebesaran badan dan umur), maka sekarang beralih ke status mendampingi adik-adik misdinar.

Hahaha …. istilah ini bisa membingungkan dalam terminilogi resmi yang dipakai dalam Gereja Katolik.
Kendati Akolit itu terjemahannya sama dengan misdinar, tetapi misdinar kita sekarang tidak tepat disebut akolit, karena mereka tidak mendapatkan pelantikan resmi dari pejabat resmi gereja. .

NB. Juga ada kesalahan persepsi di Indonesia seolah misdinar adalah tugas dan bagian remaja. Maka kalau sudah Mudika ke atas tidak boleh lagi misdinar. Padahal aslinya misdinar justru harus sudah matang dan dewasa. Lihatlah di Misa Kudus Vatikan, tidak ada misdinar yang anak-anak, semuanya sudah pemuda katolik.

Posted in 2. Putra Altar | Leave a Comment »

PUTRA ALTAR – bagaimana mendapatkan informasi untuk melatih putra altar?

Posted by liturgiekaristi on March 9, 2011


Pertanyaan umat :

” dimana saya dapat download misa harian, misa mingguan & misa besar (paskah , natal dll) yg di Vatikan ? … yg dapat saya pergunakan tuk refrensi melatih misdinar”

PENCERAHAN DARI BP. DANIEL PANE

Saya rasa tidak ada yang salah dengan mencari info mengikuti cara para pelayan Altar di Misa Kepausan bertugas karena begitulah cara Liturgi Romawi kita berkembang, secara perlahan-lahan keuskupan-keuskupan lokal mengikuti prakter Misa Kepausan, kemudian paroki mengikuti praktek Katedral. Hal ini berlangsung selama berabad-abad sampai akhirnya Roma. berinisiatif untuk membakukan Liturgi “dari atas” (melalui dekrit-dekrit Kepausan).

Saya justru menganjurkan cara belajar seperti itu, hal itu akan sangat efektif membuat Liturgi di paroki semakin mencerminkan semangat Liturgi Romawi. Sangat dianjurkan pula dekorasi Altar, penataan panti Imam, dan cara Imam mempersembahkan Misa diperbarui bukan hanya menurut aturan-aturan Liturgi tetapi juga menurut praktek Gereja Roma (apalagi pada saat ini Paus kita sangat perhatian dengan masalah Liturgi).

Posted in 2. Putra Altar | Leave a Comment »

PUTRA ALTAR – Mengenai baju putra altar

Posted by liturgiekaristi on March 9, 2011


Pertanyaan umat :

1. terkadang ada hal2 yg ingin kita cari tidak dapat ditemukan di sekitar kita sehingga harus repot2 mencari hingga ke Vatikan. malah kadang yg ada di sekitar kita malah membuat bingung sehingga lebih baik langsung mencari ke sumbernya. misalnya soal baju misdinar yang antar paroki aja bisa berbeda.

2. tanya soal misdinar :
1. apakah misdinar harus dilantik dahulu sebelum mulai bertugas?
2. apakah misdinar bisa dibatasi usianya? dasarnya apa? jika usia bisa tidak terbatas, apakah boleh seseorang yang sudah menikah menjadi misdinar?
3. apakah untuk panduan tugas bagi misdinar bisa disamakan dengan tugas akolit yang tertuang di PUMR, bisa disamakan seluruhnya atau sebagian? kalau sebagian saja, siapa yang berwenang menentukan mana2 saja yang bisa dilakukan misdinar, dan mana yang tetap khas akolit?

PENCERAHAN DARI PASTOR Albertus Widya Rahmadi Putra

Anda ingin tahu bagaimana PE dijalankan di Vatikan? Jawabanya sederhana: sama seperti yg tercantum di Missale Romanum, tidak lebih dan tidak kurang.. :). Dalam perayaan2 besar, tugas pelayanan altar di vatikan umumnya memang diemban oleh para seminaris (baca: akolit).

buku kecil panduan perayaan untuk umat biasanya dibagikan (hanya khusus hari2 besar) dan boleh dibawa pulang. Namun buku ini tidak memuat detil apa yg harus dilakukan misdinar krn memang tidak dicetak untuk maksud itu. Untuk edisi tahun 2010, Anda bisa download di: http://www.vatican.va/news_services/liturgy/calendar/ns_liturgy_calendar_en.html

Silakan klik sesuai bulan dan perayaan yg diinginkan pada bagian tulisan “Booklet for the Celebration”.

Link populer lain terkait pelayan altar atau misdinar atau akolit:
http://en.wikipedia.org/wiki/Altar_server
http://en.wikipedia.org/wiki/Acolyte

Dari dua link di atas setidaknya kita bisa memahami bahwa tugas misdinar atau pelayan altar yang populer sekarang memang bersumber pada tugas akolit. Praktis detail tugasnya tidak berbeda. Soal pelantikan, akolit menerima pelantikan resmi, sementara untuk menjadi misdinar “biasa” tidak ada keharusan dilantik. Prakteknya, banyak pastor paroki mengadakan pelantikan dan pelatihan rutin utk para misdinar di parokinya. Hal ini amat baik utk menumbuhkan komitmen & keseriusan pelayanan para misdinar.

dalam praktek sekarang tidak ada pula pembatasan tegas usia atau status untuk misdinar. (tapi memang jarang khan bapak2 yg mau jadi misdinar, kecuali dalam keadaan “darurat”, misalnya di stasi2 terpencil). Memang baik digalakkan utk anak2 dan remaja terutama juga utk menumbuhkan benih panggilan bagi mereka.

Terkait pakaian, karena awalnya bersumber dari peran akolit, pakaian misdinar awalnya juga mengikuti pakaian akolit. Standart resmi untuk misdinar sejauh saya tahu, tidak ada secara resmi tertulis. (Beda kasus utk pakaian klerus!). Keuskupan setempat bisa menentukan norma yg lebih detil. Ambil contoh, di Italia, pakaian yang dianggap “lazim” utk misdinar digolongkan menjadi tiga:
1. jubah hitam atau merah plus superpli putih sederhana,
2. alba putih sederhana dengan singel atau tanpa singel,
3. model tarsisius (alba putih dengan dua garis merah).

Contoh gambar bisa dilihat di sini: http://www.cattoliciromani.com/forum/showthread.php/abiti_chierichetti-9025.html

Di Indonesia, setidaknya jaman saya dulu sering jadi misdinar, pakaian nomor 1 (jubah merah plus superli putih polos) lazim digunakan.

btw.. apa yg saya tulis di atas adalah sharing dan pengamatan pribadi.. silakan dikoreksi, terutama oleh Anda para pakar liturgi di forum ini, jika ada hal2 yang tidak sesuai atau bahkan mungkin melanggar norma liturgi resmi terkait tema misdinar..

Peace..

PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :

Sebenarnya tugas umum misdinar bisa dibaca pada panduan untuk “akolit” seperti yang sudah dibahas, terutama lihat di PUMR (berkaitan dengan pendupaan, pelayanan, dll).

Yang ditulis di PUMR memang sebenarnya menunjuk kepada akolit dilantik secara liturgis.
Karena kini di banyak tempat akolit seperti itu tidak ada banyak, maka prinsipnya tugasnya tidak banyak berubah, karena memang tidak ada tugas khas dan eksklusif yang melekat pada pelantikan itu. Artinya tugas umum akolites itu ya boleh dan bisa dilakukan oleh misdinar yang ada sekarang, asal syarat-syarat terpenuhi.
Untuk syarat umum kalau menurut tradisi dan peraturan liturgi umum Roma, misdinar adalah: Laki-laki cukup umur. Tidak ada batasan umum ke atas.
Mereka dilatih untuk tugas akolites, dan pengertian pokok sekitar liturgi yang perlu. Ini adalah pengetahuan dasar yang dituntut. Minimal misdinar harus bisa menjawab seluruh bagian yang dijawab umat saat liturgi resmi berlangsung.
Dari sini sebenarnya kalau mengacu ke peraturan asal dibandingkan yang terjadi di Indonesiai:
a. Misdinar harus laki-laki, dan bukan perempuan.
b. Misdinar tidak dibatasi oleh umur.

Tentang pakaian, pada dasarnya kalau dilihat dari perkembangan tata busana, seperti busana liturgi imam dan Uskup pun berkembang sesuai dengan kondisi real jaman, walau pun bagian pokok tetap sama: kasula, stola, singel, alba, warna liturgis….. = tetap, tetapi model, bahan bisa berubah sesuai keadaan dan jaman.
Contoh kasula lama, kalau kita lihat di museum Vatikan atau beberapa museum biara atau paroki tua di Italia, kita bisa melihat kasula itu adalah karya tangan (hand made) entah disulam, songket, dll – dan umumnya dari bahan mahal dan berat. Untuk daerah dingin pakaian ini menguntungkan, tetapi untuk daerah tropis pakaian ini akan banyak merepotkan, apalagi untuk pastor yang harus berkeliling dari satu tempat misa satu di pemukiman penduduk ke tempat lain, yang umumnya panas sekali karena atap seng dll.
Demikian juga jubah, umum di daerah Eropa jubah imam adalah hitam. Di Indonesia yang umum adalah putih.
Ini semua disesuaikan dengan keadaan setempat, yakni iklim dll.

Nah, kembali ke soal pakaian misdinar. Pada dasarnya pakaian misdinar adalah “semacam alba/jubah” bagian dalam, dan ditutup dengan semacam superpli. Ini pakaian dasar. Superpli selalu putih, dan warna dasar jubah dalam mengikuti liturgi.
Di Indonesia pakaian ini ada yang masih mengikuti standar itu ada pula yang telah disederhanakan yakni menjadi tiga potongan, yakni potongan bawah (semacam under rok – menggantikan peran jubah di atas); bagian tengah (menggantikan superpli) dan bagian atas penutup kerah (tambahan baru untuk ekspresi warna liturgi, karena di beberapa tempat bagian bawah malahan kain jarik / batik).

Yang perlu diperhatikan adalah: pakaian itu mirip dengan pakaian pelayan altar (jubah + superpli) pada umumnya; dan mencerminkan warna liturgi yang berlansung.
Kedua, pakaian itu membantu baik umat maupun yang bersangkutan untuk menghayati liturgi secara lebih baik.

INFORMASI DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :

Untuk pembanding atau pelengkap referensi tentang baju misdinar, silahkan klik link berikut:
http://www.facebook.com/editphoto.php?aid=10852#!/album.php?aid=10852&id=100000678356281&upload=1

Hehehee iya, karena memang mau kumpulin saja model baju misdinar dalam Gereja Katolik. Model ritus Timur adalah yang model baju saja tanpa dipakai dan yang dipakai misdinar dengar warna dasar kuning itu, membawa lilin dll. Cirinya jelas baju misdinar mirip dengan pakaian liturgis imamnya.
Ritus Barat, yang warna pokoknya putih – diungkapkan dalam bagian superpli. 🙂

This slideshow requires JavaScript.

 

 

 

 

 

Posted in 2. Baju liturgi, 2. Putra Altar | Leave a Comment »

PUTRA ALTAR – Bagaimana membunyikan lonceng/gong sewaktu Konsekrasi?

Posted by liturgiekaristi on March 9, 2011


Pertanyaan umat :

PUTRA/I ALTAR “Hmm,,aqhu mw nanya nih,,aqhu kn misdinar d paroki.. Mnrt TPE yg trbaru,,gmna sih sharusnya bunyi lonceng/gong swaktu konsekrasio yg benar??Soalnya,,bda pastornya,,bda jg cra lonceng/gong yg hrz d bunyikn..Kmi jd bingung..TLg d jawab yha.. Thx..”

PENCERAHAN DARI PASTOR ZEPTO PR :

TENTANG LONCENG DAN GONG DALAM LITURGI GEREJA, khususnya Perayaan Ekaristi. Beberapa pencerahan saya.

Pertama, sejauh sy tahu, dlm Liturgi Gereja sesuai Ordo Missae hy dikenal lonceng. Karena pengaruh INKULTURASI dlm liturgi, maka gong mulai dipakai umum/meluas di Gereja Indonesia. Anehnya, lonceng dang gong dipakai bersamaan, lalu ada yang menganggap bhw penggunaan serentak lonceng+gong itulah yg ideal.

Kedua, tentang BUNYI. Karena pada masa2 lalu buku2 tentang liturgi masih relatif sedikit, itupun kurang tersebar, maka di byk gereja org hy mewarisi kebiasaan2 lama. Bunyinya mjd beragam; beda gereja, beda CARA DAN JUMLAH bunyi. Hehehe . . . Semua gaya itu sama2 tentu bermaksud baik; macam2 cara dipakai untuk mencapai sesuatu yg baik. Variis modis bene fit, kata orang Latin…

Ketiga, hal yg lebih mendasar adalah PEMAKNAAN LITURGIS. Bunyi lonceng (demikian juga gong) bermakna ‘memanggil’ dan ‘tanda perhatian’ kepada sesuatu/seseorang/peristiwa yg (maha-)penting. Pengundangan atau tanda perhatian ini sangat mengharapkan tanggapan dan jawaban positif umat. Inilah ‘Dimensi Katabatis-Anabatis’ dari liturgi. Jadi, lonceng/gong bukan sekedar barang, dan bunyinyapun bukan sekedar bunyi. Sebaliknya, lonceng/gong dan bunyinya sungguh benda dan bunyi liturgis. Oleh karena itu, lönceng/gong demikian bunyinya haruslah dihayati dan diperlakukan juga sesuai dgn martabatnya dlm liturgi resmi Gereja.

Keempat, tentang ARTI SIMBOLIS. Gereja kaya akan simbol2. Bunyi2anpun mengandung makna simbolis. Demi memelihara dan mewariskan secara utuh keagungan liturgi Gereja dan arti2 simbolisnya, maka dalam Ordo Missae (juga, TPE 2005) telah diatur kapan dan bgmn lonceng/gong dibunyikan: SEBELUM prefasi (1x), SEBELUM memasuki kata2 institusi/konsekrasi (1x), KETIKA elevasi Tubuh/Darah Kristus (3x), dan KETIKA imam berlutut post-elevasi (1x panjang). Angka dalam tanda kurung adalah ‘jumlah ketukan’ yg biasa dibuat di gereja kami.

Salam,
Zepto-Triffon, Sorong, Papua.

Posted in 2. Putra Altar, 3. Benda Liturgi lainnya | Leave a Comment »

PUTRA ALTAR – Pada waktu melayani apakah harus buka alas kaki?

Posted by liturgiekaristi on March 9, 2011


Pertanyaan lain :

apakah ketiika melayani Putra Altar harus membuka alas kaki (sandal/sepatu) atau tidak, yang terjadi di Paroki kami, Para Putra Altar diwajibkan membuka alas kaki ketika melayani…

PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :

Soal alas kaki bagi misdinar, tidak ada larangan. Yang perlu diperhatikan adalah kepantasan. Contoh sederhana: penggunaan sandal jepit adalah tidak layak untuk melayani altar.

NB.
(a) Mungkin pembimbing misdinar di tempat yang dilarang pakai sepatu, pernah ditegur pastornya karena ada misdinar yang pakai sandal saja, lalu demi keseragaman akhirnya semua copot alas kaki. .
Untuk menghindari itu dan menghargai Ekaristi kudus, maka baik kalau dilatihkan bahwa yang akan bertugas misdinar dianjurkan pakai sepatu, dan bukan sandal.

(b) Di seminari Palembang, ada aturan bahwa sandal jepit tidak boleh dipakai dalam kapel. Jadi kalau siswa mau doa di kapel (walau bukan karpet) dan dia datang dengan sandal jepit, maka akan dilepas di depan pintu masuk.
Tetapi sepatu atau sepatu sandal boleh dipakai, dan harus dipakai dengan benar, bukannya diinjak bagian belakangnya sehingga sepatu menjadi seperti selop.

PENCERAHAN DARI PASTOR CHRISTIANUS HENDRIK :

Sekedar tambahan mengenai Pelayan Altar/mesdinar/putra-i Altar. Prinsipnya, kehadiran mereka dalam perayaan2 liturgi adalah melayani Imam yang sedang dalam tugas menghadirkan Allah dalam setiap sakramen yang dirayakan (terutama Ekaristi)-tentu itu berarti melalui tugas2 sederhana tapi amat penting, mereka melayani Tuhan secara lebih dekat dari pada yang lainnya.

Maka focus mereka pada membantu Imam dan memperhatikan dengan penuh konsentrasi apakah ada hal2 yang kurang atau harus dilakukan selama perayaan supaya tidak ada yang keliru atau mengganggu setiap kegiatan terutama di sekitar altar. Mengenai ini hendaknya pelayan altar bukan hanya hapal urutan dan tugasnya, tapi juga bisa bertindak atau berbuat sesuatu yang kadang di luar urutan tapi perlu demi menjaga kekhusukan dan hikmad dalam perayaan…(misalnya pada saat DSA mesdinar melihat ada lilin yang meleleh dan apinya terlalu besar sehingga ada behaya membakar yang lainnya – mesdinar bergerak cepat sambil tetap hikmat mengatasi situasi yang bisa mengganggu konsentrasi itu). Mereka juga harus tahu tempat yang pantas pada saat bertugas atau tidak bertugas di sekitar altar sesuai dengan situasi panti imam di tiap gereja yang tidak selalu sama. Jadi bukan soal harus di mana, dan kapan, tapi pikirkanlah tempat yang pantas: Dekat di sekitar Imam 9sehingga kalau ada apa2 cepat bereaksi, tapi tidak mengganggu pandangan umat yang harus focus ke altar dan apa yang sedang dijalankan oleh Imam)

Maka sikap fisik, sedapat mungkin tidak membuat gerakan yang tidak perlu supaya tidak memecah perhatian umat di sekitar altar (maka tidak pantaslah pelayan altar ngobrol atau malah cekikian di sekitar altar, atau nonton umat yang hadir), hanya bergerak sejauh perlu untuk menjalankan tugas. tempat mereka berada disesuaikan dengan situasi masing2 gereja dan keadaan panti imam-tempat duduk imam yang tidak selalu sama di setiap tempat. ..
Secara tehnis mereka pelayan imam dan altar maka sedapat mungkin pada waktu tidak bertugas atau duduk di tempatnya dengan hikmat, atau berlutut menghadap altar yang menjadi focus kegiatan waktu itu.

Sikap batin: Dulu ketika Ekaristi masih dalam bahasa latin dan Imam masih membelakangi umat, pelayan altarlah yang menjawab semua bagian jawaban umat…Secara rohani, baik kiranya sekarang pun tugas pelayan altar bukan hanya bertindak secara fisik, tapi juga dengan penuh hikmat dan iman menjawab setiap seruan2 umat dan menjadi yang terdepan dalam menanggapi setiap seruan liturgis (yang menjadi bagian umat). Mereka harus memiliki semangat sebagai “yang paling kecil dalam kerajaan surga” tapi menjadi yang paling dekat dalam kegiatan suci yang dinampakkan dalam Gereja kudus….membantu umat menghayati dan menemukan kekuatan imannya dalam setiap perayaan kudus.

Sebenarnya pelayan altar bukan hanya privilege untuk anak2 kecil sampai umur SMA seperti kebanyakan sekarang ini.Malah juga orang dewasa bahkan orang tua pun masih bisa menjadi pelayan altar dan itu jauh lebih baik sebenarnya (kalau mereka sadar tugasnya) daripada anak2 yang masih terlalu kecil dan kurang diberi pemahaman tentang arti dan makna tugasnya….Semoga ada kesadaran lebih untuk melatih dan mengajarkan dengan baik tugas2 seorang pelayan altar agar mereka sungguh menjadi ‘pelayan’ bukan sekedar ‘mejeng’ di altar….

Posted in 2. Putra Altar | Leave a Comment »

PUTRA ALTAR – Bagaimana cara mendupai yang tepat

Posted by liturgiekaristi on March 9, 2011


Pertanyaan :

Ada pelatih misdinar bertanya: cara mendupai yang tepat itu bagaimana? Untuk Sakramen 3 ayunan, untuk Imam 2 ayunan, untuk umat 1 ayunan – masing-masing dibuat 3 kali?

PENCERAHAN DARI BP. AGUS SYAWAL :

PUMR 277:
Sesudah mengisi pedupaan, imam memberkatinya dengan membuat tanda salib di atasnya, tanpa mengatakan apa-apa.

Sebelum dan sesudah pendupaan, petugas membungkuk khidmat ke arah orang atau barang yang didupai, kecuali dalam pendupaan altar dan bahan persembahan untuk Ekaristi.
Pendupaan dilaksanakan dengan mengayunkan pedupaan ke depan dan ke belakang..

Pedupaan diayunkan tiga kali untuk penghormatan: (a) Sakramen Mahakudus, relikui salib suci dan patung Tuhan yang dipajang untuk dihormati secara publik; (b) bahan persembahan; (c) salb altar, Kitab injil, lilin paskah, imam dan jemaat.

Pedupaan diayunkan dua kali untuk penghormatan: relikui dan patung orang kudus yang dipajang untuk dihormati secara publik. Semua ini didupai hanya pada awal perayaan Ekaristi sesudah pendupaan altar.

Altar didupai dengan serangkaian ayunan tunggal sebagai berikut :
a. Kalau altar berdiri sendiri, imam mendupai altar sambil mengelilinginya.
b. Kalau altar melekat pada dinding, maka imam mendupai sambil berjalan ke sisi kanan lalu ke sisi kirinya.

Kalau ada salib di atas atau di dekat altar, maka salib itu didupai sebelum altar. Atau, imam mendupai salib pada saat ia melintas di depannya.
Sebelum mendupai salib dan altar, imam mendupai bahan persembahan dengan mengayunkan pedupaan tiga kali atau dengan membuat tanda salib dengan pedupaan di atas bahan persembahan.

Apa yang dimaksud satu ayunan? Rubik 1962 bisa mengisi kekosongan ini.
Satu ayunan adalah satu kali:
1. Pendupaan diangkat dari sisi pemegang ke depan dada.
2. Pendupaan di goyangkan seperti pendulum ke arah obyek/orang yang diberkati. Biasanya ini paling jelas karena kedengaran bunyi “crik” karena suara rantai bergesek.
3. Lalu diturunkan.
Gerakan ini membentuk satu ayunan.

Menurut Rubik 1962, gerakan nomor 2 dilakukan 2 kali (disebut ‘Ductus’), kecuali untuk Altar, 1 kali, karena Altar didupai dengan mengelilinginya dan selama berjalan pendupaan terus digoyangkan.

Jadi ketika mendupai Sakramen Mahakudus misalnya:
1. Angkat pendupaan sampai sekitar dada atau agak lebih tinggi lagi.
2. Goyangkan 2x (crik – crik).
3. Turunkan.
Gerakan 1 – 3 diulangi sampai 3x.

Posted in 2. Putra Altar, 3. Benda Liturgi lainnya | Leave a Comment »

KAMIS PUTIH – CARA MENDUPAI SAKRAMEN

Posted by liturgiekaristi on March 8, 2011


Pertanyaan umat :

1. bagaimana cara mendupai sakramen mahakudus pada saat perarakan sakaramen pada Kamis Putih (sebelum tuguran). Misdinar berjalan mundur sambil mendupai, atau berjalan sperti biasa tapi berjalan didepan sakaramen, pada saat tertentu berlutut dan mendupai sakramen?? di paroki kami biasanya misdinar berjalan mund…ur sambil mendupai, tapi saya membaca di salah satu group katolik di FB juga, yang menjelaskan cara ke-2. mohon pencerahannya…thx

2. Setahu saya (dari Fb Tradisi Katolik) dalam perarakan petugas pembawa dupa berada didepan yang mana dilakukan untuk mendupai (mensucikan) jalan yang akan dilalui oleh perarakan tersebut.

PENCERAHAN DARI PASTOR YOHANES SAMIRAN SCJ :

Hmmmm kalau memang mau mendupai sakramen secara kontinyu, ya mau tidak mau harus berjalan mundur. Ini yang lazim. Memang resikonya perjalanan sakramen keliling atau perarakan sakramen menjadi lambat.

Cara kedua, (tidak dilarang) untuk mengantisipasi kelambatan itu, dan kelelahan kalau harus berarak ke tampat yang jauh.

NB. Di salah satu paroki di Crespina, dekat Pisa (Italia) saya beberapa kali membantu di sana, dan pada Kamis malam sakramen diarak keliling desa bersama dengan patung Yesus dan relikwi dari “tanah suci”. Otomatis misdinar tidak perlu berjalan mundur tetapi berjalan biasa di depan sakramen dengan membawa pedupaan yang mengepul, dan kadang berhenti untuk mendupai .
Jarak tempat sakramen di arak adalah dari gereja Paroki dan dipindahkan ke gereja kapel, jaraknya sekitar 2 km. Perarakan berjalan memutar agar semua jalan desa terberkati oleh sakramen. Semua rumah memasang lilin di pintu dan pagar mereka, walau mereka tadi tidak berangkat ke gereja untuk perayaan Kamis Putih ….. 🙂

PENCERAHAN DARI PASTOR CHRISTIANUS HENDRIK :

Hemm….mengenai cara mendupai kiranya bisa bermacam2 cara tergantung kebiasaan dan situasi setempat di mana perarakan diadakan-seperti sudah dijelaskan oleh rm Samiran SCJ. Tetapi inti dari pendupaan kiranya tetap harus berpusat pada Sakramen Mahakudus yang didupai, bukan pertama2 jalan, atau rumah atau tempat sekitar yang dilewati.

Memang ketika kita menghormati dan terus melakukan puja pengudusan terhadap sakramen Mahakudus, kemudian dampaknya adalah bahwa jalan, tempat2 yang akan dilalui, bahkan orang2 di sekitar juga harus dikuduskan/menguduskan diri supaya pantas bagi kehadiran Allah yang nyata dalam sakramen Mahakudus.

Tradisi yang serupa dengan penghormatan terhadap Sakramen Mahakudus bisa ditemukan dalam banyak peristiwa di Perjanjian Lama, ketika Israel mengarak Tabut Perjanjian (mis.I Tawarikh 15). Ketika tradisi mendupai belum populer, lalu berbagai bentuk penghormatan terhadap setiap tanda Kehadiran Yang Ilahi (Tabut Perjanjian) dilakukan dengan pelbagai cara: nyanyian pujian, sangkakala, terompet, gambus pelbagai macam jenis, pemotongan hewan kurban, kurban bakaran…bahkan tarian (Daud menari2 di depan Tabut Perjanjian).

Jadi inti pendupaan adalah kepada Sakramen Mahakudus-entah dengan cara mundur,atau berjalan maju sambil sesekali berhenti untuk mendupai.
Asap dupa yang membubung melambangkan terhubungnya dunia dan surga tinggi melalui kehadiran Allah dalam rupa Sakramen Mahakudus. Wewangian asap dupa melambangkan kesucian itu sendiri dan sikap hati yang sepantasnya ketika kita berada di dekat Sakramen Ilahi. Maka juga perlu diperhatikan supaya saat pendupaan memang ada asap yang mengepul dan membumbung tinggi, bukan cuma formalitas mengayun2kan wiruk/dupa tapi apinya padam dan tidak ada asapnya…lalu kehilangan maknanya he he…

Posted in 2. Putra Altar, 3. Benda Liturgi lainnya, 3. Kamis Putih | Leave a Comment »